• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Menular (PM) 1. Penyakit TB

POTRET KESEHATAN

3.3. Penyakit Menular (PM) 1. Penyakit TB

Penyakit TB atau TBC masih ada di Desa Jenetallasa sesuai data Puskesmas Tompobulu. Masyarakat lebih sering menyebutnya TBC. Penderita TB lebih banyak dijaring oleh Puskesmas dengan dua cara, yaitu penjaringan aktif dan penjaringan pasif. Penjaringan aktif adalah sikap aktif masyarakat yang datang ke Puskesmas untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Mula-mula seseorang datang dengan keluhan

ta’roko-roko (batuk-batuk). Adapun penjaringan pasif adalah

penemuan penderita TB oleh petugas ketika melakukan kunjungan lapangan. Biasanya didahului oleh laporan dari kader bahwa seseorang diduga menderita TB berdasarkan gejalanya yaitu batuk berdahak dan keluhan nyeri di dada. Atas laporan dari kader, petugas Puskesmas kemudian melakukan kunjungan ke rumah warga tersebut. Petugas menyatakan:

“Iyaa, batuk (ta’roko-roko) batu-batuk yang tak sembuh-sembuh, e…mungkin dia sudah mencoba minum obat sendiri

di rumah, e…belum sembuh-sembuh baru datang ke tempat layanan kesehatan.”

TBC atau TB ditandai dengan ta’roko-roko (batuk-batuk), sesak nafas seperti asma hingga ta’langnge cera’ (muntah darah). Batuk disertai dengan lendir (dahak) dengan nafas yang seolah akan putus. Pada kasus yang sudah kronik dapat menyebabkan muntah darah dan berujung kematian

“TBC kalo orang bilang disini TBC ki,, e… iyaaa hehehe, kalo TBC kan tingkatannya lebih tinggi dari.. mereka sudah tau kan kalo ta’roko-roko itu batuk biasa, … tapi kalo dibilang TBC itu dia sudah tau kalo ini penyakit menular, e… yang di stigma bahwa nda bisaki terlalu bergaul begitu sama si penderita itu Karena dia menderita TBC bisa menular, menular sama kita seperti itu.”

Adalah bapak Sampe (57 tahun) yang masih bekerja sebagai petani sayur terdengar batuk-batuk berdahak. Semenjak sakit, dia tidak bisa lagi mengurus kebunnya seperti dahulu. Sesekali hanya menyemai kebun yang ada di samping rumah. Untungya dia punya anak laki-laki yang bisa menggantikannya di kebun. Bapak ini biasa menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari. Batuknya biasanya lebih sering menyerang pada malam hari bahkan membuat tidurnya tidak lelap.

Pada awalnya, dia memeriksakan diri kepada dokter dan diberi obat namun tidak menunjukkan perubahan. Tahun 2013, seoarang anaknya yang tinggal di Jayapura mengajaknya kesana. Selain untuk bertemu keluarga, sang anak juga bermaksud mengobatinya. Mengapa ke Jayapura? Rupanya sang anak mengetahui bahwa jika tetap di kampong halaman maka sang bapak tidak akan berhenti ke kebun, tetap bekerja keras walapun sakit sehingga akan memperburuk keadaannya. Dia tinggal selama 9 bulan di Jayapura dan sempat melakukan pemeriksaan di rumah sakit setempat bahkan melakukan ct scan (foto torax).

“Nakana dottoroka bokkaki be paru-paruku (kata dokter, paru-paru saya luka bokka).”

Di Jayapura dia diberikan obat oleh dokter. Dalam sehari, obat tersebut diminum 2 atau 3 butir. Dia tidak begitu ingat lagi secara pasti. Dia juga divonis menderita tifus. Selain batuk-batuk berdahak, dia juga tampak kurus. Selama ini, untuk mempercepat kesembuhan, selain meminum obat dari dokter, dia juga berobat ke dukun atau orang pintar untuk diurut. Dia juga mengaku pernah mati separuh (sebelah) badannya yang membuatnya terjatuh dari rumah ketika menuruni tangga. Sebelum ke Jayapura, dahulu juga pernah dirontgen di RS Bantaeng tetapi penyakitnya tidak ditemukan. Oleh karenanya, dia juga mencari pengobatan ke dukun.

Kondisi Rumah

Sebagian besar rumah di Desa Jenetallasa adalah rumah panggung. Rumah batu baru menjadi pilihan beberapa tahun terakhir. Rumah panggung biasanya dibuat dari kayu yang berasal dari kebun warga sendiri. Kolong rumah dijadikan kandang kuda dan ternak lainnya seperti kambing dan ayam. Kolong rumah didinding pagar yang terbuat dari bambu yang dibuat sedemikian rupa. Di dalam kolong rumah terasa sumpek dan pengap. Namun, kolong rumah juga tidak gelap karena sinar matahari masih bisa masuk disela-sela pagar pelapah bambu. Selain ternak, di kolong rumah juga ada peralatan perkebunan dan hasil kebun, termasuk makanan ternak.

Teras rumah didinding dengan tinggi sekira 100-120 cm. Bahkan banyak rumah yang terasnya hanya diberi pembatas balok setinggi 60-100 cm tanpa ditutupi seng atau papan sehingga bisa dilihat oleh tetangga dan orang-orang yang lewat di depan rumah.

Rumah-rumah di Desa Jenetallasa umumnya tidak mempunyai ventilasi yaitu lubang kecil di atas jendela sebagai

tempat pertukaran udara, masuk dan keluar rumah. Di atas jendela hanya terdapat kaca yang berfungsi untuk pencahayaan tetapi sama sekali tidak terbuka dan tidak ada lubang udara. Jendela rumah pun sangat jarang dibuka. Cuaca sejuk bahkan dingin akan terasa sampai ke dalam rumah bahkan ke dalam kamar sekalipun. Faktor lingkungan inilah yang mempengaruhi disain rumah yang umumnya tanpa ventilasi.

Kebersamaan keluarga dan kebiasaan membuang dahak

Setiap pagi saya dengan mudah melihat tetangga asyik merokok dan minum kopi di teras rumahnya. Sambil menikmati udara pagi, warga duduk-duduk bersama anggota keluarganya. Paling sering saya lihat adalah ayah dan anaknya. Khususnya laki-laki, lebih banyak tampak masih berselimutkan sarung. Kebersamaan dengan keluarga juga nampak saat menonton televisi. Orang tua dan anak-anak biasanya menonton televisi. Kebersamaan dengan keluarga juga tampak pada saat makan. Semua angota keluarga akan dipanggil jika waktu makan. Disela-sela makan biasanya terjadi percakapan satu sama lain.

Seperti yang dikemukakan oleh salah satu informan kami Dg. Cc (50 tahun) bahwa:

“Biasanya kita berkumpul kalau mau makan malam bersama-sama. sudah sembahyang maghrib biasanya kita kumpul di meja makan, setelah itu biasa kumpul lagi di depan televisi, paling nonton sinetron, apalagi anak-anak sama mamanya suka sekali sinetron. Biasa sampai tertidur di depan televisi.

Hal senada juga dikemukakan oleh Dg. Bu 35 tahun bahwa:

“Kita di sini itu punya kebiasaan kumpul-kumpul di ruang televisi kalau sudah malam. Sudah sholat maghrib dan sudah makan. apalagi di desa ini dingin jadi rasanya semakin seru, ambil kasur, selimut. Bapaknya sambil

merokok, minum kopi. Kalau ada pisang biasanya goreng pisang, bikin teh, biar hangat-hangat badan.

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa sebuah kebersamaan sangat mudah kita temui pada masyarakat desa Jenetallasa. Apalagi desa ini memiliki kebiasaan berkumpul atau dengan bahasa lain a’bulo sibatang.

Selain kebiasaan kumpul-kumpul bersama keuarga, ada sebuah kebiasaan yang tidak disadari oleh beberapa masyarakat desa Jenetallasa, yakni kebiasaan membuang ludah atau dahak. Terlebih bagi para kaum bapak yang perokok dan pecandu kopi.

Kadang-kadang mereka ada yang batuk dan bersin tanpa menutup mulut dan hidung dengan sapu tangan. Interaksi seperti ini, jika ada yang menderita TB, maka sangat mudah menyebarkannya kepada anggota keluarga yang lain.

Perilaku membuang dahak di sembarang tempat juga terlihat di desa ini. Seperti dua warga yang bisa saya perhatikan hampir setiap pagi. Mereka duduk-duduk di teras rumahnya sambil merokok. Sesekali terdengar batuk dan seketika membuang dahaknya ke tanah. Setiap orang yang batuk biasanya langsung membuang dahaknya di sekitarnya.

3.3.2. Kusta

Kusta dikenal oleh warga dengan nama kandala. Nama lain

kandala adalah panya’muru. Kandala menurut warga adalah

penyakit yang diderita karena kiriman dari orang lain, yaitu ketika seseorang suka melakukan sesuatu yang tidak baik kepada orang lain maka akan mendapatkan sesuatu yang buruk sebagai balasan. Istilah panya’muru juga menyiratkan kutukan atas perbuatan jelek kepada orang lain, misalnya mencuri ternak.

Penderita kusta relatif tertutup. Stigma penyakit kusta sebagai penyakit kutukan masih kuat. Penderita tidak memahami

penyebab dan gejala kusta sehingga biasanya pada stadium empat baru ketika jari-jemarinya telah melengkung atau cacat baru diketahui. Itu pun informasinya dari masyarakat bahwa ada warga yang menderita. Penderita tidak proaktif bahkan lebih banyak ditemukan oleh petugas dan kader kesehatan di desa.

Di desa Jenetallasa terdapat keluarga yang menderita kusta. Pada tahun 1985, keluarga ini sudah diobati oleh dokter dari Belanda. Seorang ayah menderita kusta bersama tiga orang anaknya. Sang ayah ini sudah lama meninggal. Berselang beberapa tahun kemudian salah seorang anaknya yang menderita kusta juga meninggal. Saat ini masih hidup dua kakak beradik ini. Sang kakak adalah seorang laki-laki dan adiknya seorang perempuan. Ibu mereka sudah tua dan tidak menderita kusta sebagaimana suami dan ketiga anaknya.

“Kandala, penyakit kandala itu kusta kalo orang Makassar bilang toh, kalo kusta itu…e.. jarang pak ada orang penderita kusta itu datang memeriksakan diri umumnya mereka ditemukan oleh petugas kesehatan biasanya juga sama e..apa.., kader-kader yang ada di Desa atau.. biasanya kalo mereka sudah dibekali pengetahuan e.. kusta itu seperti ini.., seperti ini.., nanti misalnya ada keluarga atau kader atau anggota masyarakat yang mengetahui atau melihat ciri-ciri seperti itu, biasanya dia melaporkan ke petugas kesehatan dan petugas kesehatan yang turun karena kalo mereka yang di harapkan untuk datang ke tempat layanan e… kayanya belum bisa karena itu tadi stigmanya yang sudah yang sangat tinggi dan apalagi kalo sudah disertai dengan tingkat kecacatan itu mereka sudah tidak mau lagi berhubungan dengan petugas kesehatan”

Sehari-hari penderita ini bekerja sebagai pekebun. Saat diwawancarai di kebunnya, dia menceritakan bahwa dia tidak

mengetahui apa nama penyakitnya. Waktu itu (tahun 1985) hanya diberikan obat dari dokter asal Belanda. Jari-jemari tangan dan kaki penderita ini sudah cacat. Saya lihat dari luar, tangannya sudah kering. Tetapi menurutnya tahun lalu salah satu bagian jemari yang masih tersisa tulangnya mengeluarkan nanah sehingga dia berisitirat di rumahnya. Ketika nanah kembali muncul tahun lalu itu, dia tidak beraktivitas di kebun beberapa hari. Hal ini sesuai informasi dari tetanganya bahwa jika Pak B tersebut tidak ke kebun beberapa hari berarti penyakitnya sedang kambuh.

Tanggapan lain berasal dari tetangga penderita yang lain. Adalah ibu Nuru yang sudah belasan tahun hidup bertetangga. Rumah ibu Nuru dan pak B hanya berjarak sekitar 50 meter. Posisi kedua rumah hampir berhadapan. Menurut ibu Nuru, penyakit yang diderita pak B tidak akan berpindah (menular) walaupun bersentuhan, seperti berjabat tangan. Menurutnya, penyakit yang diderita pak B (kusta) hanya akan diderita oleh orang yang punya garis keturunan yang sama. Buktinya, ibu dari pak B tidak menderita padahal suami dan anak-anaknya semua menderita.

3.3.3. Frambusia

Kasus temuan yang diduga frambusia masih harus dibuktikan dengan pemeriksaan klinis yang cermat. Setidaknya ada dua orang di Desa Jenetallasa yang menderita penyakit ‘frambusia’ ini. Seorang laki-laki yang masih hidup sampai sekarang dan seorang lagi adalah istrinya yang telah lama meninggal dunia. Sebut saja Pak R, laki-laki berusia 45 tahun ini telah menderita penyakit kulit yang diduga frambusi ini selama 12 tahun. Waktu itu anak keduanya belum genap berumur satu tahun dan saat ini sudah berumur 13 tahun.

Istri Pak R meninggal karena penyakit yang sama dengan penyakitnya ini. Pak R lebih dahulu menderita dan beberapa waktu setelah itu istrinya pun tertular. Sang istri hanya menderita sekitar 3 bulan dari awal munculnya benjolan berupa bisul. Bisul itu kemudian cepat membesar dan menyerang leher sebelah kiri. Menurut Pak R, ketika istrinya sakit parah, air yang telah diminum oleh sang isteri akan keluar di lehernya karena berlubang. Kondisi inilah yang menyebabkan isteri Pak R meninggal, sekitar 12 tahun yang lalu.

Kondisi penyakit kulit yang didertia Pak R semakin meluas. Luka yang menganga di dada terbentang dari atas pusar hingga nyaris mencapai pundak kiri dan kanan, mencakup di pangkal kerongkongan. Luka ini juga terbentang di antara puting susu kiri dan kanan. Luka tampak mengelupas, sebagian terlihat kering dan sebagian lagi terlihat masih merah muda. Karena itu, sudah sejak lama Pak R tidak memakai baju. Sehari-hari, Pak R hanya berselimut sarung. Kedua tangannya menutup menyilang di dadanya dengan sarung.

Seperti diceritakan oleh ayah 2 orang anak ini. Pada awalnya, hanya muncul benjolan sebesar biji jagung di dadanya bagian atas. Benjolan saat itu berupa bisul. Dalam waktu yang tidak lama, bisul yang awalnya sebesar biji jagung kemudian membesar menjadi seukuran telur ayam dan pada akhirnya meletus. Hanya butuh waktu sekitar 5 bulan dari benjolan sebesar biji jagung menjadi seukuran telur ayam dan meletus.

Saat bisul tersebut meletus, nanahnya meleleh. Rasanya panas dan gatal. Hingga saat ini pun, jika ada nanah yang keluar, selalu terasa panas dan gatal. Pak R hanya melap nanahnya dengan secarik kain setiap keluar nanah. Semenjak saat itu, berbagai ‘pengobatan kampung’ dilakukan, beragam obat diminum, baik yang dibeli di warung-warung, di pasar maupun pada penjula obat dari kampung ke kampung. Adapun

pengobatan ke dokter baru dilakukan sekitar satu tahun setelah bisul tersebut pecah.

Beberapa tahun yang lalu, Pak R berobat ke salah satu RS rujukan di Makassar dan disarankan untuk dioperasi. Juga diberikan obat minum selama di RS. Hanya saja, Pak R karena tidak tahan dengan cara perawatan luka yang dialaminya. Menurutnya, perawat yang melakukan ganti perban dua kali sehari langsung mencopot perbannya begitu saja sehingga rasanya sangat sakit. Hal inilah yang membuat Pak R tidak bertahan di RS dan memilih kembali ke rumah.

Berselang sekitar dua tahun kemudian, Pak R atas keinginan sembuh dari banyak keluarganya, kembali berobat ke RS di Makassar. Kali ini, Pak R berobat ke RS yang berbeda dengan RS yang pertama tetapi termasuk RS rujukan di Makkassar. Selama dirawat di RS, Pak R diberikan obat minum dan disarankan agar dilakukan operasi namun tidak bersedia karena takut. Pak R juga mengalami cara perawatan luka dari perawat seperti pada RS pertama. Menurutnya, perawat tidak hati-hati dalam membuka perban sehingga rasanya sangat sakit. Hal inilah yang membuat Pak R kembali meminta keluar dari RS untuk kedua kalinya.

Hingga saat ini, sudah banyak pengobatan alternatif yang digunakan. Setiap ada informasi yang menyebutkan bahwa di suatu tempat terdapat ‘orang pintar’ maka akan dikunjungi. Setidaknya, ada 3 ‘orang pintar’ yang terakhir mengobatinya. Bahkan ada dukun yang meminta disiapkan kambing sebagai bahan pengobatan. Semua dukun yang pernah didatangi mengatakan bahwa sakit yang diderita Pak R disebabkan oleh guna-guna. Menurutnya, penyakit ini adalah penyakit kiriman dari sesama manusia.

Dukun yang pertama meminta disiapkan seekor kambing. Pak R juga diminta menyiapkan minyak kayu putih. Dukun

kemudian memberikan daun sirih yang telah ditumbuk dan dicampur dengan suatu ramuan untuk ditempelkan ke luka. Dukun yang kedua meminta disiapkan ayam jantan berbulu warna merah. Sang dukun kemudian memandikan Pak R dengan air yang telah dijampi. Dukun juga memberikan air yang telah dijampi untuk diusapkan ke luka. Kedua pengobatan dari dukun ini tidak membawa perubahan kesembuhan. Bahkan menurut Pak R lukanya semakin parah.

Adapun dukun yang ketiga juga seorang laki-laki, sama dengan dua dukun sebelumnya. Dukun ketiga ini adalah keluarga dari salah seorang kerabatnya. Berbeda dengan dua dukun sebelumnya, menurut Pak R, dukun yang ketiga ini hanya menyuruh agar setiap hari mandi dengan air hangat. Minimal luka dibersihkan dengan air hangat. Dukun juga tidak memberikan ramuan tertentu. Perawatan seperti inilah yang dilakukan hingga saat ini oleh Pak R, yaitu mencuci luka dengan air hangat dua kali sehari. Pak R hanya pasrah dengan keadaannya sambil berharap suatu saat bisa sembuh. Wajahnya tetap selalu ceria dan ramah seolah tidak menderita apapun. 3.4. Penyakit Tidak Menular (PTM)

3.4.1. Hipertensi (Tinggi Dara)

Sebelum membahas mengenai tekanan darah tinggi atau hipertensi, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang tekanan darah. Saat kita melakukan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis ke dokter, biasanya ada alat khusus yang digunakan oleh dokter untuk memeriksa tekanan darah. Alat untuk memeriksa tekanan darah disebut sphygmomanometer atau dikenal juga dengan tensimeter. Ada tensimeter digital dan ada juga tensimeter air raksa yang masih umum digunakan untuk pemeriksaan klinis.

Pada masyarakat awam sistole maupun diastole dikenal dengan bacaan atas (sistole) dan bacaan bawah (diastole). Pada dasarnya hipertensi ditandai dengan terjadinya peningkatan tekanan darah yang hanya dapat diketahui apabila seseorang melakukan pengukuran tekanan darah.

Apa yang menyebabkan tekanan darah bisa meningkat? Sebagai ilustrasi, jika Anda sedang menyiram kebun dengan selang. Jika Anda menekan ujung selang, maka air yang keluar akan semakin kencang. Hal itu karena tekanan air meningkat ketika selang ditekan. Selain itu, jika Anda memperbesar keran air, maka aliran air yang melalui selang akan semakin kencang karena debit air yang meningkat. Hal yang sama juga terjadi dengan darah Anda. Jika pembuluh darah Anda menyempit, maka tekanan darah di dalam pembuluh darah akan meningkat. Selain itu, jika jumlah darah yang mengalir bertambah, tekanan darah juga akan meningkat.

Dari beberapa kasus yang terjadi di desa Jenetallasa, yakni hipertensi yang secara tidak disadari oleh masyarakat. Mereka baru mengetahui dan menyadarinya ketika mereka melakukan tensi darah, baik dilakukan oleh bidan desa maupun ketika berobat ke Puskesmas Tompobulu maupun Loka. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu informan kami, yakni Ibu Mj, 50 tahun yang mengatakan bahwa:

“Dulu pernah saya periksa darahku di Puskesmas Loka Bantaeng, itu tekananku sekitar 180/100. Orang di Puskesmas juga heran liat tekanan darahku waktu itu. Karena tinggi sekali. Itu waktu tahun 2008. Memang, biasa sering sakit kepala saya rasa yang bagian belakang leher, sering pusing, biasa juga penglihatanku terputar-putar. Kalau sakit begitu saya rasa, biasanya langsung pergi tidur saja atau baring-baring. Biasa sampai tiga hari. Kalau tiba hari pasar di Loka, saya ke pasar sekalian

biasa periksa di Puskesmas, biasaka juga beli obat untuk pegal-pegal (mala’-mala’), karena biasa saya rasa juga sakit badanku. Baru setelah dari pasar saya ke Puskesmas periksa. Diperiksa saja, dikasi tau jangan makan asin-asin. Kurangi minum kopi. Baru setelah itu dikasih obat. Saya tidak tahu obat apa itu yang jelas katanya untuk kasih turun tekanan darah.”

Lebih lanjut Ibu Mj menjelaskan bahwa:

“Waktu tahun 2010 saya pernah makan kambing waktu acara aqiqahnya saudara saya, banyak saya makan saat itu. Alhasil, saya pergi periksa di dokter Muhammad di Loka tensi saya 200/100. Awalnya tidak terlalu oleng saya rasakan. Nanti hari kedua baru terasa sekali sakitnya kepala dan leher saya. Saya suruh anak saya pergi lagi ke pak Muhammad minta obat. Dikasi obat untuk kasi turun tekanan darah lagi. Saya minum sampai tiga hari baru ada perubahan saya rasa. Setelah itu, anak saya beli ikan kering mangareppo di Boro. Saya makan lagi itu ikan kering asin mangareppo, tambah sakit saya punya kepala, kaku sekali rasanya leherku. Akhirnya saya, dua hari tidak bisa keluar rumah tidak pergi ke kebun kerja. Saya diberi tahu sama tetangga kalau mau cepat sembuh minum daun kopi saja. Daun kopi yang daunnya besar. Akhirnya saya coba minum, dibuatkan sama anak saya. Saya minum selama dua hari juga saya masih minum obat dari pak Muhammad. Kalau pagi saya minum itu air rebusan daun kopi.”

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa kerentanan masyarakat terkena hipertensi itu disebabkan karena pola makan. kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang memiliki kandungan yang dapat memberikan efek terhadap tekanan darah, seperti kambing, kuda, ikan asin apalagi jenis ikan kering yang bernama mangareppo atau juku ko’bi atau

bahasa indonesianya ikan yang dicubit-cubit karena saking asinnya ikan ini.

Perilaku yang berujung pada sebuah habit ini pastinya memberikan dampak terhadap masyarakat. Walaupun tidak semua masyarakat desa Jenetallasa mengetahui dampaknya. Ada yang mengetahuinya setelah merasakan gejala-gejalanya, dan adapula yang mengetahui setelah melakukan pemeriksaan dinakes setempat dan didiagnosis oleh nakes tersebut bahwa potensi tinggi dara.

Selain pengobatan medic yang dilakukan oleh masyarakat desa Jenetallasa untuk self seeking behavior, masyarakat desa Jenetallasa (juga) pada umumnya melakaukan pengobatan a la tradisional, yakni dengan meminum ramuan-ramuan yang diketahuhi dapat menyembuhkan dan menurunkan tekanan darah yang lagi tinggi. Ramuan itu sejenis daun kopi yang direbus lalu air rebusannya diminum oleh si penderita, minimal satu kali dalam sehari.

Lebih lanjut lagi Ibu Mj menjelaskan bahwa:

“Baru lagi saya periksa tekanan darahku ini. Dan baru juga kali ini ada pemeriksaan yang dilakukan oleh bidan