• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

E. KEABSAHAN DATA

2. Penyajian Data

Pada bagian ini disajikan data-data yang diperoleh dari wawancara. Untuk mempermudah dalam menganalisis data, maka data yang disajikan ini sesuai dengan materi atau pokok permasalahan yang hendak dibahas.

Subjek 1 (SS)

Wawancara pokok terhadap subjek dilakukan satu kali dan bertempat di Kost subjek. Wawancara dilaksanakan pada hari kamis, tanggal 30 november 2006, pukul 15.40-17.30 Wib. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti juga melakukan obervasi terhadap subjek untuk melihat perilaku-perilaku subjek yang tidak teramati dalam wawancara dan mendengarkan cerita subjek yang berkaitan dengan hal

akan diungkap. Berikut hasil wawancara berdasarkan pedoman wawancara umum :

Profil Subjek 1 (SS)

Subjek merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang hidup dalam suasana keluarga yang memiliki hubungan baik. Subjek juga memiliki orang tua yang perhatian terhadap dirinya dan saudara-saudaranya (W1.S1.SK5, SK7). Selain itu, orang tua subjek juga mampu bersikap adil dalam memberikan perhatian maupun materi sehingga anak-anaknya mendapat perlakuan yang sama (W1.S1.PAO9). Terkadang subjek juga merasa bahwa orang tua tidak adil dalam pembagian kebutuhan baik terhadap dirinya maupun kedua saudaranya sehingga dapat menimbulkan pertengkaran dengan saudara kandungnya.

Dalam keluarga subjek lebih memiliki kedekatan dengan ibu daripada ayahnya sehingga ia cenderung bercerita ke ibunya jika ada masalah yang tidak mampu subjek selesaikan sendiri (W1.S1.RK15). Subjek jarang bercerita tentang masalahnya ke ayah karena ayah terlalu sibuk dengan urusan kantor, gereja dan kepentingan lainnya (W1.S1.MK17).

Pola asuh orang tua pada subjek 1 cenderung otoriter. Hal ini ditunjukkan dari sikap orang tua yang menerapkan kedisiplinan sehingga membuat subjek merasa kurang memiliki kebebasan dan merasa terbatasi. Orang tua cenderung mengatur waktu bermain anak-anaknya sehingga subjek merasa tidak bebas dalam bermain dan beraktivitas dengan teman-temannya. Subjek juga tidak berani membawa teman pria bermain ke

rumah subjek (HO.S1.PAO.Pf5.30nov06). Subjek pun cenderung patuh pada orang tuanya. Ketika subjek kuliah dan berada jauh dari orang tuanya, ia merasa bebas tinggal di kost (W1.S1.PAO13).

Dalam pergaulan sehari-hari, subjek memiliki relasi yang baik dengan teman-temannya, baik dengan teman di kampus, di kost, maupun teman dugem (dunia gemerlap) (W1.S1.RT19). Aktivitas yang sering dilakukan bersama teman-temannya diantaranya, olah raga sore bersama, berkunjung ke kos teman, pergi ke warnet (warung internet) atau clubbbing. Subjek sendiri cenderung lebih menyukai kegiatan yang sifatnya bersenang-senang seperti pergi clubbing bersama teman-teman yang memiliki kebiasaan pergi ke klub malam (W1.S1.AT21). Aktivitas yang dilakukan bersama teman-teman cenderung mengarah kepada aktivitas yang bertujuan untuk mendapat kesenangan pribadi.

Selain memiliki relasi pertemanan, subjek juga menjalin hubungan intim dengan seorang teman pria yang menjadi pacar subjek. (W1.S1.RP33).

Adapun aktivitas yang sering dilakukan subjek ketika bersama dengan pacarnya di antaranya, nonton TV, mendengarkan tape, mencuci baju, tidur, jalan-jalan, atau olah raga (W1.S1.AP35). Selain itu, aktivitas lain yang dilakukan adalah makan bersama, istirahat atau tidur bersama di kost subjek atau kost pacarnya yang dilakukan secara bergantian (W1.S1. AP39).

Pertemuan dengan pacar sering terjadi di kost subjek maupun di kost pacarnya. Kondisi kost subjek termasuk kost yang bebas karena tidak ada pemilik kost yang mengawasi sehingga anak-anak kost cenderung

bebas dalam beraktivitas dan keluar masuk kost (W1.S1. SL37). Intensitas pertemuan dengan pacar dapat dikatakan tinggi karena setiap hari subjek bisa bertemu dengan pacarnya (W1.S1. IP43). Tetapi pertemuan dapat terjadi setiap hari bila sedang tidak bertengkar dengan pacarnya (W1.S1. IP45).

a. Pengalaman Seks Pranikah

Pengalaman pertama hubungan seks pranikah pada subjek 1 terjadi ketika masa kuliah. Sesuai dengan teori aturan seksual (Michael dalam Santrock, 2001), pada awalnya subjek cenderung mengkaitkan hubungan seks dengan cinta, dimana alasan subjek melakukan hubungan seks adalah karena adanya perasaan saling menyayangi dan menyukai satu sama lain serta adanya keyakinan bahwa sang pacar adalah jodoh bagi subjek. Hal ini ditunjukkan dari ungkapkannya,

“Aku pertama kali mulainya semester berapa ya..3. Kalo gak salah 3 atau 4 kemarin sih..apa ya..udah melakukan aja sama pacarku.” (W1.S1.ML49)

Pernyataan lainnya,

Pertamanya ya...suka sama suka kan. Pertama gini kalo pacaran kita udah yakin suka maksudnya cowoknya, kalo pacaran betul-betul jodoh kita ya..ngapai lagikan mesti cari-cari gitu kan. Kalo dia sayang, aku sayang kalo sama-sama sayang ya udah lakukan aja kan....” (W1.S1.ML51)

Subjek juga cenderung merasionalisasikan hubungan seks yang terjadi karena alasan bahwa dirinya terhanyut cinta dan rayuan sehingga mereka yang pada awalnya menolak menjadi tidak mampu menolak (Santrock, 2001). Subjek mengemukakan bahwa dirinya terhayut oleh rayuan dan kata-kata manis pacarnya sehingga ia tidak

mampu menolak ajakan pacarnya untuk berhubungan seks. Hal ini dilihat dari ungkapannya,

“Pertama sih gak mau, tapi dibujuk-bujuk kan, ya...taulah setan ada di mana-mana. Jadi kalo kita udah berdua mau ngapain lagi kan... jadi wah.. pertama sayang... pokoknya dibujuk-bujuk, pertama gak mau. Bujuk, bujuk, bujuk udahlah kata-kata manis, kata-kata sayang dari mulutnya ya udah...ya udahlah aku kasih. Sayang masih perawan ya.... ya..iyalah, aku bilang gitu. Ya udah Ngomong-ngomong....mulai mulut manis, aku sayang kamu, aku gini-gini. Langsung hatiku dubrak (tersanjung) langsung ya...aku nunduk langsung. Ya...sampai sekarang jadi juga sama dia. Aku juga bingung.” (W1.S1.ML63)

Pada diri subjek sebenarnya telah memiliki kontrol internal berupa sangsi moral dan suara hati. Sangsi moral dalam diri subjek ditunjukkan dengan adanya ketakutan bila terjadi kehamilan dan perasaan malu. Suara hati yang berkembang dalam diri subjek berupa larangan dari orang tua untuk tidak melakukan hubungan sek dan ancaman akan mengeluarkan subjek dari keluarga jika mendapati subjek sampai hamil. Hal ini dapat dilihat dari ungkapannya,

“Grogi, aku kan gak tau...kan dulu-dulu kalo pacaran biasa, pacaran-pacaran kita gak pa-apa. Tapi kalo sudah sampai seks kan aku takut, langsung ingat pesan orang tua, pesan mama. Apa ya... “Kalo sampai kamu hamil kamu dikeluarin dari keluarga.” Aduh..tapi aku udah melanggarkan kan, “Matilah aku,” aku bilang gitu. Pokoknya pas melakukan ih... takut juga sih ntar kalo hamil, aku dah kepikiran dah kedepan, “Aduh ini kalo hamil gimana?...” (W1.S1. DHS65)

Kontrol intermal dalam diri subjek ternyata tidak cukup mampu menjadi pegangan untuk tidak melakukan hubungan seks. Subjek cenderung terlibat dalam aktivitas seksual dengan pacarnya. Intesitas subjek melakukan hubungan seks termasuk tinggi karena dalam satu minggu hubungan seks dapat terjadi setiap hari dan dalam satu hari dapat terjadi satu sampai dua kali. Tingginya intensitas hubungan seks

pada subjek merupakan salah satu bentuk tingkah laku seksual pada masa remaja yang biasanya bersifat meningkat atau progresif (Santrock, 2001). Peningkatan perilaku seksual biasanya diawali dengan berciuman atau bercumbu yang kemudian dapat membangkitkan dorongan seks untuk melakukan hubungan seks. Hal ini dapat ditunjukkan dari ungkapannya,

“Kadang aku bilang, aduh capek...malaslah..., ya..udah cium-ciuman aja, cumbu-cumbu gitu-gitu aja ya udah. Tapi tetap nanti,”Sayang, lakukan yuk,” nah katanya gitu kan.. (W1.S1. PS57). Dalam satu kadang minggu gak full, maksudnya satu hari bisa dua kali, eh... satu hari satu kali lah. Kalo dia datang ke kost ya...ayo kalo gak di kostnya gitu.” (W1.S1. IHS57)

Subjek dan pacarnya lebih sering melakukan hubungan seks di kost. Lingkungan kost subjek cenderung cenderung bebas dan tidak ada pemilik kost yang mengawasi. Lingkungan kost yang tidak memiliki aturan yang tegas merupakan salah satu pengaruh eksternal yang memberikan peluang terjadinya hubungan seks pranikah pada remaja. Hal ini dapat ditunjukkan dari pernyataannya,

“Kalo tiap hari ada sih, kadang kemari-kemarin di kost. Ya..memang kemarin tuh ada tiap hari kalo udah ketemu satu kali macam hari senin ketemu selasa ketemu, rabu ketemu, melakukan. Jadi senin, selasa, rabu kalo terus-terus ketemu melakukan teruslah. Kalo gak (ketemu), kadang sekarang ya..jarang.” (W1.S1.IHS59)

Hubungan seks yang telah dilakukan oleh subjek termasuk dalam hubungan seks yang tidak aman karena tidak menggunakan pengaman. Hubungan seks atau kontak intim antara alat kelamin perempuan dengan alat kelamin pria tanpa adanya pengaman

memungkinkan terjadinya kehamilan. Hal ini ditunjukkan dari ungkapannya,

“Sperma tumpahnya dalam, pokoknya kalo udah tumpah dalam, hamillah sudah.” (W1.S1.MH73)

Akibat hubungan seks tersebut menyebabkan terjadinya kehamilan pada diri subjek. Tanda awal kehamilan yang tampak salah satunya yaitu tidak terjadinya siklus haid (Gilarso, 2003). Pengalaman kehamilan subjek ditandai dengan tidak mengalami siklus menstruasi pada waktunya. Hal ini membuat subjek menjadi panik sehingga ia segera melakukan uji tes kehamilan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Reaksi yang muncul akibat kehamilan juga berbeda-beda, dimana bagi mereka yang menginginkan anak merupakan sesuatu yang membahagiakan, namun bagi mereka yang tidak mengingikan kehamilan merupakan suatu pengalaman buruk. Subjek sendiri sangat terkejut ketika mengetahui dirinya hamil. Reaksi lain yang muncul terhadap kehamilan diantaranya subjek merasa bingung dan menangis sendiri di kamar. Dalam kebingungan tersebut, subjek belum sempat berpikir untuk bertindak. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataannya,

“...., aku gak dapat mens kan. Pertama aku bilang, “Aduh..aku gak dapat mens,” aku juga kepikiran, “Jangan-jangan aku hamil ya..” terus aku langsung pergi beli alat tes kehamilan di apotek. Aku tes, aku lihat cara pemakaiannya gimana-gimana. Air kencing pagi-pagi kan, bangun pagi pakai air kencing pertama. Pipis langsung kita taruh di itu (testpack) ditinggal beberapa menit, kalo satu negatif, kalo garis dua positif. Aku ninggallin, ninggalin aku ke kampus. Pulang kampus aku langsung kaget kok garis dua kan. Wah..gimana aku, aku dah nangis-nangis, bingung kan, aku nangis sendiri di kamar, aku nagis-nangis sendiri, posisi pada saat itu aku sama pacarku lagi berantem.” (W1.S1. PK53)

Pacar subjek pun sempat tidak mempercayai bahwa subjek hamil setelah diberi kabar tentang kehamilan subjek. Pacar subjek segera menanggapi kehamilan subjek dengan mengajak subjek untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius, namun subjek sendiri tidak siap atas kehamilannya. Kesepakatan yang tidak tercapai membuat seseorang berusaha mencari alternatif lainnya untuk mendapatkan solusi yang tepat. Hal ini dilihat dari diungkapkannya,

“...Langsung aku telpon dia, “Datang ke kost.” Kenapa? “Aku hamil.” Dia juga gak percaya kan masa sih hamil. Aku hamil, aku bilang gitu. Ya..udah, mau gimana?(cowok) Ya..udah tadi aku ceritain. “Ya...udah kalo kamu mau serius, serius kalo gak, ya udah mau gimana?” (W1.S1.OP53)

b. Pengalaman Aborsi

Ketidaksiapan subjek atas kehamilannya mendorong subjek untuk mengambil keputusan aborsi. Pengambilan keputusan aborsi salah satu dipengaruhi oleh pengalaman tentang aborsi berupa pengetahuan tentang aborsi. Subjek mengartikan aborsi sama halnya dengan tindakan membunuh darah daging sendiri dan memiliki dampak yang buruk secara psikis. Pengetahuan yang ada diperoleh dari beberapa sumber informasi seperti dari melihat film-film yang bertema aborsi dan cerita dari teman-temannya terutama informasi tentang obat-obatan yang bisa menggugurkan kandungan. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataannya,

“Tau dikit sih...aborsi itu ini kan... ini kayak, sama aja kita bunuh darah daging kita kan. Aku tau-taunya kayak gitu, aku lihat-lihat di film, pokoknya kalo aborsi itu sebenernya takut juga sih aborsi itu. Nanti terbayang terus, nanti aku terbayang, terbayang-terbayang terus kalo ingat terbayang lagi aborsi aku waktu dulu, pas saat-saat aborsi, jadi takutlah.” (W1.S1.PAB77)

Pernyataan lainnya,

“Tanya diteman-teman itu pertama cari obat, obat apa yang bisa ngegugurin, terus cari obat, cari obat...” (W1.S1.IA51)

Pada subjek 1, alasan memilih aborsi disebabkan karena ketidaksiapan baik secara ekonomi maupun sosial, dimana secara ekonomi subjek merasa belum mapan atau belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Secara sosial, subjek masih ingin kuliah dan masa depan masih panjang sehingga tidak siap jika harus mengurus anak serta mengingat orang tua yang nantinya akan merasa kecewa. Aborsi dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi ketidaksiapan memiliki anak dan menjalani hubungan yang lebih serius. Hal ini dilihat dari ungkapannya,

“Sebenernya gak sampai gugur gitu gak jadi tapi dari aku, aku kan masih kuliah, aku masih ingat orang tua. Tapi kalo dari pihak si cowokku nih dia tanya aku, “Kau gimana, kamu mau gak kalo tunangan, nikah gitu?” Aduh..., aku bilang “Aduh aku gak bisa soalnya aku sama kamu belum apa-apakan masih kamu baru mau semester gini aku semesternya mau selesai. Kamu baru tiga empat, mau gimana, anak ini nanti siapa yang jaga gitu-gitu kan....” (W1.S1.AL51)

Pernyataan lainnya,

“...Aduh mau gimana kan, jadi jalan satu-satunya, ya udah aku sama dia, udahlah mendingan kita ini aja. Belum siap, Istilahnya aku sama bojoku belum siap, jadi belum siap masih main-main. Lihat aja kayak sekarang berantem terus belum serius, serius ya..ada serius tapi gitu-gitu aja, belum siap kalo udah ada anak, aku belum siap sama dia.” (W1.S1.AL81)

Pada awalnya tindak aborsi yang dilakukan oleh subjek merupakan tindak aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) karena

dilakukan dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang dipercaya dapat mengugurkan janin, seperti minum sprite, makan buah nanas muda, dan makan rujak. Usaha sendiri subjek untuk menghentikan kehamilannya ternyata tidak berhasil sehingga sehingga memutuskan pergi ke dokter untuk mengugurkan kandungannya. Dokter hanya memeriksa subjek kemudian memberinya obat untuk diminum di rumah. Hal ini sesuai dengan pernyataannya,

“...Terus aku kan pernah dengar, orang hamil pakai spite, apa...sprite ya...minum-minum sprite, tapi gak bisa lagi. Udah sprite, udah ini apa nanas muda pokoknya semuanya udah aku cari gini, aku makan rujak, cari nanas muda gak bisa. Langsungkan hubungi pacarku, langsung pacarku bawa aku ke dokter kan sama temannya dia....” (W1.S1.MA53)

Pernyataan lainnya,

“...Ya..udah aku sama pacarku oke, langsung masuk di ruang itu, periksa-periksa, kasih obat-kasih obat terus pulang aku minum... Kayaknya obat aborsi gitu.” (W1.S1.MA53)

Akibat meminum obat dari dokter perut subjek merasakan dampak secara fisik diantaranya: mulas pada bagian perut. seperti seorang yang ingin buang air besar tetapi tidak bisa keluar dan bahkan sampai mengalami pendarahan sehingga ia segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik. Metode aborsi yang digunakan oleh subjek adalah metode kuret, yaitu membersihkan janin dalam rahim dengan menggunakan alat kuretase (sendok kerokan). Hal ini dilihat dari ungkapannya,

“...Langsung reaksi kan malamnya, reaksi-reaksi perutku udah sakit kan, sakit sekali (penekanan intonasi) sakit, sakit, pengen boker tapi gak keluar bokernya (buang tinja). Keluar masuk, keluar masuk kamar mandi.... Aku gak tahan, aku gak tahan besok subuhnya aku masuk rumah sakit tuh udah pendarahan, udah

pendarahan dibawa ke rumak sakit, masuk di ruangan ibu bersalin. Terus masuk di ruangan ibu bersalin, periksa-periksa, itukan aku minum obat jadi janin itu ditekan-ditekan udah sampai malam sampai subuh langsung janinnya keluar.” (W1.S1.MA51)

Pernyataan lainnya,

“Tanya-tanya, iya ini sakit ini, mau di kuret mau di ini, dokter bilang mau di ini.” (W1.S1.MA99)

Tindak aborsi yang dilakukan oleh subjek ternyata membutuhkan banyak biaya. Biaya aborsi ditanggung oleh subjek dan pacarnya. Subjek sendiri tidak berani berkata jujur pada keluarganya tentang kehamilan dan tindak aborsinya sehingga subjek berbohong pada orang tuanya untuk mendapatkan biaya aborsi. Hal ini dilihat dari pengakuannya,

“Oh... kalo biaya, aku yang tanggung semua. Ya..kan biayanya aku yang tanggung jadi dari keluarga pacar hanya biaya tanggungnya eh... gini keluarga pacarku tahu aku hamil jadi keluarganya dia, “Gimana,SS mau gimana?” Ya...kata si R, “SS mau digugurin aja,” Jadi, minta uang jadi keluarganya dia kasih 1juta untuk mau digugurin, yang masuk rumah sakit, aku semua yang tanggung. Jadi udah itu aku terpaksa tipu sama orang tuaku. Jadi, ya..iya kemarin itu sempat ini lho...kakakku sama si R sempat mau berantemkan gara-gara biaya, kok...aku aja yang tanggung kan , keluarganya dia gak nanggungkan. Ya..udah K kakakku langsung marah aku lagi. Kakakku udah, marah deh, “Kamu udah bikin malu malu keluarga....” (W1.S1.BA97)

c. Dampak dari Tindak Aborsi

Seseorang yang melakukan aborsi diyakini akan mengalami dampak fisik berupa resiko kesehatan dan dampak psikis berupa gangguan psikis yang terwujud dalam aneka macam bentuk atau disebut Post Abortion Syndrome (PAS). Tindak aborsi yang dilakukan oleh subjek 1 memiliki dampak baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik, subjek mengalami kesakitan pada bagian dalam perutnya

setelah meminum obat aborsi dari dokter. Selain itu subjek bahkan mengalami pendarahan karena tindak aborsi yang dilakukannya. Subjek pun masih harus merasakan sakit ketika proses pengeluaran janin meskipun sempat diberi obat bius. Hal ini ditunjukkan oleh ungkapannya,

“...Langsung reaksi kan malamnya, reaksi-reaksi perutku udah sakit kan, sakit sekali (penekana intonasi) sakit, sakit, pengen boker tapi gak keluar bokernya (buang tinja).... Aku gak tahan, aku gak tahan besok subuhnya aku masuk rumah sakit tuh udah pendarahan, udah pendarahan dibawa ke rumak sakit, masuk di ruangan ibu bersalin....” (W1.S1.DFA51)

Gejala- gejala Post Abortion Syndrome (PAS) yang dialami oleh subjek diantaranya: subjek diliputi ketakutan untuk bertemu dan berterus terang kepada ayahnya, takut jika berita tentang aborsinya sampai diketahui oleh tetangga atau teman satu daerah asal. Ketakutan untuk jujur telah mendorong seseorang untuk berbohong. Hal ini seperti yang dilakukan oleh subjek dan kakaknya yang berbohong pada orang tua tentang kehamilan dan aborsi pada subjek. Subjek sendiri baru akan mengungkapkan kehamilan dan tindak aborsi yang telah dilakukan kepada orang tua setelah ia lulus kuliah.. Hal ini dilihat dari pernyataannya,

“...Kan...kakakku suruh pulang kan. Aduh... aku langsung, udahlah aku nanti ngomong bapak sama mama. Kapan baru kamu ngomong. Habis ini aja habis kuliah aku, aku akan ngomong. Janjikan, aku janjiin dia selama kakakku habis kuliah aku harus ngomong. Makanya kalo habis kuliah ini aku harus ngomong, karna dia udah pulang duluankan kan udah di sana, udah wisuda.... Ini aku hamil bapak, mamaku gak tau, semua dirumah gak ada yang tau tapi orang-orang kupang yang ada di sini semua tau. Aku takutnya, orang KUP teman aku sama teman orang KUP ini, bapak mamanya kenal bapak mama kita kan. Kan di sana dekat-dekat aja.... Aku dirumah sakit 3 hari 4 malam, atau eh..3 hari kayaknya

gak lama-lama. Aku takut soalnya bapakku ada tugasnya di yogya sini. Takut lagi aku kan, mendingan aku keluar cepat...” (W1.S1.DPA51)

Gejala- gejala Post Abortion Syndrome (PAS) lainnya yang dialami oleh subjek di antaranya, subjek kerap terbayang-bayang anaknya yang diaborsi ketika mendengar cerita atau melihat acara di televisi yang mengisahkan tentang aborsi. Dalam diri subjek muncul perasaan kasihan pada anak yang telah diaborsinya dan perasaan bersalah karena telah membunuh anaknya sendiri. Subjek menjadi mudah tersentuh hatinya setiap mendengar cerita tentang aborsi dan cenderung diam bila melihat film tentang aborsi. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan subjek,

“Aku ya...terbayang-terbayang aja kaya diceritain, atau dengar di TV langsung aku kayak aduh...kasihan, aku kayak merasa bersalah kan aku udah salah. Kok bisa bunuh anakku gitu ya...aduh kasihan juga ya....pokoknya aku gitu ya...” (W1.S1.DPA83)

Pernyataan lainnya,

“Tapi kalo aku udah dengar cerita-cerita langsung aku sentuh langsung dihati. Aduh..aku diam-diam aja, pokoknya kalo lihat film tentang aborsi itu aku udah.. ya..muka udah lain kasihan ya...aku merasakan kayak mereka tapi ya udahlah.” (W1.S1.DPA85)

d. Upaya mengatasi PAS (Post Abortion Syndrome)

Pada subjek 1, upaya-upaya untuk mengatasi Post Abortion Syndrome (PAS), dilakukan dalam beberapa cara dengan lebih mengembangkan religiusitas seperti rajin berdoa untuk mengatasi perasaan bersalahnya, memohon ampun kepada Tuhan dan berdoa juga untuk anak yang telah diaborsinya. Subjek dan pacarnya juga

memberikan nama pada anak yang telah diaborsinya. Hal ini seperti yang diceritakannya,

“Ya.aku berdoa minta ampun, udah melakukan salahkan aku berdoa aja, minta ampun tapi tiap kali tanggal pas kan aku kan kemarin aku berdoa ini aja anak yang itu kan. Itu aku sama pacarku udah beri nama, pacarku udah beri nama dia

Dokumen terkait