• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan oleh penulis.

15 A. Asuransi Syariah

1. Pengertian Asuransi

Kata asuransi berasal dari bahasa belanda, assurantie, yang dalam hukum belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian muncul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geasuradeur bagi tertanggung.15

Asuransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya pertanggungan, perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat.16

Pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang

15

KH Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Syariat Islam, Menggagas Fiqh Sosial, Penerbit Mizan Bandung, 1994, hal. 205-206.

16

didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.17

Menurut KUHD 246, yaitu asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.18

Sedangkan menurut Abdullah Amrin, Asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada perekonomian dengan cara menggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko yang sama atau hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas kerugiannya dapat diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan dibagi secara proporsional oleh semua pihak dalam gabungan itu.19 2. Pengertian Asuransi Syariah

Asuransi dalam bahasa Arab disebut at-ta’min, penanggung disebut

mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau

musta’min. At-ta’min diambil dari kata amana memiliki arti memberi

perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.20

Asuransi syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta asuransi mendonasikan atau menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang

17

Undang-undang No. 2/1992, pasal 1.

18

Kitab Undang-undang Hukum Dagang, pasal 246.

19

Abdullah Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah ditinjau dari Perbandingan dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011) h. 45.

20

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life And General) Konsep Dan Operasional (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),hal.28

akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Peranan perusahaan disini sebatas pengelola operasional perusahaan serta investasi dari dana-dana yang diberikan kepada perusahaan.21

Secara baku, definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2014 tentang asuransi syariah yang berarti kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi.22 Dan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi syariah yaitu usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau Tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah).23

Asuransi syariah merupakan salah satu lembaga keuangan syariah non bank. Asuransi syariah juga memiliki kesamaan fungsi dengan lembaga keuangan syariah non bank lainnya, yakni untuk memperoleh

21Dian Astria,”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laba (Studi PT Takaful Keluarga)”, (Skripsi S1 Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009), hal. 24-25

22

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian.

23

Fatwa Dewan Syariah Nasional no.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang pedoman umum asuransi syariah.

keuntungan dari hasil investasi dana yang dikumpulkan dari peserta asuransi. cara pembagian keuntungan pengelolaan dana peserta asuransi dilakukan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Dalam hal ini perusahaan asuransi bertindak sebagai pihak pengelola dana yang menerima pembayaran dari peserta asuransi untuk dikelola dan diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah (bagi hasil). Sedangkan peserta asuransi bertindak sebagai pemilik dana yang akan memperoleh manfaat jasa perlindungan, penjaminan dan bagi hasil dari perusahaan asuransi.24

Asuransi syariah dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung dan tertanggung. Dengan demikian, gagasan mengenai Asuransi Syariah berkaitan dengan unsur saling menanggung risiko di antara para peserta asuransi, dimana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.25 Sedangkan perusahaan Asuransi Syariah hanya bertindak sebagai fasilitator saling menanggung antara para peserta asuransi.26 Hal tersebutlah salah satu yang membedakan antara Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional, dimana dalam asuransi konvensional perusahaan sebagai penanggung risiko peserta asuransi.

24

Hendi Suhendi, Deni K. Yusup, Asuransi Takaful dari Teoritis ke Praktis, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), hal.9

25

Rahmat Husein, Asuransi Takaful Selayang Pandang dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta, 1997, hal. 234

26

Juhaya S. Praja, Asuransi Takaful, (artikel dikeluarkan oleh PT Syarikat takaful Indonesia)

Beberapa definisi asuransi di atas, baik dari segi bahasa maupun istilah, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi syariah peserta asuransi dengan peserta asuransi yang lainnya saling tolong menolong jika salah satu peserta mengalami musibah, sedangkan perusahaan hanya sebagai pengelola keikutsertaannya antar peserta tersebut dengan mendapatkan ujrah dari pengelolaannya.

3. Pengertian Usaha Asuransi Umum Syariah

Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang pas karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.27 4. Pengertian Usaha Asuransi Jiwa Syariah

Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.28

27

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

28

5. Landasan Hukum Asuransi Syariah

Dasar hukum asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah. Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum.29

1. Al-Qur’an

Ayat Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas istilah asuransi seperti “al-ta’min” ataupun “at-takaful”. Namun terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang konsep asuransi dan memiliki nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi. diantara ayat-ayat

Al-Qur’an tesebut antara lain:

1) Perintah Allah mempersiapkan hari esok Q.S. Al-Hasyr (59): 18

ۚ َللهٱ ۟اىُقَتّٱَو ۖ ٍدَغِل ْتَمَدَق اَم ٌسْفَن ْرُظنَتْلَو َللهٱ ۟اىُقَتّٱ ۟اىُنَماَء َنيِذَلٱ اَهُيَأَٰٓي

َنّىُلَمْعَتّ اَمِب ٌۢريِبَخ َللهٱ َنِّإ

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada

Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha megetahui apa yang kamu kerjakan. “

29

AM. Hasan Ali, MA, Asuransi dalam Persepektif Hukum Islam Suatu Teori Analisis Historis Teoritis dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 104

2) Perintah Allah saling tolong menolong Q.S. Al-Maidah (5): 2

ُنَواَعَتّ اَلَو ۖ ٰيَىْقَتلٱَو ِرِبْلٱ ًَلَع ۟اىُنَواَعَتَّو

ْدُعْلٱَو ِمْثِإْلٱ ًَلَع ۟اى

ۚ ِنَّٰو

َللهٱ َنِّإ ۖ َللهٱ ۟اىُقَتّٱَو

ِ اَقِعْلٱ ُديِدَد

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,

sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

3) Perintah Allah untuk saling melindungi dalam keadaan susah Q.S. Al-Quraisy (106): 4

ٍۭفْىَخ ْنِم مُهَنَماَءَو ٍعىُج نِم مُهَمَعْطَأ ٓيِذَلٱ

Artinya : “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

2. Sunnah Rasul

Dalam praktek asuransi syariah baik yang bersifat mutual maupun bukan, pada prinsipnya para peserta bertujuan untuk saling bertanggung jawab. Hal ini dapat kita lihat dalam hadits Nabi berikut.30

“Setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dibawah

tanggung jawab kamu.” (HR Bukhari dan Muslim)

30

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life And General) Konsep Dan Operasional (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), H.88-90

Kemudian hadist Nabi yang memerintahkan untuk saling melindungi sebagai berikut

“Sesungguhnya orang yang beriman ialah barang siapa yang memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa

manusia.” (HR Ibnu Majah)

3. Pendapat Ulama yang Mengharamkan Asuransi

Ibnu Abidin, Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa asuransi adalah haram, karena uang setoran peserta (premi) tersebut adalah iltizam ma lam yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib).

Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa asuransi adalah haram karena mengandung riba, beliau melihat riba terebut dalam pengelolaan dana asuransi dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis. 31 Dan masih banyak lagi ulama yang mengatakan bahwa asuransi tidak dibolehkan.

4. Pendapat Ulama yang Membolehkan Asuransi Syariah

Syaikh Abdur Rohman Isa adalah salah seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar. Dengan tegas ia menyatakan bahwa asuransi merupakan praktek muamalah gaya baru yang belum dijumpai imam-imam terdahulu, dengan demikian juga para sahabat Nabi. Pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Ulama telah menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum

31

Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, (Zikrul Hakim: Jakarta) 2008 hal. 100

syara’ patut diamalkan. Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka halal menurut syara’.32

Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo). Mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali hanya sebesar premi yang pernah dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi, sesuai yang tercantum

dalam polis, dan ini halal menurut syara’.33

Syaikh Muhammad Ahmad, MA, LLB, Sarjana dan pakar ekonomi Pakistan. Memperbolehkan asuransi jiwa dan asuransi lainnya dengan alasan sebagai berikut, (1) persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal kepada Allah, (2) di dalam asuransi tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan, (3) tujuan asuransi adalah kerja sama dan tolong-menolong.34

32

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General). Hal. 71

33

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General). Hal. 72

34

Asuransi syaiah dalam operasionalnya diatur oleh regulasi dalam bentuk keputusan menteri keuangan (KMK). Kerangka acuan asuransi syariah dalam operasionalnya antara lain.35:

a. Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/IX/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Operasional Asuransi Syariah.

b. Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. c. Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad

Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.

d. Fatwa DSN-MUI No. 53/DSN-MUI/IV/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.

e. Peraturan Mentri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah.

f. Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha Dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi.

g. Peraturan Mentri Keuangan (PMK) Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah.

h. Keputusan direktur jendral lembaga keuangan nomor kep.4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian Dan Pembatasan

35

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006)., cet.3 hal 142-143.

Investasi Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan System Syariah.

6. Mekanisme Operasional Dana Asuransi Syariah

Kedudukan perusahaan Asuransi Syariah dalam transaksi Asuransi Syariah, adalah sebagai mudharib (pemegang amanah). Asuransi syariah menginvestasikan dana tabarru’ yang terkumpul dari kontribusi peserta, kepada instrument investasi yang dibenarkan oleh syara’. Dalam mengelola dana peserta yang terkumpul pada kumpulan dana tabarru’,

mudharib diawasi secara teknis dan operasional oleh komisaris dan secara

syar’i diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah.36

Dana kontribusi peserta ketika masuk ke perusahaan asuransi syariah terbagi menjadi dua bagian dana tabarru’ dan ujrah. Kegiatan operasional perusahaan asuransi syariah dibiayai dari hasil perolehan ujrah atas seberapa besar ujrah yang diperoleh perusahaan untuk menutup seluruh biaya operasional yang telah dikeluarkan dalam kurun wantu tertentu.37. Dana tabaruu’ yang terhimpun dari para peserta akan diinvestasikan pada bidang-bidang investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Hasil investasi yang diperoleh akan dibagihasikan sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan.38 Kemudian ketika terjadi klaim, perusahaan

36

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life And General) Konsep Dan Operasional (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), H.249

37 Sugeng Soedibjo & Rachmafitriati “Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariah Untuk Mencapai Titik Impas dengan Pendekatan Medel Profit Testing” (Jurnal: Bisnis & Birokrasi, Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei –Agustus 2009 hal. 33

38Sugeng Soedibjo & Rachmafitriati “Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariah Untuk Mencapai Titik Impas dengan Pendekatan Medel Profit Testing” hal. 34.

tidak mengeluarkan dana apa pun dari kas perusahaan karena penggantian klaim diambil dari dana tabungan peserta (tabarru’).39

Perusahaan asuransi syariah memiliki biaya-biaya opersional yang

disebut sebagai “beban asuransi”. Beban yang ada pada perusahaan

asuransi kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Beban klaim yang terdiri dari : klaim bruto, klaim reasuransi, estimasi kenaikan (penurunan) kalam retensi sendiri.

b. Beban komisi, adalah pengeluaran untuk membayar komisi perantara baik itu agen ataupun broker asuransi.

c. Beban usaha adalah pengeluaran perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.

d. Beban lain-lain adalah keseluruhan beban yang digunakan untuk mengelola usaha diluar beban klaim, beban komisi, dan beban usaha.

Kumpulan dana tabarru’ dan hasil investasi dikurangi dengan beban asuransi jika masih tersisa dalam jangka waktu yang ditentukan maka sudah sepatutnya perusahaan mengalami surplus underwriting.

B. Fatwa Dewan Syariah Nasional

Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara struktural berada dibawah MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi

39

Ah. Azharuddin Lathif, Kompilasi Bahan Kuliah Hukum Perjanjian Asuransi Syariah (Jakarta: FSH, 2012), hal. 40.

syariah, baik yang berhubungan langsung dengan lembaga keuangan syariah ataupun lainnya. Pada prinsipnya, pendirian DSN-MUI dimaksud sebagai usaha untuk efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan keuangan, selain itu DSN-MUI juga diharapkan dapat berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai prinsip ajaran islam dalam kehidupa ekonomi. 40

1. Kedudukan Fatwa DSN

Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa dikalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid. Kedudukan fatwa bagi kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.41

Otoritas fatwa tentang ekonomi syariah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syariah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syariah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syariah Nasional melibatkan

40RM Priyo Handoko. “Peran DSN” artikel diakses pada 13 Agustus 2015 pukul 11.00 WIB dari http://www.rmpriyohandoko.com/blog/2013/01/14/peran-dewan-syariah-nasional-majelis-ulama-indonesia-dalam-perbankan-syariah/

41Agustianto sekjen DPP IAEI.”Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia” artikel diakses pada 13 Agustus 2015 pukul 11.10 WIB dari http://ekisopini.blogspot.com/2010/01/fatwa-ekonomi-syariah-di-indonesia.html

pula Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syariah dari Bank Indonesia.42

2. Tugas dan Wewenang43 a. Tugas

1) Tugas DSN yaitu menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonimian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi, dan reksadana.

2) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. b. Wewenang

1) Mengeluarkan fatwa mengikat DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. 2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi

ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang seperti Departemen Keuangan dan BI.

3) Memberikan rekomendasi dan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah.

4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam dan luar negeri.

42Agustianto sekjen DPP IAEI.”Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia” artikel diakses pada 13 Agustus 2015 pukul 11.20 WIB dari http://ekisopini.blogspot.com/2010/01/fatwa-ekonomi-syariah-di-indonesia.html

43

DSN. “sekilas tentang DSN” artikel diakses pada 13 Agustus 2015 pukul 11.00 WIB dari http://www.dsnmui.or.id/index.php?page=sekilas

5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.

6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak ditindakkan.

c. Mekanisme Kerja

1) DSN mengesahkan rancangan fatwa yag diusulkan oleh badan pelaksana Harian DSN

2) DSN melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan

3) Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.

d. Dewan Pengawas Syariah

Berdasarkan surat keputusan DSN No. 3 tahun 2000, dijelaskan bahwa DPS adalah bagian dari Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan, dimana penempatannya atas persetujuan DSN.

e. Fungsi DPS

1) Melakukan pengawasan secara periodik pada LKS yang berada di bawah pengawasannya.

2) Berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.

3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran.

4) Merusmuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.

f. Struktur DPS

1) Kedudukan DPS dalam struktur perusahaan berada setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas direksi.

2) Jika fungsi komisaris adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen, maka DPS melakukan pengawasan kepada manajemen dalam kaitan dengan implementasi system dan produk-produk agar tetap sesuai dengan syariah islam.

3) Bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan system pembinaan ke-islaman yang telah diprogramkan setiap tahunya.

4) Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam dilingkungan perusahaan tersebut.

5) Bertanggung jawab atas seleksi syariah karyawan baru yang dilaksanakan oleh Biro Syariah.

g. Keanggotaan DPS

1) Setiap LKS harus memiliki setidaknya tiga orang anggota DPS. 2) Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.

3) Masa tugas keanggotaan DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar waktu apabila meniggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh LKS yang bersangkutan, atau telah merusak citra DSN.

h. Mekanisme Kerja DPS

1) DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.

2) DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.

3) DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.

4) DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.

C. Surplus Underwriting

Surplus dalam kamus asuransi adalah jumlah dimana aktiva melebihi pasiva.44 Dan dana tabarru’ adalah sebagian dana yang disisihkan dari premi asuransi dengan memperhatikan faktor-faktor risiko dari calon peserta asuransi, dimana tabarru’ tersebut digunakan untuk menolong sesama peserta yang terkena musibah.

44

Sedangkan surplus dana tabarru’ itu sendiri adalah hasil pengurangan dari dana peserta tabarru’ dikurangi dengan total jumlah klaim yang terjadi (beban tabarru’) apabila hasil dari pengurangan tersebut positif, maka perusahaan akan mengalami surplus, dan apabila hasil dari pengurangan surplus tersebut negatif, maka perusahaan akan mengalami defisit.

Istilah underwriter digunakan untuk mengartikan proses seleksi yang dengan itu underwriter menentukan penawaran risiko mana yang harus diterima, dan jika diaksep, atas rate, syarat dan kondisi apa.45

Underwriting merupakan proses penyelesaian dan pengelompokan risiko

yang akan ditanggung. Tugas itu merupakan sebuah elemen yang esensial dalam operasi perusahaan asuransi. Sebab, maksud underwriting adalah memaksimalkan laba melalui penerimaan distribusi risiko yang diperkirakan akan mendatangkan laba. Tanpa underwriting yang efisien, perusahaan asuransi tidak akan mampu bersaing.46 Agar bisa mendapatkan keuntungan, perusahaan harus mengadakan evaluasi terlebih dahulu terhadap semua risiko yang hendak diasuransikan, keuntungan yang diperoleh dengan dijalankannya proses underwriting, jadi dengan pemilihan risiko-risiko itu, kita mengharapkan beberapa keuntungan yang

Dokumen terkait