• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ZAT GIZI MAKRO, BORAKS DAN FORMALIN PADA BAKSOYANG DIJUAL DI KAMPUS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAN SEKITARNYA

SKRIPSI

OLEH

NISWATUZZAKIYAH NIM:141000158

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(2)

ANALISIS ZAT GIZI MAKRO, BORAKS DAN FORMALIN PADA BAKSO YANG DIJUAL DI KAMPUS UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA DAN SEKITARNYA

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

NISWATUZZAKIYAH NIM : 141000158

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANALISIS ZAT GIZI MAKRO, BORAKS DAN FORMALIN PADA BAKSO YANG DIJUAL DI KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA”ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. atas pernyataan ini saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Juli 2018

Niswatuzzakiyah NIM : 141000158

(4)
(5)

ABSTRAK

Sampai saat ini bakso masih menjadi makanan jajanan yang banyak diminati dan dapat dengan mudah dijumpai. Bakso pada umumnya mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, yaitu zat gizi makro yang terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein, namun dikhawatirkan bakso yang dijual oleh pedagang mengandung boraks dan formalin, mengingat bahwa keduanya merupakan bahan pengawet yang sering disalahgunakan oleh pedagang dalam pembuatan makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat gizi makro (Karbohidrat, Lemak, Protein) pada satu porsi bakso dan ada tidaknya kandungan boraks dan formalin pada bakso yang dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif, yaitu untuk mengetahui kadar zat gizi makro serta ada tidaknya kandungan boraks dan formalin yang terdapat dalam bakso.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada jenis penyajian nomor 10 (terdiri dari Mie soun, Bakso, Tahu, Kuah), yaitu 194 gram. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada jenis penyajian nomor 2 (Mie soun, Bakso, Ayam goreng, Kuah), yaitu 31,2 gram, dan kandungan protein tertinggi terdapat jenis penyajian nomor 2(Mie soun, Bakso, Ayam goreng, Kuah), yaitu 39,4 gram. Kandungan energi tertinggi terdapat pada jenis penyajian nomor 8 (terdiri dari Mie soun, bakso, tahu, ayam goreng dan kuah), yaitu 978,9Kkal. Hasil pemeriksaan kualitatif boraks pada 23 unit sampel bakso menunjukkan bahwa semua unit sampel tidak mengandung boraks, dan untuk hasil pemeriksaan Formalin pada Bakso, Mie dan Tahu pada Penyajian Bakso Per Porsi diketahui bahwa terdapat satu unit sampel bakso yang positif mengandung formalin.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah seluruh bakso mengandung zat gizi makro dengan kadar yang sangat bervariasi. Tidak terdapat kandungan boraks pada bakso yang dijual, namun ditemukan satu unit sampel bakso yang positif mengandung formalin.Disarankan kepada Balai Pengawasan Obat dan Makanan khususnya pada bakso untuk bisa melakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya sebagai bahan tambahan dalam makanan.

Kata kunci: bakso,boraks, formalin, zat gizi makro

(6)

Abstrack

Until now, meatballs are still a favorite snack food and can be easily found. Meatballs generally contain nutrients needed by the body, namely macro nutrients which is consisting of carbohydrates, fats, and proteins, but it is also feared that meatballs that are sold by the hucksters contain borax and formalin, considering that both are preservative which is often abused by the huckstersi in producting foods. This study aimed to determine the content of macro nutrients (Carbohydrate, Fat, Protein) in one portion of meatballs and the presence or absence of borax and formalin contained in meatballs that were sold in the surrounding University of Sumatera Utara.

The type of this research was descriptive, that was to know the level of macro nutrients and the presence or absence of borax and formalin contained in the meatballs.

The results showed that the highest carbohydrate found in the type of serving number 10, it was 194 grams. The highest content of fat found in the serving 2, which was 31.2 grams, and the highest content of protein found in the serving number 2, which was 39.4 grams. The highest content of energy was in the serving number 8, which was 978.9 Kcal. The results of qualitative examination of borax on 23 samples of meatballs showed that all the sample units did not contain borax, but for Formalin examination results in the meatballs , noodles (mie) and Tofu in one portion serving, it was found that there was one unit of sample of the meatball positively containing formalin.

The conclusion of this research was the whole meatballs contain macro nutrients with a very varying levels. There was no borax in the meatballs that were marketed, but it was found a unit of meatball samples that positively contained formalin. It is recommended to the National Agency of Drug and Food Control especially on meatballs to take precautions in the use of hazardous materials as supplementary ingredients in foods.

Keywords: meatballs, borax, formalin, macro nutrients

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil’alamiin, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Analisis Zat Gizi Makro, Boraks dan Formalin pada Bakso Yang Dijual Di Kampus Universitas Sumatera Utara Dan Sekitarnya” dapat diselesaikan guna meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini terkhusus untuk kedua orangtua penulis, Ayah terhebat Alm.

Drs. Rusli, BS dan ibu tercinta Basrah, SPdi yang telah membesarkan, mendidik, memberi semangat, dan selalu mendoakan hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Selama penulisan skripsi, penulis juga banyak mendapatkan bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Albiner Siagian, M.Si, selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(8)

4. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, ilmu, arahan, motivasi, serta dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Prof. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si, selaku Dosen Penguji I yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Dra. Jumirah, Apt., M.Kes, selaku Dosen Penguji II yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Marihot Oloan Samosir, S.T, selaku staf Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam hal administrasi serta memberi informasi apapun yang penulis butuhkan.

9. Saudara kandung penulis, Abang Diki, Abang Hasbi, Azen dan Rizki yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini.

10. Teman-teman penulis, Eka, Uma, Zahara, Almh. Evi, Indra, Rafika, Kakak Ina, Kakak Nurma, Kakak Aini, Kakak Asnah, Kakak Intan, terkhusus Atikah dan Nina yang selalu memberikan semangat, doa, dan dukungannya kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

(9)

11. Teman-teman PBL Desa Pematang Sijonam, Tiwi, Nisa, Kakak Sindi, Umar, yang telah memberikan dukungan dan semangat agar skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

12. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih.Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2018 Penulis,

Niswatuzzakiyah NIM : 141000158

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

RIWAYAT HIDUP ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Bakso ... 7

2.2 Penyalahgunaan Boraks dan Formalin Dalam Makanan... 12

2.3 Penyalahgunaan Boraks Dalam Bakso ... 22

2.4 Penyalahgunaan Formalin Dalam Bakso, Mie dan Tahu ... 25

2.5 Dampak Boraks Bagi Kesehatan ... 26

2.6 Dampak Formalin bagi kesehatan ... 28

2.7 Kerangka Konsep ... 30

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 31

3.1 Jenis Penelitian ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 31

3.2.2 Waktu Penelitian ... 31

3.3 Populasi dan Sampel ... 32

3.2.3 Populasi ... 32

3.2.4 Sampel ... 32

3.3 Metode Pengumpulan data ... 34

3.3.1 Data Primer ... 34

3.3.2 Data Sekunder ... 34

3.4 Definisi Operasional ... 34

3.5 Metode Pengukuran ... 35

3.5.1 Analisis Zat Gizi Makro menggunakan Software Nutrisurvey ... 35

3.5.2 Pemeriksaan Boraks Pada Bakso Secara Kualitatif ... 36

3.5.3 Pemeriksaan Formalin Pada Bakso Secara Kualitatif ... 37

(11)

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 38

4.1 Gambaran umum lokasi penelitian ... 38

4.2 Jenis Penyajian Bakso yang Dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya Berdasarkan Bahan Penyusun ... 39

4.3 Analisis Zat Gizi Makro (Karbohidrat, Lemak, Protein) pada Bakso yang Dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya ... 40

4.4 Kandungan Boraks Pada Bakso yang dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya ... 42

4.5 Kandungan Formalin pada Bakso, Mie dan Tahu yang Terdapat pada Penyajian Bakso Per Porsi pada Bakso Yang Dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya ... 43

BAB V PEMBAHASAN ... 45

5.1 Gambaran bakso ... 45

5.2 Kandungan zat gizi bakso ... 50

5.3 Kandungan boraks pada bakso ... 50

5.4 Kandungan Formalin pada Bakso, Mie, dan Tahu ... 51

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

6.1 Kesimpulan ... 53

6.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55 LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Populasi dan Sampel Pedagang Bakso Di Kampus

Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya... 33

Tabel 4.1 Jenis Penyajian Bakso Berdasarkan BahanPenyusun ... 39 Tabel 4.2 Kandungan Energi dan Karbohidrat Berdasarkan Jenis

Penyajian Bakso ... 40 Tabel 4.3 Kandungan Lemak dan Protein Berdasarkan Jenis Penyajian

Bakso ... 41 Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Boraks pada Bakso yangdijual

di Kampus Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya ... 42 Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Kualitatif Formalin Pada Bakso, Mie dan

Tahu yang Terdapat pada Penyajian Bakso Per Porsi pada Bakso Yang Dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara

dan Sekitarnya ... 43

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat keterangan selesai penelitian ... 58 Lampiran 2 Master data Berat Bahan Penyusun Bakso per porsi pada Bakso

yang Dijual di KampusUniversitas Sumatera Utara dan

Sekitarnya ... 59 Lampiran 3 Master Data Berat bahan pembuat bakso ... 64 Lampiran 4 Master Data Analisis Zat Gizi Makro Berdasarkan Bahan

Makanan Penyusun Bakso per porsi Pada BaksoYang Dijual Di Kampus USU dan Sekitarnya ... 66 Lampiran 5 Dokumentasi ... 71

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konsep ... 30

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Niswatuzzakiyah. Lahir di Medan, tanggal 16 November 1995. Suku bangsa penulis adalah Melayu. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ayah penulis bernama Alm. Drs. Rusli, BS dan ibu penulis bernama Basrah, SPdi. Kedua orangtua penulis bersuku bangsa Melayu.Adapun pendidikan formal penulis, yaitu SDN 101993 Desa Sukaluwe, tamat tahun 2008.selanjutnya Madrasah Tsanawiyah Swasta Bangun Purba, tamat tahun 2011.

Kemudian Madrasah Aliyah Negeri Lubuk pakam, tamat tahun 2014, dan lama studi di FKM USU adalah 4 tahun.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makanan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kesehatan masyarakat. Seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali adalah konsumen dari makanan itu sendiri. Faktor-faktor yang menentukan kualitas makanan baik, dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek kelezatan (cita rasa dan flavour), kandungan gizi dalam makanan dan aspek kesehatan masyarakat (Sitorus, 2012).

Pengawasan makanan merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk melindungi masyarakat sehingga tidak mengkonsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, mutu, dan gizi, terutama pada makanan jajanan yang beredar di masyarakat (Thah dan Yuwono, 2014). Bakso merupakan makanan jajanan yang umum dikenal dan banyak diminati. Penjualan bakso dapat ditemukan di berbagai rumah makan maupun pedagang kaki lima yang menjajakan bakso dengan menggunakan gerobak dorong. Bakso merupakan makanan jajanan yang umumnya terbuat dari tepung yang dicampur dengan daging, ikan, atau ayam, berbentuk bulat, mempunyai tekstur yang sedikit kenyal dan umumnya disajikan dengan kuah serta dicampur dengan mie, tahu, taburan bawang goreng, dan seledri atau hanya disajikan dengan kuah saja (bakso kosong).

Penyajian bakso pada setiap pedagang berbeda-beda, mulai dari jumlah bakso per porsi, rata-rata berat bahan, dan jenis daging yang digunakan dalam pembuatan bakso. Selain itu, mie yang digunakan untuk penyajian bakso juga

(17)

berbeda. Ada pedagang yang menyajikannya dengan mie soun, mie tiaw dan ada juga yang menyajikannya dengan mie basah kuning. Hal ini tentu saja membuat kandungan gizi yang terdapat dalam satu porsi bakso serta sumbangan energi yang diberikan berbeda-beda.

Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan, penyajian tiap porsi pada bakso yang dijual sangat bervariasi. Dalam satu porsi, ada pedagang yang menyajikan bakso hanya terdiri dari bakso, mie, kuah, serta taburan bawang goreng dan seledri. Selain itu ada juga pedagang yang menyajikan bakso dengan mie, kuah, sayur sawi, dan ditambahkan tahu goreng serta krupuk pansit. Pada umumnya mie yang digunakan dalam penyajian bakso adalah mie soun. Selain itu, jumlah bakso yang disajikan per porsi juga berbeda. Jenis daging yang digunakan untuk pembuatan bakso pada umumnya adalah daging ayam dan daging sapi, namun ada juga beberapa pedagang yang mengatakan mencampur kedua jenis daging tersebut untuk membuat bakso.

Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa, dan tekstur) serta kandungan gizinya (Hardinsyah dan Sumali, 2001 dalam Nasution, 2009). Adapun mutu pangan menurut Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan gizi pangan. Terkait dengan kualitas/mutu pangan yang ditinjau dari kandungan gizi pada bakso, pada umumnya bakso mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti karbohidrat, lemak, dan protein jika dilihat dari bahan pembuat bakso. Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), secara umum komposisi zat gizi makro yang terdapat dalam 100 gram bakso,

(18)

yaitu karbohidrat 23,10 gram, Lemak 6,30 gram, dan protein 10,30 gram, dan sumbangan energi yang diberikan adalah 190 kkal.

Terkait dengan preferensi konsumen terhadap bakso, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hermanianto dan Andayani (2002) diketahui bahwa kualitas atau mutu bakso sapi menjadi peringkat pertama dari urutan peringkat empat faktor yang mendasari pilihan konsumen terhadap pembelian bakso sapi, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Thah dan Yuwono (2014) mengenai preferensi mahasiswa terhadap bakso, diketahui bahwa 86% mahasiswa peduli terhadap kualitas bakso. Kualitas yang dimaksud adalah terkait dengan keamanan pangan serta zat gizi yang terdapat dalam bakso. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen pada umumnya memperhatikan kualitas dari bakso yang dikonsuminya, namun sayangnya, terdapat bahan lain yang ditambahkan pedagang kedalam bakso olahannya, yang justru dapat mengancam kesehatan konsumen, yaitu boraks dan formalin yang merupakan bahan pengawet yang dilarang pemerintah. Selain itu, mie dan tahu yang terdapat pada satu porsi bakso juga dikhawatirkan mengandung formalin, mengingat bahwa formalin sering disalahgunakan dalam pembuatan mie dan tahu.

Menurut Adriani dan Wijatmadi (2012), boraks merupakan bahan pengawet yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan sering disalahgunakan oleh pedagang makanan jajanan untuk membuat bakso. Berdasarkan Permenkes RI nomor 33 Tahun 2012, boraks dan formalin merupakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan, namun karena bakso merupakan hasil olahan pangan asal hewan yang mudah rusak, maka untuk mendapatkan bakso

(19)

yang memiliki daya simpan yang lama dan tekstur yang kenyal, pedagang menambahkan bahan pengawet tersebut kedalam produk olahannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Permadi dan Rahmatullah (2017), penambahan boraks biasanya dilakukan pada waktu proses pengolahan makanan.

Meskipun penggunaannya dilarang, masih ada saja pedagang yang menambahkan boraks dan formalin kedalam produk olahannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haq (2014) terhadap 34 pengelola bakso di kelurahan Ciputat, diketahui bahwa sebanyak 10 pengelola bakso positif menggunakan boraks. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kesuma tahun 2014 pada bakso yang dijual di kelurahan Padang Bulan, dari 25 sampel yang diambil, sekitar 76 % sampel bakso mengandung boraks. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harimurti dan Fajriana (2016) di wilayah Kota Yogyakarta diketahui bahwa dari 28 sampel bakso yang diuji menggunakan metode titrasi, seluruh sampel didapatkan positif mengandung boraks.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munthe (2016) pada tahu hasil industri rumah tangga pengolahan tahu di kelurahan Sari Rejo kecamatan Medan Polonia, diketahui dari 10 sampel tahu, terdapat 5 sampel tahu yang diuji positif mengandung formalin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat (2010) pada mie basah yang dijual di pasar tradisional Medan, dari 7 sampel mie basah, ditemukan 3 sampel mie basah positif mengandung formalin.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudzkirah (2016) terhadap makanan jajanan yang dijual di kantin UIN Alauddin Makassar, diketahui bahwa bakso, Mie, dan Tahu yang dijual di beberapa kantin positif mengandung formalin. Hal ini

(20)

menunjukkan bahwa formalin dan boraks masih sering disalahgunakan oleh pedagang makanan.

Sampai saat ini bakso masih menjadi makanan jajanan yang banyak diminati dan dapat dengan mudah dijumpai di kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya. Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan terhadap 20 mahasiswa terkait dengan preferensi konsumen terhadap bakso, diketahui bahwa hampir seluruhnya menyukai bakso dengan frekuensi mengkonsumsi bakso 1-2 kali/minggu. Sebanyak 75% mahasiswa menjadikan bakso sebagai makanan jajanan atau selingan, dan 25% mahasiswa menjadikan bakso sebagai makanan utama. Bakso yang biasa dikonsumsi mahasiswa dalam satu porsi terdiri dari bakso, mie, kuah, serta taburan bawang goreng dan seledri. Selain itu, terkait dengan tekstur bakso, pada beberapa pedagang terdapat bakso yang memiliki tekstur yang sangat kenyal.

Dikhawatirkan bakso yang dijual oleh pedagang mengandung boraks dan formalin, mengingat bahwa keduanya merupakan bahan pengawet yang sering disalahgunakan oleh pedagang dalam pembuatan makanan. Selain itu, terkait dengan komposisi zat gizi, khususnya zat gizi makro yang terdapat dalam satu porsi bakso yang dijual di kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya juga belum banyak diketahui, dikarenakan belum tersedianya informasi mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Analisis Zat Gizi Makro, Boraks dan Formalin pada Bakso yang dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya.

(21)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kandungan zat gizi makro (Karbohidrat, Lemak, dan Protein) pada satu porsi bakso dan apakah ada kandungan boraks dan formalin pada bakso yang dijual di kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kandungan zat gizi makro (Karbohidrat, Lemak, Protein) pada satu porsi bakso dan ada tidaknya kandungan boraks dan formalin pada bakso yang dijual di Kampus Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kandungan gizi, boraks dan formalin pada bakso.

2. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan dan BPOM terkait dengan penggunaan bahan pengawet berbahaya pada makanan

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakso

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup manusia. Manusia membutuhkan energi untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Energi itu sendiri diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi, yang mengandung berbagai zat-zat kimia yang dikenal sebagai zat gizi. Zat-zat gizi dalam bahan pangan tersebut mengalami proses metabolisme dalam tubuh sehingga menghasilkan energi untuk beraktivitas, dan menjalankan proses-proses kimiawi dalam tubuh manusia. Selain itu zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, tidak hanya menyediakan sumber energi tapi juga dapat mempertahankan kesehatan (Cakrawati dan Mustika, 2012).

Bakso merupakan makanan jajanan yang pada umumnya terbuat dari daging sapi, ayam, ataupun ikan yang dihaluskan. Menurut Widyaningsih (2006) dalam Kesuma (2014), selain daging, dalam pembuatan bakso juga ditambahkan garam dapur, tepung tapioka, dan bumbu, kemudian bakso dibentuk bulat menyerupai kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Tekstur bakso yang kenyal merupakan ciri spesifik produk olahan ini. Variasi bakso terjadi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung, dan proses pembuatannya.

Menurut SNI 3818-2014, bakso merupakan produk olahan daging yang dibuat dari daging hewan ternak yang dicampur pati dan bumbu-bumbu, dengan

(23)

atau tanpa penambahan bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang berbentuk bulat atau lainnya, dan dimatangkan (Prasta, 2017). Biasanya istilah bakso tersebut diikuti dengan dengan nama jenis bahan dasarnya, seperti bakso ikan, bakso ayam maupun bakso sapi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haq tahun 2014, pada umumnya untuk pembuatan bakso, bahan-bahan yang digunakan adalah:

1. Daging.

Daging yang telah dicuci bersih kemudian digiling.

2. Tepung

Tepung yang umumnya digunakan adalah tepung tapioka, gandum atau tepung aren, dapat digunakan secara terpisah atau dicampur.

3. Garam dapur dan bumbu

Digunakan sebagai adonan penyedap untuk mendapatkan rasa yang enak

4. Es

Digunakan mempertahankan suhu rendah untuk menghasilkan emulsi yang baik.

Berdasarkan bahan bakunya, terutama ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan, bakso dibedakan atas 3 jenis, yaitu: bakso daging yang dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, misalnya daging penutup, pendasar gandik dengan penambahan tepung lebih sedikit daripada berat daging yang digunakan; bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung jaringan ikat atau urat misalnya daging iga. Penambahan tepung

(24)

pada bakso urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan; sedangkan bakso aci adalah bakso yang jumlah tepungnya lebih banyak dibanding jumlah daging yang digunakan (Haq, 2014).

Dalam penyajiannya, jajanan bakso biasanya disajikan dalam keadaan hangat dengan kuah kaldu sapi bening dicampur mie, bihun, taoge, tahu, terkadang telur, ditaburi bawang goreng dan seledri (Widayat, 2011), namun tak jarang masyarakat mengkonsumsi bakso hanya dengan kuahnya yang ditaburi bawang goreng serta seledri atau yang biasa disebut bakso kosong. Dalam sajian per porsi, pedagang terkadang menyajikan mie bakso dengan mie soun atau mie basah kuning.

Zat gizi makro merupakan zat gizi yang berfungsi sebagai penyuplai energi dan zat-zat gizi esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan sel atau jaringan pemeliharaan maupun aktivitas tubuh. Zat gizi makro memiliki komponen terbesar dari susunan diet dibandingkan zat gizi mikro (Widuri dan Pamungkas, 2013). Fungsi zat gizi secara umum adalah sebagai sumber energi, zat pembangun, dan pengatur. Fungsi tersebut dapat dipenuhi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari mencakup nasi, ikan, daging, telur, susu, sayuran, dan lain sebagainya (Cakrawati dan Mustika, 2012).

Pada umumnya bakso mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti karbohidrat, lemak, dan protein jika dilihat dari bahan pembuat bakso kuah. Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), secara umum komposisi zat gizi makro yang terdapat dalam bakso yaitu karbohidrat 23,10 gram, Lemak 6,30 gram, dan protein 10,30 gram, dan sumbangan energi yang

(25)

diberikan adalah 190 kkal. Namun bakso yang terdapat dalam DKBM masih berupa bahan makanan tunggal, bukan makanan olahan seperti bakso yang disajikan dengan mie dan kuah. Dan untuk kandungan zat gizi yang terdapat dalam mie yang biasa disajikan per porsi, yakni mie soun per 100 gram pada umumnya adalah karbohidrat 91,3 gram, lemak 0,1 gram dan protein 0,3 gram.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmi (2015), diketahui bahwa kadar protein pada bakso tusuk di kota Jambi lebih rendah jika dibandingkan dengan standar mutu bakso SNI, hal ini dikarenakan jumlah tepung yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah daging. Untuk kadar lemak hanya terdapat satu sampel yang tidak sesuai dengan SNI, sedangkan kadar karbohidrat berkisar antara 28,50-41,62%. Bahan baku bakso umumnya adalah tepung tapioka. Semakin banyak proporsi tapioka yang digunakan dalam pengolahan bakso tusuk, maka semakin tinggi kandungan karbohidrat pada produk.

Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka-panjang, dan yang memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi.

Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier, 2010).

Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Selain itu bahan

(26)

makanan sumber karbohidrat, seperti padi-padian, umbi-umbian, dan gula murni.

Semua makanan yang dibuat dari dan dengan bahan makanan tersebut merupakan sumber energi. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya, terjadi berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan, dalam hal karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang bergerak. Kegemukan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi tubuh, merupakan risiko untuk menderita penyakit kronis, seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit kanker, dan dapat memperpendek harapan hidup (Almatsier, 2010).

Kebutuhan Protein pada usia dewasa adalah 50-60 g per hari atau berkisar 11 % dari total masukan energi. Angka kecukupan protein (AKP) orang dewasa menurut hasil-hasil penelitian keseimbangan nitrogen adalah 0,75 g/kg berat badan, berupa protein patokan tinggi yaitu protein telur (mutu cerna dan daya manfaat telur adalah 100). Kebutuhan karbohidrat sebagai sumber energi utama pada usia dewasa kurang lebih 46 % dari total masukan energi. Kebutuhan lemak pada orang dewasa tidak boleh melebihi 630 kkal atau sekitar 30% dari total kalori. Lemak merupakan bentuk energi yang paling pekat dalam makanan, sehingga pengurangan konsumsi lemak akan mengurangi pula kandungan energi dalam makanan dan dengan demikian pada beberapa kasus akan mencegah terjadinya obesitas (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

(27)

2.2 Penyalahgunaan Boraks dan Formalin Dalam Makanan

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk memengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan hendaknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1). Tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. 2). Dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. 3). Tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi. Fungsi bahan tambahan pangan yaitu:

1. Meningkatkan kualitas pangan

2. Secara ekonomis akan menghemat biaya produksi

3. Sebagai pengawet pangan dengan cara mencegah pertumbuhan dan aktivitas mikroba perusak pangan (menahan proses biokimia) atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan

(28)

4. Menjadikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah dan merangsang timbulnya selera makan

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi, sedangkan mutu pangan diartikan sebagai nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan gizi pangan.

Kehadiran bahan pengawet dalam suatu produk pangan umumnya tidak diinginkan oleh konsumen, karena banyak penelitian menunjukkan bahwa bahan- bahan pengawet tersebut bernampak negatif terhadap kesehatan. Sebaliknya, bagi pihak produsen penggunaan bahan pengawet ini sering tidak terelakkan, karena terkait erat dengan umur simpan produk sebelum sampai ke konsumen (Indrati dan Gardjito, 2014).

Menurut Preservative in Food Regulation 1972/1975 (UK), bahan pengawet adalah setiap senyawa atau bahan yang mampu menghambat, menahan/menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan makanan dari pembusukan tetapi tidak termasuk kedalam golongan bahan tambahan makanan yang lain (Mukono, 2010 dalam Kesuma, 2014).

Menurut pakar gizi, secara garis besar batasan zat pengawet dibedakan menjadi tiga, yaitu:

(29)

1. GRAS (Generally Recognize As Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.

2. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.

3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya seperti boraks dan formalin (Manurung, 2012 dalam Kesuma, 2014).

Secara umum, penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut:

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan, baik yang besifat patogen maupun yang tidak patogen.

2. Memperpanjang umur masa simpan

3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, citarasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah

5. Tidak untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan

6. Tidak untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2009).

Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012), terdapat tiga cara bahan kimia bisa ada dalam makanan, yaitu: secara alami ada dalam bahan makanan, sengaja ditambahkan dalam makanan (pemanis, pengawet, anti kempal, dan lain-lain), dan

(30)

tidak sengaja ada dalam bahan makanan (insektisida, herbisida, dan lain-lain).

Adapun penambahan bahan pengawet dalam makanan dilakukan dengan cara : 1. Pencampuran : Untuk makanan yang berbentuk cairan atau setengah cair 2. Pencelupan : Untuk makanan yang berbentuk padat

3. Penyemprotan: Sama dengan pencelupan, yaitu untuk bahan makanan padat dan konsentrasi bahan pengawet yang diperlukan agak tinggi

4. Pengasapan : Untuk bahan makanan yang dikeringkan, bahan pengawet yang sering digunakan adalah belerang dioksida atau derifatnya.

5. Pelapisan pada pembungkus : Dengan cara penambahan/pelapisan 90 bahan pengawet pada pembungkus bahan makanan (Mukono, 2010 dalam Kesuma, 2014).

a. Boraks

Boraks merupakan bahan pengawet untuk mengawetkan kayu, antiseptic kayu, dan pengontrol kecoa dengan nama kimia natrium tetraborat dekahidrat (NaB4O710H2O). Boraks juga memiliki nama lain seperti sodium borat, borax decahydrate, sodium biborate decahydrate disodium tetraborate decahydrate, sodium pyroborate decahydrate, sodium tetraborate decahydrate, boron sodium oxide, dan fused borax (Suhanda, 2012 dalam Lubis, 2015).

Senyawa asam borat ini mempunyai sifat-sidat kimia sebagai berikut:

jarak lebur sekitar 171°C, larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol 85% dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat, atau asam tartrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100º C yang

(31)

secara perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2). Asam borat merupakan asam lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Satu gram asam borat larut sempurna dalam 30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tidak berwarna. Asam borat tak tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksida (Cahyadi, 2009).

Tampilan fisik boraks adalah berbentuk serbuk kristal putih. Boraks tidak memiliki bau jika dihirup menggunakan indera pencium serta tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari boraks diuji dengan kertas lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman boraks cukup tinggi (Bambang dalam Nasution, 2009).

Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih/pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah dan Himawan dalam Nasution, 2009).

Sejak lama, boraks disalahgunakan oleh produsen untuk pembuatan kerupuk beras, mie, lontong (sebagai pengeras), ketupat (sebagai pengeras), bakso (sebagai pengenyal dan pengawet), kecap (sebagai pengawet), bahkan pembuatan bubur ayam (sebagai pengental dan pengawet). Padahal fungsi boraks yang sebenarnya adalah digunakan dalam dunia industri non pangan sebagai bahan

(32)

solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik, dan pengontrol kecoa (Suhanda dalam Sultan dkk, 2012).

Sejak boraks diketahui efektif terhadap ragi, jamur, dan bakteri, sejak saat itu mulai digunakan untuk mengawetkan produk makanan. Selain itu, bahan pengawet ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan elastisitas dan kerenyahan makanan serta mencegah udang segar berubah menjadi hitam (Mudzkirah, 2016). Pada masyarakat daerah tertentu boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng, atau pijer dan sering digunakan untuk mengawetkan nasi untuk dibuat makanan yang sering disebut gendar (Yuliarti, 2007).

Bakso yang menggunakan boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang menggunakan banyak daging. Kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk, teksturnya bagus dan renyah. Tahu yang berbentuk bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet hingga lebih dari tiga hari, bahkan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es. Mie basah biasanya lebih awet sampai dua hari pada suhu kamar 25 derajat celcius, kenyal, serta tidak lengket (Yuliarti, 2007).

b. Formalin (Formaldehida)

Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna atau hampir tidak berwarna dengan bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan, dan rasa membakar. Larutan formaldehid atau larutan formalin mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida dengan rumus molekul CH2O mengandung kira-kira 37 % gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan 10-15 % methanol untuk menghindari polimerisasi. Larutan ini

(33)

sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100% atau formalin 40%, yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut. Formaldehid murni tidaklah tersedia secara komersial, tetapi dijual dalam 30-50% (b/b) larutan mengandung air. Formalin (37% CH2O) adalah larutan yang paling umum (Cahyadi, 2009).

Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10-40%

formaldehid. Di pasaran, formalin bisa ditemukan dalam bentuk yang sudah diencerkan, dengan kandungan formaldehid 10-40 persen (Yuliarti, 2007).

Formalin merupakan antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, dalam konsentrasi rendah 2%-8%, terutama digunakan untuk menyucihamakan peralatan kedokteran atau untuk mengawetkan mayat dan specimen biologi lainnya (Cahyadi, 2009).

Formalin umumnya digunakan sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai jenis keperluan industry, yakni pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat maupun berbagai serangga lainnya. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas.

Formalin juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk urea, bahan pembuatan produk parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku, dan bahan untuk insulasi busa. Di bidang industri dan kayu, formalin digunakan sebagai bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood) (Yuliarti, 2007).

Besarnya manfaat di bidang industri tersebut ternyata disalahgunakan untuk penggunaan pengawetan industri makanan. Bahan makanan yang diawetkan dengan formalin biasanya adalah mie basah, tahu, bakso, ikan asin dan beberapa

(34)

makanan lainnya. Sangat dimengerti mengapa formalin sering disalahgunakan.

Selain harganya yang sangat murah dan mudah didapatkan, produsen seringkali tidak tahu kalau penggunaan formalin sebagai pengawet makanan tidaklah tepat karena bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan bagi konsumen yang memakannya. Formalin tidak dapat hilang dengan pemanasan. Oleh karena bahayanya bagi manusia maka penggunaan formalin dalam makanan tidak dapat ditoleransi dalam jumlah sekecil apapun. (Yuliarti, 2007).

Formalin juga dipakai untuk reaksi kimia yang bisa membentuk ikatan polimer yang dapat menimbulkan warna produk menjadi lebih cerah. Oleh karena itu, formalin juga banyak dipakai dalam produk rumah tangga seperti piring, gelas, dan mangkukyang berasal dari plastik atau melanin. Bila piring atau gelas tersebut terkena makanan atau minuman panas maka bahan formalin yang terdapat dalam gelas akan larut. Dari penelitian hasil air rebusan yang kemudian dibawa ke Laboratorium Kimia Universitas Indonesia ini, didapatkan hasil bahwa kandungan formalin pada hampir semua produk yang diteliti sangat tinggi, yaitu antara 4,76- 9,22 miligram per liter. Barang-barang tersebut bila digunakan dalam keadaan dingin sebenarnya tidak berbahaya karena formalin didalamnya tidak akan larut. Namun, tidak demikian halnya bila wadah-wadah ini dipakai untuk menaruh bahan makanan panas seperti membuat minuman the, susu, kopi, atau makanan berkuah panas (Yuliarti, 2007).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, terdapat 19 jenis bahan yang dilarang digunakan

(35)

sebagai bahan tambahan pangan, termasuk diantaranya adalah Boraks dan Formalin. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid) 2. Asam salisilat dan garamnya (Salisylic acid) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate) 4. Dulsin (Dulcin)

5. Formalin (Formaldehyde)

6. Kalium bromat (Potassium bromate) 7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetables oil) 10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocain)

13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)

14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafol (Dihydrosafol)

16. Biji tonka (Tonka bean)

17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sassafras (Sasafras oil)

Meskipun penggunaannya jelas dilarang untuk ditambahkan kedalam makanan, namun kenyataannya masih banyak pedagang yang menambahkan

(36)

boraks kedalam produk olahannya. Berdasarkan hasil penelitian Kesuma (2014), diketahui bahwa terdapat beberapa alasan pedagang bakso tetap menggunakan boraks dalam baksonya, diantaranya adalah untuk memperbaiki kualitas bakso, tahan lama, dan alasan ekonomi. Beberapa pedagang mengatakan bahwa jika mereka menggunakan boraks, mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih dibandingkan jika menggunakan bahan tambahan makanan yang diizinkan karena harga boraks yang relatif murah dan mudah diperoleh. Selain itu, penambahan boraks pada bakso dapat memperbaiki tekstur bakso sehingga menjadi lebih kenyal dan lebih disukai konsumen. Begitu juga dengan formalin.

Penyalahgunaan formalin pada makanan disebabkan karena harganya yang relatif murah dan mudah didapatkan. Selain itu, pedagang juga tidak mengalami kerugian bila barang dagangan mereka tidak habis terjual dalam sehari.

Terkait dengan Bahan Tambahan Pangan Pengawet yang diizinkan, sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013, ada 10 jenis pengawet yang diizinkan untuk ditambahkan kedalam makanan dan minuman, diantaranya adalah:

1. Asam Sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its salt) 2. Asam benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its salts):

3. Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para-hydroxibenzoate) 4. Metil para-hidroksibenzoat (Methyl para-hydroxibenzoate) 5. Sulfit (Sulphites):

6. Nisin (Nisin) 7. Nitrit (Nitrites):

(37)

8. Nitrat (Nitrates):

9. Asam propionate dan garamnya (Propionic acid and its salts):

10. Lisozim hidroklorida (Lysozyme hydrochloride)

Penambahan bahan pengawet dimaksudkan untuk menghambat ataupun menghentikan aktifitas mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir sehingga produk makanan dapat disimpan lebih lama. Selain itu, suatu pengawet ditambahkan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan cita rasa, memperbaiki warna, tekstur, sebagai bahan penstabil maupun pencegah lengket. Sebenarnya makanan yang menggunakan pengawet yang tepat (yang dinyatakan aman) dengan dosis dibawah ambang batas yang ditentukan tidaklah berbahaya bagi konsumen. Namun seringkali produsen menggunakan pengawet yang tidak tepat seperti pengawet nonmakanan ataupun pengawet yang tidak diizinkan pemerintah sehingga merugikan konsumen (Yuliarti, 2007).

2.3 Penyalahgunaan Boraks Dalam Bakso

Bakso merupakan hasil olahan pangan asal hewan yang mudah rusak. Hal ini disebabkan karena bakso mengandung protein tinggi, kadar air yang tinggi, serta PH yang netral sehingga membuat bakso rentan terhadap kerusakan dan umumnya hanya bertahan satu hari. Maka dari itu, untuk menjaga kualitas bakso agar tidak mudah rusak, pedagang menambahkan bahan pengawet seperti boraks.

Penambahan boraks biasanya dilakukan pada saat proses pembuatan adonan bakso (Widyaningsih, 2006 dalam Kesuma, 2014). Dalam pembuatan bakso perlu ditambahkan tepung tapioka dan bumbu seperti bawang merah dan bawang putih serta garam. Selain itu, sering pula ditambahkan pengenyal. Pengenyal yang aman

(38)

dan diperbolehkan adalah Sodium Tripoli Fosfat (STF). Selain sebagai pengenyal, STF juga berfungsi sebagai pengemulsi sehingga adonan dapat tercampur dengan lebih rata, namun kebanyakan bakso yang berharga murah tidak menggunakan STF sebagai pengenyal, melainkan boraks (Yuliarti, 2007).

Penggunaan boraks dalam bakso bukan hal baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan tahun 2010 yang berjudul “Pemeriksaan Dan Penetapan Kadar Boraks dalam Bakso di Kota Madya Medan” diketahui bahwa 80% dari sampel yang diperiksa ternyata mengandung boraks, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Harimurti dan Fajriana (2016) di wilayah Kota Yogyakarta diketahui bahwa dari 28 sampel bakso yang diuji menggunakan metode titrasi, seluruh sampel didapatkan positif mengandung boraks.

Berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Haq tahun 2014 pada bakso yang dijual di Kelurahan Ciputat dengan menggunakan food security kit didapatkan 10 bakso positif tercemar bahan toksik boraks, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kesuma tahun 2014 pada bakso yang dijual di kelurahan Padang Bulan, dari 25 sampel yang diambil, sekitar 76 % sampel bakso mengandung boraks. Hal ini menunjukkan bahwa boraks masih sering disalahgunakan oleh para pedagang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eka dalam Haq tahun 2014, diketahui bahwa boraks ditambahkan pada saat proses pembuatan adonan bakso.

Daging yang sudah digiling halus oleh mesin penggiling dimasukkan ke dalam wadah. Setelah daging tersebut dicampurkan dengan tepung dan bumbu lainnya,

(39)

pengolah mencampurkan bahan bakso dengan boraks. Setelah itu bakso dibentuk dan direbus kemudian dikeringkan dan siap untuk dihidangkan.

Cukup sulit untuk menentukan apakah suatu makanan mengandung boraks. Hanya dengan uji laboratorium dapat diketahui ada tidaknya boraks pada suatu makanan, namun penampakan luar tetap bisa dicermati karena ada perbedaan yang bisa dijadikan pegangan untuk menentukan suatu makanan aman dari boraks atau tidak. Diantara ciri-ciri bakso yang mengandung boraks, yaitu:

1. Lebih kenyal dibandingkan dengan bakso tanpa boraks 2. Bila digigit akan kembali ke bentuk semula

3. Tahan lama atau awet beberapa hari

4. Bau terasa tidak alami, ada bau lain yang muncul

5. Bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola bekel (Indrati dan Gardjito, 2014).

Selain ciri-ciri diatas, menurut BPOM RI (2014), ciri-ciri bakso yang mengandung boraks adalah memiliki tekstur yang kenyal, dengan warna cenderung agak putih, dan rasa sangat gurih. Menurut Yuliarti (2007) bakso yang mengandung boraks apabila digigit akan kembali ke bentuk semula, teksturnya juga lebih kenyal jika dibandingkan dengan bakso yang menggunakan STF sebagai pengenyal.

Bakso yang baik adalah bakso yang terbuat dari daging yang berkualitas dan biasanya memiliki komposisi 90% daging dan 10% tepung tapioka. Selain itu, sebaiknya daging yang digunakan dalam pembuatan bakso sebaiknya daging yang tidak berlemak karena bakso yang dibuat dengan daging yang berkadar lemak

(40)

tinggi akan menghasilkan tekstur bakso menjadi kasar. Diantara ciri-ciri bakso yang baik adalah:

1. Berbau khas bakso

2. Memiliki tekstur yang agak kasar 3. Tingkat kekenyalannya sedang

4. Berwarna abu-abu segar merata disemua bagian (Widyaningsih, 2006 dalam Kesuma, 2014)

2.4 Penyalahgunaan Formalin dalam Bakso, Mie dan Tahu

Meskipun penggunaannya dilarang, formalin masih sering disalahgunakan pedagang, khususnya dalam pembuatan mie dan tahu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munthe (2016) pada tahu hasil industri rumah tangga pengolahan tahu di kelurahan Sari Rejo kecamatan Medan Polonia, diketahui dari 10 sampel tahu, terdapat 5 sampel tahu yang diuji positif mengandung formalin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat (2010) pada mie basah yang dijual di pasar tradisional Medan, dari 7 sampel mie basah, ditemukan 3 sampel mie basah positif mengandung formalin.

Terkait dengan penyalahgunaan formalin dalam bakso, berdasarkan penelitian Pakpahan (2010), dari 10 sampel bakso yang diteliti, didapatkan 2 sampel bakso positif mengandung formalin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudzkirah (2016) terhadap makanan jajanan yang dijual di kantin UIN Alauddin Makassar, diketahui bahwa bakso, Mie, dan Tahu yang dijual di beberapa kantin positif mengandung formalin.

(41)

Menurut Yuliarti (2007), ciri-ciri mie dan tahu yang mengandung formalin adalah sebagai berikut:

1. Mie

Mie yang mengandung formalin baunya sedikit menyengat. Pada suhu

±25º (suhu kamar) bisa tahan hingga 2 hari, sedangkan bila disimpan didalam pendingin (suhu 10º) bisa awet hingga lebih dari 15 hari. Mie tampak mengkilap, tidak lengket, dan sangat kenyal.

2. Tahu

Tahu yang mengandung formalin memiliki tekstur yang lebih kenyal, tidak mudah hancur atau rusak, awet beberapa hari dan tidak mudah busuk, dan beraroma menyengat khas formalin.

Selain mie dan tahu, adapun ciri-ciri bakso yang mengandung formalin adalah bakso lebih kenyal, aroma khas dari bakso tidak tercium, awet beberapa hari dan tidak mudah busuk (Wisyaningsih dan Martini, 2009 dalam Pakpahan, 2010).

2.5 Dampak Boraks Bagi Kesehatan

Menurut (Lu,1995) didalam (Pane, 2013), Proses masuknya boraks ke dalam tubuh yaitu melalui oral dimana manusia memakan makanan yang mengandung boraks. Kemudian boraks yang masuk ke dalam tubuh diabsorbsi secara kumulatif oleh saluran pencernaan (usus/lambung) dan selaput lendir (membran mukosa) dan sedikit demi sedikit boraks terakumulasi. Konsumsi boraks secara terus menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus dan dapat mengakibatkan usus tidak mampu mengubah zat makanan sehingga tidak dapat

(42)

diserap dan diedarkan keseluruh tubuh. Kemudian boraks didistribusikan lewat peredaran darah oleh vena porta ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik di dalam hati juga tinggi terutama enzim sitokrom P-450. Enzim ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga lebih mudah diekskresikan oleh hati (Kesuma, 2014).

Penggunaan boraks dalam makanan akan berdampak buruk bagi kesehatan. Senyawa boraks dari makanan diserap oleh tubuh manusia secara kumulatif, sehingga efeknya baru terasa setelah konsumsi terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Senyawa boraks yang terlanjur masuk ke dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati, otak atau testis. Jika dosis dalam tubuh cukup tinggi, akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, mual, muntah, mencret, kram perut cyanis, dan kompulsi (Indrati dan Gardjito, 2014).

Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya bagi organ tubuh tergantung pada konsentrasi yang dicapai. Disebabkan karena kadar tertinggi tercapai pada waktu ekskresi, maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan organ tubuh lainnya (Saparinto, dkk, 2006 dalam Kesuma, 2014). Pada anak anak bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedangkan untuk orang dewasa, kematian terjadi pada dosis 10-20 gram atau lebih (Indrati dan Gardjito, 2014).

Menurut Yuliarti (2007), efek toksik boraks akan terasa bila boraks dikonsumsi secara kumulatif dan penggunaannya berulang-ulang. Dampak boraks terhadap kesehatan meliputi dampak akut dan kronis, yaitu:

(43)

1. Dampak Akut

Bila terpapar boraks dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan boraks, yaitu:

a. Bila terhirup/inhalasi, dapat menyebabkan iritasi pada selaput lendir dengan gejala batuk-batuk

b. Bila kontak dengan kulit maka akan menimbulkan iritasi kulit

c. Bila kontak dengan mata, dapat menimbulkan iritasi, mata memerah, dan rasa perih

d. Bila tertelan, dapat menimbulkan gejala-gejala yang tertunda meliputi badan terasa tidak enak (malaise), mual, nyeri hebat pada perut bagian atas (epigastrik), pendarahan gastro enteritis disertai muntah darah, diare, lemah, mengantuk, demam, dan sakit kepala.

2. Dampak kronis

Bahaya utama terhadap kesehatan konsumsi makanan mengandung boraks dalam waktu lama (kronis) dapat menyebabkan nafsu makan menurun, gangguan pencernaan, gangguan SSP (bingung dan bodoh), anemia, rambut rontok, kanker, gangguan hati, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, bahkan kematian (Cahyadi, 2009).

2.6 Dampak Formalin Bagi Kesehatan

Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat didalam sel sehingga menekan fungsi sel dan

(44)

menyebabkan kematian sel sehingga menyebabkan keracunan pada tubuh. Selain itu, kandungan formalin yang yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengkonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah.

Formalin bila menguap di uadara, berupa gas yang tidak berwarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan, dan mata (Cahyadi, 2009).

Secara umum, kontak langsung dengan konsentrasi formaldehida, dalam bentuk larutan, sekitar 1-2 % (10.000-20.000 mg/liter) mungkin untuk menyebabkan iritasi pada kulit. Tetapi pada individu sangat perasa, kontak kulit yang menyebabkan infeksi kulit dapat terjadi pada konsentrasi formaldehid yang rendah, yaitu 0,002% (30 mg/liter). Efek pemberian formaldehid melalui oral dosis tinggi (sekitar 100mg/kg bb) selama 2 bulan melalui air minum hewan percobaan menunjukkan terhambatnya pertumbuhan berat badan disertai dengan menurunnya asupan makanan dan minuman, produksi urin menurun, penyempitan dan penipisan bagian depan lambung (WHO, 1989 dalam Cahyadi, 2009).

Formalin bagi tubuh manusia diketahui sebagai zat beracun, karsinogenik, mutagen, korosif, dan iritatif. Paparan kronik formalin dapat menyebabkan sakit kepala, radang hidung kronis (rhinitis), mual-mual, gangguan pernapasan baik batuk kronis atau sesak napas kronis. Gangguan pada persarafan berupa susah tidur, sensitive, mudah lupa, sulit berkonsentrasi. Pada perempuan menyebabkan

(45)

gangguan menstruasi dan infertilitas. Penggunaan formalin pada jangka panjang dapat menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan (Indrati dan Gardjito, 2014).

2.7 Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep Keterangan:

Kandungan Zat Gizi Makro (Karbohidrat, Lemak, Protein) dilihat berdasarkan bahan makanan penyusun bakso yang disajikan per porsi, sedangkan Bahan Tambahan Pangan yang dilarang, seperti boraks dan formalin dilihat berdasarkan proses pengolahan bakso.

- Boraks - Formaln Pengolahan dan Penyajian

- Bahan Makanan Penyusun

- Bahan Tambahan Pangan yang dilarang

Zat Gizi Makro - Karbohidrat - Lemak - Protein

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif, yaitu untuk mengetahui kadar zat gizi makro serta ada tidaknya kandungan boraks dan formalin yang terdapat dalam

bakso.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya, yaitu:

1. Jl. Jamin Ginting (Simpang Kampus-Sumber) 2. Jl. Dr. Mansyur (Pintu 1-Pintu 4)

3. Jl. Pembangunan

4. Kantin yang menjual bakso di Kampus Universitas Sumatera Utara.

Alasan pemilihan lokasi tersebut dikarenakan merupakan area perekonomian yang strategis karena berada di sekitar kampus, terutama Jl. Dr.

Mansyur dan Jl. Jamin Ginting sehingga banyak masyarakat yang mengkonsumsi makanan jajanan tersebut. Selain itu, di lokasi tersebut banyak terdapat penjual bakso. Untuk pemeriksaaan boraks dan formalin dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan mulai Desember 2017 sampai dengan Juni 2018.

(47)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pedagang bakso yang berjualan di Kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya, yaitu Jl. Jamin Ginting (Simpang Kampus-Sumber), Jl. Dr. Mansyur (Pintu 1-Pintu 4), Jl. Pembangunan, dan kantin kampus Universitas Sumatera Utara. Jumlah seluruh pedagang bakso di lokasi tersebut adalah 30 pedagang.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pedagang bakso yang berjualan di Kampus Universitas Sumatera Utara dan sekitarnya. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode purposive sampling, dengan pertimbangan bahwa pedagang memproduksi sendiri bakso yang dijualnya. Dari 30 pedagang bakso, terdapat 23 pedagang yang memproduksi sendiri baksonya, sehingga pedagang bakso yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 23 pedagang.

Sementara 7 pedagang lainnya hanya menjualkan bakso yang diambil dari agen bakso. Seluruh fasilitas untuk berjualan seperti gerobak, mie, dan lain-lain disediakan oleh agen bakso. Adapun jumlah pedagang yang menjadi agen bakso adalah sebanyak dua pedagang, yaitu pedagang nomor 16 yang berjualan di Jl.

Jamin Ginting, dan pedagang nomor 17 yang berjualan di Jl. Dr. Mansyur.

Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah satu porsi penyajian bakso.

(48)

Tabel 3.1 Jumlah Populasi dan Sampel Pedagang Bakso Di Kampus Universitas Sumatera Utara dan Sekitarnya

No. Lokasi Jumlah Populasi Jumlah Sampel

1. Jl. Jamin Ginting (Simpang Kampus- Sumber)

9 4

2. Jl. Dr. Mansyur (Pintu 1-Pintu 4)

8 6

3. Jl. Pembangunan 2 2

4. Kantin yang

menjual Bakso di kampus Universitas Sumatera Utara

11 11

Total Populasi dan Sampel

30 23

Pedagang bakso yang berjualan di jalan Jamin Ginting (Simpang Kampus- Sumber) terdapat 9 pedagang, dan dari 9 pedagang tersebut, pedagang bakso yang memproduksi sendiri bakso yang dijual adalah 4 pedagang, sehingga pedagang yang dijadikan sampel dari lokasi ini adalah 4 pedagang. Pedagang bakso yang berjualan di jalan Dr. Mansyur (Pintu 1- Pintu 4) terdapat 8 pedagang dan sebanyak 6 pedagang bakso memproduksi sendiri bakso yang dijualnya, sehingga pedagang yang dijadikan sampel dari lokasi ini adalah 6 pedagang. Pedagang bakso yang berjualan di Jalan Pembangunan terdapat 2 pedagang dan kedua pedagang tersebut memproduksi sendiri bakso yang dijualnya, sehingga pedagang yang dijadikan sampel di Jalan Pembangunan adalah 2 pedagang. Pedagang bakso di Kantin Kampus USU terdapat 11 pedagang dan seluruhnya memproduksi sendiri bakso yang dijual, sehingga pedagang yang dijadikan sampel di kantin

(49)

Pengambilan unit sampel dilakukan dengan cara membeli bakso yang dijual di Kampus USU dan sekitarnya. Pengambilan unit sampel dilakukan sebanyak tiga kali untuk mengetahui rata-rata berat bakso yang disajikan. Bakso dibeli secara terpisah, yang terdiri dari bakso, mie, kuah, dan bahan makanan lain yang biasa disajikan dalam satu porsi. Semua bahan makanan tersebut ditempatkan dalam wadah plastik yang berbeda, kemudian dibawa ke laboratoium Biomedik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara untuk dianalisis.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data Primer diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kandungan boraks dan formalin pada bakso. Data kandungan gizi bakso diperoleh dari hasil penimbangan bahan pembuat bakso dalam satu porsi yang kemudian dianalisis menggunakan software Nutrisurvey.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder berasal dari penelusuran pustaka, hasil penelitian, dan buku literatur yang relevan.

3.5 Defenisi Operasional

1. Bakso merupakan makanan jajanan yang umumnya terbuat dari tepung yang dicampur dengan daging, ikan, atau ayam, berbentuk bulat, mempunyai tekstur yang sedikit kenyal, biasa disajikan dengan kuah dan dicampur dengan mie, tahu, taburan bawang goreng dan seledri atau hanya disajikan dengan kuah serta taburan bawang goreng dan seledri (bakso kosong).

(50)

2. Kadar zat gizi makro adalah jumlah kandungan karbohidrat, lemak, dan protein yang terdapat dalam satu porsi bakso yang dianalisis menggunakan software Nutrisurvey.

3. Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan kualitatif yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya kandungan boraks dan formalin dalam Bakso dengan menggunakan uji reagen test kit boraks dan formalin. Pemeriksaan dilakukan sebanyak dua kali.

3.6 Metode Pengukuran

3.6.1 Analisis Zat Gizi Makro Menggunakan Software Nutrisurvey

Analisis zat gizi makro pada bakso dilakukan berdasarkan bahan pembuat bakso per porsi. Analisis zat gizi makro dilakukan untuk mengetahui kandungan karbohidrat, lemak, dan protein yang terdapat pada penyajian bakso per porsi.

Analisis dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya:

1. Bakso dibeli secara terpisah, yang terdiri dari bakso, mie, kuah, dan bahan bakso lainnya yang biasa disajikan pedagang dalam satu porsi. Pembelian bakso dilakukan sebanyak tiga kali pada hari yang berbeda untuk keperluan penimbangan komposisi bahan makanan penyusun bakso dan untuk mengetahui rata-rata berat komposisi bahan makanan penyusun bakso . 2. Semua bahan penyusun bakso kemudian ditimbang dan dikonversikan

kedalam satuan berat (gram) tanpa kuah. Kuah bakso tidak dianalisis kandungan zat gizinya dikarenakan dalam kuah bakso yang dijual di Kampus USU dan sekitarnya lebih banyak mengandung air. Selanjutnya untuk mengetahui berat bahan pembuat bakso per porsi yang akan

(51)

dianalisis menggunakan software Nutrisurvey, terlebih dahulu dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

3.6.2 Pemeriksaan Boraks Pada Bakso Secara Kualitatif

Pemeriksaan boraks pada bakso secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan reagen test kit boraks EASY TES. Pemeriksaan dilakukan sebanyak dua kali namun pada hari yang berbeda. Prosedur penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Ambil 5 gram bakso yang akan diamati. Lumatkan bakso tersebut pada cawan porselin. Ambil dan masukkan kedalam beaker glass 25 ml.

2. Tambahkan reagen tes kit boraks sebanyak 4 tetes. Tambahkan air mendidih 5 ml, aduk sampai padatan bakso dapat bercampur rata dengan cairan sampai menyerupai bubur.

3. Kemudian biarkan dingin, lalu ambil kertas uji dan celupkan kertas uji dengan campuran tersebut. Jika kertas uji yang semula berwarna kuning berubah menjadi merah bata maka bakso tersebut positif mengandung boraks, dan jika warna kertas uji tetap maka bakso tersebut negatif kandungan boraksnya.

3.6.3 Pemeriksaan Formalin Secara Kualitatif

Pemeriksaan formalin pada mie kuning, tahu, dan bakso dilakukan secara kualitatif menggunakan reagen easy tes kit formalin. Pemeriksaan formalin dilakukan sebanyak dua kali pada masing-masing bahan uji. Prosedur pengujian:

Zat Gizi Bakso dalam satu porsi =𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎 ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑘𝑠 𝑜 (𝑔) 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛

(52)

1. Lumatkan bahan uji. Ambil sekitar 5-10 gram dan tambah air panas 20 ml, lalu aduk kuat. Biarkan padatannya mengendap. Gunakan airnya saja

2. Ambil 1 ml bahan cairan uji dan masukkan kedalam tabung reaksi atau botol kaca pengujian yang disediakan.

3. Tambahkan reagent A sebanyak 2 tetes dan kocok sebentar 4. Tambahkan reagent B sebanyak 2 tetes dan kocok sebentar

5. Amati perubahan yang terjadi, bahan uji positif formalin jika terbentuk cincin ungu pada campuran/campuran berubah warna menjadi ungu.

3.7 Analisa Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif. Data yang disajikan disertai dengan tabel, narasi, dan pembahasan kemudian diambil kesimpulan tentang kandungan zat gizi makro, boraks dan formalin dalam bakso.

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penerapan pendekatan pembelajaran PMRI berbantu alat peraga manipulatif meningkatkan pemahaman konsep matematika, aktivitas

relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya jawaban. Peserta didik melakukan analisis data, menentukan hubungan, dan menafsirkannya tentang langkah – langkah instalasi sistem

Pengukuran ini tidak hanya melihat dari rasio keuangan tetapi juga mengukur rasio-rasio non keuangan, yaitu dari perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal,

2.Hitung kecepatan kelompok untuk sebuah gelombang pada kristal monoatomik dan gelombang pada kristal monoatomik dan diatomik. 3.Tentukan frekuensi/energi untuk

Dari pendapat tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) adalah tenaga kerja termasuk didalamnya buruh, karyawan dan pegawai yang mampu melakukan kerja

acara selalu menyanyi lagu dangdut diikuti oleh pembawa acara lain yang memerankan tokoh-tokoh seperti penyanyi Charlie Van Hounten, wali sehingga membuat

Sehingga kepala sekolah dan bendahara mengambil kebijakan penggajian tenaga dan guru honorer yang mendapat gaji dari anggaran dana Bantuan Operasional Nasional (BOSNA) untuk

1) Motivasi menentukan tingkat berhasil atau gagalnya kegiatan belajar siswa. Belajar tanpa motivasi sulit untuk mencapai keberhasilan yang optimal. 2) Pembelajaran yang