• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Loneliness Pada Individu Yang Melajang Ditinjau Dari Locus Of Control

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Loneliness Pada Individu Yang Melajang Ditinjau Dari Locus Of Control"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

P ERB ED AAN LO N ELIN ES S IN D IVID U YAN G

MELAJ AN G D ITIN J AU D ARI LO CU S O F CO N TR O L

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

Astry Evana Putri Yuni Haloho

(031301090)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur peneliti ucapkan kepada Allah Tritunggal yang dengan senantiasa menganugerahkan kesehatan dan terus memelihara peneliti sehingga peneliti merasa yakin bahwa tidak ada pekerjaan yang sia-sia untuk setiap kerja keras yang dilakukan demi menyelesaikan penelitian skripsi ini. Terima kasih ya Bapa atas kasih dan anugerah-Mu yang telah Engkau berikan bagiku. Penelitian ini berjudul ”Perbedaan Loneliness Pada Individu yang Melajang ditinjau dari locus of control” yang disusun sebagai skripsi psikologi klinis.

Selama menyusun skripsi ini, peneliti banyak mendapat dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD (K.GEH).

2. Ketua Program Studi Psikologi, Bapak dr. Chairul Yoel, Sp.A(K).

3. Ibu Arliza J. Lubis, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, arahan, serta selalu meluangkan waktunya untuk membantu saya selama menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih ya bu buat ilmu-ilmu barunya, mungkin kalau tidak ada ibu pengetahuan tersebut tidak akan saya cari dan saya dapatkan, dan juga dorongan yang terus ibu berikan untuk lebih memacu semangat saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Sekali lagi makasih banyak ya bu.

(3)

5. Ibu Josetta M.R.T., M.Si dan Ibu Rodiatul H.S., M.Si sebagai dosen penguji seminar saya. Terima kasih buat saran dan masukan yang ibu berikan bagi kelanjutan skripsi saya.

6. Ibu Hasnida M.Si dan Ibu Lili Garliah M.Si atas kesediaan waktunya untuk meluangkan waktu menjadi dosen penguji bagi sidang skripsi saya.

7. Segenap dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Psikologi USU yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak dan mamaku tersayang (R.Haloho dan H.Girsang), terimakasih yang tak terhingga buat kalian, tak ada kata yang cukup untukku mengukir ataupun menggambarkan rasa terima kasihku buat bapak dan mama. Terima kasih buat doa, dukungan, semangat, dan motivasi yang telah bapak dan mama berikan buatku. Aku tahu bagaimana perjuangan bapak dan mama hingga membuat kami seluruh anakmu seperti sekarang ini, doakan kami selalu agar kami dapat menjadi orang yang berguna dan dapat membanggakan bapak dan mama. 9. Keluarga yang sangat kukasihi, adik-adikku yang tersayang. Buat Wawan dan

(4)

segalanya. Aku bangga denganmu dan teruslah berusaha buat skripsimu, jangan takut untuk mencoba karena kita nantinya tidak tahu akan apakah kita akan berhasil atau tidak bila kita tidak mau berusaha. Kita sama-sama berdoa buat itu, semangat ya ni!

10. Teman-teman di kos Pak Batu, Kak Minar makasih ya kak buat tumpangan nonton televisinya, kalau nggak ada kakak, kos terasa kosong habisnya nggak ada hiburan. Buat Tante Elvi, makasih ya tan buat dukungannya, cerewetannya, nasi gorengnya, kalau nanti nikah jangan lupa ngundang aku ya. Buat Sastra dan Nila, makasih buat dukungan dan doa kalian juga, dorongan kalian berarti buatku. Buat adik-adikku Eme, Ana, Melati, dan Herna, makasih ya dek buat dukungannya juga cerita-ceritanya. Dengan adanya kalian, kos terasa lebih ramai dan hidup, semangat ya buat kuliahnya! 11. Teman kosku yang lama, Sandy, Leli, Dian, Kak Nita, Kak Rini (alias si Rini)

makasih ya buat dukungan dan kebersamaan kita selama ini. Jangan lupakan aku kalau kalian sudah sukses.

(5)

menemukan hal tersebut didalam persahabatan kita. You all my true friend and hope it will be forever.

13. KK Elisyeva (Kak Juni, Yanti, Tina, dan Nova), makasih ya buat sharing kita selama ini, perhatian, dukungan, dan doa kalian. Terima kasih buat pertumbuhan rohani yang selama ini boleh kurasakan bersama kalian. Kalian adalah penghibur bagi jiwaku, bersama kalian aku bisa berbagi keluh kesah dan kebahagiaan.

14. Teman-teman terdekatku di kampus, Sondang, Wina, Erna, Corry, Fitri, Mei, dan Yanti. Terimakasih buat pertemanan kita selama ini di Psikologi, cerita-cerita kita, acara jalan-jalannya membuatku lebih mengenal karakter satu dengan yang lain. Biarlah pertemanan kita tidak berhenti sampai disaat kita sudah menjadi alumni, tetapi pertemanan kita boleh tetap berlanjut selamanya walau nantinya kita akan terpisah jauh. Tetap saling berhubungan ya teman. 15. Teman seperjuanganku di Klinis Sondang, Yanti, Jayanti, Devi, tetap

semangat ya ngerjain skripsinya. Buat Vivi, thanks buat waktu berbaginya dan selamat atas wisudanya ya, jangan lupa dengan janjimu hehehe. Buat nanda, makasih buat dukunganmu selama ini.

(6)

17. Kak Ade Psycholib, terimakasih ya kak buat kesabaranya dalam melayani diperpustakaan. Kak Ari dan Kak Devi yang telah membantu dalam pengurusan sidang, makasih ya kak.

18. Semua pihak yang telah membantu tapi tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata peneliti menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan menjadi bahan masukan yang berartui bagi peneliti. Semoga penulisan penelitian ini pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi semua pihak.

Medan, Juni 2007

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR DIAGRAM ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Tujuan Penelitian ... 7

I.C. Manfaat Penelitian ... 8

I.D. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

II.A. Loneliness pada Individu yang Melajang ... 11

II.A.1. Pengertian Loneliness ... 11

II.A.2. Tipe-tipe Loneliness ... 12

II.A.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Loneliness ... 13

II.A.4. Perasaan Loneliness ... 17

II.A.5. Penyebab Loneliness pada Individu yang Melajang ... 19

II.B. Locus of Control ... 26

II.B.1. Pengertian Locus of Control ... 26

II.B.2. Jenis Locus of Control ... 28

(8)

II.C. Dinamika Loneliness pada Individu yang Melajang ditinjau dari

Locus of Control ... 33

II.D. Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

III.B. Definisi Operasional Variabel ... 38

III.B.1. Loneliness ... 38

III.B.2. Locus of Control ... 40

III.C. Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampling ... 44

III.C.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 44

III.C.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 45

III.D. Metode Pengumpulan Data ... 45

III.D.1. Skala Loneliness ... 47

III.D.2. Skala Locus of Control ... 48

III.E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 50

III.E.1. Validitas Alat Ukur ... 50

III.E.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 51

III.E.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 52

III.E.3.a. Hasil Uji Coba Skala Loneliness... 52

III.E.3.b. Hasil Uji Coba Skala Locus of Control ... 53

III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 55

III.F.1. Persiapan Penelitian ... 55

(9)

III.F.3. Pengolahan Hasil Penelitian ... 56

III.G. Metode Analisis Data ... 49

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 59

IV.A. Gambaran Subjek Penelitian ... 59

IV.A.1. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Locus of Control ... 59

IV.A.2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 61

IV.A.3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin . 62 IV.A.4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 62

IV.A.5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pekerjaan ... 63

IV.A.6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64

IV.B. Hasil Penelitian Utama ... 65

IV.B.1. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 65

IV.B.1.a. Uji Normalitas ... 66

IV.B.1.b. Uji Homogenitas ... 66

IV.B.2. Uji Hipotesa ... 67

IV.C. Analisa Tambahan ... 69

IV.C.1. Gambaran Mean Hipotetik dan Mean Empirik Loneliness 69 IV.C.2. Pengkategorisasian Subjek Penelitian Berdasarkan Loneliness ... 69

(10)

IV.D.1. Gambaran Aspek-aspek Loneliness Berdasarkan Locus of

Control ... 71

IV.D.2. Gambaran Aspek-aspek Locus of Control Berdasarkan Loneliness ... 72

IV.D.3. Gambaran Loneliness berdasarkan Usia ... 72

IV.D.4. Gambaran Loneliness berdasarkan Jenis Kelamin ... 73

IV.D.5. Gambaran Loneliness berdasarkan Tingkat Pendidikan .... 75

IV.D.6. Gambaran Loneliness berdasarkan Status Pekerjaan ... 76

IV.D.7. Gambaran Loneliness berdasarkan Tingkat Pendapatan .... 77

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 78

V.A. Kesimpulan ... 78

V.B. Diskusi ... 79

V.C. Saran ... 84

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengkategorisasian Loneliness ... 40

Tabel 2 Blue Print Skala Loneliness Sebelum Uji Coba... 48

Tabel 3 Blue Print Skala Locus of Control Sebelum Uji Coba... 50

Tabel 4 Hasil Uji Coba dan Distribusi Aitem Pada Skala Loneliness ... 53

Tabel 5 Hasil Uji coba dan Distribusi Aitem Pada Skala Locus of Control ... 54

Tabel 6 Gambaran Skor Locus of Control ... 60

Tabel 7 Pengkategorisasian Locus of Control ... 60

Tabel 8 Pengelompokan Subjek Penelitian Berdasarkan Locus of Control ... 61

Tabel 9 Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 61

Tabel 10 Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 11 Penyebaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 63

Tabel 12 Penyebaran Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 64

Tabel 13 Penyebaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 65

Tabel 14 Hasil Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorof-Smirnov Test ... 66

Tabel 15 Hasil Uji Homogenitas Pada Variabel Loneliness ... 67

Tabel 16 Analisa t-test Loneliness Ditinjau dari Locus of Control ... 68

Tabel 17 Deskripsi Skor Loneliness Berdasarkan Locus of Control... 68

Tabel 18 Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Pada Variabel Loneliness ... 69

Tabel 19 Kategorisasi Loneliness Berdasarkan Skor ... 69

Tabel 20 Kategorisasi Subjek Penelitian Berdasarkan Skor Loneliness ... 70

(12)

Tabel 22 Gambaran Aspek-aspek Locus of Control Berdasarkan Loneliness ... 72

Tabel 23 Hasil Perhitungan Anova Loneliness Berdasarkan Usia ... 73

Tabel 24 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Usia ... 73

Tabel 25 Hasil Perhitungan t-test Loneliness Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

Tabel 26 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

Tabel 27 Hasil Perhitungan Anova Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendidikan 75 Tabel 28 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 75

Tabel 29 Hasil Perhitungann t-test Loneliness Berdasarkan Status Pekerjaan ... 76

Tabel 30 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Status Pekerjaan ... 76

(13)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 61

Diagram 2 Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Diagram 3 Penyebaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 63

Diagram 4 Penyebaran Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 64

Diagram 5 Penyebaran Subjek Berdasarkan tingkat Pendapatan ... 65

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki memasuki usia 23 tahun (Brehm, Campbell, Miller, & Perlman, 2002). Papalia, Olds, dan Feldman (2004) juga menyatakan bahwa usia yang ideal untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki adalah 20-25 tahun. Tingkatan usia ini merupakan usia terbaik untuk menikah, baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama (the first time parenting).

Di Indonesia, usia rata-rata seorang perempuan untuk menikah adalah 21 tahun dan usia rata-rata laki-laki untuk menikah adalah 24 tahun (Xenos dalam Sarwono, 2002). Akan tetapi, dalam beberapa waktu terakhir ini telah terjadi perubahan yang dramatis dimana orang menunda waktu untuk segera menikah. Di Amerika, seorang perempuan akan menikah ketika berusia 25 tahun dan laki-laki berusia 27 tahun, bahkan terdapat juga individu yang menunda pernikahannya lebih dari usia tersebut (Brehm et al, 2002). Begitu juga di Indonesia, banyak individu dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang menunda hingga usia 24 sampai dengan 34 tahun (Jones dalam Robinson & Bessell, 2002). Dengan begitu, terbentuklah gaya hidup yang baru bagi orang dewasa di Indonesia.

(15)

bahwa terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dari hidup melajang yaitu waktu kerja yang fleksibel, melakukan mobilitas secara bebas, kehidupan pribadi yang tidak terganggu, dan adanya otonomi terhadap diri sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Sunarto (2000) yang berpendapat bahwa saat ini perkawinan bukan lagi menjadi prioritas utama bagi individu yang sudah mencapai usia dewasa.

Fenomena tersebut tentunya tidak sesuai dengan pernyataan Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang menyatakan bahwa individu yang sudah mencapai usia dewasa seharusnya sudah memiliki pasangan dan kemudian membentuk suatu keluarga. Erickson (dalam Myers, 1999) juga menyebutkan bahwa fokus utama yang seharusnya dilakukan individu ketika memasuki usia dewasa adalah menjalin hubungan intim dengan seseorang dan memiliki komitmen dengan pasangannya tersebut. Dalam hal ini, wujud dari komitmen tersebut adalah pernikahan yang merupakan suatu cara terbaik untuk mendapatkan seorang anak. Idealnya suatu pernikahan didalam akan terdapat keintiman, pertemanan, kedekatan, aktifitas seksual, persahabatan, dan pertumbuhan emosional (Papalia, Olds, & Feldman, 2004)

(16)

seseorang, maka individu akan merasakan keadaan yang sangat menyakitkan dan merasa dirinya tidak lengkap tanpa pasangan yang disebut dengan loneliness (Morris & Maisto, 2005). Oleh karena itu, penting bagi seorang individu baik laki-laki maupun perempuan untuk mulai membangun hubungan intim dengan orang lain dan kemudian berkomitmen dengan pasangannya.

Bagi individu dewasa, gaya hidup melajang ini kemudian dapat menjadi suatu masalah bagi dirinya. Santrock (1995) menyatakan bahwa terdapat keprihatinan pada orang dewasa yang muncul sebagai akibat dari melajang, antara lain ketiadaan hubungan intim dan mengalami loneliness. Weiten dan Llyod (2006) juga menyebutkan bahwa salah salah satu karakteristik yang melekat pada individu dewasa yang melajang adalah mereka mengalami loneliness karena tidak memiliki hubungan kedekatan emosional dengan seseorang.

(17)

Secara umum, orang yang melajang (baik laki-laki maupun perempuan) mengalami tingkat loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang sudah menikah (Brehm et al, 2002). Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang mengemukakan bahwa stereotip yang terdapat dikalangan orang yang melajang adalah bahwa mereka cenderung mengalami loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang telah menikah.

Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya loneliness pada individu yang melajang adalah ketika individu tersebut tidak lagi memiliki hubungan yang adekuat dengan seseorang ataupun pasangannya. Hal ini diperkuat lagi oleh Heffner (dalam Weiten & Llyod, 2006) yang mengemukakan bahwa loneliness yang terjadi karena retaknya hubungan yang romantis atau tidak memiliki seseorang yang khusus dalam hidup individu, maka dapat menimbulkan perasaan lonely yang semakin kuat.

Loneliness itu sendiri adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan

perasaan yang tidak menyenangkan dan individu merasa bahwa hubungan yang dia inginkan tidak memberikan kepuasan pada dirinya (Sigelman & Rider, 2003). Adapun perasaan yang muncul saat individu merasa lonely adalah desperation, depression, impatient boredom, dan self-deprecation (Rubenstein & Shaver,

(18)

sendiri, dan penyakit psikosomatis. Hawkely et al (2003) menambahkan bahwa loneliness yang dialami oleh seseorang dapat membawa individu kepada penyakit

yang lebih berbahaya baik kesehatan mental dan psikisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa loneliness yang terjadi pada seseorang dapat membawa dampak yang negatif bagi kesehatannya. Di Indonesia, loneliness diartikan sebagai kesepian, namun pada penggunaannya loneliness mempunyai makna yang dalam dari kata kesepian. Untuk selanjutnya, penelitian ini akan menggunakan kata loneliness yang menggambarkan suatu keadaan atau situasi kesepian, sedangkan kata lonely menggambarkan perasaan kesepian yang dialami individu.

Loneliness yang dirasakan oleh individu dipengaruhi oleh

pengatribusiannya terhadap penyebab dari loneliness yang dialami. Dane, Deaux, dan Wrightsman (1993) menyatakan bahwa loneliness yang dialami seseorang tergantung pada pengatribusian yang dilakukan terhadap penyebab ketidakbahagiaannya.

(19)

loneliness pada seseorang. Adapun karakteristik kepribadian dalam causal

attribution yang menjelaskan faktor kepribadian tersebut adalah locus of control

(Rotter, dalam Pervin, 2005).

Rotter (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan locus of control merupakan suatu keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang dialami oleh individu merupakan akibat dari perilakunya sendiri (internal) atau karena adanya faktor lain seperti nasib, keberuntungan dan pengaruh orang lain (eksternal). Ia juga menambahkan bahwa individu yang lebih berorientasi internal percaya bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya terjadi karena perilakunya sendiri. Sebaliknya, pada individu yang lebih berorientasi eksternal percaya bahwa kejadian atau peristiwa yang dialaminya diakibatkan oleh adanya faktor lain di luar dirinya.

Lebih lanjut, Stone dan Jackson (dalam Howard, 1996) berpendapat bahwa individu yang mempunyai locus of control internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol yang lebih dalam mengendalikan kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya, dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena kemampuan atau usahanya sendiri. Sebaliknya, pada individu yang mempunyai locus of control eksternal berkeyakinan bahwa mereka tidak mempunyai kontrol

atau memiliki kontrol yang sedikit terhadap kejadian yang dialaminya.

(20)

dengan locus of control eksternal. Selain itu, individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab akan memberikan hasil yang positif. Sedangkan individu yang mengembangkan orientasi eksternal meyakini bahwa suatu kejadian ditentukan oleh kesempatan, tindakan orang lain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrolnya (Rotter, dalam Baron & Byrne, 1992).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu dengan locus of control internal akan menganggap bahwa dirinya memiliki kontrol yang lebih dalam

menghadapi kejadian atau peristiwa yang dialaminya daripada individu dengan locus of control eksternal.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kuat lemahnya loneliness dipengaruhi locus of control baik internal maupun eksternal. Kedua

jenis locus of control tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda dalam menghadapi loneliness yang dapat memperkuat atau memperlemah loneliness itu sendiri. Oleh

karena itu, maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan loneliness yang dialami individu lajang yang memiliki locus of control internal

dan locus of control eksternal.

I.B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan loneliness pada individu lajang ditinjau dari locus of control, baik secara umum

(21)

I.C. Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas ruang lingkup dan menambah wacana dalam ilmu psikologi khususnya psikologi klinis, psikologi kesehatan, psikologi kepribadian, psikologi sosial, dan psikologi perkembangan. Meskipun penelitian ini lebih berfokus pada pengembangan psikologi klinis dalam pemberian informasi mengenai loneliness yang dialami individu lajang dan locus of control. Namun, diharapkan hasil penelitian ini nantinya juga dapat memberi sumbangan pada pemahaman teoritis mengenai dinamika loneliness pada psikologi kesehatan, dan psikologi sosial, tugas perkembangan

individu dewasa dini khususnya individu lajang pada psikologi perkembangan, serta kontribusi teoritis pada topik locus of control dalam pembahasan psikologi kepribadian..

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat dalam mengetahui gambaran loneliness.

b. Sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya loneliness yang menghambat individu lajang untuk menjalin hubungan dengan seseorang dan membentuk komitmen dengannya.

(22)

loneliness yang dialami oleh individu sehingga terhindar dari dampak

negatif yang ditimbulkan loneliness.

d. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan ataupun pemahaman pada masyarakat bahwa locus of control sebagai salah satu faktor kepribadian perlu untuk diperhatikan, dimana factor tersebut turut mempengaruhi perilaku individu dalam keberhasilannya berinteraksi dengan orang lain.

I.D. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang pemilihan masalah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti topik ini, tujuan penelitian yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini berisi pembahasan secara teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori tentang loneliness; pengertian loneliness, tipe-tipe loneliness, faktor-faktor yang

mempengaruhi loneliness, perasaan loneliness, penyebab loneliness, locus of control; pengertian locus of control, jenis locus of control,

(23)

BAB III Metode Penelitian

Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, karakteristik subjek penelitian dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data penelitian.

BAB IV Analisa dan Interpretasi Data

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian yang membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.

BAB V Kesimpulan, Saran, dan Diskusi

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Loneliness Pada Individu yang Melajang

II.A.1. Pengertian Loneliness

Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa

dini, dewasa madya, maupun pada orang yang sudah lanjut usia (Weiten & Lloyd, 2006). Loneliness itu sendiri merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu, dan setiap orang memiliki pengalaman loneliness yang berbeda-beda (Perlman & Peplau dalam Dane, Deaux, & Wrightsman, 1993). Menurut Peplau dan Perlman, loneliness adalah :

As a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by discrepancy between the kind of social relations we want and the kind of social relations we have.

(Perlman & Peplau dalam Brehm, 2002 : p.394)

Loneliness akan muncul ketika individu merasakan kekurangan dalam hubungan

sosial yang dimilikinya ataupun individu merasakan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang sedang dijalaninya.

(25)

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa loneliness adalah perasaan tidak menyenangkan dan tidak nyaman yang muncul sebagai akibat dari kekurangan ataupun ketidakpuasan individu terhadap hubungan sosialnya baik secara kuantitas maupun kualitas.

II.A.2. Tipe-Tipe Loneliness

Menurut Weiss (Weiten & Llyod, 2006) dalam konteks interaksi sosial ada dua tipe loneliness, yaitu:

a. Social loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurangnya jaringan sosial dengan teman dan kenalan lainnya untuk melakukan kegiatan serta aktivitas yang menarik. Pada tipe ini dapat dikatakan bahwa individu merasakan loneliness secara kuantitas yang terjadi karena individu merasa memiliki sedikit teman.

b. Emotional loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurang atau terbatasnya kedekatan, kelekatan, dan ikatan hubungan yang intim dari orang tertentu (single intense relationship). Disini individu merasakan loneliness secara kualitas sebagai akibat dari hubungan intim yang tidak memuaskan atau tidak memiliki pasangan. Joyner et al (1999) menyatakan bahwa emotional loneliness ini dirasa lebih menyakitkan dan cenderung dianggap sebagai reaksi emosi yang negatif.

(26)

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loneliness

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya loneliness pada seseorang antara lain:

a. Usia

Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin merasa lonely, namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Hasil penelitian Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000) menemukan bahwa loneliness lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda, serta menjadi lebih rendah pada orang-orang yang sudah tua.

Brehm et al (2002) juga menyatakan bahwa orang dewasa muda menghadapi banyak sekali transisi sosial yang besar untuk mendapatkan identitas diri mereka (seperti meninggalkan rumah, merantau, memasuki dunia perkuliahan, dan memasuki dunia kerja yang full time) dimana semua peristiwa tersebut dapat menyebabkan terjadinya loneliness pada seseorang. Erickson (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan bahwa dengan terjadinya perubahan dan transisi sosial tersebut maka pada masa dewasa dini inilah masa terjadinya “krisis keterpencilan”, dan dalam masa ini seseorang sering sekali merasa lonely. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) menyatakan bahwa usia dewasa dini ini berkisar dari 19-39 tahun.

b. Status perkawinan

(27)

dalam Brehm et al, 2002). Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik yang terdapat di kalangan individu yang hidup melajang adalah mereka cenderung mengalami tingkat loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah menikah.

Brehm et al (2002) mengelompokkan individu yang melajang ke dalam beberapa sub grup yaitu belum pernah menikah (never married), berpisah atau bercerai (separated or divorced), dan janda (widowed). Ia menyatakan bahwa loneliness yang terjadi pada individu yang berpisah, bercerai, dan janda

merupakan reaksi terhadap hilangnya hubungan perkawinan (marital relationship) bukan akibat dari ketidakhadiran dari pasangan seperti pada

individu yang belum pernah menikah (never married). Penelitian ini akan lebih difokuskan kepada individu yang belum pernah menikah (never married) dimana seperti yang dikemukakan Myers (1999) bahwa ketidakhadiran pasangan pada individu dapat membuat terjadinya loneliness yang menyakitkan.

(28)

Hurlock (1999) juga mengemukakan bahwa saat individu memasuki usia dewasa dini, dia akan dihadapkan kepada tugas perkembangannya yaitu menemukan pasangan hidup dan membentuk suatu keluarga. Namun, ketika hal tersebut tidak terlaksana maka terjadilah loneliness pada individu. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Erickson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) bahwa fokus utama dari indvidu dewasa dini adalah membangun sebuah hubungan intim dengan seseorang dan membentuk komitmen dengan pasangannya, apabila tidak terpenuhi maka individu akan mengalami loneliness yang mendalam.

Brehm et al (2002) juga menambahkan bahwa kurangnya ataupun tiadanya hubungan intim dengan orang lain, atau pasangan, dapat menyebabkan seseorang mengalami emotional loneliness. Hal ini dipertegas lagi oleh Morris dan Maisto (2005) yang menyatakan bahwa ketiadaan hubungan intim dengan seseorang yang khusus menimbulkan perasaan lonely yang menyakitkan.

c. Gender

Menurut Borys dan Perlman (dalam Dane, Deaux, & Wrightman, 1993), perempuan dan laki-laki menunjukkan frekuensi yang sama dalam mengalami loneliness. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan

ekspresi lonely daripada laki-laki dan sebagian besar laki-laki yang mengalami loneliness menyangkal bahwa dirinya sedang merasa lonely. Lebih lanjut,

(29)

perempuan. Hal ini disebabkan adanya stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat bahwa laki-laki yang mengalami loneliness lebih sulit untuk diterima secara sosial dan cenderung ditolak dibandingkan perempuan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa laki-laki lebih mudah mengalami loneliness dibandingkan perempuan.

Spelman dan Rider (2003) menyebutkan bahwa loneliness pada perempuan lajang dapat semakin meningkat saat ia merasa sudah seharusnya memiliki pasangan tetapi pada kenyataannya belum memiliki ataupun menemukan pasangan yang ideal bagi mereka. Hal senada juga dikemukakan oleh Hurlock (1999) bahwa perempuan yang sudah mencapai usia tertentu untuk menikah, tetapi belum mempunyai pasangan hidup akan membuat mereka mengalami loneliness dan akan semakin meningkat ketika perempuan mendapat tekanan dari keluarga serta masyarakat untuk segera membentuk sebuah keluarga.

d. Karakteristik latar belakang keluarga

(30)

Individu yang kehilangan orang tuanya karena meninggal ketika ia masih kanak-kanak mengalami loneliness yang berbeda saat dewasa dibandingkan dengan individu yang orang tuanya berpisah sejak masa kanak-kanak atau masa remaja. Brehm et al (2002) menyatakan bahwa proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orang tua yang bercerai untuk mengalami loneliness saat anak-anak tersebut menjadi dewasa.

e. Faktor sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa tingkat status ekonomi seseorang akan mempengaruhi tingkat loneliness yang terjadi pada dirinya. Status ekonomi ini berhubungan dengan seberapa besar pendapatan yang diperoleh individu. Individu dengan pendapatan yang rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan individu dengan pendapatan yang tinggi.

f. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang juga berkaitan dengan loneliness yang dialaminya, hal ini ditunjukkan oleh sebuah survey yang

dilakukan oleh Page dan Cole’s (Brehm et al, 2002) yang menyatakan bahwa pendidikan mempunyai korelasi terbalik dengan loneliness yang dialami oleh seseorang.

II.A.4. Perasaan Loneliness

(31)

a. Desperation

Desperation merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan

keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya, sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan yang nekat. Desperation ini ditandai dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut atau khawatir, tidak memiliki harapan, ditinggalkan atau dibuang, dan diejek.

b. Impatient boredom

Impatient boredom adalah suatu keadaan dimana individu merasakan

kebosanan yang tidak tertahankan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari kejenuhan terhadap dirinya sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan munculnya perasaan tidak sabaran, menjemukan atau bosan, ingin berada ditempat lain, gelisah atau tidak tenang, marah, dan tidak mampu berkonsentrasi.

c. Self-deprecation

Self-deprecation adalah suatu kondisi dimana individu menyalahkan, mencela,

ataupun mengutuk dirinya sendiri terhadap peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ini ditandai dengan munculnya perasaan bahwa dirinya tidak menarik, rendah diri, bodoh, malu, dan tidak nyaman.

d. Depression

Depression adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang

(32)

kosong atau hampa, terkucil, menyesali diri, murung, diasingkan, dan ingin bersama seseorang yang khusus.

Keempat perasaan tersebut dapat dirasakan secara bersamaan pada individu yang mengalami loneliness dengan kualitas berbeda-beda. Adapun munculnya penyebab perasaan lonely pada diri individu akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut.

II.A.5. Penyebab Loneliness Pada Individu yang Melajang

Ada empat hal yang dapat menyebabkan individu yang melajang mengalami loneliness yaitu:

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki individu

Ada banyak alasan mengapa seseorang mungkin merasa tidak puas berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hubungan yang dimilikinya. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang mengalami loneliness yaitu:

1. Being unattached: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika dia tidak mempunyai pasangan, tidak memiliki pasangan seksual, ataupun berpisah dengan pasangannya.

(33)

3. Being alone: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika individu merasa dirinya selalu sendirian pulang ke rumah dan tidak ada seseorang yang menyambutnya.

4. Forced isolation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat dikurung dirumah, dirawat inap di rumah sakit, dan tidak bisa kemana-mana.

5. Dislocation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat individu merasa jauh dari rumah, memulai pekerjaan atau sekolah baru, terlalu sering melakukan perpindahan, dan sering melakukan perjalanan.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa loneliness pada individu yang melajang disebabkan oleh ketidakhadiran pasangan, berpisah dengan pasangannya, dirinya merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan oleh orang lain, dan tidak mempunyai seseorang untuk berbagi. Loneliness tersebut dapat membawa dampak negatif bagi hubungan individu tersebut dengan individu lain. Contohnya, individu yang mengalami loneliness akan menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg, & Weis dalam Myers, 1999). Pandangan negatif ini akan mempengaruhi keyakinan individu yang mengalami loneliness tersebut dan menyebabkan hilangnya kepercayaan sosial serta menjadi pesimis terhadap orang lain (Myers, 1999). Hal tersebut dapat menghambat individu itu dalam mengurangi tingkat loneliness mereka.

(34)

keterampilan sosialnya, kemungkinan mereka dalam meraih suatu hubungan yang intim dengan seseorang, dan kemungkinan untuk ditolak. Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menambahkan bahwa individu yang mengalami loneliness menggunakan self-talk yang negatif sehingga hal tersebut mencegah

mereka untuk mengejar atau meneruskan suatu keintiman dalam cara yang aktif dan positif dengan pasangannya. Individu yang mengalami loneliness dipersepsikan tidak dapat menyesuaikan diri oleh orang-orang yang mengenal mereka (Lau & Gruen; Rotenberg & Kmill dalam Baron & Byrne, 1992). Dengan demikian, loneliness yang terjadi pada individu melajang dapat menjadi semakin kuat sebagai akibat dari perilaku mereka tersebut dan akan membuat mereka terhambat untuk membangun hubungan intim dengan seseorang dan akhirnya tidak memiliki pasangan.

b. Perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan

Loneliness dapat juga berkembang karena terjadi perubahan terhadap apa

(35)

Peplau, Russell, dan Heim, serta Perlman dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menambahkan bahwa pertambahan usia juga dapat mempengaruhi keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Jenis pertemanan akan sangat menyenangkan saat individu berusia 15 tahun yang kemudian dapat menjadi tidak memuaskan ketika memasuki usia 25 tahun. Sebagai contoh, banyak orang yang memasuki usia dewasa tidak menginginkan keterlibatan emosional yang dekat dengan seseorang ketika mereka sedang mempersiapkan karirnya. Akan tetapi, saat karir sudah terbentuk dengan mapan, individu merasakan kebutuhan yang sangat besar terhadap suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional, dan bila tidak mendapatkannya maka akan menyebabkan munculnya loneliness.

c. Self esteem

Loneliness berhubungan dengan self-esteem yang rendah. McWhirter,

Rubenstein, dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem yang rendah akan merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial, misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini, individu tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus dan akibatnya akan mengalami loneliness.

(36)

Prentice-Dum (dalam Santrock, 1995) juga berpendapat bahwa individu yang mengalami loneliness dan memiliki self-esteem yang rendah akan cenderung menyalahkan diri sendiri lebih daripada yang seharusnya atas kekurangan mereka.

Pada individu yang melajang, self-esteem yang rendah, kecemasannya saat berhubungan dengan orang lain, dan tidak mau bertemu di dalam pertemuan-pertemuan sosial dapat menghalanginya untuk menjalin dan membangun hubungan dengan seseorang yang dia sukai sehingga dapat meningkatkan loneliness yang dialaminya.

d. Perilaku interpersonal

Menurut Brehm et al (2002), perilaku interpersonal individu yang mengalami loneliness akan menyulitkan individu itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Berbeda dengan individu yang tidak mengalami loneliness, individu yang mengalami loneliness akan menilai orang lain secara

negatif, mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan, dan berperilaku secara negatif terhadap orang lain, serta cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan. Orang-orang yang merasa loneliness juga cenderung menghabiskan waktu senggang mereka pada aktifitas yang sendiri, memiliki kencan yang sangat sedikit, dan hanya memiliki teman biasa atau kenalan (Bell; Berg & McQuinn dalam Baron & Byrne, 2002).

(37)

kesamaan dengan orang yang mereka temui (Myers, 1999). Selain itu, orang yang mengalami loneliness cenderung terhambat dalam keterampilan sosial (Baron & Byrne, 2002), menjadi pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum (Myers, 1999). Di dalam suatu percakapan, individu yang mengalami loneliness membuat sedikit pernyataan dan pertanyaan, lambat dalam memberikan respon, dan tidak memiliki ketertarikan untuk melanjutkan suatu topik dengan lawan bicara mereka (Hogg & Vaughan, 2002). Sebagai tambahan, individu yang mengalami loneliness cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial dan mereka juga menjadi lambat dalam membangun keintiman hubungan dengan orang lain (Check dalam Brehm et al, 2002). Dengan demikian, perilaku ini nantinya dapat membatasi kesempatan individu tersebut untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa pada individu yang melajang, loneliness yang dialaminya dapat disebabkan oleh perilaku interpersonal yang

(38)

e. Causal attribution

Proses dimana individu mengatribusikan faktor-faktor penyebab yang bertanggung jawab terhadap loneliness yang dialaminya (apakah dari pribadinya sendiri atau karena suatu keadaan) disebut dengan causal attribution (Pervin, 2005). Di dalam causal attribution, faktor yang

berhubungan dengan munculnya loneliness adalah karakteristik pribadi individu dan keadaan lingkungan disekitarnya (Perlman & Peplau, dalam Brehm et al, 2002) yang mana karakteristik pribadi individu memegang peranan yang besar terhadap kemungkinan terjadinya loneliness dibandingkan dengan keadaan lingkungan sekitarnya (Brehm et al, 2002). Hal ini diperkuat oleh penelitian Jylha dan Jokela (dalam Rokach, 1998) yang menyatakan bahwa faktor kepribadian individu membuat individu lebih merasa lonely daripada faktor situasional.

(39)

individu. Hal ini ditegaskan oleh Hogg & Vaughan (2002) yang menyatakan bahwa atribusi memiliki peranan yang sangat besar dalam hubungan interpersonal yang dilakukan oleh individu yaitu bagaimana individu menjalin suatu hubungan dengan individu lain. Jones (dalam Baron & Byrne, 1992) juga menyatakan bahwa individu yang mengalami loneliness disebabkan oleh kurang atau tidak adanya kontrol dari dalam dirinya untuk mengatasi keadaan tersebut.

Pada individu yang melajang, status dirinya yang belum menikah dan belum memiliki pasangan merupakan penyebab terjadinya loneliness. Ada individu yang menganggap dan mempersepsikan bahwa status melajangnya merupakan akibat dari perilakunya sendiri (internal). Ada pula yang menganggap faktor lainlah yang menyebabkan loneliness tersebut (eksternal).

Pada penelitian ini akan membahas lebih dalam mengenai locus of control yang dikemukakan oleh Rotter.

II.B. Locus Of Control

II.B.1. Pengertian Locus Of Control

(40)

kali diidentifikasi untuk menjelaskan dimensi kepribadian oleh Rotter (dalam Feist & Feist, 2002).

Menurut Rotter locus of control adalah:

Our belief about the source of control of reinforcement

(Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416)

Dengan kata lain, locus of control ini merupakan keyakinan individu mengenai sumber dari pengendali perilakunya terhadap penguatan yang akan diterimanya. Penguatan (reinforcement) yang dimaksudkan adalah nilai dari sebuah peristiwa atau kejadian yang mengindikasikan suatu fungsi mengenai harapan seseorang yang mengarahkan akan terbentuknya penguatan pada masa yang akan datang, dapat berupa hadiah (reward) ataupun hukuman (punishment) (Rotter dalam Feist & Feist, 2002). Rotter (dalam Graffeo dan Silvestri, 2006) menambahkan reinforcement dalam locus of control adalah bahwa individu percaya perilakunya

diarahkan oleh penguat dan hukuman serta penghargaan yang memiliki pengaruh ketika individu menginterpretasikan hasil dari tindakan yang dilakukannya.

Locus of control itu juga merupakan suatu cara dimana individu memiliki

(41)

Sementara, individu yang percaya bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup mereka adalah karena adanya faktor lain di luar dirinya, maka mereka dikatakan memiliki penguatan eksternal.

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas maka locus of control dapat didefenisikan sebagai keyakinan seseorang mengenai sumber pengendali perilakunya.

II.B.2. Jenis Locus Of Control

Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1994) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal.

Internal locus of control indicates a belief that reinforcement is brought about by our own behavior. External locus of control indicates a belief that reinforcement is under the control of other people, fate or luck.

(Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416)

Locus of control internal mengindikasikan adanya keyakinan individu

bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya akan datang dari perilakunya sendiri. Sementara itu, locus of control eksternal mengindikasikan keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya berada dibawah pengaruh orang lain, nasib, ataupun keberuntungan.

(42)

kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri.

Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Selain itu, individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab akan memberikan hasil yang positif (Rotter, dalam Baron & Byrne, 1992).

Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal berkeyakinan bahwa perilaku dan kemampuan mereka tidak memberi penguatan terhadap mereka, memberi nilai yang rendah terhadap segala usaha yang dilakukan, dan mereka juga mempunyai sedikit keyakinan akan kemungkinan bahwa mereka dapat mengontrol hidupnya pada masa yang akan datang (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Individu yang mengembangkan orientasi eksternal juga meyakini bahwa suatu kejadian ditentukan oleh kesempatan, tindakan orang lain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992).

Lebih lanjut Rotter (dalam Feist & Feist, 2002) menambahkan bahwa locus of control eksternal melihat suatu perubahan karena adanya faktor dari luar,

(43)

dialaminya merupakan akibat dari adanya faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan oleh dirinya.

Perbedaan locus of control pada seseorang ternyata dapat menimbulkan perbedaan pada aspek-aspek kepribadian yang lain. Rotter (Baron & Byrne, 1992) menyebutkan bahwa individu dengan locus of control internal ternyata lebih banyak menimbulkan pengaruh-pengaruh positif pada kepribadian. Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal lebih bersikap menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh tesebut. Lebih lanjut, Rotter (dalam Szhultz & Szhultz) menjelaskan bahwa bila individu dengan locus of control internal gagal, maka mereka akan merasa bertanggung jawab terhadap kegagalannya. Rasa tanggung jawab ini disertai dengan sikap tidak mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Individu dengan locus of control eksternal merasa tidak harus bertanggung jawab terhadap kegagalan yang dihadapinya, karena kegagalan tersebut bukanlah akibat dari perbuatannya. Bersamaan itu pula mereka juga tidak merasa perbuatan dengan bekerja keras akan membawa pengaruh pada keberhasilan atau hasil yang diharapkan. Hal inilah yang membawa individu pada sikap pasrah menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh yang menimpa dirinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu

(44)

tindakannya disebabkan karena kekuatan di luar dirinya seperti keberuntungan, kesempatan dan pengaruh orang lain.

II.B.3. Aspek-aspek Locus of Control

Di dalam locus of control, baik internal maupun eksternal, masing-masing jenis tersebut memiliki aspek yang turut mempengaruhinya. Adapun aspek-aspek tersebut antara lain:

a. Aspek locus of control internal: 1. Usaha

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialami dalam hidupnya ditentukan oleh usaha-usaha yang dilakukan oleh individu tersebut (Rotter Phares, 2005). Pada individu yang melajang bisa saja loneliness yang dialaminya disebabkan oleh kurangnya usaha individu

dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. 2. Kemampuan

(45)

b. Aspek locus of control eksternal: 1. Nasib

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam hidupnya sudah ditakdirkan dan tidak dapat dirubah kembali (Rotter dalam Vaughan & Hogg, 2002). Pada individu yang melajang, keadaan loneliness yang dialaminya bisa terjadi karena ia merasa bahwa nasib sedang tidak berpihak padanya saat ingin membangun suatu hubungan dengan seseorang. 2. Kesempatan

Keyakinan individu bahwa faktor keberuntungan ataupun peluang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Rotter dalam Phares, 1992). Disini, individu yang melajang bisa saja merasa lonely disebabkan ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk dapat berkenalan dengan lawan jenisnya.

3. Pengaruh orang lain

(46)

III.C. Dinamika Loneliness Pada Individu yang Melajang Ditinjau dari

Locus of Control

Perkawinan merupakan peristiwa normal dalam kehidupan manusia dimana setiap individu yang sudah mencapai usia dewasa, mereka akan dihadapkan dengan hal tersebut. Perkawinan akan terjadi saat individu sudah memiliki hubungan intim dengan seseorang dan komitmen dengan pasangannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Stenberg (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa komitmen akan terjadi saat individu merasakan adanya kedekatan emosional yang membuat individu berkeinginan untuk mempertahankan hubungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, keintiman dan komitmen menjadi suatu hal yang penting bagi individu dewasa.

Akan tetapi, sekarang ini banyak individu baik, laki-laki maupun perempuan yang menunda perkawinannya dan hidup melajang. Salah satu alasan individu menunda perkawinan mereka adalah mempersiapkan karir yang mapan dimana ketika mereka sedang fokus pada membangun karir, keterlibatan emosional dengan seseorang menjadi hal yang tidak begitu diinginkan (Perlman, Russel, & Heim, serta Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002).

(47)

loneliness tersebut menjadi semakin kuat pada diri individu (Heffner dalam

Weiten & Llyod, 2006). Dengan demikian merupakan suatu hal penting bagi setiap individu memiliki seseorang yang khusus di dalam hidupnya agar terhindar dari loneliness.

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa loneliness menjadi masalah bagi individu melajang dimana setiap orang dapat memiliki interpretasi yang berbeda dalam memaknainya. Loneliness muncul saat individu merasakan kekurangan dan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang dimilikinya baik secara kualitas maupun kuantitas (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau, & Sears, 1999). Pada individu yang melajang, loneliness terjadi ketika individu merasakan adanya kekurangan ataupun ketidakpuasan yang disebabkan oleh tidak adanya hubungan kedekatan emosional dengan seseorang (Myers, 1999). Orang yang mengalami loneliness akan merasakan desperation, depression, impatient boredom, dan self-deprecation (Rubenstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002).

Keadaan tersebut perlu diatasi dengan segera karena dapat membawa dampak negatif bagi individu dimana mereka menunjukkan perilaku interpersonal yang buruk sehingga individu menjadi tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitar dan juga dapat menurunkan kesehatan mental serta fisiknya (Jones & Carver dalam Brehm et al, 2002)

(48)

dalam Pervin, 2005). Di dalam causal attribution yang menjadi faktor penyebab munculnya loneliness yaitu karakteristik kepribadian dan faktor situasional (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002), dimana karakteristik memegang peranan yang besar terhadap terjadinya loneliness pada seseorang (Brehm et al, 2002). Adapun karakteristik kepribadian dalam causal attribution adalah locus of control yaitu keyakinan individu dalam menjelaskan sumber penyebab keadaan

yang dialaminya itu apakah disebabkan oleh perilakunya sendiri (internal) atau adanya faktor lain (eksternal) di luar dirinya (Rotter dalam Pervin, 2005).

Karakteristik individu yang lebih berorientasi internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol lebih dalam mengendalikan kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri, dibandingkan dengan individu yang lebih berorientasi eksternal yang meyakini bahwa mereka memiliki sedikit kontrol terhadap hidupnya (Rotter Baron & Byrne, 1992). Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki

self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang

dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik daripada individu dengan locus of control eksternal (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994).

(49)

bertanggung jawab terhadap kejadian atau peristiwa didalam hidupnya (Rotter Feist & Feist, 2002). Keberhasilan yang dirasakan karena usahanya sendiri jauh lebih membanggakan dibandingkan merasa berhasil karena kebetulan, akan tetapi kegagalan yang dialami oleh individu karena kurangnya usaha akan dianggap jauh lebih memalukan dibandingkan dengan kegagalan yang merasa orang lain tidak membantu (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992). Pada individu yang mengalami loneliness, keadaan tersebut terjadi karena kurang atau tidak adanya kontrol dari

dalam diri untuk mengatasinya (Jones dalam Bron & Byrne, 1992).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan melihat apakah ada perbedaan loneliness yang dialami oleh individu dewasa dini yang melajang ditinjau dari

locus of control. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk melihat

apakah individu lajang yang lebih berorientasi internal dan individu lajang yang lebih berorientasi eksternal memiliki tingkat loneliness yang berbeda.

III.D. Hipotesa Penelitian

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan bagaimana suatu penelitian dilakukan karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisis data, dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, dan metode analisis data (Hadi, 2000). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian komparasional yaitu penelitian yang membandingkan antara dua variabel untuk melihat apakah ada perbedaan antara kedua variabel tersebut.

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk dapat menguji hipotesis penelitian terlebih dahulu diidentifikasi variabel-variabel penelitian. Variabel-variabel yang terlibat didalam penelitian ini antara lain:

1. Variabel tergantung : Loneliness

2. Variabel bebas : Locus of control, terbagi dua yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal

(51)

III.B. Definisi Operasional Variabel

III.B.1. Loneliness

Loneliness adalah suatu bentuk perasaan tidak menyenangkan sebagai

akibat dari kekurangan ataupun ketidakpuasan yang dirasakan individu terhadap hubungan sosial yang sedang dijalaninya karena tidak memiliki ikatan hubungan kedekatan emosional yang intim dengan seseorang.

Dalam penelitian ini loneliness diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan empat aspek perasaan lonely yang dikemukakan oleh Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002). Keempat aspek tersebut adalah: a. Desperation

Desperation merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan

keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya yang dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan nekat. Desperation ini ditandai dengan munculnya perasaan putus asa, tidak berdaya, takut atau khawatir, tidak memiliki harapan, ditinggalkan atau dibuang, dan diejek.

b. Impatient Boredom

Impatient boredom adalah suatu keadaan dimana individu merasakan

(52)

c. Self-deprecation

Self-deprecation adalah suatu keadaan dimana individu menyalahkan,

mencela, ataupun mengutuk dirinya sendiri terhadap peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ditandai dengan munculnya perasaan bahwa dirinya tidak menarik, rendah diri, bodoh, malu, dan tidak nyaman. d. Depression

Depression adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang

mendalam dan terus menerus ataupun dalam kondisi tertekan sehingga bila tidak diatasi dapat mengarahkannya pada tindakan bunuh diri. Depression ini ditandai dengan munculnya perasaan sedih, tertekan atau hilang semangat, kosong atau hampa, terkucil, menyesali diri, murung, diasingkan, dan ingin bersama dengan seseorang yang khusus.

Tingkat loneliness yang dialami individu dilihat dari besarnya skor yang diperoleh pada Skala Loneliness. Semakin tinggi nilai skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat loneliness yang dirasakan individu. Sebaliknya, semakin rendah nilai skor total yang diperoleh, maka semakin rendah pula tingkat loneliness yang dirasakan oleh individu.

(53)

Tabel 1

Pengkategorisasian Loneliness

X  M + 1 SD Tinggi

M + 1 SD < X  M – 1 SD Sedang

M – 1 SD < X Rendah

III.B.2. Locus of Control

Locus of control adalah suatu bentuk keyakinan individu mengenai sumber

pengendali perilakunya (kemampuan untuk membangun interaksi dengan orang lain). Locus of control terbagi dua, baik secara internal (karena perilakunya sendiri), maupun secara eksternal (karena adanya faktor lain diluar dirinya). Locus of control ini berhubungan dengan hasil yang diperoleh individu berupa

penguatan yang akan diterimanya, yaitu keberhasilan atau kegagalan dalam menjalin hubungan yang intim dengan seseorang.

Dalam penelitian ini locus of control diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek locus of control yang dikemukakan oleh Rotter yaitu:

a. Aspek locus of control internal: 1. Usaha

(54)

2. Kemampuan

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuan dari dirinya sendiri (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994).

b. Aspek locus of control eksternal: 1. Nasib

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam hidupnya sudah ditakdirkan dan tidak dapat dirubah kembali (Rotter dalam Vaughan & Hogg, 2002).

2. Kesempatan

Keyakinan individu bahwa faktor keberuntungan ataupun peluang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Rotter dalam Phares, 1992).

3. Pengaruh orang lain

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialaminya disebabkan oleh adanya pengaruh orang lain yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka (Rotter dalam Phares, 1992).

(55)

Berkaitan dengantujuan diberikannya Skala Locus of Control, yaitu untuk menggolongkan individu ke dalam 2 kelompok (yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal) maka pembagian kelompok akan didasarkan median yaitu nilai tengah dari skor yang diperoleh subjek yang tersusun dan telah diurutkan dari nilai skor terendah sampai dengan nilai skor yang tertinggi (Corcoran & Fisher, 1987). Dalam penelitian ini untuk menggolongkan individu akan didasarkan pada median empirik karena pengelompokan tersebut hanya dikenakan pada sampel penelitian ini saja. Nilai terendah dan nilai tertinggi nantinya disusun dan diurutkan berdasarkan hasil skor yang diperoleh individu.

Setelah definisi operasional dari variabel penelitian diatas, berikut ini adalah definisi operasional dari variabel kontrol.

a. Gender

Borys dan Perlman (dalam Dane, Deaux, & Wrightman, 1993) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tetap menunjukkan frekuensi yang sama saat mengalami loneliness. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi lonely daripada laki, dimana sebagian besar laki-laki yang mengalami loneliness menyangkal bahwa dirinya sedang merasa lonely. Didalam penelitian ini, gender didefinisikan sebagai jenis kelamin

subjek penelitian dan didata dalam skala b. Usia

(56)

pada masa dewasa dini. Usia dewasa dini nantinya akan dikelompokkan menjadi 3 kelas berdasarkan cara statistik dengan panjang kelas 7 yaitu 19-25 tahun, 26-32 tahun, dan 33-39 tahun.

c. Status Perkawinan

Status perkawinan adalah keadaan individu yang sudah menikah atau belum menikah. Individu yang belum menikah berkaitan dengan kondisi seseorang yang sedang melajang dimana individu yang melajang cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah menikah (Page &

Cole; Perlman & Peplau; Stack dalam Brehm et al, 2002). Di dalam penelitian ini, status perkawinan akan dikontrol dengan memilih individu yang belum pernah menikah dan belum memiliki pasangan (pacar).

d. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan tingkat pendapatan yang dimiliki oleh individu. Individu dengan pendapatan rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki

(57)

d. Pendidikan

Survey yang dilakukan oleh Page dan Cole’s (Brehm, 2002) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang memiliki korelasi terbalik dengan loneliness. Pada penelitian ini, pendidikan akan dilibatkan dalam penelitian dengan mendata tingkat pendidikan mulai dari tingkat pendidikan yang paling rendah (Sekolah Dasar) sampai dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Pacsa Sarjana).

III.C. Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampling

III.C.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dalam suatu penelitian masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan satu faktor penting yang harus diperhatikan (Hadi, 2000). Populasi adalah sejumlah individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama. Adapun karakteristik dari populasi yang hendak diteliti ini sesuai dengan definisi operasional variabel kontrol yang telah dikemukakan diatas yaitu:

a. Berada pada usia dewasa dini (19-39 tahun) b. Belum menikah

c. Belum memiliki pasangan

d. Tingkat pendidikan minimal Sekolah Dasar (SD). Penentuan ini didasarkan pada asumsi bahwa tingkat pendidikan Sekolah Dasar dianggap dapat membaca kalimat yang ada dalam skala dan menulis respon mereka.

(58)

populasi yang dikenakan dalam penelitian yang disebut dengan sampel (Hadi, 2000). Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 80 orang .

III.C.2. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel menurut Kerlinger (2002) berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau wakil (representasi) dari populasi tersebut. Pada penelitian ini, responden diperoleh melalui teknik non probability sampling secara incidental yang berarti pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor

kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian (Hadi, 2000).

(59)

III.D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Loneliness dan Skala Locus of Control.

Skala merupakan suatu metode pengumpulan data yang berisi daftar pernyataan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis. Skala didasarkan pada laporan pribadi (self report) yang memiliki beberapa kelebihan, antara lain (Hadi, 2000):

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Apa yang dinyatakan subjek pada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya. 3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya

adalah sama dengan apa yang dimaksud dengan peneliti.

Meskipun demikian, metode skala ini juga memiliki kekurangan dimana karena berupa laporan diri sehingga individu mungkin sekali merasa segan atau takut dalam memberikan jawaban tentang diri mereka. Hal tersebut tentunya akan membuat hanya beberapa hal saja yang sesuai atau dapat diselidiki dari diri individu sehingga dapat menghasilkan gambaran yang kurang teliti (Hadi, 2000). Untuk meminimalisir hal tersebut maka dibuatlah aitem favorabel dan aitem unfavorabel.

(60)

Skala Locus of Control merupakan skala yang bertujuan untuk membagi subjek kedalam dua kelompok locus of control (kelompok internal atau kelompok eksternal). Oleh karena itu, dalam skala ini tidak perlu aitem favorabel maupun unfavorabel. Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar (2005) bahwa penskalaan

yang berorientasi pada subjek dengan tujuan meletakkan individu pada suatu kontinum penilaian tidak perlu merisaukan adanya aitem favorabel ataupun unfavorabel seperti pada penskalaan respon.

III.D.1. Skala Loneliness

Alat ukur yang digunakan dalam mengukur loneliness adalah Skala Loneliness yang disusun berdasarkan empat aspek perasaan lonely seperti yang

dikemukakan oleh Rubenstein dan Shaver (Brehm et al, 2002) pada definisi operasional. Setiap indikator-indikator dari aspek-aspek tersebut kemudian diterjemahkan menjadi kalimat-kalimat praktis yang mewakili setiap aspek, dan disusun kembali secara acak. Skala loneliness dibuat dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat loneliness yang dialami oleh seseorang.

Skala Loneliness ini terdiri dari aitem yang bersifat favorabel dan unfavorabel yang disusun dalam format skala likert. Pada skala ini, subjek

(61)

jawaban ”STS”. Pada aitem yang bersifat unfavorabel, nilai 4 diberikan bila subjek memilih jawaban ”STS”, nilai 3 untuk ”TS”, nilai 2 untuk ”S”, dan nilai 1 bila subjek memilih jawaban ”SS”.

Skala Loneliness ini terdiri dari 50 aitem dengan komponen sebagai berikut:

Tabel 2

Blue Print Skala Loneliness Sebelum Uji Coba

Aspek Indikator Perasaan

Lonely

Putus asa, Tidak berdaya, Takut atau khawatir, Tidak memiliki harapan,

Ingin berada ditempat lain, Gelisah atau tidak tenang, Marah, Tidak mampu

Merasa diri tidak menarik, Rendah diri, Bodoh, Malu, tidak nyaman

5, 9, 15, 19, 48 3, 11, 21, 26, 38 10

Depression

Sedih, Tertekan atau hilang semangat, Kosong atau

III.D.2. Skala Locus of Control

(62)

Eksternal yang mengukur kecenderungan atribusi eksternal. Pada Skala Locus of

Control tidak dibuat aitem favorabel dan aitem unfavorabel, karena skala ini

bertujuan untuk menggolongkan individu kedalam kelompok internal atau kelompok eksternal

Skala Locus of Control dalam penelitian ini menggunakan model skala tipe Guttman. Skala Guttman merupakan skala yang dapat menempatkan individu kedalam suatu kelompok kontinum penilaian dengan memberikan dua alternatif jawaban yaitu: Ya dan Tidak. Skala Guttman ini dapat dibuat dalam bentuk checklist (Azwar, 2000)

Penilaian pada Skala Locus of Control Internal adalah nilai 1 diberikan pada subjek yang menjawab ”Ya”, sedangkan nilai 0 diberikan pada subjek yang menjawab ”Tidak”. Begitu juga, pada Skala Locus of Control Eksternal, nilai 1 diberikan pada subjek yang menjawab ”Ya” dan nilai 0 pada subjek yang menjawab ”Tidak”.

Untuk pengelompokan subjek akan dilakukan seperti metode yang dibuat oleh Rotter dengan menghitung respon pada aitem yang memiliki muatan eksternal, yaitu jumlah jawaban ”Tidak” pada Skala Locus of Control Internal dan jumlah jawaban ”Ya” pada Skala Locus of Control Eksternal. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin eksternal individu tersebut (Baggett, 2006)

(63)

Skala Locus of Control ini terdiri dari 12 aitem untuk Skala Locus of Control Internal dan 18 aitem untuk Skala Locus of Control Eksternal dengan

komponen sebagai berikut:

Tabel 3

Blue Print Locus of Control Sebelum Uji Coba

Aspek Komponen Locus of Control Nomor Aitem Jumlah

Internal Usaha 1, 3, 5, 12, 21, 27 6 Kemampuan 7, 9, 11, 18, 25, 29 6

Eksternal

Nasib 8, 13, 15, 17, 23, 30 6 Kesempatan 4, 6, 14, 16, 20, 22 6 Pengaruh orang lain 2, 10, 19, 24, 26, 28 6

Jumlah 30 30

III.E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

III.E.1. Validitas Alat Ukur

Validitas alat ukur adalah sejauh mana ketepatan atau kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi alat ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada apakah alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2000). Dalam penelitian ini, konsep validitas yang hendak dicapai oleh alat ukur adalah validitas internal khususnya validitas isi (content validity) dan validitas konstrak (construct validity) melalui analisis rasional terhadap alat ukur.

Gambar

Tabel 1 Pengkategorisasian
Tabel 4 Hasil Uji Coba dan Distribusi Aitem Pada Skala
Tabel 4 berikut ini disajikan distribusi aitem Skala Locus of Control yang
Tabel 8 Pengelompokan Subjek Penelitian Berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel dikatakan mempunyai validitas yang baik terhadap konstruk atau variabel latennya jika nilai t-value ≥ 1,96 dan standardized factor loading (SLF) ≥ 0,70 atau ≥

Langkah pertama yang harus dilakukan pengembang adalah mencermati hasil evaluasi yang sudah ada, mencermati standar nasional pendidikan tinggi (SNPT), dan mengkaji

(3) Langkah-langkahsebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Koperasi yang bersangkutan, disusun dalam bentuk dokumen dan dilaporkan kepada Aparatur Pembina Koperasi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pemberian suara belalang “kecek” (Orthoptera) frekuensi 3000 Hz pada pembibitan jati (Tectona grandis)

/ Berdasarkan simpul an pertama dar i hasil penelitian ini yang menyatakan b ahwa siswa yang diaj a r dengan strategi pembelajaran Elaborasi, memiliki basil bel ajar yang

Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk metigetahui apakah ada perbedaan persepsi terhadap slogan iklan seperti &#34;bukan basa-basi&#34; antara

Dalam pembelajaran bahasa, penguasaan Grammar diperlukan bagi siswa untuk memungkinkan mereka menyampaikan pesan yang mereka maksud dengan benar. Hal ini karena kesalahan dalam

Rangkaian yang saling mempengaruhi ini tidak serta merta mem- perbaiki tingkat pendapatan kaum pekerja/buruh ka- rena upah yang diterima pekerja/buruh belum cukup