• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,dan memberikan usulan-usulan mengenai permasalahan yang telah di bahas dalam penulisan penelitian ini.

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/ jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.1 Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.

Secara umum ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu2 1. Hak untuk mendapatkan keamanan ( the right to safety)

2. Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to informed)

3. Hak untuk memilih ( the right to choose)

4. Hak untuk didengar ( the right to be heard)

1

Az. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Jurnal Teropong, Mei 2003, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia), h. 6-7

2

Empat hak dasar yang diakui secara internasional dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam

The International Organization of Consumer Union ( IOCU ) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.3

Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produksi lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir.4

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus pemakai barang dan atau/ jasa. Istilah “orang” sebetulnya

menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut

naturlike persoon atau termasuk juga badan hukum rechtpersoon. Hal ini

3

Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cet III ,(Jakarta : Sinar Grafika 2011), h. 31

4

Elsi Kartika, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), h. 120

19

berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk ”pelaku usaha” dalam

pasal 1 angka (3), “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi.” Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah

perusahaan, korporasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lainnya. Secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon, dengan menyebutkan kata-kata “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencangkup juga badan usaha dengan makna lebih luas dari pada badan hukum.5

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampaknya berusaha

menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan kata “konsumen”. Untuk itu digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna

lebih luas. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen.6

5

Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 27

6

Pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 yang berarti luas dengan menyatakan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum akan memudahkan konsumen untuk menuntut ganti kerugian, dengan tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik seandainya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam

Directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan ketika ia dirugikan akibat penggunaan produk7

B. Sejarah Lahirnya Perlindungan Konsumen

Pesatnya kemajuan bidang ilmu pengetahuan, pembangunan dan perkembangan perekonomian dunia juga turut mengembangkan pertumbuhan nilai ekonomi Indonesia. Kemajuan teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan jasa hingga melintas batas-batas wilayah suatu negara. Kondisi ini pada satu sisi sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan jasa yang diinginkannya dapat terpenuhi dan semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai dengan keperluannya.

7

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi konsumen di Indonesia, Disertasi, (Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000), h. 31

21

Sisi lain kondisi tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, karena posisi konsumen yang lebih lemah, revolusi industri di Inggris yang dimulai abad ke-18 kiranya dapat dianggap sebagai awal dari proses perubahan pola kehidupan masyarakat yang semula merupakan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Berkembangan dan semakin majunya teknologi kemudian mendorong pula peningkatan volume produksi barang dan jasa. Perkembangan ini juga mengubah hubungan antara penyedia produk dan pemakai produk yang semakin berjarak. Produk barang dan jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin lama semakin canggih, sehingga timbul kesenjangan terhadap kebenaran informasi dan daya tanggap konsumen. Kondisi tersebut kemudian menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah.8

Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal di dunia barat, negara-negara di Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki peraturan tentang perlindungan konsumen sejak lama memiliki peraturan tentang perlindungan konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 39/ 248 Tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi9

8

Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4

9

Erman Rajagukguk, makalah “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, dalam buku Hukum perlindungan Konsumen, penyunting Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Bandung: Mandar Maju, 2000, h.1

a. Pelindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi

d. Pendidikan konsumen

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen

Filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia yaitu pancasila, yang salah satu silanya mengatur mengenai

“Kesejahteraan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, dalam arti memberi

keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tepat kiranya jika grand theory dari pemikiran ini adalah teori keadilan, yang semula dikemukakan oleh filsuf Aristoteles10, karena semula dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat konsumen.11

10

Aristoteles: Justice is a political virtue by the rules of it the state is regulated and these rules the criterion of what right. (Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang hak).

11

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 32

23

Keadilan prosedural yang menghasilkan legal justice, tidak hanya tidak memadai melainkan bisa menjauhkan hukum dari tujuan mulianya sendiri yakni menegakan keadilan bagi semua orang (bukan bagi hukum itu sendiri) dalam masyarakat12. Sebagai negara hukum Indonesia mempunyai keharusan untuk terus menegakan konsep negara hukum itu sendiri dengan menegakan supremacy of law dengan memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi setiap warga negara Indonesia. Sesuai dengan pesan dari para founding father kita yang merumuskan dalam sila kelima

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Pesan yang ingin disampaikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, yaitu Ir.Soekarno, bahwa Pancasila tidak lain merupakan jiwa bangsa, intisari dari peradaban bangsa Indonesia, landasan filsafat, dan

weltanschauung dari bangsa Indonesia.13

Filsuf besar yaitu Plato menulis pada buku yang berjudul Republic. Yang paling pertama diperbincangkan Plato dalam bukunya tersebut adalah masalah makna dari keadilan yang oleh Plato disebutnya dengan istilah Yunani “diskaiosune”. Sebenarnya istilah diskaiosune ini memiliki arti yang lebih luas dari “keadilan”, karena termasuk juga

didalamnya konsep moralitas individual dan moralitas sosial. Menurut Plato, keadilan kepada setiap orang, karena itu konsep diskaiosune

tersebut tersimpul juga makna berbuat kebaikan (doing right). Akan

12

Ahmad Sudiro, Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan Internasional), (Jakarta, raja Grafindo, 2013), h. 133

13

Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Jakarta, Gatra Pustaka), h. 28

tetapi, karena konsep kesenjangan tersebut berbeda-beda bahkan saling bertentangan antara satu warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya, maka konsep keadilan sejatinya tidak lain dari berbagai formula untuk merumuskan kompromi-kompromi.14

C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Didalam suatu peraturan, hal yang paling penting dalam terbentuknya suatu peraturan adalah Asas. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.

Asas dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8

Tahun 1999 menurut pasal 2 berbunyi “Perlindungan Konsumen

berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan

keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Penjelasan dari bunyi

pasal ini, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

14

Munir Fuady, Perlindunagan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung, CV Utomo, 2005), h .17

25

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 asas yaitu15:

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas kesamaan dan keselamatan konsumen

15

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.

Disamping asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah tujuan. Tujuan adalah sasaran. Tujuan adalah cita-cita. Tujuan lebih dari hanya sekedar mimpi yang terwujud. Tujuan adalah pernyataan yang jelas. Tidak akan ada apa yang bakal terjadi dengan sebuah keajaiban tanpa sebuah tujuan yang jelas. Tidak akan ada langkah maju yang segera diambil tanpa menetapkan tujuan yang tegas. Dan salah satu tujuan dalam hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum dalam masyarakat yang bersendikan pada keadilan.

Adapun tujuan perlindungan konsumen pada pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 bertujuan untuk: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

27

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

Semua yang menjadi landasan dasar dari lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada hakikatnya telah memberikan kesetaraan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha, tetapi konsep perlindungan konsumen sebagai suatu kebutuhan harus senantiasa disosialisasikan untuk menciptakan hubungan konsumen dan pelaku usaha dengan prinsip kesejahteraan yang berkeadilan, dan untuk mengimbangi kegiatan pelaku usaha yang menjalankan prinsip ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin yang dapat merugikan kepentingan konsumen, langsung maupun tidak langsung.

D. Perkembangan Pengaturan Perlindungan Konsumen

Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk eksport-import dan penanaman modal. Kini transaksi bisnis menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, dan lain-lain globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati

batas-batas negara, meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi ekonomi.16

Globalisasi adalah gerakan perluasan pasar, dan di semua pasar yang berdasarkan persaingan, selalu ada yang menang dan kalah. Perdagangan bebas juga menambah kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang, yang akan membawa akibat pada komposisi masyarakat dan kondisi kehidupan mereka. Tiadanya perlindungan konsumen adalah sebagian dari gejala negeri yang kalah dalam perdagangan bebas.17

Makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Untuk mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.

16

Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4

17

29

Dalam sambutannya Guru Besar Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk18 menjelaskan bahwa di Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan dapat dilaksanakan dalam waktu bersamaan, apabila kita ingin tiga tingkat pembangunan dijalani secara serentak, budaya hukum Indonesia harus dapat mengakomodasi tujuan-tujuan yang demikian itu. Kita harus memiliki hukum, institusi hukum dan profesi hukum, yang mampu menjaga integrasi dan persatuan nasional, dapat mendorong pertumbuhan perdagangan dan industri, serta berfungsi memajukan keadilan sosial, kesejahteraan manusia, pembagian yang adil atas hak dan keistimewaan, tugas dan beban. Persatuan nasional, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial mesti dapat tercermin dalam setiap pengambilan keputusan.

Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan pembaruan hukum, institusi hukum, dan profesi hukum. Pembangunan yang komperhensif harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, keduanya tidak dalam posisi yang berlawanan dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi bertambah penting karena bangsa kita berada dalam era globalisasi, artinya harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni

18

Erman Rajagukguk, Peran Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, pidato pengukuhan jabatan Guru besar UI, 4 januari 1997, dalam buku nyanyi sunyi kemerdekaan Erman Rajagukguk (Tetes-Tetes pemikiran 1971-2006), Jakarta: Fakultas Hukum UI, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006, h. 158

dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat (nongoverment organization) yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), setelah YLKI kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International (CI). Di luar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI diberbagai provinsi ditanah air.19

YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi, yang semula justru bertujuan mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang bernama Pekan Swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini dituangkan dalam anggaran dasar yayasan dihadapan notaris G.H.S. Loemban Tobing, S.H. dengan akta nomor 26, 11 Mei 1973.20

Didalam segala aktifitasnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bertindak dalam kepastianya selaku perwakilan konsumen, keberadaan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atsa hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian,

19

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,h. 40-43

20

31

penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.

Diluar pengadilan umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha diluar peradilan, berdasarkan pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No Tahun 1999

“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa atara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan

umum”. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah

Pengadilan khusus konsumen (Small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. Mekanisme gugatan dilakukan secara sukarela dan kedua belah pihak yang bersengketa, hal ini berlaku untuk gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan melalui peradilan umum. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan. Putusan dari BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan dengan

hukum yang berlaku.21 Dalam UUPK Bab XI- Bab XIII membahas secara khusus dari pasal 49-63 tentang segala macam aturan dari BPSK.

21

Mariam Gaharpun, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Korban Atas Tindakan Pelaku Usaha, (Jurnal Yustika, Vol.3 No. 1 Juli 2000), h. 43

BAB III

PRAKTEK BISNIS PERUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2011

A. Tinjauan Umum Bisnis Perumahan

Mengingat makin tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, kebutuhan akan perumahan semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini dapat kita lihat dengan makin banyaknya perumahan baru yang bermunculnya di wilayah baik yang sedang berkembang atau telah mengalami kemajuan yang pesat. Rumusan mengenai pengertian perumahan sendiri pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

Dalam banyak istilah rumah lebih digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat fisik atau bangunan untuk tempat tinggal / bangunan pada umumnya (seperti gedung dan sebagainya). Jika ditinjau secara lebih dalam rumah tidak sekedar bangunan melainkan konteks sosial dari kehidupan keluarga dimana manusia saling mencintai dan berbagi dengan orang-orang terdekatnya.1

Dalam pandangan ini rumah lebih merupakan suatu sistem sosial ketimbang sistem fisik. Hal ini disebabkan karena rumah berkaitan erat

1

dengan manusia, yang memiliki tradisi sosial, perilaku dan keinginan-keinginan yang berbeda dan selalu bersifat dinamis, karenanya rumah bersifat kompleks dalam mengakomodasi konsep dalam diri manusia dan kehidupannya. Beberapa konsep tentang rumah:

1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri; rumah sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya

2. Rumah sebagai wadah keakraban ; rasa memiliki, rasa kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman

3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi ; tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan, dari dunia rutin 4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan; rumah merupakan tempat

kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam untaian proses ke masa depan

5. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari 6. Rumah sebagai pusat jaringan sosial

7. Rumah sebagai struktur fisik.2

Tingginya pertumbuhan penduduk kota-kota di Indonesia berasal dari pergeseran konsentrasi dari desa ke kota, hal ini menunjukan kecenderungan yang tinggi tumbuhnya kota-kota di Indonesia. Sayangnya terjadi keadaan yang tidak sesuai antara tingkat kemampuan dengan kebutuhan sumber daya manusia untuk lapangan kerja yang ada diperkotaan, mengakibatan timbulnya kelas sosial didalam masyarakat.

2

Hendrawan, Pembangunan Perumahan Berwawasan Lingkungan, (Rineke Cipta, Jakarta, 2004), h. 54

35

Berbagai program pengadaan perumahan telah dilakukan oleh pemerintah dan swasta (real estat), tetapi apa yang dilakukan masih belum mencukupi, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari segi jumlah ternyata pemerintah dan swasta hanya mampu menyediakan lebih kurang 10% saja dari kebutuhan rumah, sementara sisanya dibangun sendiri oleh

Dokumen terkait