• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran Subjek Berdasarkan Skor Loneliness

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Diagram 6 Penyebaran Subjek Berdasarkan Skor Loneliness

Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Loneliness

1 2 3 loneliness Keterangan: 1 : loneliness tinggi 2 : loneliness sedang 3 : loneliness rendah

IV.D. Hasil Tambahan Penelitian

control internal dan locus of control eksternal, serta gambaran loneliness berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan pendapatan.

IV.D.1. Gambaran Aspek-Aspek Loneliness Berdasarkan Locus of Control Pada penelitian ini diperoleh gambaran aspek-aspek loneliness berdasarkan arah kontrol yang dimiliki individu lajang seperti pada tabel 21 berikut ini:

Tabel 21

Gambaran Aspek-Aspek Loneliness Berdasarkan Locus of Control

Aspek Loneliness Mean Keterangan Locus of Control Internal Locus of Control Eksternal Desperation 15,15 17,08 Signifikan, p=0,001 Impatient Boredom 22,34 24,28 Signifikan, p=0,034 Self- deprecation 14,51 16,03 Signifikan, p=0,018 Depression 26,98 31,23 Signifikan, p=0,000

Berdasarkan tabel 21 ditunjukkan bahwa rata-rata mean aspek-aspek loneliness subjek dengan locus of control eksternal lebih tinggi daripada subjek dengan locus of control internal.

Pada kedua kelompok tersebut baik internal maupun eksternal terlihat bahwa mean aspek loneliness tertinggi adalah aspek depression, diikuti oleh aspek impatient boredom, kemudian aspek desperation, dan terakhir aspek self- deprecation. Dengan begitu, pada individu lajang, perasaan lonely yang paling sering muncul adalah rasa sedih yang mendalam dan terus menerus, diikuti oleh

rasa bosan dan jenuh dalam dirinya, putus asa dan tidak berdaya, dan terakhir perasaan menyalahkan dirinya sendiri.

IV.D.2. Gambaran Aspek-Aspek Locus of Control Berdasarkan Loneliness Berikut ini juga diperoleh gambaran aspek-aspek locus of control berdasarkan loneliness yang dialami oleh individu lajang.

Tabel 22

Gambaran Aspek-Aspek Locus of Control

Aspek Locus of Control Mean Loneliness Keterangan

Internal Usaha 1,48 Tdk signifikan, p=0,244 Kemampuan 1,29 Tdk signifikan, p=0,626 Eksternal

Nasib 0,96 Signifikan, p=0,008

Kesempatan 2,60 Tdk signifikan, p=0,081 Pengaruh orang lain 2,16 Tdk signifikan, p=0,336

Berdasarkan tabel 22 terlihat bahwa ada 4 aspek locus of control (usaha, kamampuan, kesempatan, pengaruh orang lain) yang kurang signifikan terhadap loneliness, dan satu aspek locus of control (nasib) yang signifikan terhadap loneliness yaitu nasib. Hal ini berarti nasib lebih berpengaruh dalam menyebabkan terjadinya loneliness dibandingkan usaha, kemampuan, kesempatan, dan pengaruh orang lain.

Walaupun demikian, bila dilihat dari meannya ditunjukkan bahwa mean aspek locus of control tertinggi adalah kesempatan, diikuti oleh pengaruh orang lain, usaha, kemampuan, dan terakhir nasib. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa loneliness yang dialami individu yang lajang, paling besar disebabkankan oleh kurang atau terbatasnya peluang untuk bertemu lawan jenis, kemudian kurangnya pengaruh dari orang lain dalam menjalin interaksi, kurangnya usaha

yang dilakukan individu, ketidakmampuan dirinya untuk membangun hubungan dengan lawan jenis, dan terakhir ketidakhadiran pasangan tersebut dianggap memang sudah ditakdirkan.

IV.D.3. Gambaran Loneliness Berdasarkan Usia

Pada penelitian ini diperoleh gambaran loneliness berdasarkan usia. Hasil uji statistik berdasarkan usia selengkapnya dapat dilihat pada tabel 23:

Tabel 23

Hasil Perhitungan Anova Loneliness berdasarkan Usia

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 1101.768 2 550.884 3.156 .048

Within Groups 13441.782 77 174.569 Total 14543.550 79

Dari hasil analisa statistik anova tabel 23 diperoleh p=0,048 dimana p<0,05, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan loneliness berdasarkan usia

Tabel 24

Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Usia

Berdasarkan tabel 24 dapat dilihat bahwa mean skor loneliness tertinggi dimiliki oleh subjek yang berusia 33-39 tahun (M=97,00), kemudian subjek yang

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound 19-25 tahun 64 81.95 13.033 1.629 78.70 85.21 52 114 26-32 tahun 13 89.08 13.629 3.780 80.84 97.31 60 113 33-39 tahun 3 97.00 16.000 9.238 57.25 136.75 81 113 Total 80 83.68 13.568 1.517 80.66 86.69 52 114

berusia 26-32 tahun (M=89,08), dan mean skor loneliness terendah dimiliki oleh subjek yang berusia 19-25 tahun.

IV.C.3.Gambaran Loneliness Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada penelitian ini diperoleh gambaran loneliness berdasarkan jenis kelamin. Hasil uji statistik berdasarkan jenis kelamin selengkapnya dapat dilihat pada tabel 25:

Tabel 25

Hasil Perhitungan t-test Loneliness berdasarkan Jenis Kelamin

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2- tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Loneliness Equal variances assumed 1.832 .180 -.731 78 .467 -2.271 3.106 -8.454 3.912 Equal variances not assumed -.698 56.047 .488 -2.271 3.251 -8.784 4.242

Dari hasil analisa statistik uji t pada tabel 25 diperoleh p=0,467 dimana p>0,05, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan loneliness berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 26

Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis

kelamin N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Loneliness Laki-laki 32 82.31 15.428 2.727

Walaupun tidak berbeda secara signifikan, namun dari gambaran mean skor subjek pada tabel 26 dapat dilihat bahwa mean skor loneliness subjek perempuan (M=84,58) lebih tinggi daripada mean skor loneliness subjek laki-laki (M=82,31).

IV.C.3.Gambaran Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pada penelitian ini diperoleh gambaran loneliness berdasarkan tingkat pendidikan. Hasil uji statistik berdasarkan tingkat pendidikan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 27:

Tabel 27

Hasil Perhitungan Anova Loneliness berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 349.538 4 87.384 .462 .764

Within Groups 14194.012 75 189.253 Total 14543.550 79

Dari hasil analisa statistik anova pada tabel 27 diperoleh p = 0,764 dimana p>0,05, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan loneliness berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 28

Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendidikan

N Mean Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence

Interval for Mean Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound SMU 44 82.4091 13.64043 2.05637 78.2620 86.5562 56.00 113.00 D1 1 91.0000 . . . . 91.00 91.00 D3 7 85.8571 14.59941 5.51806 72.3549 99.3593 69.00 106.00 S1 27 84.4074 13.74845 2.64589 78.9687 89.8461 52.00 114.00 S2 1 97.0000 . . . . 97.00 97.00 Total 80 83.6750 13.56818 1.51697 80.6555 86.6945 52.00 114.00

Walaupun tidak berbeda secara signifikan, namun pada tabel 28 terlihat bahwa mean skor loneliness tertinggi dimiliki oleh subjek yang tingkat pendidikannya S2 (M=97,00), kemudian D1 (M=91,00), D3 (M=85,86), S1 (M=84,41), dan mean skor loneliness terendah dimiliki oleh subjek yang tingkat pendidikannya SMU (M=82,41).

IV.C.3.Gambaran Loneliness Berdasarkan Status Pekerjaan

Pada penelitian ini diperoleh gambaran loneliness berdasarkan status pekerjaan. Hasil uji statistik berdasarkan status pekerjaan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 29:

Tabel 29

Hasil Perhitungan t-test Loneliness berdasarkan Status Pekerjaan

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2- tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper loneliness Equal variances assumed .028 .869 -2.255 78 .027 -6.723 2.981 -12.660 -.787 Equal variances not assumed -2.275 75.384 .026 -6.723 2.955 -12.611 -.835

Pada tabel 29 terlihat hasil statistik dengan menggunakan uji t diperoleh p=0,026 dimana p>0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan loneliness berdasarkan status pekerjaan.

Tabel 30

Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Status Pekerjaan

Status

Pekerjaan N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Loneliness Tidak Bekerja 45 80.7333 13.61884 2.03018

Bekerja 35 87.4571 12.71022 2.14842

Berdasarkan tabel 30 dapat dilihat bahwa mean skor loneliness subjek yang bekerja (M=87,4571) lebih tinggi daripada mean skor loneliness subjek yang tidak bekerja (M=80,7333).

IV.C.3.Gambaran Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendapatan

Pada penelitian ini diperoleh gambaran loneliness berdasarkan pendapatan. Hasil uji statistik berdasarkan pendapatan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 31:

Tabel 31

Hasil Perhitungan Anova Loneliness berdasarkan Tingkat Pendapatan

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 162.928 2 81.464 .489 .618

Within Groups 5329.758 32 166.555 Total 5492.686 34

Dari hasil analisa statistik anova pada tabel 31 diperoleh p=0,618 dimana p>0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan loneliness berdasarkan tingkat pendapatan.

Tabel 32

Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendapatan N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound Tinggi 2 84.50 3.536 2.500 52.73 116.27 82 87 Sedang 20 85.95 13.304 2.975 79.72 92.18 60 113 Rendah 13 90.23 12.762 3.539 82.52 97.94 74 113 Total 35 87.46 12.710 2.148 83.09 91.82 60 113

Meskipun tidak berbeda secara signifikan, namun terlihat pada tabel 32 bahwa mean skor loneliness tertinggi dimiliki oleh subjek yang tingkat pendapatannya rendah (M=90,23), diikuti oleh tingkat pendapatannya menengah (M=85,95), dan mean skor loneliness terendah dimiliki oleh subjek yang tingkat pendapatannya tinggi (M=84,50).

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Pada bab berikut ini akan berisi mengenai kesimpulan atas sejumlah hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Selanjutnya kesimpulan ini akan didiskusikan berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, dan pada akhir bab akan dikemukakan saran bagi penelitian selanjutnya serta berbagai pihak yang terkait dengan tema permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

V.A. Kesimpulan

Sesuai dengan hipotesa dalam penelitian ini, dapat ditarik sejumlah kesimpulan berdasarkan analisa dan interpretasi data penelitian yang ada, yaitu : 1. Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan loneliness pada

individu yang melajang ditinjau dari locus of control. Hasil ini juga menggambarkan bahwa individu yang berorientasi eksternal lebih merasa lonely dibandingkan dengan individu yang berorientasi internal .

2. Hasil penelitian ini menunjukkan skor rata-rata tingkat loneliness subjek penelitian lebih rendah daripada skor rata-rata loneliness pada umumnya berdasarkan skala loneliness yang disusun oleh peneliti (mean empirik < mean hipotetik).

3. Hasil tambahan penelitian menunjukkan bahwa :

a. Aspek loneliness yang paling sering dirasakan oleh individu adalah aspek depression, diikuti oleh aspek impatient boredom, kemudian aspek desperation, dan terakhir aspek self-deprecation.

b. Aspek locus of control yang paling besar menyebabkan loneliness adalah kesempatan, diikuti oleh pengaruh orang lain, usaha, kemampuan, dan terakhir nasib. Namun, hanya nasib yang signifikan terhadap loneliness. c. Ada perbedaan loneliness bila ditinjau dari usia dan status pekerjaan. d. Tidak ada perbedaan loneliness bila ditinjau dari jenis kelamin, tingkat

pendidikan, dan tingkat pendapatan.

V.B. Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu lajang yang memiliki locus of control eksternal cenderung lebih merasa lonely dibandingkan dengan individu yang memiliki locus of control internal. Sesuai dengan pendapat Rotter yang menyatakan individu yang Hal ini memperkuat pendapat Jones (dalam Baron & Byrne, 1992) yang menyatakan bahwa individu dewasa yang tidak memiliki hubungan kedekatan emosional yang intim dengan seseorang merupakan akibat dari kurang atau tidak adanya kontrol yang dilakukan individu dalam menghadapi loneliness tersebut. Pendapat ini sesuai dengan yang dikemukakan Stone dan Jackson (dalam Howard, 1996) bahwa individu yang lebih berorientasi internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol yang lebih dalam mengendalikan kejadian yang dialaminya (loneliness) dibandingkan individu yang lebih berorientasi eksternal. Hal ini terlihat dari hasil penelitian dimana skor rata-rata individu dengan locus of control eksternal lebih tinggi daripada individu dengan locus of control internal yang berarti individu lajang menganggap bahwa loneliness yang dialaminya lebih disebabkan oleh faktor-faktor diluar dirinya yang

tidak dapat dikendalikan bukan karena perilakunya sendiri. Bila dari aspek locus of control terlihat hasilnya bahwa aspek eksternal (kesempatan dan pengaruh orang lain) lebih menyebabkan munculnya loneliness daripada aspek internal (usaha dan kemampuan).

Hal ini sejalan dengan pendapat Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1994) bahwa individu yang mengembangkan orientasi internal lebih bertanggung jawab terhadap kejadian yang dialami sehingga bila mengalami kegagalan mereka akan bekerja keras untuk mengatasinya. Berbeda dengan individu yang mengembangkan orientasi eksternal, mereka kurang bertanggung jawab dan tidak mau bekerja keras terhadap kegagalan yang dialaminya sehingga individu cenderung bersikap pasrah (conform) terhadap kejadian yang dialaminya. Dengan demikian, dapat dinyatakan individu yang berorientasi eksternal mempunyai kecenderungan untuk mengalami loneliness lebih tinggi daripada individu yang berorientasi eksternal.

Berdasarkan empat aspek perasaan loneliness yang dirasakan individu yaitu desperation, impatient boredom, self-deprecation, dan depression ditunjukkan bahwa perasaan yang paling sering dirasakan oleh individu adalah perasaan depression (rasa sedih yang mendalam dan terus menerus) dan perasaan yang jarang dirasakan adalah self-deprecation (menyalahkan diri sendiri). Hal ini dapat saja terjadi karena didalam perasaan depression, merupakan suatu kondisi atau situasi (faktor eksternal) yang menyebabkan munculnya rasa lonely tersebut seperti rasa sedih, kosong, terkucil, diasingkan, murung, dan ingin bersama seseorang yang khusus, dibandingkan dengan perasaan self-deprecation yang

indikator kesemuanya mengarah pada diri sendiri (faktor internal) seperti merasa diri tidak menarik, rendah diri, bodoh, malu, dan tidak nyaman. Bila dikaitkan dengan locus of control, data ini mendukung hasil penelitian bahwa orang yang memiliki tingkat loneliness tinggi cenderung menyalahkan keadaan atau situasi (eksternal) daripada menyalahkan perilaku diri sendiri (internal).

Ditinjau dari segi usia, individu yang berusia 33-39 tahun lebih merasakan lonely saat mereka tidak mempunyai pasangan dibandingkan individu yang berusia 19-25 tahun. Hal ini mendukung pernyataan Peplau, Russell, dan Heim, serta Perlman dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) bahwa pertambahan usia dapat mempengaruhi keinginan individu untuk berhubungan dengan orang lain dimana kebutuhan seseorang akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional akan semakin meningkat seiring dengan usia yang terus bertambah, dan bila tidak mendapatkannya individu akan merasa lonely.

Jika dilihat dari jenis kelamin, laki-laki dan perempuan ditemukan tidak memiliki perbedaan dalam menghadapi loneliness tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Borys dan Perlman (dalam Dane, Deaux, & Wrightsman, 1993) yang menyatakan bahwa hal ini bisa saja terjadi karena laki-laki dan perempuan menunjukkan frekuensi yang sama saat mengalami loneliness, karena itu ketika laki-laki dan perempuan tidak memiliki pasangan mereka tidak terlalu menunjukkan loneliness yang berbeda. Dari data terlihat bahwa perempuan lebih merasa lonely dibandingkan dengan laki-laki. Hasil ini mendukung pernyataan Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) yang menyatakan bahwa perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi lonely dibandingkan laki-laki.

bahwa laki-laki lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas dibandingkan perempuan dimana sebagian besar dari laki-laki menyangkal bahwa dirinya sedang merasa lonely. Namun, dalam penelitian ini ekspresi lonely tidak diteliti. Bila dikaitkan lagi dengan usia, Spelman dan Rider (2003) serta Hurlock (1999) menyatakan bahwa perempuan lajang yang usianya sudah seharusnya menikah, tetapi belum juga memiliki pasangan akan membuat loneliness menjadi semakin meningkat.

Diperkuat lagi oleh pendapat Basow (1992) yang menyatakan bahwa walaupun laki-laki maupun perempuan tidak dapat memenuhi kebutuhan intimasinya (need for intimacy), mereka dapat memenuhi kebutuhan tersebut melalui hubungannya dengan orang lain (need for affiliation) sehingga mereka mendapat banyak dukungan sosial dari orang lain dan memperoleh kepuasan atas hubungan yang dimilikinya tersebut. Dalam hal ini, hubungan dengan orang lain tersebut dapat diperoleh melalui keluarga dan teman-teman terdekat.

Dari tingkat pendidikan dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara individu yang tingkat pendidikannya tinggi dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah. Hasil ini tidak sesuai dengan pendapat Page dan Cole’s (dalam Brehm et al, 2002) yang menyatakan bahwa pendidikan mempunyai memiliki korelasi terbalik dengan loneliness. Namun, hal tersebut bisa saja terjadi, Azwar (1995) menyatakan bahwa lembaga pendidikan turut meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Socrates (dalam Ahmadi, 2002) juga menyatakan bahwa dengan pendidikan, seseorang dapat mengembangkan daya pikirnya sehingga memungkinkan untuk mengerti

pokok-pokok kesusilaan. Dengan begitu, individu yang sudah memiliki pendidikan menganggap bahwa loneliness bukanlah suatu keadaan yang perlu untuk dikhawatirkan. Penjelasan teori ataupun pendapat tokoh mengenai hubungan tingkat pendidikan dengan loneliness yang dialami individu masih kurang sehingga perlu diteliti lebih lanjut.

Pada status pekerjaan yang dimiliki oleh individu ditunjukkan bahwa ada perbedaan perasaan lonely yang dialami oleh individu yang bekerja dengan yang tidak bekerja dimana individu yang bekerja lebih merasa lonely dibandingkan individu yang tidak bekerja. Dalam hal ini, bisa saja individu yang tidak bekerja itu merupakan individu yang sedang mulai mempersiapkan karir mereka, dan individu yang bekerja merupakan individu yang sudah memiliki pendapatan. Hasil ini dapat memperkuat pernyataan yang dikemukakan Peplau, Russell, dan Heim, serta Perlman dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) bahwa saat individu sedang mulai mempersiapkan karirnya, kebutuhan akan keterlibatan emosional yang dekat dengan seseorang bukanlah merupakan hal yang begitu diinginkannya. Akan tetapi, saat individu merasa bahwa karir atau pekerjaannya sudah mapan maka individu mulai merasakan kebutuhan yang besar akan seseorang yang dekat secara emosional dengan dirinya. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) juga menyatakan bahwa ketidakadekuatan hubungan yang disebabkan individu sedang memulai pekerjaannya (dislocation) dapat menimbulkan perasaan lonely dalam dirinya. Hal ini terlihat dari data penelitian dimana individu yang bekerja memang memiliki loneliness yang lebih tinggi daripada individu yang

tidak bekerja. Dengan demikian, status pekerjaan memang memiliki korelasi dengan loneliness.

Akan tetapi, jika status pekerjaan yaitu pada individu yang bekerja, bila dikaitkan dengan tingkat pendapatan yang dimilikinya terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara individu yang memiliki pendapatan tinggi, individu yang memiliki pendapatan sedang, dan individu yang memiliki pendapatan rendah. Tingkat pendapatan yang dimiliki individu ini berkaitan dengan status sosial ekonomi yang dimilikinya. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Weiss (dalam Brehm et al, 2002) bahwa status sosial ekonomi memiliki korelasi dengan loneliness dimana individu yang memiliki pendapatan rendah cenderung lebih merasa lonely dibandingkan yang memiliki pendapatan tinggi. Namun, penelitian dan penjelasan lebih lanjut mengenai tingkat pendapatan yang dimiliki individu sehubungan dengan loneliness yang dialaminya masih kurang sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi.

V.C. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka ada beberapa saran yang diberikan oleh peneliti untuk menyempurnakan penelitian lebih lanjut, antara lain:

1. Saran untuk Individu

Hubungan kedekatan emosional dengan seseorang merupakan hal yang penting dimiliki oleh individu. Hilang atau ketiadaan hubungan dengan pasangan dapat menimbulkan perasaan lonely yang dalam diri seseorang

sehingga membawa dampak negatif bagi kesehatan individu, karena itu individu perlu mengurangi dan mengatasi rasa lonely tersebut. Cara yang mungkin dapat dilakukan individu antara lain mengembangkan sikap yang positif terhadap orang lain, menggunakan cara yang aktif dalam menjalin suatu hubungan, meningkatkan keterampilan sosialnya untuk membangun suatu kedekatan emosional dengan seseorang, meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri dengan tidak menghindari kontak-kontak sosial ataupun pertemuan-pertemuan yang dapat membantu individu untuk menjalin dan membangun suatu hubungan, mencari pertemanan untuk menghabiskan waktu senggang bersama-sama. Dengan mengemabangkan perilaku interpersonal yang baik diharapkan dapat membantu indvidu mengurang dampak negatif dari loneliness tersebut.

2. Saran untuk penelitian selanjutnya

a. Pada penelitian ini, peneliti menyadari bahwa hasil yang diperoleh belum tergali secara mendalam, oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan metode lebih mendalam untuk melengkapinya melalui wawancara sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai penghayatan loneliness yang dirasakan oleh individu. Seperti yang diketahui bahwa loneliness ini merupakan pengalaman subjektif individu yang mana dalam memaknainya setiap orang memiliki interpretasi yang berbeda-beda.

b. Penelitian ini menggunakan teknik yang non random probability sehingga kurang mewakili populasi, untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan teknik pengambilan sampel yang lebih representatif seperti teknik random sampling sehingga didapatkan sampel yang dapat mewakili setiap individu dan didapatkan variasi subjek yang lebih banyak didalam populasi.

c. Penelitian selanjutnya juga disarankan untuk meneliti lanjut mengenai tingkat loneliness yang dirasakan oleh individu bila ditinjau berdasarkan usia dengan menggunakan sampel penelitian yang berada pada tingkat usia yang bervariasi. Dengan demikian dapat diketahui sejauhmana tingkat usia mempengaruhi tingkat loneliness yang dialami oleh seseorang.

d. Penelitian selanjutnya disarankan juga untuk melihat tingkat loneliness yang dirasakan individu dari subjek yang bekerja dan tidak bekerja, sehingga dapat diperoleh bagaimana status pekerjaan seseorang mempengaruhi loneliness yang dihadapi oleh individu.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (2000). Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Azwar, S. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Azwar, S. (2002). Reliabiltas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. (1997). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, R. A., & Byrne, D. (1992). Social Psychology: Understanding Human Interaction, 6th edition. USA: Allyn & Bacon

Basow, S. (1992). Gender, Stereotype, & Role. California: Brooks-Cole Publishing Company

Brehm, S. S., Campbell, S. M., Miller, R. S., & Perlman, D. (2002). Intimate Relationships, 3th edition. New York: McGraw-Hill

Corcoran, K & Fisher, J. (1987). Measures for Clinical Practice. New York: The Free Press

Dane, F. C., Deaux, K., & Wrightsman, L. S. (1993). Social Psychology in the 90’s, 6th edition. USA: Brooks-Cole Publising Company

Feist & Feist (2002). Theories of Personality. California: Brooks-Cole Publishing Company

Hadi, S. (2000). Metodologi Research (jilid I-IV). Yogyakarta: Penerbit Andi

Hawkley, L. C., Burleson, M. H., Berntson, G. G., & Cacioppo, J. T. (2003). Loneliness in Everyday Life : Cardiovascular, Psychososial context, and

Health Behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 85, pp.105- 120

Hendrick, S., & Hendrick, S. (1992) Liking, Loving, and Relating, 2nd edition. California: Brooks-Cole Publishing Company

Hofmann, L., Paris, S., & Hall, E. (1994). Developmental Psychology Today, 4th. New York: Mc-Graw Hill

Hogg, M. A., & Vaughan, G. M. (2002). Social Psychology, 3th edition. London: Pearson Education Limited

Howard, D. E. (1996). The Relationship of Internal Locus of Control and Female Role Models in Female College Students. Doctoral Dissertation.

www.dianehoward.com/Dissertation.html. Tanggal akses 30 Agustus 2007.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Masa Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga

Joyner, T. E., Latanzaro, S. J., Rudo, M. D., & Rajab, M. H. (1999). The Case for A Hierarchical, Oblique, and Bidimensional Structure of Loneliness. Journal of Social and Clinical Psychology, 18, pp.47-75

Kerlinger, F. (2002). Asas-asas Penelitian Behavioral. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Langdridge, D. (2004). Research Methods and Data Analysis in Psychology. England: Pearson Prentice Hall

Morris, C G., & Maisto, A. A. (2005). Basic Psychology. New Jersey: Prentice- Hall

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development, 10th edition. USA: McGraw-Hill

Partosuwido, S. R. (1993). Penyesuaian Diri Mahasiswa dalam Kaitannya dengan Konsep Diri, Pusat Kendali, dan Status Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi. Yogyakarta No. 1, 32-47

Pervin, L. A., Cervone, D., & John, O. P. (2005). Personality Theory and Research. USA: Wiley International

Phares, J. E. (1992). Clinical Psychology: Concepts, Methods, & Profession, 4th edition. California: Brooks-Cole Publishing Company

Robinson, K., & Bessel, S. (2002). Women In Indonesia: Gender, Equity, and Development. Indonesia Assessment Series. Singapore: Institute of Shoutheast Asian Studies

Rokach, A. (1998). The Relation of Cultural Background to The Causes of

Dokumen terkait