• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan penutup yang menguraikan secara singkat kesimpulan dari pembahasan dan saran-saran yang ditujukan pada pihak-pihak terkait dengan permasalahan yang diteliti ini.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum a. Pengertian Hukum

Istilah “hukum” memiliki makna yang luas. Hampir semua Sarjana Hukum memberikan batasan pengertian hukum yang berlainan. Berikut ini merupakan definisi hukum dari beberapa Sarjana Hukum, antara lain : 1) Utrecht

Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (Titik Triwulan Tutik, 2006 : 27).

2) Mochtar Kusumaatmadja

Hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masayarakat yang bertujuan memelihara ketertiban juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat (Titik Triwulan Tutik, 2006 : 33).

3) Prof. Soedikno Mertokusumo

Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi (Soedikno Mertokusumo, 1991 : 24).

Dari beberapa perumusan pengertian hukum tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum mengandung beberapa unsur, yaitu: 1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia

2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib 3) Bersifat memaksa

commit to user

4) Mempunyai sanksi yang tegas

Hukum dapat berupa perintah dan larangan yang harus dipatuhi setiap orang. Bentuk dari hukum bisa tertulis seperti peraturan perundang-undangan dan tidak tertulis seperti hukum adat.

Keanekaragaman masyarakat dengan segala jenis hubungan dan kepentingan di dalamnya memerlukan suatu peraturan sendiri agar tidak terjadi kekacauan. Hukum di sini bertujuan untuk menjamin keseimbangan dalam hubungan antara anggota masyarakat.

b. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan dengan manusia lain (Soedikno Mertokusumo, 1991: 9).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, ”perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang atau lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada”.

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

2) Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. (Philipus M. Hadjon, 1987 : 2)

commit to user

Perlindungan hukum akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Peran manusia sebagai subjek hukum berlangsung selama masa hidupnya, dimulai sejak dalam kandungan dan berakhir ketika ia meninggal dunia.

c. Perlindungan Hukum Pekerja Anak

Anak merupakan tunas bangsa yang memiliki segudang potensi dan merupakan generasi muda yang diharapkan menjadi penerus cita-cita bangsa. Ia memiliki peran strategis dan ciri serta sifat khusus yang kelak akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, patut kiranya anak memperoleh perhatian khusus dengan upaya memberikan perlindungan kepadanya. Namun, bersamaan dengan tingginya angka kemiskinan di Indonesia, didukung dengan kondisi ekonomi keluarga, anak dituntut untuk membantu orang tua dan keluarganya sehingga anak terpaksa harus menjadi pekerja. Namun, dikhawatirkan hal ini dapat menjadi gaya hidup anak masa kini yang dianggap wajar bagi lingkungannya, tanpa memperhitungkan resiko mereka yang telah terperangkap dalam eksploitasi fisik.

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan perangkat yang ampuh dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak di Indonesia. Undang-Undang ini dibuat berdasarkan empat prinsip Konvensi Hak Anak:

1) non diskriminasi;

2) kepentingan yang terbaik bagi anak;

commit to user

4) penghargaan terhadap pendapat anak (Lilik HS, 2006 : 55).

Bentuk-bentuk perlindungan anak di Indonesia:

1) Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi bidang hukum publik atau pidana dan bidang hukum perdata

Perlindungan anak dalam perkara pidana dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan perlindungan hukum di bidang perdata antara lain meliputi:

a) hak dan kewajiban anak, orang tua, pemerintah dan masyarakat terhadap anak;

b) pemberian identitas anak dengan pencatatan kelahirannya; c) pencabutan kekuasaan pada orang tua atau kuasa asuh yang lalai; d) pengasuhan dan pengangkatan anak serta perwalian;

e) perlindungan anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial anak.

2) Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, kesehatan dan pendidikan.

( http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2109742-bentuk-bentuk-perlindungan-anak-di/, diakses pada tanggal 19 April 2011). 2. Tinjauan Umum tentang Pekerja Anak

a. Pengertian Anak

Tidak sedikit peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang anak. Akibatnya, terjadi pluralisme hukum terhadap kriteria anak di Indonesia. Berikut ini disebutkan definisi anak berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya, yaitu: 1) Hukum Pidana

Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mendefinisikan anak yang belum dewasa ialah apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, ketika ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan

commit to user

kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2) Hukum Perdata

Berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

3) Undang-Undang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 tahun. 4) Undang-Undang Perkawinan

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun (enam belas) tahun”. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. 5) Undang-Undang Perlindungan Anak

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

commit to user

Berdasarkan Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dirumuskan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.

7) Undang-Undang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Perbedaan kriteria anak ini berdampak pada sulitnya menentukan usia seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai anak. Terlebih lagi jika tidak mempunyai akta kelahiran. Ciri-ciri lahiriah terkadang tidak menjamin seseorang tersebut masih anak-anak atau sudah dewasa.

Sebenarnya, untuk memastikan usia anak dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan pengakuan atau wawancara dengan pekerja tersebut. Pengakuan bisa didapat dari pekerja yang bersangkutan, pemeriksaan dokumen mengenai data diri pekerja maupun dari orang tua/wali dari pekerja tersebut. Wawancara juga bisa dilakukan terhadap orang tua, saudara, teman, tetangga, atau pihak terkait lainnya.

Hendaknya penggunaan peraturan yang ada disesuaikan dengan kasus yang dihadapi, sehingga tidak menimbulkan kerancuan kebijakan. Sebagai contoh untuk masalah anak yang berperkara menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sedangkan untuk kasus anak sebagai tenaga kerja menggunakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, penulis membatasi pengertian anak dalam penulisan ini adalah di bawah 18 (delapan belas) tahun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Pengertian Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja

commit to user

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pada perkembangannya, kriteria pekerja tidak hanya terdapat pada orang dewasa. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang kurang mendukung menjadikan seorang anak untuk turut serta memikul beban hidup keluarga. Keterlibatan anak dalam melakukan pekerjaan ini dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu anak yang bekerja dan pekerja anak.

1) Anak yang Bekerja

Anak yang bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab. Misalnya anak yang mengerjakan tugas kecil di sekitar rumah atau yang mengerjakan pekerjaan dalam jumlah sedikit sepulang sekolah. Anak yang bekerja cenderung melakukan pekerjaan yang wajar dilakukan untuk tingkat perkembangan anak seusianya dan yang memungkinkan anak memperoleh keterampilan praktis serta mengembangkan tanggung jawab. sebagai proses sosialisasi dan perkembangannya menuju dunia kerja.

Indikator anak membantu melakukan pekerjaan ringan adalah: a) Anak membantu orang tua untuk melakukan pekerjaan ringan b) Ada unsur pendidikan atau pelatihan

c) Anak tetap bersekolah

d) Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif pendek e) Terjaga keselamatan dan kesehatannya

(Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:10). 2) Pekerja Anak

Anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain:

a) Anak bekerja setiap hari b) Anak tereksploitasi

commit to user

c) Anak bekerja pada waktu yang panjang d) Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah

(Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:10).

Pekerja anak bukanlah anak yang mengerjakan tugas kecil di sekitar rumah atau yang mengerjakan pekerjaan dalam jumlah sedikit sepulang sekolah. Pekerja anak juga tidak mencakup anak yang melakukan pekerjaan yang wajar dilakukan untuk tingkat perkembangan anak seusianya dan yang memungkinkan anak memperoleh keterampilan praktis serta mengembangkan tanggung jawab.

c. Bentuk-Bentuk Pekerjaan Anak

Pekerja anak adalah semua anak yang bekerja pada pekerjaan yang mengganggu proses kehidupan kanak-kanak mereka dan karena itu harus dihentikan. Berikut ini adalah beberapa bentuk pekerjaan yang diketahui banyak dikerjakan oleh sejumlah besar pekerja anak:

1) Pekerjaan di bidang pertanian

Sejumlah besar anak bekerja di pertanian dan perikanan. Anak-anak ini mulai bekerja sejak usia dini dan jam kerja mereka lebih panjang daripada jam kerja anak-anak di perkotaan. Anak-anak sering kali dijumpai sedang bekerja di ladang milik keluarga atau lahan sewaan. Tak jarang satu keluarga, termasuk anak-anak, dipekerjakan sebagai satu unit oleh perusahaan pertanian.

2) Pekerjaan rumah tangga

Bentuk pekerja anak ini sangat umum dijumpai di Indonesia dan banyak orang menganggapnya sebagai suatu hal yang dapat diterima. Pekerjaan rumah tangga dapat dikerjakan anak di rumah orangtuanya seperti membersihkan rumah, memasak dan menjaga adik-adiknya. Masalah timbul ketika pekerjaan itu dilakukan di rumah tangga orang lain. Pekerja anak di sektor ini diharuskan bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, tanpa diberi kesempatan untuk bersekolah dan

commit to user

dalam keadaan terkucil dari orang tua dan teman-temannya. Mereka juga berisiko dianiaya secara badani maupun seksual oleh majikannya. 3) Pekerjaan di tambang dan galian

Pekerja anak juga digunakan dalam pertambangan skala kecil di Indonesia dan di banyak negara lainnya. Mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang tanpa diberi alat pelindung, pakaian kerja atau pelatihan yang memadai, dan harus menghadapi tingkat kelembaban tinggi dan suhu ekstrem. Pekerja anak di pertambangan berisiko menderita cedera otot karena ketegangan yang berlebihan pada otot sewaktu berusaha menarik, membawa atau mengangkat barang berat, kelelahan/kehabisan tenaga dan gangguan otot serta tulang, dan berisiko menderita cedera yang serius karena tertimpa benda jatuh. 4) Pekerjaan dalam proses manufaktur

Pekerjaan manufaktur adalah pekerjaan pengolahan untuk membuat atau menghasilkan suatu produk. Beberapa anak ada yang dipekerjakan secara tetap atau hanya dipekerjakan dan diberhentikan menurut kebutuhan, secara legal atau ilegal, baik sebagai bagian dari usaha orang tuanya/keluarganya maupun orang lain. Jenis-jenis pekerjaan seperti ini antara lain meliputi pekerjaan mengasah batu permata, membuat pakaian dan alas kaki, kuningan, kaca, kembang api, dan korek api. Pembuatan produk-produk tersebut dapat membuat anak-anak terkena bahan-bahan kimia berbahaya, terpaksa harus berada di ruangan yang pengap karena ventilasinya buruk, berisiko terkena kebakaran, dan ledakan, keracunan, mendapat penyakit pernafasan, menderita luka tergores, menderita luka bakar dan bahkan menyebabkan kematian.

5) Perbudakan dan kerja paksa

Kerja paksa paling banyak dijumpai di daerah-daerah pedesaan karena dapat dengan lebih mudah disembunyikan sehingga tidak diketahui oleh pihak berwajib serta tidak sampai tersiar keluar hingga menarik perhatian masyarakat. Kerja paksa juga kadang-kadang

commit to user

dikaitkan dengan penindasan etnis kaum minoritas dan penduduk pribumi.

6) Pekerjaan dalam perekonomian informal

Pekerjaan informal banyak dilakukan di jalanan. Anak yang disuruh mengerjakannya hanya dibekali dengan perlengkapan minim, misalnya, pekerjaan mengangkut beban di tempat konstruksi dan di pembuatan batu bata, menyemir sepatu, mengemis, menarik becak, menjadi kernet angkutan kota, berjualan koran, menjadi tukang sampah, dan memulung

(International Labour Organization-International Programme on the Elimination, 2009:8).

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI memklasifikasikan bentuk pekerjaan menjadi 2 (dua) macam, yaitu bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak dan bentuk pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk anak (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:15). 1) Bentuk Pekerjaan yang Diperbolehkan untuk Anak

Pada prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi dan kepentingan tertentu anak diperbolehkan bekerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. International Labour Organization (ILO) mengklasifikasikan jenis pekerjaan menjadi pekerjaan ringan, yaitu pekerjaan yang tidak berbahaya bagi anak, tidak mengganggu jam sekolah, jam-jam kerja tidak panjang, dan pekerjaan berbahaya yaitu pekerjaan yang berdasar sifat atau kondisinya dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan anak.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bentuk-bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak diklasifikaskan dalam:

a) Pekerjaan ringan, dengan ketentuan anak berusia 13-15 tahun melakukan pekerjaan yang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.

commit to user

b) Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan atau pemagangan, dengan syarat usia anak minimal 14 tahun dan harus diberi petunjuk yang jelas tentang tata cara pekerjaandan mendapat bimbingan serta pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan, serta harus diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

c) Pekerjaan untuk mengembangkan minat dan bakat, selama dikerjakan dan diminati anak sejak usia dini, berdasarkan kemampuan anak dan menambah kreativitas serta sesuai dengan dunia anak.

2) Bentuk Pekerjaan yang Tidak Diperbolehkan untuk Anak

Banyak anak yang terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya misalnya di bidang konstruksi, pertambangan, penggalian, penyelaman di laut dalam. Terkadang juga dijumpai jenis pekerjaan yang selintas tidak berbahaya, namun sebenarnya tergolong berbahaya bagi anak karena akibatnya akan terasa beberapa waktu yang akan datang misalnya bekerja di tempat kerja yang sempit, penerangan yang minim, posisi kerja duduk di lantai, atau menggunakan peralatan kerja yang besar dan berat melebihi ukuran tubuhnya. Pekerjaan yang berbahaya tersebut digolongkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak.

Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak merupakan bentuk pekerjaan yang diyakini, jika dikerjakan oleh seorang anak, akan berpengaruh sangat buruk terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, sosial dan intelektualnya. Untuk itu pemerintah telah melakukan perlindungan terhadap pekerja anak melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Bentuk Pekerjaan terburuk untuk anak menurut Pasal 74 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003, meliputi:

commit to user

b) Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian.

c) Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika , psikotropika dan zat adiktif lainnya.

d) Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

3. Tinjauan Umum tentang Hak-Hak Anak di Indonesia

Negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaan hak asasi manusia, tak terkecuali hak anak. Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya diperoleh seorang anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya (Zulkhair dan Soeaidy, 2001 : 4).

Penekanan tentang hak anak telah dirumuskannya dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

a. Undang-Undang Dasar 1945

Hak asasi anak yang paling mendasar adalah hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada amandemen II pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, yaitu sebagai berikut:

commit to user

Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2) Hak atas Pelayanan

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3) Hak atas Pemeliharaan dan Perlindungan

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, dari segala aspek kehidupan yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

4) Hak Diberi Pelayanan dan Asuhan

Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan mendorong mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.

5) Hak Memperoleh Pelayanan Khusus

Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dari kesanggupannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. 6) Hak Mendapat Bantuan dan Pelayanan

Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendidikan dan kedudukan sosial.

c. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990

Hak anak pertama kali dinyatakan pada tahun 1923 oleh seorang tokoh perempuan bernama Eglantyne Jebb, yang kemudian disahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebagai pernyataan hak anak. Ia membuat 10 pernyataan hak-hak anak, yaitu hak atas persamaan, kesehatan, rekreasi,

commit to user

bermain, nama, makanan, kebangsaan, lingkungan, pendidikan dan peran dalam pembangunan. Pada tahun 1959 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengumumkan pernyataan hak-hak anak ini. Selain itu, pada tahun 1979 diputuskan adanya Hari Anak Internasional. Dan pada tanggal 20 November PBB mengesahkan Konvensi Hak Anak (Child Right Convention), dilanjutkan peratifikasian oleh Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 adalah sebagai berikut :

1) Hak Hidup ( Survival Rights), yang meliputi: a) Anak mempunyai hak untuk hidup (Pasal 6);

b) Hak atas kehidupan yang layak terkait kesehatan dan pelayanan kesehatan (Pasal 24).

2) Hak Mendapatkan Perlindungan (Protection Right), yang meliputi: a) Larangan diskriminasi anak

(1) Nondiskriminasi terhadap anak (Pasal 2);

(2) Hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan (Pasal 7); (3) Hak anak cacat (Pasal 23);

(4) Hak anak kelompok minoritas (Pasal 30). b) Larangan eksploitasi anak

(1) Hak berkumpul dengan orang tua (Pasal 10);

(2) Kewajiban negara mencegah atau mengatasi penculikan (Pasal 11);

(3) Hak memperoleh perlindungan khusus bagi anak yang kehilangan keluarga (Pasal 20);

(4) Adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan anak (Pasal 21); (5) Peninjauan periodik atas anak yang ditempatkan dalam

pengasuhan negara karena alasan pengawasan, perlindungan dan penyembuhan (Pasal 25);

(6) Hak anak atas perlindungan dari pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak (Pasal 32);

commit to user

(7) Hak anak atas perlindungan penyalahgunaan obat bius dan narkotika, baik dalam proses produksi maupun distribusi

Dokumen terkait