PERANAN KELOMPOK USAHA BERSAMA
LANITA MEDAN DALAM
MENINGKATKAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL
PENYANDANG CACAT
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Universitas Sumatera Utara
D I A J U K A N O L E H:
ROHANI HUTABARAT
050902065
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
Nama : Rohani Hutabarat Nim : 050902065
ABSTRAK
PERANAN KELOMPOK USAHA BERSAMA LANITA MEDAN DALAM MENINGKATKAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL PENYANDANG CACAT
(Skripsi terdiri dari 6 bab, 92 halaman, 1 tabel, 6 lampiran serta 19 kepustakaan)
Setiap manusia pasti menginginkan hidup normal tanpa ada kekurangan suatu apapun didalam dirinya baik secara fisik, mental maupun perilaku sosial. Manusia yang memiliki cacat baik secara fisik, mental, dan kedua-duanya akan mempengaruhi keberadaan dirinya sebagai makhluk sosial. Kondisi seperti ini menyebabkan terbatasnya kesempatan bergaul, bersekolah, bekerja dan bahkan kadang-kadang menimbulkan perlakuan diskriminatif dari mereka yang tidak cacat. Dalam hal ini penelitian berada di salah satu KUBE PC Lanita di Pancing, Medan, yang memberdayakan para penyandang cacat terkhusus tunadaksa pada keterampilan guna untuk mendorong kemandirian dan meningkatkan kemampuan mereka.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana sumber data diambil dari tiga orang informan. Instrumen penyaringan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan menggambarkan melalui wawancara terstruktur dan kemudian dianalisis.
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa program pembinaan yang diberikan oleh KUBE PC Lanita berupa sharing (berbagi) diperoleh hasil yang bisa memberikan kelegaan dan ketenangan bahkan bisa belajar memahami orang lain dan mau terbuka akan sesuatu yang dihadapai atau dialami oleh penyandang cacat sedangkan keterampilan menjahit adalah sangat baik dan bagus karena bisa memberikan bekal buat penyandang cacat untuk membuka sebuah usaha jahitan pakaian. Melalui program ini didapatkan bahwa para penyandang cacat yang mengikuti program tersebut bisa menjalankannya dengan baik dan mampu bersosialisasi kembali dengan masyarakat sekalipun mereka masih tinggal bersama didalam satu rumah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
Nama : Rohani Hutabarat Nim : 050902065
ABSTRAK
PERANAN KELOMPOK USAHA BERSAMA LANITA MEDAN DALAM MENINGKATKAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL PENYANDANG CACAT
(Skripsi terdiri dari 6 bab, 92 halaman, 1 tabel, 6 lampiran serta 19 kepustakaan)
Every human being longs for a normal life without any lack of physical, mental or even social attitude. For those who have physical, mental or even both disorder, will affect his being as social creature. This condition will give result in his less opportunity to get along with friends, to enjoy school, to work and sometimes it causes a discriminative attitude from those normal people. This research, which is conducted in KUBE PC Lanita at Pancing Medan, is carried by empowering them especially for those who are paralyzed (no legs or/and no hands) to have a skill in order to improve their skill and encourage them to be independent.
This research uses qualitative approach in which data were taken from three resources. Data filtering instruments were collecting, executing, presenting and describing through structural interview and then analyzing.
The research findings show that the management development given by KUBE PC Lanita through sharing gives them a relieved feeling and calmness. They even able to understand other and willing to be open up for something thay are facing through or being faced by other paralyzed fellows. While their sewing skill are improved well because it gives them an opportunity to run their own taylor business. These paralyzed people who join the program are able to perform well and able tp socialize with the community even though the are still livng together in the same house
KATA PENGANTAR
Sungguh segala Pujian dan Sembah layak diberikan hanya kepada Dia,
Yesus penguasa segala yang ada di dunia ini bahkan ketika Penulis merasakan
KasihNya yang begitu nyata Dia berikan selama ini. Adapun judul dari skripsi ini
adalah ”Peranan Kelompok Usaha Bersama Lanita Dalam Meningkatkan
Keberfungsian Sosial Penyandang Cacat” skripsi ini disusun untuk diajukan
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen
Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
Selama penyusunan skripsi ini Penulis menyadari akan sejumlah
kekurangan dan kelemahan, untuk itu Penulis membuka diri untuk saran dan kritik
yang dapat membangun guna perbaikan di masa akan datang.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang membantu Penulis dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara
khusus Penulis menghanturkan Banyak Terima Kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Drs. Matias Siagian, Msi., selaku Ketua Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
3. Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MS.P sebagai dosen pembimbing penulis;
terima kasih untuk setiap dukungan, pemahaman, dan kesabaran yang
diberikan selama mengerjakan proses penulisan tugas akhir ini.
4. Ibu Mastauli Siregar, S.Sos, Msi sebagai dosen wali penulis, yang telah
memberikan dorongan dan pilihan-pilihan yang baik sepanjang
mengerjakan masa studi penulis.
5. Dosen Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, terima kasih untuk
pengetahuan dan ajaran yang diberikan selama ini.
6. Kak Lis, Bang Anto, Kak Maria, dan yang lain, yang ada di KUBE PC
Lanita, terima kasih telah banyak membantu penulis dalam penelitian
untuk penulisan skripsi ini.
7. Kedua Orangtua penulis: Bapak T. Hutabarat dan Ibu R. Nainggolan;
untuk segenap cinta kasih, pengertian, nasehat dan didikan sepanjang
hidup penulis bahkan motivasi yang diberikan selama ini. Memiliki orang
tua seperti mereka adalah suatu anugrah yang tidak ingin penulis gantikan
dengan apa pun juga.
8. Saudara-saudara penulis yang terkasih yang telah bersama-sama
bertumbuh dalam pengenalan yang sangat dekat: Melda Hutabarat, Marta
Hutabarat, Palti Hutabarat dan adikku Manuel Hutabarat; terima kasih
untuk semangat, nasehat, doa dan juga pengertian yang diberikan kepada
penulis.
9. Teman KTB Abigail: Kak Rosianna Simarmata, Kak Dorismawati
Nainggolan untuk setiap pengenalan yang kita bagi bersama dari awal
hingga saat ini bahkan buat setiap hal yang terjadi dan yang kita alami.
Terima kasih juga buat doa, nasehat dan dukungan yang selama ini
diberikan kepada penulis.
10.Adik-adik kelompokku Alpenhik (Daniel, Jojor, Julia, Indra, dan Elly)
bahkan Tabita, Jeng Karona dan Dina; terima kasih buat semangat dan doa
yang diberikan kepada penulis.
11.Teman-teman komponen pelayanan di Pelayanan UKM KMK USU UP
PEMA FISIP, seluruh AKK, PKK, juga Alumni, dan secara khusus TPP
08/09 (K’ Rita, Corry, Yenti, Ncy, Hana, Maria, Richa, Yulia, Butet, dan
Aroz) yang telah bersama-sama belajar mengenal Dia dan mengerjakan
apa yang menjadi kehendak Dia bahkan buat kebersamaan kita yang
melalui semuanya dengan bersama-sama.
12.Teman-teman seperjuangan yang memulai persahabatan dari awal
perkuliahan Julia Gultom, Novalina Sinaga, Sri Rezeki Ulina, dan Kristina
Sembiring; terima kasih untuk semua yang kita alami dan lalui selama ini
sekalipun penulis orang terakhir yang mengerjakan tugas akhir. Selamat
mengejar mimpi!!!
13.Teman-teman Kesos’05 tanpa terkecuali sekalipun tidak disebutkan
satu-satu namanya; terima kasih buat pengenalan, keakraban, kebersamaan, dan
semangat yang telah diberikan dan dilalui. Mari kita menjadi pekerja sosial
14.Sahabatku Jelita Putri M. Gea, terima kasih buat semangat, doa, dan
dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini.
Dengan kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan
dalam skripsi ini. Untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna
menyempurnakannya agar kedepannya penulis dapat lebih baik lagi. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan Terima
Kasih
Medan, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR BAGAN... ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah... 1
1.2Perumusan Masalah... 10
1.3Tujuan dan Manfaat penelitian... 10
1.3.1 Tujuan Penelitian... 10
1.3.2 Manfaat Penelitian... 11
1.4Sistematika Penulisan... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peranan... 13
2.2 Keberfungsian Sosial... 20
2.3 Penyandang Cacat... 23
2.4 Kelompok Usaha Bersama... 29
2.5 Kerangka Pemikiran... 36
2.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional... 39
2.6.1 Definisi Konsep... 39
2.6.2 Definisi Operasional... 40
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian... 41
3.2 Lokasi Penelitian... 41
3.3 Subjek Penelitian... 41
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1 Tinjauan Umum KUBE PC Lanita... 44
4.2 Latar Belakang Berdirinya KUBE PC Lanita... 45
4.3 Visi dan Misi KUBE PC Lanita... 48
4.3.1 Visi... 48
4.3.2 Misi... 48
4.4 Struktur KUBE PC Lanita... 48
4.5 Inventaris... 49
BAB V ANALISA DATA 5.1 Karakteristik Informan... 51
5.2 Pembinaan... 58
5.2.1 Sharing (berbagi)... 58
5.2.2 Keterampilan Menjahit... 67
5.3 Fungsi Sosial... 74
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan... 90
6.2 Saran... 91
Daftar Pustaka
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. Panduan Wawancara
2. Pengajuan dan persetujuan Judul Skripsi
3. Surat Keputusan Komisi pembimbing Penulisan Proposal/Penelitian
Skripsi
4. Lembar Kegiatan Bimbingan Penulisan Proposal Penelitian
5. Lembar Kegiatan Bimbingan Penelitian/Penulisan Skripsi
6. Surat Pengantar Penelitian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
Nama : Rohani Hutabarat Nim : 050902065
ABSTRAK
PERANAN KELOMPOK USAHA BERSAMA LANITA MEDAN DALAM MENINGKATKAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL PENYANDANG CACAT
(Skripsi terdiri dari 6 bab, 92 halaman, 1 tabel, 6 lampiran serta 19 kepustakaan)
Setiap manusia pasti menginginkan hidup normal tanpa ada kekurangan suatu apapun didalam dirinya baik secara fisik, mental maupun perilaku sosial. Manusia yang memiliki cacat baik secara fisik, mental, dan kedua-duanya akan mempengaruhi keberadaan dirinya sebagai makhluk sosial. Kondisi seperti ini menyebabkan terbatasnya kesempatan bergaul, bersekolah, bekerja dan bahkan kadang-kadang menimbulkan perlakuan diskriminatif dari mereka yang tidak cacat. Dalam hal ini penelitian berada di salah satu KUBE PC Lanita di Pancing, Medan, yang memberdayakan para penyandang cacat terkhusus tunadaksa pada keterampilan guna untuk mendorong kemandirian dan meningkatkan kemampuan mereka.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana sumber data diambil dari tiga orang informan. Instrumen penyaringan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan menggambarkan melalui wawancara terstruktur dan kemudian dianalisis.
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa program pembinaan yang diberikan oleh KUBE PC Lanita berupa sharing (berbagi) diperoleh hasil yang bisa memberikan kelegaan dan ketenangan bahkan bisa belajar memahami orang lain dan mau terbuka akan sesuatu yang dihadapai atau dialami oleh penyandang cacat sedangkan keterampilan menjahit adalah sangat baik dan bagus karena bisa memberikan bekal buat penyandang cacat untuk membuka sebuah usaha jahitan pakaian. Melalui program ini didapatkan bahwa para penyandang cacat yang mengikuti program tersebut bisa menjalankannya dengan baik dan mampu bersosialisasi kembali dengan masyarakat sekalipun mereka masih tinggal bersama didalam satu rumah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
Nama : Rohani Hutabarat Nim : 050902065
ABSTRAK
PERANAN KELOMPOK USAHA BERSAMA LANITA MEDAN DALAM MENINGKATKAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL PENYANDANG CACAT
(Skripsi terdiri dari 6 bab, 92 halaman, 1 tabel, 6 lampiran serta 19 kepustakaan)
Every human being longs for a normal life without any lack of physical, mental or even social attitude. For those who have physical, mental or even both disorder, will affect his being as social creature. This condition will give result in his less opportunity to get along with friends, to enjoy school, to work and sometimes it causes a discriminative attitude from those normal people. This research, which is conducted in KUBE PC Lanita at Pancing Medan, is carried by empowering them especially for those who are paralyzed (no legs or/and no hands) to have a skill in order to improve their skill and encourage them to be independent.
This research uses qualitative approach in which data were taken from three resources. Data filtering instruments were collecting, executing, presenting and describing through structural interview and then analyzing.
The research findings show that the management development given by KUBE PC Lanita through sharing gives them a relieved feeling and calmness. They even able to understand other and willing to be open up for something thay are facing through or being faced by other paralyzed fellows. While their sewing skill are improved well because it gives them an opportunity to run their own taylor business. These paralyzed people who join the program are able to perform well and able tp socialize with the community even though the are still livng together in the same house
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas
kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap
orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan
yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup secara
layak. Tujuan dari pembangunan kesejahteraan sosial adalah terwujudnya
pemerataan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, prinsip dasar yang terkandung di
dalamnya yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup yang layak menurut kemanusiaan, termasuk mereka
yang mengalami disfungsi dalam kehidupan karena kecacatan.
Setiap manusia pasti menginginkan hidup normal tanpa ada kekurangan
suatu apapun di dalam dirinya baik secara fisik, mental maupun perilaku sosial.
Menurut Maslow salah satu kebutuhan manusia yang paling penting didalam
hidupnya adalah kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan akan harga diri dibagi
dalam dua bagian. Pertama: adalah penghormatan atau penghargaan pada diri
sendiri yang mencakup pada rasa percaya diri, kemandirian, dan kekuatan pribadi.
Berarti seseorang ingin meyakinkan bahwa dirinya berharga serta mampu
mengatasi segala tantangan dalam hidupnya. Kedua: adalah penghargaan dari
orang lain, yang meliputi prestasi dan pengakuan dari orang lain. Apabila
kebutuhan akan harga diri pada individu itu terpuaskan maka akan menghasilkan
Sebaliknya pemuasan kebutuhan akan harga diri itu terhambat maka akan
menghasilkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rasa tidak mampu dan
perasaan tidak berguna, yang menyebabkan seseorang mengalami kehampaan
keraguan dan keputusasaan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan hidupnya serta
penilaian yang rendah atas dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
Hal ini berlaku pada setiap manusia ciptaan Tuhan, tak terkecuali pada orang
cacat terutama cacat tubuh (Nurdin, 1989:20).
Kita ketahui bahwa di negara-negara Asia nasib penyandang cacat kurang
beruntung termasuk di Indonesia. Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap
penyandang cacat sangat rendah. Dari sekitar 20-25 juta penyandang cacat di
Indonesia, sekitar 10 juta adalah lansia dan lainnya adalah penyandang cacat lain.
Kini, 210 juta jiwa lebih penduduk telah mendiami negara Indonesia.
Mereka tersebar di ribuan pulau dalam beragam etnis, budaya, dan agama.
Sementara dari 210 juta jiwa lebih penduduk tersebut 5% nya kalangan cacat.
Menurut jenis kecacatan, penyandang cacat (difabel) dapat dikelompokkan atas
empat jenis, yaitu penyandang cacat fisik/tunadaksa (physically disabled persons),
penyandang cacat mental/tunagrahita (mentally retarded persons), penyandang
cacat mata/tunanetra dan penyandang cacat telinga/tunarungu. Dari jenis cacat
tersebut penyandang cacat fisik memiliki potensi yang paling besar sebagai
sumber daya manusia untuk berperan dalam proses pembangunan kesejahteraan
sosial umumnya pada sektor lapangan kerja baik di sektor formal maupun
Menurut Survei Sensus Nasional (SUSENAS) tahun 2004 mencatat,
bahwa penyandang cacat berjumlah sekitar 1,85 juta orang (tidak termasuk
mereka yang sedang atau telah menerima pelayanan), diantara kriterianya adalah
ketidakmampuan melakukan fungsi sosial atau tidak produktif
(http://thor.prohosting.com/~arema/malang/prokesos/pedoman.htm).
Jumlah penyandang cacat yang begitu besar tersebut perlu mendapatkan
perhatian yang memadai dari pemerintah agar mereka tidak selamanya
terbelenggu dengan kecacatannya sehingga menjadi beban di keluarganya,
masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah wajib mensejahterakan penyandang
cacat walaupun dengan keterbatasan fisik atau psikis yang mereka derita. Sebab
seringkali dalam realita kehidupan mereka mengalami distriminasi dan perlakuan
yang tidak baik. Penyandang cacat bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau
disingkirkan, justru dengan kondisi mereka yang seperti itu patut untuk dibantu
agar mereka dapat berfungsi sosial kembali dengan keterbatasan yang dimiliki
sehingga mampu mandiri ditengah-tengah masyarakat luas. Langkah yang
dianggap paling efektif adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan
keterampilan yang memadai bagi mereka sehingga mereka dapat melayani dirinya
sendiri dan tidak tergantung pada orang lain, baik secara ekonomi maupun sosial.
Kecacatan diartikan sebagai hilang atau terganggunya fungsi fisik atau
kondisi abnormalitas fungsi struktur anatomi, psikologi, maupun fisiologi
seseorang. Kecacatan telah menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau
fisik, kepercayaan dan harga diri yang bersangkutan, dalam berhubungan dengan
orang lain maupun dengan lingkungan.
Kecacatan pada dasarnya berkaitan dengan tidak berfungsinya salah satu
bagian fisik maupun psikis, sehingga tidak berfungsinya salah satu bagian dari
fisik dan psikis sama sekali tidak ada kaitannya dengan mampu atau tidak
mampunyai seseorang secara keseluruhan.
Kebebasan yang dapat diwujudkan bagi para penyandang cacat adalah
dilengkapinya sarana dan prasarana bagi para penyandang cacat agar mereka
dapat beraktifitas tanpa mengalami keterbatasan-keterbatasan yang cukup
mengganggu, seperti fasilitas kendaraan umum, tempat parkir khusus bagi para
penyandang cacat, fasilitas tangga dan sebagainya, yang kesemuanya itu
merupakan sarana yang dapat menunjang mereka dalam berkreasi.
Definisi Penyandang Cacat Menurut Undang-undang Nomor : 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat
mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.
PBB menetapkan pada tanggal 3 Desember sebagai Hari Internasional
Penyandang Cacat (Hipenca) dan 10 Desember sebagai Hari Internasional Hak
Asasi Manusia. Hak penyandang cacat adalah termasuk bagian dari hak asasi
manusia. Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat
kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan
yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
(http://depsos.go.id/modules.php?name=Newa&file=print&sid=917).
Kondisi seperti ini menyebabkan terbatasnya kesempatan bergaul,
bersekolah, bekerja dan bahkan kadang-kadang menimbulkan perlakuan
diskriminatif dari mereka yang tidak cacat. Sisi lain dari kecacatan adalah
pandangan sebagian orang yang menganggap kecacatan sebagai kutukan,
sehingga mereka perlu disembunyikan oleh keluarganya. Perlakuan seperti ini
menyebabkan hak penyandang cacat untuk berkembang dan berkreasi
sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi. Masalah
kecacatan akan semakin diperberat bila disertai dengan masalah kemiskinan,
keterlantaran, dan keterasingan.
Setiap manusia pasti berpendapat bahwa memiliki kaki dan tangan
merupakan organ tubuh yang memiliki peranan sangat penting untuk mobilitas.
Hal ini disebabkan dengan memanfaatkan kedua jenis organ tubuh tersebut,
manusia dapat melengkapi dan merealisasikan segala keinginan untuk bergerak
dari satu tempat ke tempat lain, baik yang dilakukan secara parsial maupun
integral bersama organ sensoris pendukung lainnya.
Atas dasar itulah, apabila fungsi kedua anggota tubuh tersebut mengalami
gangguan, baik sebagian atau keseluruhan, yang disebabkan oleh luka pada bagian
saraf otak (cerebral palsy), kelainan pertumbuhan, ataupun amputasi, akan
mempengaruhi mobilitas hidup yang bersangkutan. Masyarakat sering
Seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu
seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh
sebagai akibat dari luku, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya
kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami
penurunan (Efendi, 2006:114).
Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif
menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan
dalam penyesuaian diri pada penderita tunadaksa. Hal ini berkaitan erat dengan
perlakuan masyarakat terhadap kehadiran mereka. Sebenarnya kondisi sosial yang
positif menunjukkan kecendrungan untuk menetralisasikan akibat keadaan
tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu
merupakan faktor yang penting dalam penyesuaian diri penderita tunadaksa
dengan lingkungannya, karena hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan
perlakuan orang normal terhadap penderita tunadaksa. Keadaan tunadaksa yang
tidak nampak lebih memungkinkan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan
wajar dibandingkan apabila ketunadaksaan tersebut nampak.
Pemerintah tentunya diharapkan menjadi pemicu sekaligus pemacu
terciptanya suasana dan iklim yang ramah terhadap para penyandang cacat.
Regulasi Pemerintah berkaitan dengan Hak-hak Penyandang Cacat
Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan
bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan
peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam
penyandang cacat berhak memperoleh : (1) pendidikan pada semua satuan, jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang
sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4)
aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama
bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (
Adapun suatu bentuk yang harus dilakukan oleh semua daerah di pelosok
dunia (termasuk di Indonesia) adalah dengan memberikan aksesibilitas, yaitu
lingkungan yang memberi kebebasan dan keamanan yang penuh terhadap semua
orang tanpa adanya hambatan. Aksesibilitas juga berguna buat orang lanjut usia,
semua orang yang mederita cacat, ibu hamil, anak-anak, orang yang mengangkat
beban berat, dan sebagainya. Contoh bentuk aksesibilitas adalah, memberi
“tanjakan” atau ramp pada jalur tangga, supaya mereka yang menggunakan kursi
roda atau yang tidak sanggup naik tangga, tetap bisa melewatinya. Juga pegangan
pada setian jalan, atau kamar mandi, dan sebagainya.
Upaya penanganan pemerintah, dalam hal ini terkhusus Dinas Sosial
dalam penanganannya menghadapi masalah kemandirian penyandang cacat
melalui melakukan program pendidikan dan keterampilan untuk mereka. Dengan
demikian mereka dapat berdaya dan mandiri dalam arti agar kesejahteraan
hidupnya meningkat baik fisik, mental, dan sosial yang bernuansa pemerataan
permasalahan sosial supaya mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya (social
functioning) di tengah-tengah lingkungannya.
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) merupakan salah satu pendekatan
yang digunakan Program Dinas Sosial dalam memberdayakan para penyandang
cacat terkhusus tunadaksa pada keterampilan guna untuk mendorong kemandirian
dan meningkatkan kemampuan mereka. Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
sebagai Program Dinas Sosial yang diluncurkan oleh pemerintah RI. KUBE
dibentuk dengan harapan agar para penyandang cacat khususnya tunadaksa dapat
tereliminir sedikit demi sedikit. Pembentukan KUBE dimulai dengan proses
pembentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan keterampilan
berusaha, bantuan stimulun, dan pendampingan.
Sasaran program kesejahteraan sosial (PROKESOS) dalam kaitan dengan
kebijakan MPMK adalah PMKS yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan
rincian sebagai berikut: Pertama: Keluarga Fakir Miskin yang dibina melalui
Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Fakir miskin; Kedua: Kelompok
Masyarakat Terasing yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan
Sosial Masyarakat Terasing; Ketiga: Para Penyandang Cacat yang dibina melalui
Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat; Keempat: Lanjut
Usia yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia;
Kelima: Anak Terlantar yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan
Sosial Anak Terlantar; Keenam: Wanita Rawan Sosial Ekonomi yang dibina
melalui Program Peningkatan Peranan Wanita di Bidang Kesejahteraan Sosial;
Keluarga Muda Mandiri; Kedelapan: Remaja dan Pemuda yang dibina melalui
Program Pembinaan Karang Taruna; Kesembilan: Keluarga Miskin di Daerah
Kumuh yang dibina melalui Program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK)
(http://thor.prohosting.com/~arema/malang/prokesos/pedoman.htm).
Adapun tujuan KUBE adalah memberikan keterampilan (skill) khususnya
menjahit bagi penyandang cacat terkhusus untuk tunadaksa didalam
memandirikan mereka melalui kelompok usaha bersama.
Program KUBE dikonseptualisasikan di penyandang cacat (PC) Lanita
Medan. Ini salah satu dari banyaknya KUBE penyandang cacat yang ada di
Medan yang menjadi program Dinas Sosial yang dilihat berpeluang didalam
memberikan keterampilan bagi penyandang cacat yang ada di sekitar Jln.
Perjuangan, Pancing.
PC Lanita merupakan sebuah wadah yang menjadi tempat untuk para
penyandang cacat yang membutuhkan keterampilan khususnya kursus menjahit.
PC Lanita juga tidak memberi batasan bagi siapa saja yang mau mendapatkan
keterampilan menjahit sekalipun orang tersebut memiliki tubuh normal.
Dengan melihat tingginya perhatian pemerintah terhadap program KUBE
yang dikerjakan oleh Dinas Sosial terkhusus untuk KUBE PC Lanita, maka
peneliti tertarik meneliti peranan program kelompok usaha bersama Lanita Medan
1.2Perumusan Masalah
Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian
(Arikunto, 1992:47). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan: “bagaimana peranan KUBE Lanita
dalam meningkatkan keberfungsian sosial penyandang cacat?”.
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana peranan kelompok usaha bersama PC Lanita
di Medan.
2. Untuk memperoleh data dan informasi secara langsung realistis dan
objektif mengenai peranan kelompok usaha bersama Lanita di Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dapat memperkaya khasanah penelitian. Khususnya Ilmu
Kesejahteraan Sosial, terutama mengenai permasalahan sosial yang ada di
tengah-tengah masyarakat saat ini.
2. Penelitian ini diharapkan dapat melatih dan mengembangkan pemahaman
dan kemampuan berpikir secara ilmiah dengan menerapkan pengetahuan
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi peneliti dalam
pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan bagi lembaga Lanita yang
terkait dalam melaksanakan pembinaan terhadap penyandang cacat.
1.4Sistematika Penulisan
Penulisan ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang teori yang berkaitan dengan masalah
yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep, dan
definisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, subjek
penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran umum mengenai lokasi
BAB V : ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data dari hasil peneliti dan
analisanya.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat dari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peranan.
2.1.1 Pengertian Peranan.
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, dia
menjalankan suatu peranan. Pembedaan antara kedudukan dengan peranan adalah
untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan
karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa
kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti (Soekanto, 2006: 212).
Peranan adalah suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya
individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status
sosial dan fungsi sosialnya (Ahmadi, 2007: 106).
Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang yang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia telah
menjalankan suatu peranan. Suatu peranan paling tidak mencakup tiga hal berikut:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang didalam masyarakat.
2. Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi
dalam pergaulan masyarakat. Posisi seseorang dalam masyarakat (social-position)
merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam masyarakat.
Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu
proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta
menjalankan suatu peranan.
Peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu
yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan
imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat,
maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh
masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga, dan di dalam
peranan-peranan lainnya. Di dalam peranan-peranan terdapat 2 harapan, yaitu:
1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban-kewajiban dari pemegang peran
2. Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap
masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya
dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya (Berry,
2003: 105).
Pemikiran tentang peranan sebagai seperangkat harapan yang ditentukan
oleh masyarakat terhadap pemegang-pemegang kedudukan sosial adalah sejalan
dengan perspektif masyarakat. Perspektif dimaksudkan bahwa setiap individu
pandangan ini, peranan-peranan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur
masyarakat. Jadi struktur masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan yang
saling berhubungan. Walaupun peranan adalah bagian dari struktur masyarakat
tapi peranan-peranan itu hanya ada selama peranan-peranan itu diisi oleh individu.
Konsep peranan mungkin dapat digunakan untuk melihat hubungan fundamental
antara struktur masyarakat dan individu.
Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari
pola-pola pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa
yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang
diberikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah karena ia
mengatur perilaku seseorang.
Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan
hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Peranan diatur oleh
norma-norma yang berlaku. Misalnya: norma kesopanan menghendaki agar
seseorang laki-laki bila berjalan bersama seorang wanita harus disebelah luar.
Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi
dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat
(social-position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada
organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjukkan pada fungsi,
penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu
posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Adapun fasilitas-fasilitas bagi peranan individu (role-facilities).
Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada individu untuk dpat
menjalankan peranan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan merupakan bagian
masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk pelaksanaan
peranan. Kadang-kadang perubahan struktur suatu golongan kemasyarakatan
menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah. Misalnya, perubahan organisasi suau
sekolah yang memerlukan penambahan guru, pegawai administrasi, dan
seterusnya. Akan tetapi juga dapat mengurangi peluang-peluang apabila terpaksa
diadakan rasionalisasi sebagai akibat perubahan struktur dan organisasi.
Sejalan dengan adanya status-conflict, juga ada conflict of role. Bahkan
kadang-kadang suatu pemisahan antara individu dengan peranannya yang
sesungguhnya harus dilaksanakannya. Hal ini dinamakan role-distance. Gejala
tadi timbul apabila individu merasakan dirinya tertekan karena dia merasa dirinya
tidak sesuai untuk melaksanakan peranan yang diberikan oleh masyarakat
sempurna atau bahkan menyembunyikan dirinya, apabila dia berada dalam
lingkaran sosial yang berbeda. Setiap peranan bertujuan agar antara individu yang
melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang di sekitarnya yang tersangkut atau
ada hubungannya dengan peranan tersebut terdapat hubungan yang diatur oleh
nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak. Apabila tidak dapat
terpenuhi oleh individu maka terjadilah role-distance.
Pembahasan perihal aneka macam peranan yang melekat pada
individu-individu dalam masyarakat penting bagi hal-hal sebagai berikut:
1. Peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat
hendak dipertahankan kelangsungannya.
2. Peranan tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu-individu yang oleh
masyarakat dianggap mampu melaksanakannya. Mereka harus terlebih
dahulu berlatih dan mempunyai hasrat untuk melaksanakannya.
3. Dalam masyarakat kadangkala dijumpai individu-individu yang tidak
mampu melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan oleh
masyarakat karena mungkin pelaksanaannya memerlukan pengorbanan
arti kepentingan-kepentingan pribadi yang terlalu banyak.
4. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya,
belum tentu masyarakat akan dapat memberikan peluang-peluang yang
seimbang. Bahkan sering kali terlihat betapa masyarakat terpaksa
membatasi peluang-peluang tersebut
Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu status (kedudukan).
Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status
yang dimilikinya, maka ia telah menjalankan peranannya.
Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki
kedudukan atau status. Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan.
Tidak ada peranan tanpa kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan.
Peranan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang, karena dengan
peranan yang dimilikinya ia akan dapat mengatur perilaku dirinya dan orang lain.
Seseorang dapat memainkan beberapa peranan sekaligus pada saat yang sama,
seperti seorang wanita dapat mempunyai peranan sebagai isteri, ibu, karyawan
kantor sekaligus.
Peranan seseorang tidak hanya menentukan perilaku tetapi juga beliefs
(keyakinan) dan sikap. Individu memiliki sikap yang selaras dengan
harapan-harapan yang menentukan peranan mereka sehingga perubahan peranan akan
membawa pada perubahan sikap. Pada umumnya peranan yang dilakukan
seseorang tidak hanya menyalurkan perilakunya tetapi juga membentuk sikapnya.
Peranan juga dapat mempengaruhi nilai-nilai (values) yang dipegang orang dan
mempengaruhi arah dari pertumbuhan dan perkembangan kepribadian mereka
(Dayakisni, 2003: 18).
Di Indonesia terdapat kecendrungan untuk lebih mementingkan kedudukan
ketimbang peranan. Gejala tersebut terutama disebabkan adanya kecendurngan
kuat untuk lebih mementingkan nilai materialisme daripada spiritualisme. Nilai
ciri-ciri tertentu yang bersifat lahiriah dan di dalam kebanyakan hal bersifat
konsumtif. Tinggi rendahnya prestise seseorang diukur dari atribut-atribut lahiriah
tersebut, misalnya, gelar, tempat kediaman mewah, kendaraan, pakaian, dan lain
sebagainya. Hal-hal tersebut memang diperlukan tetapi bukanlah yang terpenting
di dalam pergaulan hidup manusia. Memang perlu diakui bahwa di Indonesia
peranan juga mendapatkan penghargaan tertentu tetapi belum proporsional
sifatnya, padahal menjalankan peranan berarti melaksanakan hak dan kewajiban
serta tanggung jawab. Apabila seseorang pegawai negri, misalnya, lebih
mementingkan kedudukan daripada peranannya, dia akan menuntut warga
masyarakat untuk lebih banyak melayaninya (padahal peranan seorang pegawai
negri adalah memberikan pelayanan kepada warga masyarakat). Faktor inilah
yang antara lain mengakibatkan terjadinya halangan-halangan di dalam
menerapkan birokrasi yang positif.
Peranan juga bisa menimbulkan konflik peranan apabila seseorang harus
memilih peranan dari dua atau lebih status yang dimilikinya. Pada umumnya
konflik peranan timbul ketika seseorang dalam keadaan tertekan, karena merasa
dirinya tidak sesuai atau kurang mampu melaksakan peranan yang diberikan
masyarakat kepadanya. Akibatnya, ia tidak melaksanakan peranannya dengan
ideal/sempurna.
Ada banyak peluang masalah sehubungan dengan peranan di tengah
masyarakat. Pertama-tama mungkin saja terjadi kesalahpahaman di antara
masing-masing anggota masyarakat. Sumber permasalahan lainnya adalah kita umumnya
Bahkan dalam satu peran sendiri pun mungkin terkandung pula banyak peranan,
tergantung pada situasinya (Boeree, 2006: 148).
2.2 Keberfungsian Sosial.
Pengertian fungsi sosial (social functioning) mengarah kepada cara yang
dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, memecahkan
permasalahan maupun memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, pembahasan
tentang fungsi sosial tidak lepas dari pembahasan peranan sosial (social role) dan
status sosial (social status) orang tersebut di lingkungannya atau masyarakat.
Status sosial seseorang mencerminkan hak dan kewajiban yang
ditampilkan oleh orang tersebut. Hak dan kewajiban tersebut merupakan cerminan
dari norma dan nilai yang ada di lingkungan atau masyarakat yang diberikan
kepada seseorang sesuai dengan status sosialnya. Oleh sebab itu, seseorang
dituntut dan diminta oleh lingkungannya hak dan kewajibannya. Pelaksanaan hak
dan kewajiban itulah yang dijadikan standar atau ukuran untuk menentukan
apakah seseorang dapat berfungsi sosial atau tidak. Pernyataan tersebut mengacu
kepada jika seseorang dapat menampilkan peran (hak dan kewajibannya) sesuai
dengan status sosialnya, maka orang tersebut dikatakan dapat berfungsi sosial.
Sebaliknya jika tidak mampu melaksanakan peranan dan status sosialnya, maka
orang tersebut dinyatakan tidak berfungsi sosial. Berdasarkan uraian tersebut,
maka keberfungsian sosial merupakan perbandingan antara peranan sosial yang
diharapkan oleh lingkungan sesuai dengan status sosialnya dengan peranan sosial
harapan lingkungan atau masyarakat maka dikatakan dapat berfungsi sosial.
Sebaliknya jika tidak mampu memenuhi harapan lingkungan atau masyarakat,
maka orang tersebut dinyatakan tidak atau kurang berfungsi sosial (Sukonco,
1991: 33-34).
Keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu:
1. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan melaksanakan
peranan sosial.
Keberfungsian sosial dapat dipandang sebagai penampilan atau
pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektivitas.
2. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan
Orang selalu dihadapkan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu,
keberfungsian sosial juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh
individu maupun kolektivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
3. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan
permasalahan sosial yang dialami
Orang dalam usahanya memenuhi kebutuhan, melakukan tugas-tugas
kehidupan dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan
kepada keterbatasan, hambatan, dan kesulitan serta permasalahan yang
harus ditangani dan dipecahkan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa setiap orang selalu dihadapkan
memecahkan permasalahan yang dialami menunjukkan kemampuannya dalam
melaksanakan keberfungsian sosial.
Fungsi sosial memberikan pemahaman tentang bagaimana seseorang bisa
bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain didalam masyarakat. Seseorang
telah dikenalkan dengan kedudukan dan status didalam masyarakat. Dengan
demikian, seseorang secara tidak langsung telah belajar dengan orang lain didalam
masyarakat, sehingga mereka bisa membedakan sikap dan cara bicaranya saat
ber-interaksi dengan masyarakat.
Fungsi Sosial adalah proses sosialisasi yang telah memungkinkan
seseorang tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa yang dapat
menjalankan:
1. Berbagai peranan sosialnya sesuai dengan kedudukan sosial yang
dicapainya dalam bermacam lingkungan sosial di mana dia menjadi
warganya;
2. Kemampuan menjalankan multi status dan multi peranan tersebut dibentuk
melalui proses pembelajaran di lingkungan budaya di mana nilai-nilai dan
norma-norma sosial berlaku di lingkungan tersebut
(http://pakdesofa.blogspot.com/Pengertian,Ruang,Lingkup,danStudi/Interv
ensi/Sosial/CARI/ILMU/ONLINE/BORNEO.htm).
Fungsi sosial adalah kemampuan untuk menjalankan multi peranan dalam
bermacam kedudukan sosial, sesuai dengan tuntutan lingkungannya,
juga mencakup pemenuhan kebutuhan dasar dirinya dan orang-orang yang
menjadi tanggungannya.
2.3 Penyandang Cacat.
Pengertian penyandang cacat atau disebut juga berkelainan adalah suatu
kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut
memiliki nilai lebih atau kurang. Efek penyimpangan yang dialami oleh seseorang
seringkali mengundang perhatian orang-orang yang ada di sekelilingnya, baik
sesaat maupun berkelanjutan (Efendi, 2006: 2).
Dalam kamus popular pekerjaan sosial yang dimaksud dengan cacat
adalah suatu keadaan tidak lengkap (Marpaung, 1988:105). Tidak semua orang
dapat menatap masa depan yang cerah. Ada beberapa orang yang kurang
beruntung, dimana pertumbuhan dan perkembangannya terhalang oleh karena
cacat yang dimilikinya. Namun demikian tidak berarti bahwa kecacatan
merupakan penghalang untuk melaksanakan fungsi sosialnya ditengah-tengah
masyarakat.
Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau
gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga
diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Masalah kecacatan
juga akan semakin berat, bila disertai dengan masalah kesejahteraan sosial lainnya
seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan. Kondisi seperti ini
menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi
Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, penyandang cacat dapat
dikelompokkan ke dalam, yaitu:
1. Kelainan Fisik.
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ
tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik
tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya
anggota fisik terjadi pada: (a) alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra
pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), dan
lain-lain; (b) alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis),
kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik
(cerebral palsy), dan lain-lain.
2. Kelainan Mental.
Aspek mental adalah orang yang memiliki penyimpangan kemampuan
berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada
aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan dalam arti lebih
(supernormal) dan kelainan dalam arti kurang (subnormal).
3. Kelainan Perilaku Sosial.
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial,
dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku
sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan,
Ketiga kelainan tersebut akan membawa konsekuensi tersendiri bagi
penyandangnya, baik secara keseluruhan atau sebagian, baik yang bersifat objektif
maupun subjektif. Kondisi kelainan yang disandang seseorang akan memberikan
dampak kurang menguntungkan pada kondisi psikologis maupun psikososialnya.
Pada gilirannya kondisi tersebut dapat menjadi hambatan yang berarti bagi
penyandang kelainan dalam meniti tugas perkembangannya (
Cacat tubuh secara fisik atau tunadaksa berarti suatu keadaan yang rusak
atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot,
dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan
individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga
mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk
berdiri sendiri.
Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau komunikasi yang merupakan
keturunan, meliputi;
a. Club-foot (kaki seperti tongkat).
b. Club-hand (tangan seperti tongkat).
c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing
d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu
dengan yang lainnya).
e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke
muka).
f. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).
g. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).
2. Kerusakan pada waktu kelahiran:
a. Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau
tertarik waktu kelahiran).
b. Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).
3. Infeksi:
a. Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi
kaku).
b. Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum
tulang karena bakteri)
c. Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan
kelumpuhan).
d. Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang)
e. Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan
kerusakan permanen pada tulang).
4. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik.
a. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan)
c. Patah tulang.
5. Tumor:
a. Oxostosis (tumor tulang).
b. Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan
di dalam tulang).
6. Kondisi-kondisi lainnya:
a. Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak bertekuk).
b. Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang
cekung).
c. Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung).
d. Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami
kelainan).
e. Ricket’s (tulang yang lunak karena nutrisi, menyebabkan
kerusakan tulang dan sendi).
Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:
a. Faktor keturunan.
b. Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan.
c. Usia ibu yang sudah lanjut usia.
d. Pendarahan pada waktu kehamilan.
2. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:
a. Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung,
vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar.
b. Penggunaan obat bius pada waktu kelahiran.
3. Sebab-sebab sesusah kelahiran:
a. Infeksi.
b. Trauma.
c. Tumor.
d. Kondisi-kondisi lainnya (Somantri, 2006: 123).
Meskipun kebanyakan penyandang cacat jelas memperlihatkan gangguan
psikologi yang karena cacat tubuhnya namun seberapa jauh daya rusaknya
berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain dan amat bergantung pada
beberapa faktor, lima di antaranya tergolong paling sering terjadi
1. Parahnya cacat tubuh akan mempengaruhi seseorang dalam memandang
cacatnya itu. Semakin besar kemungkinannya cacat tubuhnya dapat
ditutupi maka orang tersebut merasa cukup aman dari pandangan orang
lain, dan pengaruh psikologinya tidak begitu kentara.
2. Saat terjadi cacat tubuh maka akan mempengaruhi seseorang dalam
membangun penyesuaian diri terhadap hal itu. Apabila cacat itu terjadi
pada masa bayi atau setelah kelahiran maka penyesuaian dirinya akan
lebih baik dibandingkan dengan bila cacat itu terjadi saat usia yang cukup
3. Seberapa jauh cacat seseorang sehingga mempengaruhi keseluruhan
gerak-geriknya sangat mempengaruhi sikap orang tersebut. Misalnya orang yang
buta atau lumpuh, jelas akan lebih terbatas gerakannya dibandingkan
dengan anak yang tuli.
4. Apabila orang yang melihatnya tidak mampu menyembunyikan rasa belas
kasihannya, maka dalam diri penyandang cacat akan timbul perasaan
mengasihani diri sendiri.
5. Sikap penyandang cacat terhadap cacatnya juga akan menimbulkan akibat
pada cacatnya itu. Misalnya ada beberapa penyandang cacat yang dapat
menerima bahwa dirinya cacat dan ada juga yang tetap berusaha
meyakinkan dirinya tidak berbeda dari orang yang normal (Hurlock, 1993:
135).
2.4 Kelompok Usaha Bersama
Berdasarkan Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok Usaha
bersama (KUBE) Departemen Sosial Republik Indonesia memberi pengertian
KUBE adalah:
1. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga
binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang
telah dibina melalui proses kegiatan PROKESOS (program kesejahteraan
sosial) untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial dan usaha
ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana untuk
2. KUBE merupakan metode pendekatan yang terintegrasi dan keseluruhan
proses PROKESOS dalam rangka MPMK (memajukan permasalahan
kemiskinan).
3. KUBE tidak dimaksudkan untuk menggantikan keseluruhan prosedur baku
PROKESOS kecuali untuk Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Fakir
Miskin yang mencakup keseluruhan proses. Pembentukan KUBE dimulai
dengan proses pembentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial,
pelatihan ketrampilan berusaha, bantuan stimulans dan pendampingan.
4. Kelompok Usaha Bersama (KUBE), yaitu wadah yang menghimpun dan
mengelola keluarga binaan sosial yang telah mendapatkan bantuan sarana
usaha dari pemerintah sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan
atau kehidupannya.
Tujuan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan
kemiskinan termasuk juga bagi penyandang cacat, melalui: Peningkatan
kemampuan berusaha para anggota KUBE secara bersama dalam kelompok,
Peningkatan pendapatan, Pengembangan usaha, dan Peningkatan kepedulian dan
kesetiakawanan sosial diantara para anggota KUBE dan dengan masyarakat
sekitar.
Proses pembentukan KUBE ditumbuhkembangkan melalui Program
Bantuan Kesejahteraan Fakir Miskin. langkah/kegiatan pokok pembentukan
KUBE untuk sasaran PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial) lainnya
1. Pelatihan keterampilan berusaha, dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan praktis berusaha yang disesuaikan dengan minat dan
keterampilan PMKS serta kondisi wilayah, termasuk kemungkinan
pemasaran dan pengembangan basil usahanya. Nilai tambah lain dari
pelatihan adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan harga diri PMKS untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memperbaiki kondisi
kehidupannya
2. Pemberian bantuan stimulan sebagai modal kerja atau berusaha yang
disesuaikan dengan keterampilan PMKS dan kondisi setempat. Bantuan
ini merupakan hibah (bukan pinjaman atau kredit) akan tetapi diharapkan
bagi PMKS penerima bantuan untuk mengembangkan dan menggulirkan
kepada warga masyarakat lain yang perlu dibantu
3. Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan
berkembangnya KUBE, mengingat sebagian besar PMKS merupakan
kelompok yang paling miskin dan penduduk miskin. Secara fungsional
pendampingan dilaksanakan oleh PSK yang dibantu oleh infrastruktur
kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna (KT), Pekerja Sosial
Masyarakat (PSM), Organisasi Sosial (ORSOS) dan Panitia Pemimpin
Usaha Kesejahteraan Sosial (WPUKS).
Program KUBE bukan program perberdayaan yang bersifat individual
tetapi merupakan program kelompok karena program kelompok punya banyak
kelebihan. KUBE dilandasi pertimbangan akan kenyataan berbagai keterbatasan
(PMKS) termasuk keluarga miskin dan penyandang cacat. Penanganan secara
kelompok ditujukan untuk menumbuhkembangkan semangat kebersamaan dalam
upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial.
Program Kesejahteraan Sosial (PROKESOS) bertujuan untuk
meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan PMKS agar dapat menikmati
kehidupan secara layak dan berperan dalam pembangunan serta memantapkan
peran dan kontribusi PROKESOS melalui KUBE dalam rangka upaya menghapus
kemiskinan dan penyandang cacat.
KUBE paling tidak ada dua unsur yang selalu ditekankan yaitu: Pertama
keuntungan ekonomis dan kedua keuntungan sosial. Unsur pertama lebih
menekankan pada keuntungan ekonomis dari perguliran hasil usaha yang diterima
melalui paket bantuan usaha ekonomis produktif (USEP) sedangkan unsur kedua
lebih menekankan pada terjadinya interaksi sosial, kesetiakawanan sosial, kohesi
sosial dan adhesi sosial antar anggota kelompok KUBE maupun dalam
lingkungan sosialnya. Keuntungan ekonomis dengan mudah dapat dihitung tetapi
keuntungan sosial memerlukan proses waktu untuk melihat keberhasilannya.
KUBE terus diberdayakan secara berkelanjutan. Asumsinya adalah: jika
KUBE telah berhasil dari sisi ekonomi dan sosial, diharapkan KUBE tersebut
berkembang menjadi sebuah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menjangkau
pelayanan kepada penyandang miskin lainnya untuk berkembang.
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) merupakan salah satu pendekatan
yang digunakan Program Kesejahteraan Sosial (PROKESOS) dalam
dan tingkah laku secara bersamaan dan berkesinambungan. Pemberdayaan
terhadap penyandang cacat mengandung makna pengakuan terhadap potensi,
pemberian kepercayaan, mendorong kemandirian dan peningkatan kemampuan
untuk memecahkan masalah. KUBE dibentuk dengan harapan agar para
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang terdapat di Indonesia
dapat tereliminir sedikit demi sedikit. KUBE merupakan metode pendekatan yang
terintegrasi dari keseluruhan proses PROKESOS dalam rangka MPMK
(Memajukan Permasalahan Kemiskinan). KUBE tidak dimaksudkan untuk
menggantikan keseluruhan prosedur baku PROKESOS, kecuali untuk Program
Bantuan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang mencakup keseluruhan
proses.
Pembentukan KUBE dimulai dengan proses pembentukan kelompok
sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan keterampilan berusaha, bantuan
stimulans dan pendampingan. Sebagai salah satu program untuk memberdayakan
dan mendorong masyarakat untuk mandiri. Program Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) yang ada selama ini dapat berkembang menjadi usaha ekonomi produktif
yang dapat memberikan profit sehingga KUBE tersebut tidak saja memberikan
manfaat bagi anggotanya saja, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi warga
masyarakat lainnya. Untuk dapat berkembang menjadi usaha ekonomi produktif
yang menguntungkan, KUBE sangat tergantung dengan manajemennya. Dengan
pengelolaan secara bersama-sama bukan tidak mungkin KUBE akan berkembang
menjadi sebuah bidang usaha yang menguntungkan. Oleh karena KUBE
sendiri, maka kepengurusannya juga dikerjakan oleh para anggotanya sendiri
sekaligus melaksanakannya.
Dalam pembentukan KUBE ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yaitu:
1. Lokasi tempat tinggal penyandang cacat berdekatan sehingga
memungkinkan mereka melakukan kegiatan secara teratur.
2. Adanya kesamaan jenis usaha ekonomis produktif.
3. Kemudahan dalam memperoleh bahan baku.
4. Kemudahan dalam pemasaran.
5. Kemudahan dalam pembinaan.
6. Pengelolaan jenis usaha.
7. KUBE dikelola oleh anggota kelompok sendiri dibawah bimbingan
seorang pembina atau pendamping. Pelaksanaan KUBE harus melibatkan
semua anggota kelompok.
8. Pembina atau pendamping bersama-sama anggota kelompok berusaha agar
KUBE tersebut dapat lebih ditingkatkan dan dikembangkan pada waktu
mendatang.
9. Aparat Desa atau Kecamatan agar memberikan petunjuk, bimbingan dan
mengikuti pelaksanaan KUBE serta membantu memecahkan kesulitan
yang dihadapi anggota KUBE dimasyarakat.
10.Perlu dibuat aturan main dalam kelompok yang mengatur tentang hak dan
Dalam pengembangan KUBE agar dapat maju dan berkembang dengan
baik, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Penentuan nasib sendiri. Setiap anggota KUBE sebagai manusia yang
memiliki harkat dan martabat, mempunyai hak untuk menentukan dirinya
sendiri.
2. Kekeluargaan. Pengembangan KUBE perlu dibangun atas dasar
kekeluargaan sehingga dapat menumbuhkan semangat dan sikap dalam
mewujudkan keberhasilan KUBE.
3. Kegotong-royongan. Pengembangan KUBE menuntut perlu adanya
semangat kebersamaan diantara anggota KUBE.
4. Pengembangan potensi anggota. Pengelolaan dan pengembangan KUBE
didasarkan pada kemampuan dan potensi anggota KUBE.
5. Pemanfaatan sumber-sumber setempat. Pengembangan usaha ekonomi
produktif yang dilaksanakan harus didasarkan pada ketersediaan
sumber-sumber yang ada di lingkungannya.
6. Kegiatan berkelanjutan. Pengelolaan KUBE harus diwujudkan dalam
program-program yang berkelanjutan.
7. Usaha yang berorientasi pasar. Pengembangan KUBE diarahkan pada jenis
usaha yang memiliki prospek yang baik dan sesuai dengan kebutuhan
2.5 Kerangka Pemikiran
Selama hidup manusia tidak pernah statis, sejak lahir sampai meninggal
manusia selalu mengalami perubahan. Perubahan yang dialami manusia
merupakan integrasi dari berbagai perubahan struktur dan fungsi, karena itu
perubahan ini tergantung pada hal-hal yang alami sebelumnya dan mempengaruhi
hal-hal yang terjadi sesudahnya. Setiap manusia pasti menginginkan hidup normal
tanpa ada kekurangan suatu apapun didalam dirinya baik secara fisik, mental
maupun perilaku sosial, tak terkecuali pada orang cacat.
Penyandang cacat memiliki keterbatasan didalam menyesuaikan dirinya
dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti: kelainan fisik, kelainan
mental, dan kelainan perilaku sosial.
Setiap manusia pasti juga berpendapat bahwa memiliki kaki dan tangan
merupakan organ tubuh yang memiliki peranan sangat penting untuk mobilitas.
Hal ini disebabkan dengan memanfaatkan kedua jenis organ tubuh tersebut,
manusia dapat melengkapi dan merealisasikan segala keinginan untuk bergerak
dari satu tempat ke tempat lain, baik yang dilakukan secara parsial maupun
integral bersama organ sensoris pendukung lainnya. Seseorang yang memiliki
cacat tubuh disebut dengan istilah tunadaksa.
Masalah penyandang cacat terkhusus bagi penyandang cacat tubuh
(tunadaksa) merupakan masalah yang harus ditangani secara serius baik oleh
pemerintah maupun masyarakat. Namun demikian, bahwa saat ini taraf
kesejateraan sosial perlu terus diupayakan mengingat rakyat Indonesia masih
belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya.
Untuk mengatasi permasalahan penyandang cacat terkhusus tunadaksa
didalam meningkatkan kemandirian mereka, maka dibutuhkan peranan dari
pemerintah untuk meningkatkan kemampuan berusaha, meningkatkan
pendapatan, pengembangan usaha, dan peningkatan kepedulian dan
kesetiakawanan sosial di antara anggota KUBE. Maka pemerintah Medan
membentuk program kelompok usaha bersama bagi penyandang cacat di bawah
naungan Dinas Sosial Medan sebagai wadah pelatihan, pemberian bantuan, dan
pendampingan. Diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang
Program KUBE Lanita:
1. Pembinaan
2. Keterampilan
terkhusus menjahit Keterbatasan Penyandang cacat
1. Fisik
2. Mental
3. Perilaku Sosial Gambar I
Bagan Alir Pikiran
2.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional
2.6.1 Definisi Konsep
Konsep merupakan abstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas
dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik. kejadian, keadaan kelompok atau
individu tertentu (Singarimbun, 1989:32). Dalam hal ini konsep penelitian
bertujuan untuk merumuskan dan mendefinisikan istilah-istilah yang digunakan
secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan menghindari salah
pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian ini.
1 Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya,
dia menjalankan suatu peranan.
2 Fungsi sosial (social functioning) mengarah kepada cara yang
dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan,
memecahkan permasalahan maupun memenuhi kebutuhannya.
3 Penyandang cacat atau disebut juga berkelainan adalah suatu kondisi yang
menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut memiliki
nilai lebih atau kurang.
4 Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga
binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang
telah dibina melalui proses kegiatan program kesejahteraan sosial
(PROKESOS) untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial dan
usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana untuk
2.6.2 Definisi Operasional
Operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana
cara mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989:33). Bertujuan untuk
memudahkan penelitian dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Maka perlu
operasionalisasi dari konsep-konsep yan digunakan untuk bertujuan
menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dengan kata-kata yang
dapat diuji dan diketahui kebenarannya oleh orang lain. Untuk mengetahui
variabel dalam penelitian ini, yaitu dengan melihat berbagai indikator yang akan
diteliti sebagai berikut:
1. Pembinaan yang diberikan:
a. Sharing (berbagi)
b. Keterampilan menjahit
2. Keberfungsian Sosial:
a. Berfungsi sosial