• Tidak ada hasil yang ditemukan

JENETALLASA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.2. Geografi dan Kependudukan 1. Letak Geografi

2.2.5. Pola Tempat Tinggal

Dalam pengertian luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan (secara struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan layak, dipandang dari segi kehidupan masyarakat. Rumah dapat dimengerti sebagai tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga.

Rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, untuk bergaul dengan tetangga, bahkan bisa lebih dari

itu, member kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa kehidupan.

Di samping itu, rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Dalam kacamata kebudayaan, rumah adalah tempat untuk mewariskan sebuah kebudayaan, share kebudayaan. Jadi, setiap tempat pemukiman memiliki sistem nilai yang berlaku bagi warga/masyarakatnya. Sistem nilai tersebut kemungkinannya akan berbeda dengan pemukiman lainnya, hal itu bergantung pada kondisi masyarakat setempat.

Selain sebagai tempat tinggal untuk manusia, rumah juga sebagai tempat tinggal hewan yang juga memiliki ruang khusus pada bagian rumah.

1. Fungsi setiap rumah, bentuk rumah, tata letak rumah

Turner (dalam Jenie, 2001) mendefenisikan tiga fungsi utama yang terkandung dalam sebuah rumah tempat bermukim, yakni:

a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga (identity) yang diwujudkan pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah. Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berteduh guna melindungi diri dari iklim setempat.

b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk berkembang dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi atau fungsi pengembang keluarga. Kebutuhan berupa akses pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan. c. Sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti

terjaminnya keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan

perumahan yang ditempati berupa kepemilikan rumah dan lahan.

Selain fungsi tersebut di atas, rumah juga berfungsi sebagai wadah untuk lembaga terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Juga sebagai wadah bagi berlangsungnya aktivitas manusia bersifat intern dan pribadi. Jadi, tidak semata-mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan dan pengaruh fisik, melainkan juga merupakan tempat beristirahat setelah melakukan aktivitas keseharian dan menjalani perjuangan hidup sehari-hari. Salah satu informan kami Dg. Sr mengungkapkan bahwa:

“Saya lebih menyukai rumah yang terbuat dari batu daripada rumah kayu. Karena kalau rumah batu tidak goyang-goyang kala ada angin kencang, atau kalau musim hujan dan angin tiba. Jadi, kita bisa nyenyak tidur kalau malam. Kalau rumah kayu biasa goyang-goyang kalau sudah ada angin kencang, jad tidur kita tidak nyenyak dan tidak tenang. Kalau sudah tidak nyenyak tidur besok kalau ke kebun pasti mengantuk, jadi loyo juga bekerja kalau sampai di kebun.”

Hal di atas memberikan gambaran bahwa rumah dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat yang tenang, walaupun rumah tersebut terbuat dari bahan baku dari batu dan semen ataupun dari kayu.

Konsep arsitektur pada masyarakat Bugis-Makassar pada umumnya bermula dari suatu pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat Bugis-Makassar yang disebut Sulapa Appa yang menunjukka upaya untuk “menyempurnakan diri”. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk “Segi Empat”. Filosofi yang bersumber

dari “mitos” asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan angin.

Gambar 2.10.

Bentuk Rumah di Desa Jenetallasa Sumber: dokumentasi peneliti

Dalam proses mendirikan rumah pada sebagian masyarakat di Desa Je’ne Tallasa ini, mereka selalu meminta pertimbangan dari Panrita Balla untuk pencarian tempat yang dianggap cocok dan baik. Panrita Balla ini menguasai atau memiliki pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah, dimulai dari pemilihan jenis kayu, menghitung berapa tiang (benteng), berapa pasak (pattoddo) yang akan dipakai, termasuk ornament atau elemen bangunan rumah hingga akhirnya merekonstruksi rumah yang diinginkan serta perlengkpan lainnya. Peranan seorang panrita balla sangat menentukan melalui nasehat-nasehat mereka yang akan menjadi pegangan bagi penghuni rumah, kepercayaan tentang adanya pengaruh kosmologi sudah sangat dimaklumi oleh masyarakat Makassar.

Beberapa wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah rumah, misalnya adalah sebaiknya menghadap ke arah terbitnya matahari, atau menghadap ke salah satu arah mata angin. Selain itu, salah satu faktor pertimbangan lain yang selalu diperhitungkan adalah pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik, biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.

Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual. Pada tahap selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan rumah dengan mengerjakan pemancangan tiang pusat rumah yang disebut Benteng Balla terlebih dahulu, menyusul pemasangan tiang-tiang yang lain hingga pekerjaan selesai dikerjakan secara keseluruhan.

Dalam bahasa Makassar, rumah disebut balla dan pada umumnya berbentuk panggung yang tingginya sekitar 3 meter dari tanah yang disanggah oleh tiang-tiang dari kayu yang berjejer rapih.

Rumah atau balla berbentuk segi empat dengan lima tiang penyangga ke arah belakang dan lima tiang penyangga kea rah sampimg. Untuk rumah milik bangsawan yang biasanya lebih besar, jumlah tiang penyangganya berjumlah lima ke samping dan enam atau bahkan lebih kea rah belakang.

Atap rumah pada orang Makassar pada jaman dahulu dan sampai sekarang berbentuk pelana, bersudut lancip dan menghadap ke bawah. Biasanya, bahannya terdiri dari daun nipah, rumbia, bambu, alang-alang, ijuk atau sirap. Namun untuk kondisi kekinian, bahan tersebut sudah jarang digunakan lagi, dan tentunya sudah lebih modern, yakni menggunakan seng.

Bagian depan dan belakang puncak atap rumah yang berbatasan dengan dinding dan berbentuk segitiga disebut

timbaklayar. Dari timbaklayar ini bisa dikenali derajat

kebangsawanan pemiliknya.

Timbaklayar yang tidak bersusun menandakan pemiliknya

adalah orang biasa, bila bersusun tiga atau lebih menunjukkan pemiliknya adalah bangsawan atau minimal keturunan dari seorang bangsawan. Apabila susunan timbaklayarnya lebih dari lima atau bahkan sampai tujuh susun, maka itu menunjukkan sang pemilik adalah bangsawan yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Setiap rumah panggung pada etnik Makassar ini memiliki tangga atau yang dalam bahasa Makassar disebut tukak. Tangga pada rumah panggung ini terdiri dari dua macam, yaitu Sapana, terbuat dari bambu. Induk tangganya tiga atau empat dan anak tangganya dianyam. Sapana ini memiliki coccorang atau pegangan. Tangga jenis ini hanya digunakan oleh para bangsawan. Tukak, terbuat dari kayu atau bambu. Induk tangganya ada dua dan ada juga yang tiga untuk bangsawan. Untuk warga biasa tangga jenis ini tidak memiliki pegangan dan biasanya anak tangganya selalu ganjil.

Dego-dego merupakan ruang kecil dekat tangga sebelum masuk ke dalam rumah atau pada rumah modern disebut sebagai teras. Biasanya berfungsi untuk tempat bersantai.

Tambing adalah ruangan yang berbentuk yang letaknya di samping kale balla (rumah induk) yang letaknya lebih rendah.

Kale balla yakni rumah induk atau badan rumah yang terdiri dari paddaserang atau ruangan. Ruangan paling depan yang digunakan untuk menerima tamu disebut paddaserang

dallekang (ruang depan), bagian tengah disebut paddaserang tangnga yang biasanya difungsikan dan digunakan untuk

kegiatan lebih privat atau pribadi sifatnya. Paddaserang Riboko atau bagian belakang yang fungsinya untuk kamar, utamanya kamar anak gadis.

Balla Pallu/Appalluang atau dapur digunakan untuk

kegiatan masak-memasak dan menyimpan peralatan masak.

Sedangkan untuk kegiatan mandi, cuci dan kakus biasanya

terpisah dari bangunan induk rumah dan letaknya di bagian bawah rumah, atau di belakang, atau di samping rumah jika pemilik rumah memiliki luas tanah yang agak lebar dan luas.

Rumah khas Makassar biasanya tidak menggunakan plafond, kalau pun menggunakan biasanya dengan terpal atau kain saja. Dan di bagian atas antara dinding dan atap dibuat sebuah ruang yang disebut Pammakkang atau Langga. Fungsinya ialah untuk menyimpan gabah, jagung, dan kopi. Sedangkan bagian bawah rumah disebut Siring yang berfungsi untuk menyimpan ternak, kendaraan, atau barang-barang lainnya.

Siring juga bisa berfungsi sebagai gudang. Ada juga yang

memanfaatkan sebagai tempat beristirahat dengan membuat

bale-bale bambu, bahkan sampai pemanfaatan untuk aktifitas

perekonomian, misalnya berjualan (warung/kios).

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat rumah ini kebanyakan bersumber dari hasil kebun mereka, ada beberapa jenis pohon yang dijadikan sebagai bahan untuk membuat rumah tesebut. Di antaranya ialah pohon kayu jenis karsetani, suriang,

arpeli, nangka, jati, sampai pinus. Ada juga yang biasa membeli

kayu di jikalau bahan baku yang mereka miliki itu tidak cukup. Untuk bahan baku pada rumah jenis batu biasanya mereka sangat mudah untuk mendapatkannya. Pasalnya akses ke ibukota kabupaten sangat terjangkau, jadi pendistribusiannya cepat. Akan tetapi ongkosnya relatif lebih besar.

2.2.6. Kependudukan