• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Penyebab Kecacingan

Filum utama cacing yang mempengaruhi kesehatan manusia yaitu filum Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Filum Platyhelminthes terdapat 2 kelas penting, yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda. Filum Nemathelminthes

yang penting adalah kelas Nematoda (Soedarto, 2008). Nematoda atau cacing bundar berbentuk bulat, tidak bersegmen, memiliki rongga tubuh dengan saluran pencernaan dan kelamin terpisah (Zulkoni, 2010). Nematoda menyebabkan infeksi pada usus, darah dan jaringan. Trematoda atau cacing pipih berbentuk seperti daun dan bersifat hermaphrodit kecuali cacing hati (Zulkoni, 2010). Cestoda atau cacing pita secara khas berbentuk pita yang besegmen, bersifat

hermaphrodit, tidak memiliki saluran pencernaan (Zulkoni, 2010) dan menempel pada usus (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Infeksi cacing umumnya masuk melalui mulut atau luka di kulit atau lewat telur (kista) atau larvanya yang ada di atas tanah dan pembuangan kotoran yang dilakukan dengan sembarangan yang tidak memenuhi syarat kebersihan (Zulkoni, 2010; Tjay dan Rahardja, 2002). Kebiasaan penggunaan kotoran sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah. Persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran yang tidak dicuci bersih, kebiasaan makan masyarakat mengkonsumsi makanan mentah atau setengah matang sepeti ikan, kerang, daging atau sayuran akan meningkatkan penderita kecacingan, bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing maka dapat mengakibatkan kecacingan pada manusia (Entjang, 2003).

Tergantung dari jenisnya, cacing tetap bermukim dalam saluran cerna atau berpenetrasi ke jaringan. Cacing menyerap nutrisi dari tubuh manusia yang ditumpanginya, penyerapan ini akan menyebabkan kelemahan tubuh dan penyakit, dalam saluran pencernaan jika terdapat 20 ekor cacing dewasa, cacing-cacing tersebut bisa menyedot 2,8 g karbohidrat dan 0,7 g protein dalam sehari (Zulkoni, 2009; Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan oleh penyumbatan usus halus dan saluran empedu atau penarikan gizi yang

penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa gangguan lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang-kejang dan diare berkala dengan hilangnya nafsu makan. Tuan rumah dapat menderita kekurangan darah akibat terinfeksi sejumlah cacing yang menghisap darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita dan cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.1 Infeksi nematoda

Infeksi nematoda yang sering dijumpai adalah: a. Onkoserkiasis (river blindness)

Penyakit ini disebabkan oleh Onchocerca volvulus yang ditandai dengan adanya benjolan dibawah kulit, ruam kulit yang terasa gatal dan lesi okular yang sering menyebabkan kebutaan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Enterobiasis (penyakit cacing kremi)

Penyebab penyakit ini adalah infeksi dari Enterobius vermicularis (Tjahyanto dan Salim, 2013). Cacing kremi biasanya menimbulkan gatal di sekitar dubur (anus) dan kejang hebat pada anak-anak. Infeksi ini dapat menyebabkan radang umbai-usus buntu akut (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing kremi yaitu gatal disekitar dubur terutama pada malam hari pada saat cacing betina meletakkan telurnya, gelisah dan sukar tidur (Irianto, 2013).

c. Askariasis (penyakit cacing gelang)

Penyebab penyakit ini adalah Ascaris lumbricoides. Panjangnya 10-15 cm dan biasanya bermukim pada usus halus. Cacing betina mengeluarkan telur dalam jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung), kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan dan demam (Irianto, 2013).

d. Trikuriasis (penyakit cacing cambuk)

Agen penyebab penyakit ini adalah Trichuris trichiura. Umumnya terdapat di negara beriklim panas dan lembab. Cacing cambuk bermukim di mukosa usus halus dan usus besar dalam tubuh manusia, biasanya dengan menimbulkan kerusakan dan peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing cambuk yaitu nyeri di ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare dan anemia (Irianto, 2013).

e. Ankilostomiasis (penyakit cacing tambang)

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung. Penularannya terjadi oleh larva yang memasuki kulit kaki yang terluka. Setelah memasuki vena, larva menuju ke paru-paru dan bronki, akhirnya masuk ke saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). Cacing menempel pada mukosa usus dan menyebabkan anoreksia dengan gejala adanya luka mengakibatkan pendarahan usus kronis yang menyebabkan anemia, selain itu gejala penyakit ini adalah gangguan pencernaan berupa mual, muntah, diare, nyeri ulu hati, pusing, nyeri kepala, lemas, lelah dan gatal di daerah masuknya cacing (Irianto, 2013).

f. Trikinosis (cacing rambut)

Agen penyebab penyakit ini adalah Trichinella spiralis, biasanya disebabkan oleh konsumsi daging yang tidak cukup matang, khususnya babi (Tjahyanto dan Salim, 2013).

g. Strongiloidiasis (penyakit cacing benang)

Penyebab penyakit ini adalah Strongyloides stercoralis (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penularannya lewat larva yang berbentuk benang yang menembus kulit.

Cacing dapat bertahan puluhan tahun lamanya di mukosa bagian atas usus halus, ditempat ini cacing merusak jaringan dan menimbulkan reaksi radang (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.2 Infeksi trematoda

Infeksi trematoda yang sering dijumpai adalah: a. Skistosomiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum

yang merupakan cacing pipih. Penyakit ini ditularkan melalui sejenis keong sebagai pembawa larva. Parasit ini menembus kulit manusia dan memasuki peredaran darah. Skistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebarkan melalui air yang terinfeksi di beberapa bagian dunia (Tjay dan Rahardja, 2002). Lokasi infeksi utama adalah traktus gastrointestinal. Kerusakan pada dinding usus disebabkan oleh respons inflamasi terhadap telur-telur yang disimpan dalam daerah tersebut. Telur-telur tersebut juga mensekresikan enzim proteolitik yang menambah kerusakan jaringan. Gambaran klinis berupa pendarahan GI, diare dan kerusakan hati (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh Schistosoma haematobium, lokasi infeksi utama adalah vena kandung kemih. Penyakit ini ditularkan melalui penetrasi pada kulit secara langsung. Bentuk skistomiasis ini didiagnosa dengan menemukan telur yang khas dalam urin atau dinding kantung kemih (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Paragonimiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Paragonisum westermani (trematoda paru). Organisme berpindah dari saluran pencernaan ke paru, yang merupakan tempat

kerusakan utama. Infeksi dapat menimbulkan batuk yang menghasilkan sputum dengan darah. Penyakit ini ditularkan dengan memakan daging kepiting yang mentah. Parogonimiasis didiagnosa dengan menemukan telur dalam sputum dan feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

c. Klonorkiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Clonorchis sinensis. Lokasi infeksi utama adalah saluran empedu, responnya berupa inflamasi yang dapat menyebabkan fibrosis dan hiperplasia. Penyakit ini ditularkan dengan memakan ikan air tawar yang mentah. Klonorkiasis didiagnosis dengan menemukan telur dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.2.3 Infeksi cestoda

Infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah: a. Ekinokokkosis

Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh

Echinococcus granulosis (cacing pita anjing). Infeksi menyebabkan kista hidatid yang besar di dalam hati, paru dan otak. Reaksi anafilaktik terhadap antigen cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi jaringan yang terinfeksi dan diterapi dengan eksisi kista melalui pembedahan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Taeniasis

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita babi). Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare, walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit

ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh larva dari Taenia saginata (cacing pita sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat. Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian

scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan Rahardja, 2002).

c. Sistiserkosis

Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala dan muntah) dan di mata. Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013).

d. Difilobotriasis

Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan). Cacing dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Dokumen terkait