BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Tentang Sita Jaminan
Undang-undang menyediakan upaya hukum bagi penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti yaitu dengan “penyitaan” (arrest, beslag). Penyitaan ini disebut juga sita conservatoir atau sita jaminan (Pasal 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 RBg). Pengertian sita jaminan sendiri merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan dalam perkara perdata di kemudian hari (H. Riduan Syahrani, 2000:50).
Selain itu menurut (Retnowulan Susantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002:98) sita jaminan mengandung arti yaitu bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari, atas barang-barang milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan lain perkataan bahwa terhadap barang-barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain.
Sita jaminan tidak akan diletakkan oleh hakim apabila tidak ada permohonan tentang sita jaminan dari penggugat. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 178 ayat 3 HIR yang isinya menentukan bahwa “Hakim dilarang akan menjatuhkan putusan atas perkara yang tiada dituntut, atau akan meluluskan lebih daripada yang dituntut”(M. Nur Rasaid, 2003:24). Penyitaan dalam sita jaminan ini bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita, namun hanya disimpan (conserveer) oleh
pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. (http://hukumpedia.com/ index.php?title=Sita_jaminan)
Sita jaminan dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti sebagai pelaksanaan perintah yang dituangkan dalam ketetapan yang dibuat ketua majelis hakim. Jurusita atau penggantinya tersebut wajib membuat berita acara penyitaan yang telah dilaksanakannya dan memberitahukan isinya kepada tergugat (tersita). Dalam melaksanakan penyitaan itu jurusita dibantu oleh 2 (dua) orang saksi yang turut serta menandatangani berita acara (Pasal 65 Undang-undang No.2 Tahun 1986 Jo Undang-Undang No.49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum).
Aturan dasar pengajuan sita jaminan terdapat pada Pasal 226 dan 227 HIR dan tentang tata cara pelaksanaan sita jaminan diatur dalam Pasal 197, 198 dan 199 HIR, yang pada pokoknya adalah : (http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/08/hukum-acara-perdata
penyitaan.html).
1) Jika dalam waktu yang ditentukan pihak yang kalah belum bisa melaksanakan putusan Pengadilan dan apabila sudah dipanggil secara patut tidak memenuhinya maka akan diperintahkan untuk melakukan penyitaan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang menangani perkara tersebut; 2) Penyitaan dijalankan oleh Panitera Pengadilan Negeri;
3) Apabila Panitera berhalangan, ia diganti oleh orang lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri, dalam praktek biasanya dijalankan oleh Panitera luar biasa;
4) Cara penunjukannya cukup dilakukan dengan penyebutan dalam surat perintah, hal ini berarti bahwa sebelum penyitaan dilakukan harus terlebih dahulu ada surat perintah dari Ketua;
commit to user
15
5) Tentang dilakukannya penyitaan harus dibuat berita acaranya dan isi berita acara tersebut harus diberitahukan kepada orang yang disita barangnya, apabila ia hadir;
6) Panitera atau penggantinya dalam melakukan penyitaan harus disertai oleh dua orang saksi, yang nama, pekerjaan dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara itu dan para saksi ikut menandatangani berita acara; 7) Saksi-saksi tersebut harus penduduk Indonesia, biasanya pegawai
Pengadilan, setidak-tidaknya harus sudah dewasa dan harus orang yang dapat dipercaya;
8) Penyitaan boleh dilakukan atas barang-barang yang bergerak yang juga berada di tangan orang lain, akan tetapi hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh berguna bagi yang disita untuk menjalankan pencaharian, tidak boleh disita;
9) Barang-barang yang tidak tetap yang disita itu seluruhnya atau sebagiannya harus dibiarkan berada di tangan orang yang disita atau barang-barang itu dibawa untuk disimpan di tempat yang patut;
10) Dalam hal barang-barang tersebut tetap dibiarkan di tangan orang yang disita, hal itu diberitahukan kepada Pamong desa supaya ikut mengawasi agar jangan sampai barang-barang tersebut dipindah tangankan atau dibawa lari oleh orang tersebut;
11) Terhadap penyitaan barang tetap, maka berita acaranya harus diumumkan, dicatat dalam buku letter C di desa, dicatat dalam buku tanah di Kantor Kadaster dan salinan berita acara dimuat dalam buku yang khusus disediakan untuk maksud itu di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri, dengan menyebut jam, tanggal, hari, bulan dan tahun dilakukannya; 12) Pegawai yang melakukan penyitaan harus memberi perintah kepada
Kepala Desa supaya perihal adanya penyitaan barang yang tidak bergerak itu diumumkan sehingga diketahui khalayak ramai;
13) Sejak berita acara penyitaan diumumkan, pihak yang disita barangnya itu tidak boleh lagi memindahkan, memberatkan atau menyewakan barang tetapnya yang telah disita itu kepada orang lain. Perkataan memberatkan di atas berarti pula memborongkan, menggadaikan, menghipotikkan. b. Macam-Macam Sita Jaminan
Sita jaminan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu sita jaminan terhadap harta milik sendiri (pemohon) dan sita conservatoir atau sita jaminan terhadap barang milik tergugat (debitur). Sita tersebut yaitu (Sophar Maru Hutagalung, 2010:93) :
1) Sita Jaminan terhadap Harta Milik Sendiri
Sita yang ditujukan untuk menjamin hak kebendaan dari pemohon yang merupakan miliknya sendiri, terdiri atas sita revindicatoir dan sita maritaal.
a) Sita revindicatoir (Revindicatoir Beslag/Pasal 226 HIR), adalah sita yang dilakukan oleh pemilik terhadap barang bergerak miliknya yang berada di tangan orang lain (Pasal 1751 dan Pasal 1977 KUH Perdata). Termasuk di dalam pengertian ini adalah hak reklame, yaitu hak dari penjual barang bergerak meminta kembali barangnya yang belum dibayar oleh pembeli.
Menurut M. Nur Rasaid dari penyitaan ini adalah agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung. Akibat hukum dari penyitaan ini ialah bahwa pemohon atau penyita barang tidak menguasai barang yang telah disita, sebaliknya yang terkena sita dilarang untuk mengasingkannya (M. Nur Rasaid, 2003: 24).
b) Sita maritaal, adalah sita yang diajukan oleh seorang istri kepada suaminya dalam gugatan perceraian, ditujukan agar barang yang menjadi objek sita tidak dijual dan tidak jatuh ke tangan pihak
commit to user
17
ketiga. Ini berfungsi melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dengan lawannya. Mengenai sita maritaal yang dimohonkan dalam gugatan perceraian, setelah berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur sangat terbatas sekali yaitu hanya diatur dalam pasal 24 ayat (2) huruf c PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 tahun 1974.
2) Sita Jaminan terhadap Harta Milik Tergugat Atau Sita Conservatoir (Conservatoir Beslag)
Sita ini bertujuan agar barang yang menjadi objek sita jaminan tidak digelapkan atau dialihkan tergugat selam proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat dapat terpenuhi dengan jalan menjual barang yang disita itu (Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBg, atau Pasal 720 Rv). Sita ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksankannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Dengan diletakannya penyitaan ini berarti barang yang disita dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual. Sita ini dapat dibilang hanyalah sebagai tekanan karena tidak jarang terjadi objek sita tidak sampai berakhir dengan penjualan karena debitur memenuhi prestasinya sebelum putusan dilakukan. Adapun yang dapat disita secara conservatoir adalah: a) Barang bergerak milik tergugat ;
b) Barang tetap milik tergugat ; dan
Sekarang ini dalam praktiknya sita conservatoir dapat diterapkan kepada sengketa-sengketa yang timbul dari wanprestasi (Pasal 123 jo. 1247 KUH Perdata) maupun perbuatan melawan hukum/PMH (Pasal 1365 KUH Perdata), termasuk sengketa hak milik atas benda tidak bergerak.
c. Syarat Pengajuan Sita Jaminan
Sesuai dengan Pasal 226 HIR, untuk mengajukan permohonan sita Revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan. Sedangkan perihal syarat-syarat untuk dapat diletakkannya sita jaminan telah diatur dalam Pasal 227 HIR. Ketentuan Pasal 227 HIR tersebut mengandung makna bahwa untuk mengajukan sita jaminan haruslah ada dugaan yang beralasan bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak mempunyai bukti kuat bahwa kekhawatiran tergugat akan mengasingkan barang-barangnya, maka sita jaminan tidak dilakukan. Oleh karena itu, tersita harus didengarkan keterangannya guna mengetahui kebenaran dugaan tersebut (Ayuning Tyas Nilasari, 2011:4).
Menurut Sudikno Mertokusumo syarat tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir) (Sudikno Mertokusumo, 2002:87).
Buku Mahkamah Agung mengenai Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Pengadilan Perdata Umum (2007:80) mencoba mendefinisikan secara lebih konkrit. Untuk mengabulkan sita conservatoir, harus ada sangkaan yang beralasan, bahwa tergugat sedang berupaya untuk
commit to user
19
menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. Disini dapat disimpulkan bahwa permohonan pengajuan sita jaminan lebih diarahkan kepada sedang terjadinya proses pengasingan barang sampai pada ada barang yang hilang.
2. Tinjauan Tentang Perlawanan