• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyalahgunaan Boraks dan Formalin Dalam Makanan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Penyalahgunaan Boraks dan Formalin Dalam Makanan

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk memengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan hendaknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1). Tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. 2). Dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. 3). Tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi. Fungsi bahan tambahan pangan yaitu:

1. Meningkatkan kualitas pangan

2. Secara ekonomis akan menghemat biaya produksi

3. Sebagai pengawet pangan dengan cara mencegah pertumbuhan dan aktivitas mikroba perusak pangan (menahan proses biokimia) atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan

4. Menjadikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah dan merangsang timbulnya selera makan

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi, sedangkan mutu pangan diartikan sebagai nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan gizi pangan.

Kehadiran bahan pengawet dalam suatu produk pangan umumnya tidak diinginkan oleh konsumen, karena banyak penelitian menunjukkan bahwa bahan-bahan pengawet tersebut bernampak negatif terhadap kesehatan. Sebaliknya, bagi pihak produsen penggunaan bahan pengawet ini sering tidak terelakkan, karena terkait erat dengan umur simpan produk sebelum sampai ke konsumen (Indrati dan Gardjito, 2014).

Menurut Preservative in Food Regulation 1972/1975 (UK), bahan pengawet adalah setiap senyawa atau bahan yang mampu menghambat, menahan/menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan makanan dari pembusukan tetapi tidak termasuk kedalam golongan bahan tambahan makanan yang lain (Mukono, 2010 dalam Kesuma, 2014).

Menurut pakar gizi, secara garis besar batasan zat pengawet dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. GRAS (Generally Recognize As Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.

2. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.

3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya seperti boraks dan formalin (Manurung, 2012 dalam Kesuma, 2014).

Secara umum, penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut:

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan, baik yang besifat patogen maupun yang tidak patogen.

2. Memperpanjang umur masa simpan

3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, citarasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah

5. Tidak untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan

6. Tidak untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2009).

Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012), terdapat tiga cara bahan kimia bisa ada dalam makanan, yaitu: secara alami ada dalam bahan makanan, sengaja ditambahkan dalam makanan (pemanis, pengawet, anti kempal, dan lain-lain), dan

tidak sengaja ada dalam bahan makanan (insektisida, herbisida, dan lain-lain).

Adapun penambahan bahan pengawet dalam makanan dilakukan dengan cara : 1. Pencampuran : Untuk makanan yang berbentuk cairan atau setengah cair 2. Pencelupan : Untuk makanan yang berbentuk padat

3. Penyemprotan: Sama dengan pencelupan, yaitu untuk bahan makanan padat dan konsentrasi bahan pengawet yang diperlukan agak tinggi

4. Pengasapan : Untuk bahan makanan yang dikeringkan, bahan pengawet yang sering digunakan adalah belerang dioksida atau derifatnya.

5. Pelapisan pada pembungkus : Dengan cara penambahan/pelapisan 90 bahan pengawet pada pembungkus bahan makanan (Mukono, 2010 dalam Kesuma, 2014).

a. Boraks

Boraks merupakan bahan pengawet untuk mengawetkan kayu, antiseptic kayu, dan pengontrol kecoa dengan nama kimia natrium tetraborat dekahidrat (NaB4O710H2O). Boraks juga memiliki nama lain seperti sodium borat, borax decahydrate, sodium biborate decahydrate disodium tetraborate decahydrate, sodium pyroborate decahydrate, sodium tetraborate decahydrate, boron sodium oxide, dan fused borax (Suhanda, 2012 dalam Lubis, 2015).

Senyawa asam borat ini mempunyai sifat-sidat kimia sebagai berikut:

jarak lebur sekitar 171°C, larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol 85% dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat, atau asam tartrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100º C yang

secara perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2). Asam borat merupakan asam lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Satu gram asam borat larut sempurna dalam 30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tidak berwarna. Asam borat tak tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksida (Cahyadi, 2009).

Tampilan fisik boraks adalah berbentuk serbuk kristal putih. Boraks tidak memiliki bau jika dihirup menggunakan indera pencium serta tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari boraks diuji dengan kertas lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman boraks cukup tinggi (Bambang dalam Nasution, 2009).

Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih/pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah dan Himawan dalam Nasution, 2009).

Sejak lama, boraks disalahgunakan oleh produsen untuk pembuatan kerupuk beras, mie, lontong (sebagai pengeras), ketupat (sebagai pengeras), bakso (sebagai pengenyal dan pengawet), kecap (sebagai pengawet), bahkan pembuatan bubur ayam (sebagai pengental dan pengawet). Padahal fungsi boraks yang sebenarnya adalah digunakan dalam dunia industri non pangan sebagai bahan

solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik, dan pengontrol kecoa (Suhanda dalam Sultan dkk, 2012).

Sejak boraks diketahui efektif terhadap ragi, jamur, dan bakteri, sejak saat itu mulai digunakan untuk mengawetkan produk makanan. Selain itu, bahan pengawet ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan elastisitas dan kerenyahan makanan serta mencegah udang segar berubah menjadi hitam (Mudzkirah, 2016). Pada masyarakat daerah tertentu boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng, atau pijer dan sering digunakan untuk mengawetkan nasi untuk dibuat makanan yang sering disebut gendar (Yuliarti, 2007).

Bakso yang menggunakan boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang menggunakan banyak daging. Kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk, teksturnya bagus dan renyah. Tahu yang berbentuk bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet hingga lebih dari tiga hari, bahkan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es. Mie basah biasanya lebih awet sampai dua hari pada suhu kamar 25 derajat celcius, kenyal, serta tidak lengket (Yuliarti, 2007).

b. Formalin (Formaldehida)

Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna atau hampir tidak berwarna dengan bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan, dan rasa membakar. Larutan formaldehid atau larutan formalin mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida dengan rumus molekul CH2O mengandung kira-kira 37 % gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan 10-15 % methanol untuk menghindari polimerisasi. Larutan ini

sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100% atau formalin 40%, yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut. Formaldehid murni tidaklah tersedia secara komersial, tetapi dijual dalam 30-50% (b/b) larutan mengandung air. Formalin (37% CH2O) adalah larutan yang paling umum (Cahyadi, 2009).

Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10-40%

formaldehid. Di pasaran, formalin bisa ditemukan dalam bentuk yang sudah diencerkan, dengan kandungan formaldehid 10-40 persen (Yuliarti, 2007).

Formalin merupakan antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, dalam konsentrasi rendah 2%-8%, terutama digunakan untuk menyucihamakan peralatan kedokteran atau untuk mengawetkan mayat dan specimen biologi lainnya (Cahyadi, 2009).

Formalin umumnya digunakan sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai jenis keperluan industry, yakni pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat maupun berbagai serangga lainnya. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas.

Formalin juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk urea, bahan pembuatan produk parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku, dan bahan untuk insulasi busa. Di bidang industri dan kayu, formalin digunakan sebagai bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood) (Yuliarti, 2007).

Besarnya manfaat di bidang industri tersebut ternyata disalahgunakan untuk penggunaan pengawetan industri makanan. Bahan makanan yang diawetkan dengan formalin biasanya adalah mie basah, tahu, bakso, ikan asin dan beberapa

makanan lainnya. Sangat dimengerti mengapa formalin sering disalahgunakan.

Selain harganya yang sangat murah dan mudah didapatkan, produsen seringkali tidak tahu kalau penggunaan formalin sebagai pengawet makanan tidaklah tepat karena bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan bagi konsumen yang memakannya. Formalin tidak dapat hilang dengan pemanasan. Oleh karena bahayanya bagi manusia maka penggunaan formalin dalam makanan tidak dapat ditoleransi dalam jumlah sekecil apapun. (Yuliarti, 2007).

Formalin juga dipakai untuk reaksi kimia yang bisa membentuk ikatan polimer yang dapat menimbulkan warna produk menjadi lebih cerah. Oleh karena itu, formalin juga banyak dipakai dalam produk rumah tangga seperti piring, gelas, dan mangkukyang berasal dari plastik atau melanin. Bila piring atau gelas tersebut terkena makanan atau minuman panas maka bahan formalin yang terdapat dalam gelas akan larut. Dari penelitian hasil air rebusan yang kemudian dibawa ke Laboratorium Kimia Universitas Indonesia ini, didapatkan hasil bahwa kandungan formalin pada hampir semua produk yang diteliti sangat tinggi, yaitu antara 4,76- 9,22 miligram per liter. Barang-barang tersebut bila digunakan dalam keadaan dingin sebenarnya tidak berbahaya karena formalin didalamnya tidak akan larut. Namun, tidak demikian halnya bila wadah-wadah ini dipakai untuk menaruh bahan makanan panas seperti membuat minuman the, susu, kopi, atau makanan berkuah panas (Yuliarti, 2007).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, terdapat 19 jenis bahan yang dilarang digunakan

sebagai bahan tambahan pangan, termasuk diantaranya adalah Boraks dan Formalin. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)

Dokumen terkait