• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Menular bersumber binatang

Dalam dokumen Mediakom Edisi 24 Juni 2010 - [MAJALAH] (Halaman 50-52)

Secara nasional ada beberapa penyakit bersumber binatang yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan yakni Malaria, Filariasis, Demam Berdarah, Chikungunya, Rabies, Flu Burung, Pes, Antraks, Schistozomiasis, Leptospirosis, Japanese Encephalitis dll. Sementara untuk Maluku Utara, penyakit menular bersumber binatang yang dikelola yakni Malaria, Filariasis, Demam Berdarah dan Rabies.

Sehubungan dengan Hari Malaria Sedunia di Maluku Utara, akan disampaikan dampak buruk Malaria, Filariasis, Demam Berdarah dan Rabies yang terjadi di Maluku

Utara dan bagaimana strategi penanggulangannya, khususnya Malaria. Sebab Maluku Utara sebagai salah satu wilayah endemis malaria pada tahun 2003 memiliki angka klinis 95,5%. Artinya dalam 1000 penduduk terdapat 95 orang terinfeksi malaria.

Malaria

Malaria apabila menyerang pada kelompok pada ibu hamil, berdampak buruk pada janin. Jumlah parasit cenderung 10 x lipat dibanding dengan wanita tidak hamil dan akhirnya terjadi anemi berat. Selama kehamilan, parasit malaria dalam plasenta dapat mengganggu penyaluran oksigen

dan nutrisi dari ibu ke janin. Risiko lainnya akan terjadi aborsi spontan, bayi lahir mati, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah.

Bila menyerang pada kelompok balita, akan mengakibatkan perkembangan otak tidak maksimal. Otak menjadi kosong seperti kurang gizi. Jika terjadi pada usia pra sekolah dan usia sekolah, akan mengakibatkan tingginya angka absensi, sehingga peyerapan pelajaran tidak optimal. Jika menyerang kelompok usia produktif akan kehilangan 40-60% produktiitasnya.

Selain tinjauan penyakit, dapat juga dihitung kerugian material. Pada tahun 2003 total kunjungan penderita malaria 71.240 kasus. Dengan menggunakan kerugian

materi akibat malaria, Prof. Ascobat Gani, Maluku Utara mengalami kerugian Rp 23,8 Milyar.

Melalui bantuan Global Fund sejak tahun 2003, pemerintah melakukan berbagai intervensi berupa

penemuan kasus, pengobatan, kelambunisasi, penyemprotan rumah, peningkatan mutu sumber daya pelaksanaan kegiatan lain untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat malaria.

Selama 5 tahun melakukan intensiikasi penanggulangan penyakit malaria, puskesmas telah menemukan kasus malaria mengalami penurunan, hingga Oktober 2008 penurunannya sebesar 57%. Informasi ini juga

diperkuat oleh data rawat inap di RSUD H.Chasan Boesoirie Ternate. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari upaya penanggulangan yang dilaksanakan secara sistematis dengan nama Malaria center.

Untuk mendukung pelaksanaan operasional penanggulangan malaria, Pemerintah daerah menggelontorkan dana Rp 50.000/ kasus. Sebagai contoh di Halmahera Utara tahun 2007 mempunyai kasus 62,6‰ ( 11.450 kasus/ tahun), maka untuk menurunkan 1.448 kasus mengalokasikan dana Rp 572.500.000 selama 5 tahun.

Filariasis

Filariasis bukanlah penyakit yang dapat menimbulkan kematian. Namun akibat yang ditimbulkan

Nasional

kecacatan seumur hidup. Penyebab kemiskinan dan kebodohan akibat pembesaran pada kaki, tangan, scrotum dll. Oleh sebab itu harus dilakukan eliminasi. Hal ini telah menjadi komitmen global hingga tahun 2020.

Filariasis disebabkan oleh cacing ilaria yang bersarang di kelenjar limfe dan ditularkan oleh sejenis nyamuk anopheles, aedes, culex dan monsonia.

Berdasarkan Survey Darah Jari yang dilakukan tahun 2005-2006 terdapat 5 kabupaten / kota yang memiliki angka mikroilaria rate di atas 1 %, yakni Kota Tidore (1,3%), Halmahera Barat ( 2,29%), Halmahera Utara (1,49%), Halmahera Tengah

(1,2%) dan Kepulauan Sula ( 1,5%). Terhadap 5 kab/kota tersebut direkomendasikan untuk melakukan pengobatan massal selama 5 tahun berturut-turut yang mencakup seluruh penduduk, kecuali: 1). anak-anak usia < 2 tahun menunggu sampai umur 2 tahun. 2) Ibu hamil dan menyusui,

menunggu sampai lepas menyusui. 3) Orang yang sedang sakit

menunggu sembuh, 4) Penderita ilariasis dengan serangan akut, menunggu sampai sembuh. 5) orang tua yang lemah. 6) penderita dengan serangan epilepsi.

Hingga saat ini, baru Kota Tidore Kepulauan yang melaksanakan pengobatan massal tahun pertama. Operasional kegiatan pengobatan dibebankan kepada pemerintah

daerah, sementara obat disiapkan oleh pemerintah provinsi dan pusat. Sedangkan Kota Ternate, Kabupaten Halmahera selatan dan Halmahera Timur direkomendasikan melaksanakan Survey Darah Jari.

Demam Berdarah

Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aides Aegepty ini sudah lama di kenal di Maluku Utara. Kasus pertama muncul di Indonesia tahun 1968 dan di Maluku Utara pada tahun 1980-an.

Indikator keberhasilan

penanggulangan DBD tahun 2010 menggunakan incidence rate (kejadian baru) sebesar < 5/100.000 penduduk, Case Fatality Rate

( Kematian) < 1%, Frekwensi KLB < 5 % dari jumlah desa di Kab /Kota dan angka bebas jentik > 95%.

Khusus Maluku Utara, sejak 3 tahun terakhir, pada tahun 2006 hanya 2 kabupaten yang setiap tahun terjadi KLB yakni Kota Ternate dan Kota Tidore dengan jumlah penderita 138 dan CFR sebesar 2,9 %. Pada tahun 2007 penyakit ini mulai menyebar ke 7 kabupaten, kecuali Sula Kepulauan dengan IR (angka kejadian) sebesar 27/100.000 penduduk.

Sesuai dengan pemantauan Iswahyudi, SKM ( Tim Malaria Center Malut), nyamuk penular demam berdarah biasanya berada di pot bunga, penampung air dispenser, penampung air kulkas, drum penampung air, bak mandi, botol,

gelas aqua dan kulit-kulit kelapa yang dibelah.

Rabies

Di beberapa negara Amerika Latin, penyakit rabies ditularkan oleh Kelelawar Vampir. Sehingga ada sebagian orang yang mendengar penyakit rabies, langsung terpikir dengan cerita horor yang biasa ditonton yakni Drakula/Vampir.

Rabies dilaporkan pertama kali tahun 2300 SM. Kemudian abad I, Aulus Cornelius Celcius telah mendiskripsikan penyakit ini secara akurat. Tepatnya 1880, Lius Pastur mengembangkan vaksin rabies. Rabies, virus yang menyerang otak dan system syaraf menyebar dari binatang, terutama mamalia ke manusia.

Binatang yang terinfeksi menyebarkan virus melalui gigitan, cakaran dan jilatan. Virus ini banyak ditemukan pada air liur binatang. Di Asia paling banyak disebabkan oleh gigitan anjing dengan masa inkubasi 6 hari-6 tahun.

Penyakit ini mulai muncul di Maluku Utara sejak februari 2005, yakni daerah Tobelo. Hingga tahun 2008, secara komulatif rabies sudah menyebar di 5 kabupaten / kota yakni Halut, Halbar, Haltim, Halsel dan Halteng.

Bila terpapar rabies, segera cuci luka dengan sabun dan air mengalir. Lakukan disenfeksi dengan ethanol atau iodium. Jika tidak ada infeksi mendesak, luka jangan dijahit.

Kesuksesan Maluku Utara menjadi tempat penyelenggaraan HMS, diharapkan menjadi pendorong bagi peningkatan penanggulangan penyakit malaria khususnya dan penyakit bersumber binatang pada umumnya. Sebab selain malaria, penyakit menular bersumber binatang lainnya juga tetap menjadi ancaman bagi masyarakat bila tak diwaspadai.npra

Nasional

U

ntuk menghadapi persaingan di Era Globalisasi, para pengelola fasilitas pelayanan kesehatan dituntut meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan menuntut perbaikan pengelolaan semua sumber daya kesehatan termasuk layanan pengujian dan kalibrasi sarana, prasarana dan peralatan kesehatan.

Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, telah ditetapkan target peningkatan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan sebanyak 231 fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi kualitas sesuai standar aman serta sebanyak 800 fasilitas pelayanan kesehatan yang telah melakukan kalibrasi dan proteksi radiasi.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan dr. Ratna Rosita, MPHM dalam sambutannya yang dibacakan Kepala Pusat Sarana, Prasarana dan Peralatan Kesehatan, Sukendar Adam, DIM, M.Kes, ketika membuka rapat kerja Pusat Sarana Prasarana dan Peralatan Kesehatan dengan Unit Pelaksana Teknis (Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan) di Solo tanggal 14-17 April 2010.

“Jaminan kualitas dalam pengujian dan kalibrasi merupakan tuntutan bagi para penerima jasa layanan

kesehatan. Oleh karena itu, sumber daya yang ada perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Pengelolaan pelayanan pengujian dan kalibrasi pada fasilitas pelayanan kesehatan yang baik adalah pengelolaan yang memenuhi kaidah ketentuan pengelolaan layanan pengujian dan kalibrasi”, ujar dr. Ratna Rosita.

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 50% peralatan kesehatan di negara berkembang tidak berfungsi, karena kurang pemeliharaan. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu dengan melakukan pengujian dan kalibrasi pada sarana, prasarana dan peralatan kesehatan yang ada, tambah Sesjen.

Sesjen menambahkan, upaya mewujudkan jaminan kualitas Sarana Prasarana dan Peralatan Kesehatan (SPA) pada fasilitas kesehatan bukan hanya tanggung jawab Kemkes RI tetapi juga stakeholder, sehingga diperlukan peran aktif rumah sakit dan Dinas Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/ Kota untuk mewujudkan SPA yang baik.

“Fasilitas pelayanan kesehatan dituntut memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang

berorientasi pada kesehatan individu, mencakup promosi kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta rehabilitasi”, kata dr. Ratna Rosita.

Kepala Pusat Sarana Prasarana dan Peralatan Kesehatan Sukendar Adam, menyatakan, sesuai UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan

Dalam dokumen Mediakom Edisi 24 Juni 2010 - [MAJALAH] (Halaman 50-52)

Dokumen terkait