• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Penyandang Cacat

Pengertian penyandang cacat atau disebut juga berkelainan adalah suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut memiliki nilai lebih atau kurang. Efek penyimpangan yang dialami oleh seseorang seringkali mengundang perhatian orang-orang yang ada di sekelilingnya, baik sesaat maupun berkelanjutan (Efendi, 2006: 2).

Dalam kamus popular pekerjaan sosial yang dimaksud dengan cacat adalah suatu keadaan tidak lengkap (Marpaung, 1988:105). Tidak semua orang dapat menatap masa depan yang cerah. Ada beberapa orang yang kurang beruntung, dimana pertumbuhan dan perkembangannya terhalang oleh karena cacat yang dimilikinya. Namun demikian tidak berarti bahwa kecacatan merupakan penghalang untuk melaksanakan fungsi sosialnya ditengah-tengah masyarakat.

Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Masalah kecacatan juga akan semakin berat, bila disertai dengan masalah kesejahteraan sosial lainnya seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan. Kondisi seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi.

Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, penyandang cacat dapat dikelompokkan ke dalam, yaitu:

1. Kelainan Fisik.

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: (a) alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), dan lain-lain; (b) alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), dan lain-lain.

2. Kelainan Mental.

Aspek mental adalah orang yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan dalam arti kurang (subnormal).

3. Kelainan Perilaku Sosial.

Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan.

Ketiga kelainan tersebut akan membawa konsekuensi tersendiri bagi penyandangnya, baik secara keseluruhan atau sebagian, baik yang bersifat objektif maupun subjektif. Kondisi kelainan yang disandang seseorang akan memberikan dampak kurang menguntungkan pada kondisi psikologis maupun psikososialnya. Pada gilirannya kondisi tersebut dapat menjadi hambatan yang berarti bagi penyandang kelainan dalam meniti tugas perkembangannya (

Cacat tubuh secara fisik atau tunadaksa berarti suatu keadaan yang rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.

Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau komunikasi yang merupakan keturunan, meliputi;

a. Club-foot (kaki seperti tongkat). b. Club-hand (tangan seperti tongkat).

c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki).

d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya).

e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).

f. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).

g. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha). 2. Kerusakan pada waktu kelahiran:

a. Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran).

b. Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah). 3. Infeksi:

a. Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku).

b. Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri)

c. Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).

d. Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang)

e. Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada tulang).

4. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik.

a. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan) b. Kecelakaan akibat luka bakar.

c. Patah tulang. 5. Tumor:

a. Oxostosis (tumor tulang).

b. Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di dalam tulang).

6. Kondisi-kondisi lainnya:

a. Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak bertekuk).

b. Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung).

c. Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung). d. Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami

kelainan).

e. Ricket’s (tulang yang lunak karena nutrisi, menyebabkan kerusakan tulang dan sendi).

Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:

a. Faktor keturunan.

b. Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan. c. Usia ibu yang sudah lanjut usia.

d. Pendarahan pada waktu kehamilan. e. Keguguran yang dialami ibu.

2. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

a. Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung, vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar.

b. Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran. 3. Sebab-sebab sesusah kelahiran:

a. Infeksi. b. Trauma. c. Tumor.

d. Kondisi-kondisi lainnya (Somantri, 2006: 123).

Meskipun kebanyakan penyandang cacat jelas memperlihatkan gangguan psikologi yang karena cacat tubuhnya namun seberapa jauh daya rusaknya berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain dan amat bergantung pada beberapa faktor, lima di antaranya tergolong paling sering terjadi

1. Parahnya cacat tubuh akan mempengaruhi seseorang dalam memandang cacatnya itu. Semakin besar kemungkinannya cacat tubuhnya dapat ditutupi maka orang tersebut merasa cukup aman dari pandangan orang lain, dan pengaruh psikologinya tidak begitu kentara.

2. Saat terjadi cacat tubuh maka akan mempengaruhi seseorang dalam membangun penyesuaian diri terhadap hal itu. Apabila cacat itu terjadi pada masa bayi atau setelah kelahiran maka penyesuaian dirinya akan lebih baik dibandingkan dengan bila cacat itu terjadi saat usia yang cukup besar.

3. Seberapa jauh cacat seseorang sehingga mempengaruhi keseluruhan gerak-geriknya sangat mempengaruhi sikap orang tersebut. Misalnya orang yang buta atau lumpuh, jelas akan lebih terbatas gerakannya dibandingkan dengan anak yang tuli.

4. Apabila orang yang melihatnya tidak mampu menyembunyikan rasa belas kasihannya, maka dalam diri penyandang cacat akan timbul perasaan mengasihani diri sendiri.

5. Sikap penyandang cacat terhadap cacatnya juga akan menimbulkan akibat pada cacatnya itu. Misalnya ada beberapa penyandang cacat yang dapat menerima bahwa dirinya cacat dan ada juga yang tetap berusaha meyakinkan dirinya tidak berbeda dari orang yang normal (Hurlock, 1993: 135).

Dokumen terkait