• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP

Dalam dokumen Penulisan Hukum ( Skripsi ) (Halaman 26-90)

Pada bab ini akan menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil keseluruhan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

commit to user 13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Sita Jaminan a. Pengertian Sita Jaminan

Undang-undang menyediakan upaya hukum bagi penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti yaitu dengan “penyitaan” (arrest, beslag). Penyitaan ini disebut juga sita conservatoir atau sita jaminan (Pasal 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 RBg). Pengertian sita jaminan sendiri merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan dalam perkara perdata di kemudian hari (H. Riduan Syahrani, 2000:50).

Selain itu menurut (Retnowulan Susantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002:98) sita jaminan mengandung arti yaitu bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari, atas barang-barang milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan lain perkataan bahwa terhadap barang-barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain.

Sita jaminan tidak akan diletakkan oleh hakim apabila tidak ada permohonan tentang sita jaminan dari penggugat. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 178 ayat 3 HIR yang isinya menentukan bahwa “Hakim dilarang akan menjatuhkan putusan atas perkara yang tiada dituntut, atau akan meluluskan lebih daripada yang dituntut”(M. Nur Rasaid, 2003:24). Penyitaan dalam sita jaminan ini bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita, namun hanya disimpan (conserveer) oleh

pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. (http://hukumpedia.com/ index.php?title=Sita_jaminan)

Sita jaminan dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti sebagai pelaksanaan perintah yang dituangkan dalam ketetapan yang dibuat ketua majelis hakim. Jurusita atau penggantinya tersebut wajib membuat berita acara penyitaan yang telah dilaksanakannya dan memberitahukan isinya kepada tergugat (tersita). Dalam melaksanakan penyitaan itu jurusita dibantu oleh 2 (dua) orang saksi yang turut serta menandatangani berita acara (Pasal 65 Undang-undang No.2 Tahun 1986 Jo Undang-Undang No.49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum).

Aturan dasar pengajuan sita jaminan terdapat pada Pasal 226 dan 227 HIR dan tentang tata cara pelaksanaan sita jaminan diatur dalam Pasal 197, 198 dan 199 HIR, yang pada pokoknya adalah : (http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/08/hukum-acara-perdata

penyitaan.html).

1) Jika dalam waktu yang ditentukan pihak yang kalah belum bisa melaksanakan putusan Pengadilan dan apabila sudah dipanggil secara patut tidak memenuhinya maka akan diperintahkan untuk melakukan penyitaan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang menangani perkara tersebut; 2) Penyitaan dijalankan oleh Panitera Pengadilan Negeri;

3) Apabila Panitera berhalangan, ia diganti oleh orang lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri, dalam praktek biasanya dijalankan oleh Panitera luar biasa;

4) Cara penunjukannya cukup dilakukan dengan penyebutan dalam surat perintah, hal ini berarti bahwa sebelum penyitaan dilakukan harus terlebih dahulu ada surat perintah dari Ketua;

commit to user

15

5) Tentang dilakukannya penyitaan harus dibuat berita acaranya dan isi berita acara tersebut harus diberitahukan kepada orang yang disita barangnya, apabila ia hadir;

6) Panitera atau penggantinya dalam melakukan penyitaan harus disertai oleh dua orang saksi, yang nama, pekerjaan dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara itu dan para saksi ikut menandatangani berita acara; 7) Saksi-saksi tersebut harus penduduk Indonesia, biasanya pegawai

Pengadilan, setidak-tidaknya harus sudah dewasa dan harus orang yang dapat dipercaya;

8) Penyitaan boleh dilakukan atas barang-barang yang bergerak yang juga berada di tangan orang lain, akan tetapi hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh berguna bagi yang disita untuk menjalankan pencaharian, tidak boleh disita;

9) Barang-barang yang tidak tetap yang disita itu seluruhnya atau sebagiannya harus dibiarkan berada di tangan orang yang disita atau barang-barang itu dibawa untuk disimpan di tempat yang patut;

10) Dalam hal barang-barang tersebut tetap dibiarkan di tangan orang yang disita, hal itu diberitahukan kepada Pamong desa supaya ikut mengawasi agar jangan sampai barang-barang tersebut dipindah tangankan atau dibawa lari oleh orang tersebut;

11) Terhadap penyitaan barang tetap, maka berita acaranya harus diumumkan, dicatat dalam buku letter C di desa, dicatat dalam buku tanah di Kantor Kadaster dan salinan berita acara dimuat dalam buku yang khusus disediakan untuk maksud itu di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri, dengan menyebut jam, tanggal, hari, bulan dan tahun dilakukannya; 12) Pegawai yang melakukan penyitaan harus memberi perintah kepada

Kepala Desa supaya perihal adanya penyitaan barang yang tidak bergerak itu diumumkan sehingga diketahui khalayak ramai;

13) Sejak berita acara penyitaan diumumkan, pihak yang disita barangnya itu tidak boleh lagi memindahkan, memberatkan atau menyewakan barang tetapnya yang telah disita itu kepada orang lain. Perkataan memberatkan di atas berarti pula memborongkan, menggadaikan, menghipotikkan. b. Macam-Macam Sita Jaminan

Sita jaminan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu sita jaminan terhadap harta milik sendiri (pemohon) dan sita conservatoir atau sita jaminan terhadap barang milik tergugat (debitur). Sita tersebut yaitu (Sophar Maru Hutagalung, 2010:93) :

1) Sita Jaminan terhadap Harta Milik Sendiri

Sita yang ditujukan untuk menjamin hak kebendaan dari pemohon yang merupakan miliknya sendiri, terdiri atas sita revindicatoir dan sita maritaal.

a) Sita revindicatoir (Revindicatoir Beslag/Pasal 226 HIR), adalah sita yang dilakukan oleh pemilik terhadap barang bergerak miliknya yang berada di tangan orang lain (Pasal 1751 dan Pasal 1977 KUH Perdata). Termasuk di dalam pengertian ini adalah hak reklame, yaitu hak dari penjual barang bergerak meminta kembali barangnya yang belum dibayar oleh pembeli.

Menurut M. Nur Rasaid dari penyitaan ini adalah agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung. Akibat hukum dari penyitaan ini ialah bahwa pemohon atau penyita barang tidak menguasai barang yang telah disita, sebaliknya yang terkena sita dilarang untuk mengasingkannya (M. Nur Rasaid, 2003: 24).

b) Sita maritaal, adalah sita yang diajukan oleh seorang istri kepada suaminya dalam gugatan perceraian, ditujukan agar barang yang menjadi objek sita tidak dijual dan tidak jatuh ke tangan pihak

commit to user

17

ketiga. Ini berfungsi melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dengan lawannya. Mengenai sita maritaal yang dimohonkan dalam gugatan perceraian, setelah berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur sangat terbatas sekali yaitu hanya diatur dalam pasal 24 ayat (2) huruf c PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 tahun 1974.

2) Sita Jaminan terhadap Harta Milik Tergugat Atau Sita Conservatoir (Conservatoir Beslag)

Sita ini bertujuan agar barang yang menjadi objek sita jaminan tidak digelapkan atau dialihkan tergugat selam proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat dapat terpenuhi dengan jalan menjual barang yang disita itu (Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBg, atau Pasal 720 Rv). Sita ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksankannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Dengan diletakannya penyitaan ini berarti barang yang disita dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual. Sita ini dapat dibilang hanyalah sebagai tekanan karena tidak jarang terjadi objek sita tidak sampai berakhir dengan penjualan karena debitur memenuhi prestasinya sebelum putusan dilakukan. Adapun yang dapat disita secara conservatoir adalah: a) Barang bergerak milik tergugat ;

b) Barang tetap milik tergugat ; dan

Sekarang ini dalam praktiknya sita conservatoir dapat diterapkan kepada sengketa-sengketa yang timbul dari wanprestasi (Pasal 123 jo. 1247 KUH Perdata) maupun perbuatan melawan hukum/PMH (Pasal 1365 KUH Perdata), termasuk sengketa hak milik atas benda tidak bergerak.

c. Syarat Pengajuan Sita Jaminan

Sesuai dengan Pasal 226 HIR, untuk mengajukan permohonan sita Revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan. Sedangkan perihal syarat-syarat untuk dapat diletakkannya sita jaminan telah diatur dalam Pasal 227 HIR. Ketentuan Pasal 227 HIR tersebut mengandung makna bahwa untuk mengajukan sita jaminan haruslah ada dugaan yang beralasan bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak mempunyai bukti kuat bahwa kekhawatiran tergugat akan mengasingkan barang-barangnya, maka sita jaminan tidak dilakukan. Oleh karena itu, tersita harus didengarkan keterangannya guna mengetahui kebenaran dugaan tersebut (Ayuning Tyas Nilasari, 2011:4).

Menurut Sudikno Mertokusumo syarat tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir) (Sudikno Mertokusumo, 2002:87).

Buku Mahkamah Agung mengenai Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Pengadilan Perdata Umum (2007:80) mencoba mendefinisikan secara lebih konkrit. Untuk mengabulkan sita conservatoir, harus ada sangkaan yang beralasan, bahwa tergugat sedang berupaya untuk

commit to user

19

menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. Disini dapat disimpulkan bahwa permohonan pengajuan sita jaminan lebih diarahkan kepada sedang terjadinya proses pengasingan barang sampai pada ada barang yang hilang.

2. Tinjauan Tentang Perlawanan a. Pengertian Perlawanan

Perlawanan merupakan suatu upaya hukum yang banyak menimbulkan masalah dalam praktek pengadilan. Misalnya saja betapa terperanjatnya seseorang, apabila pada suatu ketika rumah dan tanah miliknya disita oleh juru sita pengadilan negeri atas dasar suatu penetapan hakim yang sah, sedangkan yang bersangkutan sama sekali tidak merasa mempunyai hutang baik kepada Negara, maupun kepada perorangan. Dalam kedua persoalan tersebut diatas jelaslah bahwa pihak terggugat maupun pihak ketiga, yaitu orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan sesuatu perkara akan berusaha mencari jalan untuk melepaskan barang-barangnya dari persitaan itu (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002: 174).

Kata perlawanan mengandung kata “menentang” sesuatu sampai diperoleh hasil akhir yang pasti dalam bentuk kalah atau menang. Tujuan yang ingin dicapai dari upaya perlawanan adalah melawan secara formal dan resmi suatu penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan, supaya putusan atau penetapan itu lumpuh dan tidak mempunyai kekuatan mengikat pada diri pelawan.

Perlawanan muncul ketika ada salah satu pihak merasa dirugikan atas putusan hakim tersebut, dimana dalam putusan hakim tersebut salah menerapkan hukum atau pada proses pemeriksaan majelis hakim kurang teliti dalam penerapan undang-undang sehingga dalam putusan tersebut melebihi

apa yang dituntut oleh penggugat. Upaya perlawanan timbul berdasarkan suatu penetapan dan ini mengindikasikan bahwa perlawanan muncul ketika adanya suatu penetapan sita jaminan oleh majelis hakim yang kemudian timbul perlawanan atas penetapan sita jaminan sehingga sifat dari perlawanan tidak dapat berdiri sendiri.

Perlawanan merupakan hak tergugat atau pihak ketiga bukan sebagai kewajiban hukum, karena sifat dan fungsi dari perlawanan adalah bersifat fakultatif bukan bersifat imperatif. Pihak tergugat atau pihak ketiga dalam hal ini dapat menggunakan hak perlawanan maupun tidak. Apabila tergugat atau pihak ketiga menggunakan perlawanan terhadap sita jaminan maka maksud perlawanan tersebut bukan sebagai itikad tidak baik.

Ketentuan Pasal 195 (6) dan (7) HIR tersebut mengatur: 1) Perlawanan terhadap sita eksekutorial;

2) Diajukan oleh yang terkena eksekusi atau tersita; 3) Diajukan pihak ketiga atas dasar hak milik;

4) Perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan;

5) Adanya kewajiban dari Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perlawanan itu untuk melaporkan atas pemeriksaan dan putusan perkara perlawanan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan eksekusi.

Pasal 207 dan Pasal 208 HIR mengatur:

1) Cara pengajuan perlawanan itu dapat dilakukan secara lisan atau tertulis;

2) Perlawanan itu harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri; 3) Adanya azas bahwa perlawanan tidak menangguhkan eksekusi; 4) Pengecualian terhadap azas di atas;

commit to user

21

Dari penjelasan pasal-pasal yang tersebut, nampak jelas bahwa perlawanan diajukan terhadap sita eksekutorial. Hal ini berarti, bahwa barang yang menjadi obyek penyitaan mohon agar dapat diangkat ketika masih dalam penyitaan, yaitu ketika barang tersebut masih belum dilelang atau belum diserahkan kepada pihak yang menang (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002: 176). Tetapi tidak menutup kemungkinan perlawanan juga dapat diajukan terhadap sita jaminan (conservatoir beslag).

Pasal 197 HIR mengatur mengenai dasar pelaksanaan sita eksekusi. Pelaksanaan sita jaminan tidak diatur secara terperinci dan pada dasarnya sama dengan pengaturan sita eksekusi, oleh karena itu dasar pelaksanaan sita jaminan juga diatur dalam pasal 197 HIR. Mengenai perlawanan terhadap sita jaminan dasar aturan yang dipakai juga sama dengan dasar perlawanan terhadap sita eksekusi, namun perbedaan perlawanan dari kedua sita terletak pada waktu pengajuan perlawanan. Perlawanan terhadap sita jaminan dilakukan sebelum proses pemeriksaan perkara selesai dan belum adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Perlawanan sita eksekusi dilakukan setelah proses pemeriksaan perkara telah selesai adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Demi kebenaran dan keadilan maupun kepastian hukum, setiap putusan maupun ketetapan hakim untuk diperiksa dan dalam setiap penjatuhan atau penetapan supaya hati-hati dan teliti agar tidak terjadi kekeliruan.

b. Macam Perlawanan

Pengajuan perlawanan dapat dilakukan oleh pihak yang berperkara dalam hal ini pihak tergugat yang melakukan perlawanan terhadap sita maupun verstek, sedangkan pihak lain atau pihak ketiga juga dapat melakukan perlawanan atas akibat yang ditimbulkan putusan atau penetapan hakim tersebut.

Perlawanan menurut Pasal 195 ayat (6) HIR terdiri dari beberapa macam perlawanan terhadap suatu penetapan pengadilan. Hal ini dapat ditarik dari bunyi kalimat “jika pelaksanaan putusan itu dapat dilawan, jika perlawanan itu dilakukan oleh pihak lain yang mengakui barang yang disita itu miliknya”. Dari pasal tersebut kita mengenal beberapa jenis perlawanan terhadap penetapan Pengadilan yaitu :

1) Perlawanan terhadap Putusan Verstek

Merupakan upaya terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (putusan verstek). Kepada pihak yang dilahkan serta diterangkan kepadanya bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tak hadir itu kepada pengadilan itu. Diatur dalam pasal 125 ayat (3) HIR/ pasal 149 ayat (3) RBG dan pasal 153 (1) HIR/pasal 129 (1) RBG (Moh. Taufik Makarao, 2004:161).

Pengajuan perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa (pasal 129 ayat 3 HIR). Dan ketika perlawanan telah diajukan kepada ketua pengadilan, maka tertundalah pekerjaan menjalankan putusan verstek, kecuali kalau telah diperintahkan bahwa putusan itu dapat dijalankan (uit voerbaar bij voorraad) walaupun ada verzet, banding maupun kasasi (pasal 129 ayat 4 HIR).

2) Perlawanan terhadap Sita

a) Perlawanan terhadap sita jaminan

Perlawanan yang diajukan karena ketidakpuasan dari pihak tergugat maupun pihak ketiga dalam hal ini menjadi pihak yang harus menerima penetapan majelis hakim atas permohonan sita jaminan yang dimohonkan oleh pihak penggugat, perlawanan tersebut diajukan atas dasar bahwa penetapan sita jaminan tersebut tidak pada tempatnya.

commit to user

23

Perlawanan terhadap sita jaminan merupakan hak dari tergugat maupun pihak ketiga untuk mengangkat sita jaminan. Tujuan dari perlawanan terhadap sita jaminan bukan hanya semata-mata untuk mengangkat sita jaminan, tetapi dapat menjadi koreksi suatu penetapan majelis hakim. Bahwa kedudukan pihak tergugat dan penggugat adalah sama dimata hukum, oleh sebab itu perlawanan terhadap sita jaminan bertujuan untuk menjamin hak tergugat.

b) Perlawanan terhadap sita eksekusi

Perlawanan yang timbul dari pihak tereksekusi maupun pihak ketiga atau pihak lain dengan tujuan untuk menangguhkan eksekusi diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan ayat (7) HIR, Pasal 207 dan pasal 208. Pihak-pihak yang menjadi subjek gugatan perlawanan adalah pihak yang terdapat dalam perkara dan pihak yang semula tidak terlibat dalam perkara tersebut yaitu pihak ketiga.

c. Jangka Waktu Pengajuan Perlawanan

Pengajuan terhadap perlawanan perlu diperhatikan dengan seksama oleh tergugat maupun pihak ketiga, karena untuk menentukan berhasilnya perlawanan adalah waktu pengajuan perlawanan. Faktor pengajuan perlawanan memegang peranan penting, sebab apabila pengajuan perlawanan terlambat dilakukan maka perlawanan yang diajukan tidak akan berhasil atau tidak akan diterima.

1) Jangka waktu pengajuan perlawanan terhadap verstek

Tergugat dapat mengajukan verzet atau perlawanan terhadap putusan verstek, menurut ketentuan pasal 129 HIR tergugat yang diputus dengan verstek dapat mengajukan dengan tenggang waktu sebagai berikut: a) Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan diterima tergugat secara pribadi;

b) Jika putusan verstek itu tidak diberitahukan kepada tergugat pribadi, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke-8 (delapan) setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu;

c) Atau apabila tergugat tidak datang menghadap ketika ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8 (pasal 129 ayat 2 HIR, sampai hari ke 14 (pasal 53 ayat 2 RBG sesudah putusan verstek dijalankan;

Dengan diajukan permohonan verzet, perkara diperiksa kembali di pengadilan negeri. Proses pemeriksaan seperti pada pemeriksaan gugatan, yang diatur dalam pasal 129 HIR dengan pemeriksaan biasa.

2) Jangka waktu pengajuan perlawanan terhadap sita jaminan dan sita eksekusi

a) Jangka waktu pengajuan perlawanan terhadap sita jaminan

Keabsahan suatu perlawanan terhadap sita jaminan digantungkan pada faktor waktu, yaitu perlawanan harus diajukan sebelum penetapan yang dilawan belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau belum mempunyai kekuatan untuk di eksekusi. Apabila hal itu terjadi maka perlawanan tersebut berubah menjadi perlawanan terhadap sita eksekusi.

Benda yang akan disita agar dapat diangkat atau masih dalam pensitaan, dengan kata lain bahwa barang tersebut belum dilelang belum dilaksanakan penyerahan kepada pihak yang menang, sehingga masih dalam proses pemeriksaan belum ada putusan yang telah berkekuatan tetap, hal ini diatur dalam pasal 207 dan pasal 208 HIR. b) Jangka waktu pengajuan perlawanan terhadap sita eksekusi

Salah satu syarat agar perlawanan dapat dipertimbangkan sebagai alasan menunda eksekusi, harus dijalankan “sebelum” eksekusi dijalankan. Apabila eksekusi sudah selesai dijalankan, tidak

commit to user

25

ada relevansinya untuk menunda eksekusi (Yahya Harahap, 2009: 314).

Apabila pengajuan perlawanan terhadap sita eksekusi terlambat yaitu setelah benda itu sudah dilelang atau sudah diserahkan kepada pihak yang menang maka perlawanan tersebut tidak akan berhasil dan dinyatakan tidak diterima.

3. Tinjauan Tentang Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) a. Pengertian Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

Perlawanan pihak ketiga atau bantahan dikenal juga dengan istilah derden verzet. Perlawanan pihak ketiga sendiri merupakan perlawanan yang dilakukan oleh orang yang semula bukan pihak yang bersangkutan dalam berperkara dan hanya karena ia merasa berkepentingan, oleh karena ia merasa mengenai barang yang dipersengketakan atau barang yang sedang disita dalam perkara itu sebenarnya bukan kepunyaan dari tergugat, tetapi adalah milik pihak ketiga (M. Nur Rasaid, 2003:62).

Menurut Sudikno Mertokusumo (2002:237) perlawanan pihak ketiga mempunyai arti yaitu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Adapun definisi lain yang disebutkan oleh Moh. Taufik Makarao mengenai bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda yang dipersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/sedang disita atau akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan bahwa benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik tergugat (Moh. Taufik Makarao, 2004:210).

Perlawanan pihak ketiga ini, digunakan oleh pihak ketiga untuk melawan putusan hakim, baik putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maupun perkara yang sedang dalam proses. Dasar hukum yang mengatur tentang perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 228 RBG/208 HIR. Pasal tersebut mengatakan ketentuan pasal diatas berlaku juga, jika orang lain membantah dalam hal pelaksanaan putusan tersebut, karena dikatakannya bahwa barang yang disita tersebut adalah miliknya. Pasal yang dimaksud ketentuan diatas adalah Pasal 207 HIR yang berbunyi, (1) bantahan orang yang berutang tentang pelaksanaan putusan, baik dalam hal yang disita adalah barang yang tidak tetap, maupun dalam hal yang disita barang yang tetap, harus diberitahukan oleh orang yang hendak membantah tersebut, dengan surat atau dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang tersebut pada ayat keenam Pasal 195; jika bantahan itu diberitahukan secara lisan, maka ketua wajib mencatatnya atau menyuruh mencatatnya, (2) kemudian perkara tersebut dihadapkan oleh ketua pada persidangan pengadilan negeri, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil secara patut, (3) bantahan itu tidak dapat menunda pelaksanaan putusan (eksekusi), kecuali jika ketua memberikan perintah supaya hal itu ditangguhkan sampai jatuh putusan pengadilan negeri.

Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap sita jaminan harus benar-benar mempunyai kepentingan untuk meminta diangkatnya sita tersebut, karena sita tersebut merugikan haknya. Seperti penyitaan terhadap barang-barang yang digunakan dan dibutuhkan sehari-hari untuk menjalankan pekerjaan, hal ini diatur dalam Pasal 195 ayat 6 dan 7 HIR yang menegaskan apabila suatu penetapan tersebut dibantah karena penyitaan terhadap

Dalam dokumen Penulisan Hukum ( Skripsi ) (Halaman 26-90)

Dokumen terkait