• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Horison Penimbunan Liat

Macam-macam horison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat .

Horison Argilik

Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) di sebutkan bahwa horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat dari horison di atasnya, dan (3) Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan kandungan liat horison eluviasi.

Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut :

1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut :

(a) Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka keteba lan minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berpasir atau skeletal berpasir, maka ketebalan minimum 15 cm; atau (3) Jika

horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15 cm atau lebih; dan

(b) Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2 kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan

2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi (lithologic discontinuity) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut :

(a) Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau

(b) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halus mengandung liat total antara 15 sampai 40 persen, maka horison argilik harus mengandung liat 1,2 kali lebih banyak dibandingkan horison eluviasi; atau

7 (c) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 42 persen vs 50 persen).

Horison Kambik

Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut.

Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih. Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus memenuhi semua syarat berikut:

1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus; dan

2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu bentuk berikut :

a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan semua sifat berikut:

(1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan pada lebih dari setengah volume tanah; dan

(2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara;

dan

(3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di dalam matriks sebagai berikut:

(b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau kurang; atau

(c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan terdapat konsentrai redoks; atau

b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab, sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih sifat berikut:

(1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi, warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau horison yang berada di atasnya; atau

(2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat atau gipsum; dan

3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik, petrogipsik, placik, atau spodik; dan

4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap (tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak bersifat rapuh.

Genesis Horison Penimbunan Liat

Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) horison argilik merupakan penciri utama untuk tanah Alfisol dan Ultisol. Namun demikian, kedua

9 ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu 35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam 125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah.

Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah Alfisol sebagai ”tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah ”tanah-tanah dengan horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih kecil dari 35%.

Horison penimbunan liat dihasilkan oleh satu atau lebih proses yang terjadi secara bergantian ataupun berlangsung tahap demi tahap. Proses tersebut dapat mempengaruhi horison permukaan, horison bawah permukaan, ataupun keduanya. Selain itu, proses-proses tersebut berbeda-beda untuk setiap tanah. Pada beberapa tanah iluviasi liat terjadi secara nyata, sementara pada tanah yang lain, sulit dibedakan dengan liat yang dihasilkan dari proses pelapukan in situ. Namun menurut Soil Survey Staff (1999) tidak semua proses dapat dipahami, atau dijelaskan secara lengkap. Tanah-tanah yang menunjukkan

perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi, serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin akan berpengaruh pada pengelolaan tanah.

Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980).

Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1) eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi butir-butir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi (pengendapan) liat di lapisan bawah (Buol et al., 1980)

Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2) terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B.

Dispersi

Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu halus, debu kasar dan lainnya, pada mulanya terikat satu sama lain dengan

11 bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik, bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980).

Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat dibebaskan.

Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah, karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral yang mudah lapuk.

Translokasi

Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis pori (Mohr et al., 1972). Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler. Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam larutan rendah, maka liat dapat terdispersi. Rendahnya elektrolit dalam tanah

dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permuka an tanah, akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen.

Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah. Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik, sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan air dan proses pemindahan liat.

Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa membentuk partikel yang berukuran liat.

Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana prose s pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi.

Menurut Buol et al., (1980), translokasi liat pada Alfisol terjadi pada lingkungan yang agak masam atau dalam lingkungan “sodik-alkalin”, sedangkan pada Ultisol terjadi dalam lingkungan yang lebih masam. Selama pemindahan liat, pada Ultisol sering disertai pemindahan seskuioksida (Al2O3 dan Fe2O3) dan bahan organik.

13

Pengendapan

Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2) butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat; (4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam, kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak, apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter, agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal dengan selaput liat (clay skin).

Khalifa dan Buol (1968) menyatakan bahwa terjadinya selaput liat berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput tipis liat (clay film). Selaput tipis liat tersusun dari kristal-kristal liat alumino-silikat iluviasi yang terorientasi, yang oleh Buol dan Hole (1961) disebut dengan ”clay skin” dan oleh Brewer (1976) disebut ”illuviation argillan” untuk mendeskripsi adanya alumino-silikat liat yang mengalami translokasi.

Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat

Tanah Ultisol

Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ekspresi sifat-sifat mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh partikel iluviasi.

Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi, dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids. Argillan tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai pengisi pada pori yang berukuran kecil.

Fedoroff dan Eswaran (1985) menyatakan bahwa, argilan pada horison B, seringkali dalam bentuk microlaminated yang secara umum bentuk laminasinya sempurna. Warnanya berkaitan dengan warna plasma, warna interferensinya (interference colour) lemah sampai sedang, dari abu-abu sampai kuning pucat. Bila liat kaolinit dominan, keteraturan susunan atau struktur bahan halus atau plasmik fabriknya (plasmic fabric) cenderung insepik atau undulik,

15 plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida, maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit.

Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi, maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat.

Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/ mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada, berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan merupakan bentuk eksternal yang fleksibel (dapat membengkok) dan memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating) akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori.

Tanah Alfisol

Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ada perbedaan kenampakan mikromorfologi yang jelas pada horison argilik yang ditemukan di tanah Alfisol berpasir, berlempung, dan berliat. Pada tanah Alfisol yang teksturnya berpasir, butiran partikel pada horison argilik diselaputi dan dihubungkan oleh liat yang

teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat, tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi.

Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang sangat jelas dengan matriks tanah.

Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating) hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968) mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa, komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada permukaan ped dan sekitar lubang akar.

Kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang berdrainase sangat buruk berbeda dengan tanah-tanah yang berdrainase agak buruk sampai agak baik. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nettleton et al. (1968), bahwa pada tanah yang berdrainase sangat buruk keberadaan argilan sangat sedikit, sebaliknya meningkat pada tanah yang berdrainase buruk sampai agak baik. Dikatakan pula bahwa papule umum dijumpai pada tanah yang berdrainase sangat buruk, sebaliknya sangat sedikit pada tanah-tanah yang berdrainase baik.

17

Tanah Inceptisol

Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut, maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai berikut:

Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur. Ditemukan pula struktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular. Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya adalah tubular.

Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan.

Pada horison kambik yang memiliki sifat andik, dijumpai mikroagregat yang membulat yang tersebar secara random dalam horison. Biasanya mengandung fragmen besi yang berwarna merah, fragment bahan organik yang

berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric.

Bahan Induk Tanah

Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah, selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk dan potensinya untuk pertanian.

Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan

Dokumen terkait