• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.2 Penyajian Data

4.1.2.1 Identitas Responden INFORMAN 1

Latar pendidikan informan 1 adalah D3 jurusan biologi lulusan Institut Pertanian Bogor, dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Informan 1 berusia 37 tahun, beragama islam, orang keturunan Jawa Timur yang juga kelahiran, tinggal

dan besar di Surabaya. Kedua orang tua informan 1 juga kelahiran Surabaya. Setelah lulus SMA dia memilih untuk melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor dan menikah dengan laki-laki asal Surabaya yang juga satu kampus dengan dirinya. Aktivitas informan 1 saat sebagai mahasiswa hanya belajar dan mengikuti kegiatan keagamaan di IPB yang bernama Badan Kerohanian Mahasiswa (BKM) di. Hobi Informan 1 adalah membaca majalah, menonton tv dan tidur. Sedangkan suami informan 1 berusia 42 tahun dan juga beragama islam. Suami dari informan 1 juga lulusan dari Institut Pertanian Bogor dan kini bekerja sebagai desainer majalah. Hobi suami informan 1 sendiri adalah mendesain gambar di komputer. Penghasilan dari suami informan 1 Rp 1.500.000,00 per bulan. Menurut informan, penghasilan tersebut cukup untuk makan sehari – hari, menyekolahkan anak semata wayangnya dan sisanya ditabung untuk masa depan anaknya. Tidak ada pembantu hanya ayah, ibu, seorang anak perempuan dan seorang nenek yang berada di rumahnya. Mereka hanya tinggal berempat.

Informan 1 merupakan ibu dari seorang anak indigo yang bernama Rara. Informan 1 sendiri telah mengetahui istilah indigo dari sebuah majalah yang baru dibacanya saat dirinya berusia 30-an. Indigo, bagi Informan 1 adalah sebuah istilah untuk seseorang yang memiliki indra keenam di mana seorang anak yang memiliki kecerdasan tinggi, selalu asyik dengan imajinasinya sendiri, dan memiliki keahlian dapat melihat makhluk-makhluk halus. Menurut pengakuannya, informan 1 tidak pernah berkonsultasi dengan psikolog mengenai anaknya yang indigo. Keluarga ini tinggal di sebuah perkampungan yang berlokasi di Ploso dekat daerah Tambak Sari. Karakter dari informan 1 sangatlah keras karena selalu

63

menghendaki anaknya patuh dan menurut pada informan 1. Informan 1 mengakui bahwa dirinya sering sekali memaksakan kehendak pada anaknya dan suka memarahi anaknya meskipun anaknya hanya melakukan kesalahan – kesalahan kecil. Tetapi pada saat interview berlangsung, beliau menunjukkan sifat yang sangat ramah dan murah senyum.

INFORMAN 2

Keluarga merupakan keluarga pemilik salah satu pondok pesantren di daerah Surabaya tepatnya di daerah Tambak Bening. Suami dari informan 2 adalah seorang kyai, penulis buku, sekaligus pemilik sebuah pondok pesantren. Telah banyak buku bertema keagamaan yang ditulis dan diterbitkan oleh suami informan 2. Hobi suami informan 2 adalah membaca dan menulis buku. Suami informan 2 kelahiran kota Jember 48 tahun silam. Informan 2 adalah lulusan Madrasah Tsanawiyah. Beliau kelahiran kota Surabaya. Usia dari informan 2 adalah 42 tahun. Informan 2 mempunyai hobi membaca Al-Qur’an. Selain terdapat ayah, ibu dan kedua anaknya, juga terdapat beberapa santri yang tinggal menginap di pondok pesantren tersebut. Anaknya yang menyandang indigo (8 tahun) adalah anak kedua dari dua bersaudara. Anak pertama sudah berumur 17 tahun yang juga penyandang indigo. Dalam keseharian di rumah, informan 2 hampir setiap hari dibantu oleh para santrinya untuk menjaga kedua anaknya. Sedangkan suami dari informan 2 selain mengajar di pondok pesantren, juga berprofesi sebagai Dai dan khotib. Suami informan 2 sering keluar rumah (pondok pesantren) untuk mengisi acara pengajian di berbagai tempat. Selain itu, suami

informan 2 juga merupakan wiraswasta yang menjual berbagai macam barang yang hasilnya digunakan untuk membangun pondok pesantren. Penghasilan dari suami Informan 2 berkisar Rp 4.000.000,00 per bulan. Informan 2 selain menjadi ibu rumah tangga juga ikut membantu suami memberi pengajian kepada para santri perempuan di pondok pesantren. Selama proses interview, informan 2 sambil mengawasi anaknya bermain.

Informan 2 memandang bahwa keluarganya bersifat demokratis dalam mendidik dan mengatur anaknya. Informan 2 bersama suami membebaskan anak-anaknya untuk beraktivitas di luar pondok bahkan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada peraturan khusus yang diterapkan untuk kedua putranya dalam pondok pesantren. Informan 2 hanya memberikan arahan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk kepada kedua putranya. Walaupun informan 2 bersama suami tidak ada hukuman secara fisik kepada anak – anaknya, keduanya tetap menasehati apabila putra – putranya berbuat kesalahan. Suami dari informan 2 juga seorang yang indigo. Menurut informan 2, kedua putranya indigo karena keturunan. Informan 2 memandang indigo adalah sebuah keahlian atau keistimewaan yang ”lebih” dari orang pada umumnya. Misalnya dapat melihat hantu, mengetahui apa yang terjadi di masa depan, membaca pikiran orang dan lainnya yang tidak bisa dinalar secara logika. Anak pertamanya yang juga indigo tidak mengenyam dunia pendidikan atau tidak sekolah karena tidak mau sekolah. Tetapi dari kecil ia (anak pertamanya) dapat berbahasa inggris dan komputer tanpa ada yang mengajari. Anak pertamanya, Bibli, selalu mempelajari sesuatu

65

secara otodidak. Baru anak keduanya yang bernama Billah mengenyam dunia pendidikan. Kini Billah sekolah di tingkat dasar kelas 3.

INFORMAN 3

Informan 3, berusia 43 tahun dan merupakan seorang ibu dari dua orang anak dimana salah seorang anaknya adalah anak indigo. Agama dari informan 3 adalah kristen protestan. Informan 3 kelahiran Surabaya dan besar di Surabaya. Hobi informan 3 adalah berenang. Dilihat dari sifat dan karakter informan 3 adalah seorang yang tegas dan disiplin dalam mengambil tindakan dan keputusan, dilihat dari latar belakang keturunan keluarganya ayah dari informan 3 adalah seorang militer. Usia suami informan 3 adalah 43 tahun dan juga kelahiran serta besar di kota Surabaya . Suami dari informan 3 bekerja pada sebuah bank swasta terkemuka di Surabaya, sedangkan informan 3 berhenti bekerja di traveling atas nasihat serta perintah dari suami agar bisa menjaga anak-anaknya di rumah. Agama dari suami informan 3 juga kristen protestan. Hobi suami informan 3 adalah membaca majalah otomotif.

Keluarga ini dapat digolongkan kelas sosial menengah atas karena tempat tinggal atau rumahnya sangat besar dan berlantai 2, serta halamannya rumahnya luas. Informan ketiga merupakan keluarga yang mampu karena penghasilan dari suami informan 3 sebesar Rp 7.500.000,00. Informan 3 tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Informan 3 dipercaya suami untuk mengasuh dan merawat kedua anaknya. Anak pertama dari informan 3 lebih suka di rumah neneknya yang berada di daerah Kutisari, karena merasa tempat tinggalnya sekarang sangat sepi,

sedangkan anak yang kedua yaitu penyandang indigo dalam kesehariannya di rumah bersama ibunya dan seorang pembantu. Informan 3 sering mengernyitkan dahi dan menjawabnya dengan nada tegas.

Pemahaman informan terhadap anak indigo ia peroleh dari ibu mertuanya yang juga seorang indigo. Menurutnya, seorang dikatakan indigo apabila memiliki warna aura ungu nila, bisa ”membaca” atau melihat masa depan dan melihat hantu atau bangsa-bangsa halus yang tidak bisa dilihat orang pada umumnya. Informan 3 mengetahui bahwa anak keduanya indigo karena anaknya tersebut jarang mau bersosialisasi dan gaya bicaranya seperti orang tua. Tidak seperti anak pada umumnya. Setelah mengetahui sifat dari anaknya, informan 3 memfoto aura anak keduanya atas saran ibu mertuanya dan hasilnya adalah bahwa Derren adalah seorang anak indigo.

INFORMAN 4

Lain halnya dengan informan sebelumnya, informan 4 termasuk keluarga dengan tingkat ekonomi bawah karena penghasilan suami dari informan 4 yang tidak menentu. Pekerjaan suami informan 4 adalah tidak menetap terkadang sebagai kuli bangunan dan terkadang berjualan pop ice dan pentol buatan istrinya. Penghasilannya tidak menetap. Suami informan 4 beragama islam dan lulusan salah satu SMA negeri di Lamongan, SMAN 1 Lamongan. Usia suami informan 4 adalah 42 tahun. Meskipun lahir di Lamongan, suami informan 4 tinggal di Surabaya. Hobi suami informan 4 adalah mendengarkan musik. Kedua orang tua suami informan 4 berasal dari Lamongan. Informan 4 berusia 35 tahun. Informan

67

4 lahir di kota Nganjuk tetapi tinggal dan besar di Surabaya. Agama informan 4 adalah islam, hobinya memasak. Kedua orang tua informan 4 adalah orang asli Nganjuk. Latar belakang pendidikan informan 4 adalah lulusan SMA, SMAN 3 Nganjuk. Mereka sama-sama berpendidikan akhir SLTA. Sekarang mereka berdua tinggal di perumahan Tandes. Informan 4 dan suaminya bertemu di Surabaya kala itu. Informan 4 dikenalkan dengan suaminya oleh kakaknya sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Mereka tinggal di rumah orang tuanya (neneknya). Ketika interview berlangsung informan ini lebih sering menatap ke atas dan berpikir. Hanya ada suami informan 4, nenek, serta anak tunggalnya. Anak satu-satunya dari informan 4 adalah penyandang indigo. Menurut informan 4 karakter dari anaknya adalah sangat cerewet, suka membantah, dan emosional. Pekerjaan informan 4 sendiri adalah seorang ibu rumah tangga merangkap pembuat kue pesanan apabila ada pesanan kue dari orang lain. Menurut pengakuan dari informan 4 yang menyebabkan anaknya menjadi indigo adalah saat istrinya hamil sering minta makanan yang aneh. Karena keterbatasan biaya, nenek dari informan 4 bekerja sebagai pengepul koran bekas dari tetangga-tetangganya untuk dijual ke pengecer. Mereka menangani anaknya yang penyandang indigo dengan mengajari anaknya sendiri tanpa bantuan dan konsultasi dari orang lain.

Pemahaman informan 4 sendiri mengenai istilah indigo adalah seseorang yang ditakdirkan Tuhan dengan keistimewaannya sendiri di mana mengetahui apa yang terjadi di masa depan, serta dapat melihat bangsa – bangsa halus atau yang biasa disebut dengan hantu. Informan 4 memandang bahwa dirinya cenderung

memberi kebebasan pada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya. Tidak ada peraturan khusus dalam keluarga. Sang anak dibiarkan bermain dan berlaku semaunya karena informan 4 selalu sibuk di dapur membuat kue pesanan orang dan sang suami bekerja sebagai kuli bangunan yang terkadang tidak pulang. Sehingga anak informan lebih sering bermain dengan ditemani oleh neneknya ketimbang ibunya.

4.1.2. Penyajian Data

Penelitian dilaksanakan selama 24 hari di Surabaya, sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya, subyek penelitian yang dijadikan informan tidak dapat dibatasi atau ditentukan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambarkan pola komunikasi keluarga pada anak indigo khususnya dengan tingkatan low functioning. Data diperoleh dengan melakukan observasi dan in-depth interview yang dilakukan terhadap orang tua (Ibu) yang memiliki anak indigo dengan berbagai macam varian ekonomi. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dari informan, observasi dilakukan untuk mengamati perilaku dan perkembangan dari situasi yang diteliti itu sendiri. Data yang diperoleh tersebut akan disajikan secara deskriptif dan dianalisis dengan kualitatif sehingga diperoleh gambaran, jawaban, serta kesimpulan dari pokok permasalahan yang diangkat. Penelitian ini yang dijadikan respoden atau informan adalah orang tua (yakni Ibu) dari anak penyandang indigo yang bertempat tinggal di Surabaya. Dalam proses pemilihan informan, peneliti dibantu oleh seorang kyai yang dapat membantu peneliti untuk memilah-milah orang tua

69

yang memiliki anak indigo khususnya dengan tingkatan low functioning. Selanjutnya dari 6 ibu dari anak penyandang indigo ternyata terdapat dua orang tidak bersedia menjadi informan sehingga kemudian tidak memenuhi syarat untuk menjadi subyek penelitian.

4.2. Analisis Data

4.2.1. POLA KOMUNIKASI IBU PADA ANAK INDIGO A. Pola Komunikasi Authoritarian (Otoriter)

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sikap otoriter terjadi dalam keluarga yang memiliki anak indigo. Pada wawancara yang dilakukan pada masing-masing orang tua atau ibu dari Derren (keluarga 3) menyatakan bahwa ketika memiliki anak indigo sempat mempunyai rasa malu, minder dan Ibu A mengaku sering sekali memarahi Derren. Hal ini terlihat ketika proses interview Ibu A menggelengkan kepala yang menunjukkan Ibu A kecewa karena anaknya yang indigo dan memikirkan masa depan anaknya. Ibu A mempunyai pemahaman bahwa anak indigo adalah seorang anak dengan kemampuan khusus di mana bisa melihat “barang-barang” halus atau hantu dan bisa membaca pikiran orang. Ibu A selalu meluangkan waktu untuk Derren, karena dia sangat khawatir dengan perilaku anaknya. Derren cenderung bersikap emosional, tidak pernah mau mendengarkan perkataan orang di sekelilingnya, suka membantah dan tidak pernah mau bersosialisasi. Papa dari Derren bekerja di bank, jadi frekuensi untuk menemani Derren bermain berkurang. Dalam mengajarkan putranya Ibu A mempunyai keinginan sendiri, apa yang belum diajarkan, maka Ibu A

mengajarkannya tetapi pada dasarnya seperti apa yang diajarkan gurunya. Ibu A memberikan arahan tentang segala perbuatan Derren, karena menurutnya jika Derren dibebaskan begitu saja maka bisa-bisa melukai dirinya sendiri dan menghancurkan seisi rumahnya. Derren masih susah untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya karena jarang keluar. Di dalam keluarga Ibu A, terlihat bahwa Ibu A lah yang mengambil alih atau berkuasa dalam mengatur keluarganya. Menurutnya jika anaknya berbuat salah maka Ibu A menghukum secara fisik. Ibu A melihat background dari kakeknya Derren yang juga seorang militer, yaitu memberikan hukuman pada anaknya jika berbuat salah. Berikut menurut Ibu A :

INFORMAN 3 (Ibu A)

" Selama ini kalau ada kesalahan, tante paling hukumannya cuma jewer..atau kita sentil telinga..atau kita cubit ini lho paha..gitu aja... "

(Kamis, 18 Februari 2010, 13:10 WIB) ANAK INFORMAN 3 (DERREN)

”Ya..sering..Salah sedikit dijewer, salah sedikit diselentik.” (Kamis, 25 Februari 2010, 19:00 WIB)

Hukuman yang diberikan secara fisik. Karena itu semua demi kebaikan Derren agar mempunyai tanggung jawab dan disiplin pada diri sendiri dan keluarga. Di rumahpun juga ada peraturan yang mengikat, menurut Ibu A, bagaimanapun seorang anak harus selalu menuruti apa yang dikatakan orang tua, karena seorang anak tidak tahu apa-apa, apalagi Derren adalah seorang anak indigo jadi Derren perlu banyak bimbingan dan arahan. Berikut peraturan yang diterapkan paa keluarga informan 3 :

71

INFORMAN 3 (IBU A)

“Tante cuman menerapkan disiplin, anak harus bertanggung jawab terhadap apa yang harus dia kerjakan..Tante sebagai orang tua di sini ya harus menerapkan apa ya..kedisiplinan.”

(Kamis, 18 Februari 2010, 13:10 WIB)

Berikut jawaban yang diberikan oleh Derren saat diwawancarai perihal peraturan apa saja yang diterapkan oleh Informan 3 pada keluarganya :

ANAK INFORMAN 3 (DERREN)

“Disiplin.” (Kamis, 25 Februari 2010, pukul 19.00 WIB)

Dalam menangani anaknya yang indigo, Ibu A tidak pernah berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater.

Hal yang sama diungkapkan pada keluarga Ibu F. Ibu F yang pada saat itu menggaruk-garukkan kepalanya menunjukkan kepasrahannya dan. memikirkan anaknya berpendapat bahwa ketika mengetahui anaknya indigo, beliau mensyukuri kehendak Tuhan dan tidak malu ketika anaknya indigo. Di dalam kesehariannya Ibu F adalah seorang ibu rumah tangga sehingga Ibu F mempunyai waktu yang banyak untuk anaknya. Ibu F baru mengetahui anaknya indigo sejak anaknya kelas 1 SD. Saat itu perilaku Rara sangat aneh. Rara sering berbicara sendiri dan gaya bicaranya seperti orang dewasa. Jauh dari kesan berbicara anak pada usia sebayanya. Ibu F seketika itu juga sadar bahwa anaknya adalah seorang indigo. Indigo bukanlah kata asing di teinganya, sebab Ibu F telah mengetahui istilah itu dari baca-baca majalah. Setelah tahu bahwa anaknya indigo, Ibu F selalu berhati – hati ketika berbicara dengan anaknya karena Rara kalau bertanya

selalu menginginkan jawaban dari ibunya sampai sedetail mungkin. Ibu F selalu memberikan arahan dan membantu memecahkan perbuatan atau permasalahan yang dihadapi Rara. Ibu F atau bapak dari Rara selalu terus mengkomando dan mengawasi anaknya, tetapi jika anaknya berbuat salah, maka Ibu F menghukumnya dengan kekerasan agar anaknya menjadi penurut.

Dalam hal ini pola komunikasi otoriter cenderung kurang sehat, karena seperti yang telah dijelaskan bahwa arus komunikasi yang terjadi pada sikap otoriter ini bersifat satu arah. Di mana dalam hal ini pihak anak dirugikan dengan tidak diberikannya kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Orang tua bersifat absolut dalam memberikan perintah serta larangan dan harus dilaksanakan oleh sang anak. Tanpa penjelasan atau sebab yang jelas, orang tua juga sering memberikan hukuman yang bersifat fisik apabila yang dikehendaki tidak sesuai dengan apa juga sering memberikan hukuman yang bersifat fisik apabila yang dikehendaki tidak sesuai dengan apa dilakukan oleh anak, contohnya anak sering dipukul, dicubit, bahkan diikat dengan tangan dan kaki apabila mereka tidak menuruti apa yang diperintahkan orang tua. Akibatnya anak menjadi tersinggung, penakut, pemurung dan merasa tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah marah, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas serta tidak bersahabat. Sehingga hal ini dapat membentuk anak yang kurang baik.

Dalam pengamatan yang dilakukan kepada kedua keluarga, peneliti melihat orang tua membebaskan sejauh mana anak mereka berinteraksi atau bermain dengan tetangganya atau dengan temannya. Orang tua hanya mengira bahwa anaknya yang indigo harus tunduk dan menuruti dengan aturan yang dibuat

73

oleh orang tua., sehingga anaknya bisa menjadi atau seperti anak yang lainnya serta menjadi anak yang penurut dan bertanggung jawab.

Kurangnya kepercayaan orang tua pada orang lain untuk ikut andil dalam mengurus anaknya yang indigo. Orang tua menganggap anak indigo itu harus benar-benar dijaga dan dirawat hingga anak penyandang indigo bisa menghilangkan perilakunya yang indigo, sehingga dalarm merawat dan mengasuh anak indigo orang tua terlalu overprotective, mereka cenderung menggunakan hukuman fisik (mencubit, memukul, sampai mengikat kaki dan tangannya) dan itu membuat anak menjadi tertekan, penakut, mudah stress, serta tidak mempunyai arah tujuan masa depan yang jelas.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti kebanyakan orang tua yang menerapkan sikap yang otoriter dengan anak adalah orang tua yang mempunyai sifat yang emosional dan hanya mempunyai keinginan mutlak agar anak selalu menuruti kata orang tua mereka. Rendahnya kesadaran mereka dalam mendidik anak secara benar (tidak terlalu memaksakan kehendak orang tua terhadap anaknya) menyebabkan minimnya pengetahuan orang tua tentang indigo serta bagaimana cara menangani anaknya tersebut. Hal itu juga berpengaruh pada salahnya penerapan sikap hubungan dalam keluarga yang kemudian berpengaruh pada kualitas hubungan interpersonal antar anak.

Pola komunikasi secara otoriter yang diterapkan pada kedua keluarga ini adalah pada saat ibu menginginkan anaknya menuruti semua perintahnya dan saat anak berbuat kesalahan. Tetapi pola komunikasi otoriter yang diterapkan pada kedua keluarga ini tidak berlaku pada saat anaknya melakukan interaksi atau

sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam hal bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, kedua ibu dalam penelitian ini menggunakan pola komunikasi yang cenderung membebaskan anak untuk bermain dengan siapa saja yang dikehendaki oleh anak mereka.

B. Pola Komunikasi Permissive (Membebaskan)

Sikap permissive atau yang membebaskan anak untuk berpendapat, berbicara serta mengambil keputusan. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sikap yang membebaskan anak juga dijumpai dalam keluarga yang memiliki anak indigo. Dari hasil interview dengan keluarga Ibu S atau orang tua dari Riska menerapkan sikap yang membebaskan anak, bahkan Riska kerap dijaga oleh neneknya karena terkadang Ibunya harus bekerja membuat kue apabila ada pesanan dari tetangganya. Sedangkan ayah dari Riska adalah seorang kuli bangunan dan ketika diwawancarai kebetulan berada di luar kota.

Berikut pendapat Ibu S yang diungkapkan dengan nada yang serius dan yakin tentang membebaskan anaknya melakukan sendiri.

INFORMAN 4 (IBU S)

"Ya saya membebaskan Riska melakukan sendiri mbak"

"Saya membebaskan dia berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan anak tetanggapun saya biarkan dia untuk bersosialisasi dengan yang lain" (Minggu, 21 Februari 2010, 16:00 WIB)

Berikut penuturan Riska ketika ditanya menegenai kebebasan yang diberikan oleh Ibunya :

ANAK INFORMAN 4 (RISKA)

75

Ibu S membebaskan anaknya melakukan sendiri dan berinteraksi dengan anak tetangganya agar bisa bersosialisasi dengan yang lain. Ibu S mempercayai pada siapapun untuk berinterakasi dengan anaknya yang menyandang indigo.

Bahkan Ibu S tidak pernah menghukum Riska jika berbuat salah atau tidak melaksanakan perintahnya. Menurut Ibu S tidak ada peraturan yang mengikat dalam keluarganya sehingga Ibu S tidak memaksakan putrinya untuk melakukan sesuatu yang tidak disenangi.

INFORMAN 4 (IBU S)

" E..Gimana ya mbak ya.. Biasa saja saya merasa waktu saya kurang gitu lho untuk menemani anak saya. Ya biasanya saya sih sibuk membuat kue pesanan di dapur jadi kadang kurang mendapat perhatian dari saya." (Minggu, 21 Februari 2010, 16:00 WIB)

ANAK INFORMAN 4 (RISKA)

“Lha wong Ibu sibuk di dapur mbak! Yo aku mbak sing ngajak ngajak ngomong. Paling-paling manggil Ibu! Ibu! Ibu! Gitu tok!”

(Rabu, 24 Februari 2010, 15:35 WIB)

Dalam hal ini orang tua kurang peduli dan kurang dalam memperhatikan apa yang terjadi pada anak. Orang tua (Ibu S) cenderung lebih banyak menghabiskan waktu membuat kue pesanan orang dibandingkan dengan merawat dan mengasuh Riska. Sehingga membuat Riska merasa tidak dipedulikan oleh ibunya. Bahkan ketika anak melakukan sesuatu kesalahan, orang tua tidak menanggapi sehingga anak tidak tahu dimana letak kesalahannya. Kesalahan atau hal yang semestinya tidak terjadi itu dapat terulang berkali-kali. Demikian pula jika anak melakukan hal yang dianggap benar atau anak tersebut mendapatkan suatu prestasi bagus, misalnya bagus dalam mewarnai gambar disekolah, maka

anak tersebut merasa bahwa masih banyak yang kurang atau anak merasa dirinya tidak mampu sehingga membuat anak tidak memiliki rasa percaya diri, tidak jelas arah hidupnya, terkadang anak tidak dapat menghargai orang lain. Ibu S selalu menerapkan pola komunikasi secara permissive di dalam keluarga dalam segala situasi dan kondisi.

Hal yang menyebabkan orang tua membebaskan anaknya dalam berinteraksi adalah ibu yang kurang memperhatikan anaknya dan meluangkan

Dokumen terkait