• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelenggara Birokrasi Peradilan Pidana

Perilaku Birokrasi

4. Penyelenggara Birokrasi Peradilan Pidana

Penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi51 atau proses peradilan pidana dapat dibagi dalam tiga tahapan yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap pra-ajudikasi (

pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka

penyidikan yang dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan oleh lembaga Peradilan, dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap terpidana yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk pidana hilang kemerdekaan. Dalam kaitan ini

49 Ibid. Hlm. 59 50 Ibid. Hlm. 26 51

menurut Muladi bahwa penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap pemberian pidana in concreto.

Tahap ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang penting karena pada tahap tersebut adanya proses pembuktian menurut hukum oleh hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepadanya. Keputusan hakim harus berdasarkan fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan52. Pemeriksaan perkara pidana pada tahap ajudikasi dilakukan oleh majelis hakim yang berada pada lembaga peradilan di lingkungan Badan Peradilan Umum yang meliputi Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA),53 sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Pemeriksaan perkara dengan majelis hakim dimaksudkan agar mendapatkan keadilan yang sesungguhnya (substansial).

Penyelenggaraan peradilan pidana pada tahap ajudikasi54 di dasarkan pada Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

52

Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI. Jakarta. Hlm. 34 dinyatakan bahwa melalui penafsiran dari ayat (1) Pasal 191 dan Pasal 197 haruslah ditafsirkan bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) yang harus “dominan” dalam seluruh proses, karena baik dalam hal putusan bebas maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada “fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang”. Bandingkan pendapat Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 74, bahwa hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: (1) keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian (2) keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbutan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, dan akhirnya (3) keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

53

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Barda Nawawi Arief bahwa UU Kekuasaan Kehakiman dan UUD’45 (amandemen) hanya membatasi pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit, yaitu “kekuasaan menegakkan hukum dan keadilan di badan-badan peradilan. Barda Nawawi Arief. 2008. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta Hlm.33.

54

Pengertian peradilan pidana dalam penelitian ini yaitu penyelenggaraan peradilan pidana di pengadilan (ajudikasi).

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelenggaraan peradilan berdasarkan KUHAP tersebut berasaskan antara lain peradilan yang bebas, terbuka untuk umum dan dilaksanakan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur dan tidak memihak yang dilaksanakan oleh pejabat tertentu yang segala aktivitasnya diwujudkan secara tertulis berdasarkan perundang-undangan. Peradilan tersebut dilaksanakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.55 Perwujudan dari asas-asas peradilan tersebut, maka idealnya penyelenggaraan peradilan pidana harus bersifat antara lain efektivitas, transparan56, akuntabilitas, dan penghargaan terhadap kepentingan hukum para pencari keadilan. Oleh karena itu penyelenggaraan peradilan pidana pada tahap ajudikasi dituntut untuk dilaksanakan secara efektif , keterbukaan, akuntabilitas, dan memenuhi kepentingan hukum para pencari keadilan.

Pengadilan sebagai sebuah institusi penegak hukum dalam bekerjanya tidak luput dari aktivitas birokrasi. Pentingnya peranan birokrasi pengadilan tersebut mengingat pada hakikatnya model penyelenggaraan peradilan pidana yang dianut KUHAP adalah model pelayanan (service model)57 dimana untuk mewujudkan keadilan diserahkan sepenuhnya kepada Negara melalui aparat penegak hukum dalam hal ini pejabat peradilan yaitu hakim dan panitera. Berdasarkan model ini untuk terwujudnya kepentingan hukum para pencari keadilan diwakilkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu pejabat peradilan dalam bekerjanya seharusnya menempatkan posisi para pencari keadilan yang diwakilinya tersebut sama dengan posisi mereka, sehingga pejabat peradilan dalam menjalankan fungsinya berkewajiban untuk mewujudkan kepentingan hukum (hak-hak) pencari keadilan seperti antara lain informasi perkembangan pemeriksaan suatu perkara pidana, sehingga keadilan substantif dapat terwujud.58

55

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehkiman.

56 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.

57

Model penyelenggaraan peradilan pidana selain model pelayanan (service model), juga dikenal model hak-hak prosedural (procedural rights). Menurut model ini pencari keadilan terutama korban diberi hak untuk menuntut secara langsung dalam suatu perkara pidana.

58

Begitu besarnya peran pejabat peradilan sehingga Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur agar pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)), bahkan dalam menjalankan perannya hakim wajib

Praktik peradilan saat ini, sebagai akibat pengaruh birokrasi ternyata bukan keadilan substantif yang diberikan oleh pejabat peradilan tetapi keadilan birokrasi yang dihasilkan.59 Hal ini terlihat adanya penolakan dari pencari keadilan atas cara dan hasil kerja pejabat peradilan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara pidana seperti penyelesaian perkara pidana yang berlarut-larut, pelayanan yang bersifat tertutup, kinerja pejabat peradilan yang rendah dan praktik litigasi yang disesuaikan dengan kepentingan pejabat peradilan dan/atau lembaga pengadilan. Untuk mengatasi kondisi tersebut sangat mendesak untuk menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik terhadap proses pemeriksaan suatu perkara pidana di pengadilan.

Informasi atas perkembangan pemeriksaan suatu perkara pidana merupakan hak asasi manusia bagi para pencari keadilan, disamping keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Argumentasi tersebut sesuai dengan amanat Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan kehidupan sosialnya serta berhak untuk mencari, memeproleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Selain itu keterbukaan informasi publik juga merupakan salah satu sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.60 Hal ini sesuai dengan pengertian informasi publik dan badan publik sebagaimana didefinisikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Lembaga peradilan yang meliputi Mahkamah Agung beserta lembaga peradilan di bawahnya dalam hal ini Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia sebagai badan publik yang

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)).

59

Agus Raharjo, http://www.unsoed.ac.id, diunduh tgl. 23-10-2010.

60

melaksanakan tugas negara dalam bidang yudikatif, sama seperti lembaga negara di bidang eksekutif dan legislatif juga berkewajiban untuk melaksanakan keterbukaan informasi publik sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 1 angka 3 Juncto Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Pengertian Badan Publik berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

Sejak adanya kebijakan satu atap penyelenggaraan peradilan di bawah Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kehakiman, telah dimulai adanya usaha pembaharuan peradilan. Salah satu dasar hukum pembaharuan peradilan dalam bidang keterbukaan informasi publik yaitu adanya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.61 Dengan adanya keputusan tersebut setiap pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang pengadilan yang bersangkutan.

Begitu pentingnya keterbukaan dan kemudahan bagi masyarakat dalam memperoleh informasi khususnya dalam Sistem Informasi Perkara di Pengadilan, Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali, telah menegaskan bahwa semua pengadilan negeri telah menerapkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara/Case Tracking System (SIPP/CTS) pada akhir 2013 ini. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam

61

Saat ini Surat Keputusan Ketua MA (SK. KMA) tersebut telah diubah dengan SK.KMA No. I-144/KMA/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan Juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

RAPIM dalam pertemuan dengan seluruh Ketua Pengadilan Tinggi tanggal 17 Desember 2012 di Denpasar bahwa sebelum matahari terbit di 2014, seluruh pengadilan tingkat pertama pada peradilan umum sudah harus menerapkan SIPP/CTS, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, SK KMA Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Informasi di Pengadilan dan SK KMA Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan.62 Dalam kaitan ini sebagai contoh bahwa sebanyak 10 (sepuluh) Pengadilan Negeri di Provinsi Lampung telah melaksanakan SIPP/CTS.

Dalam praktik di pengadilan negeri pada umumnya, implementasi atas kewajiban pengadilan memberikan akses informasi kepada masyarakat hanya sebatas informasi tentang kegiatan administrasi pengadilan seperti informasi tentang daftar nama pejabat peradilan, jumlah perkara, biaya perkara, dan jadwal sidang. Sedangkan administrasi peradilannya seperti informasi jalannya persidangan, informasi tentang berita acara persidangan dan isi putusan pengadilan setelah dibacakan oleh majelis hakim baik pada tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung seperti yang dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi belum terlaksana. Berdasarkan hasil penelitian, Pengadilan Negeri yang sudah melakukan keterbukaan informasi publik atas jalannya persidangan adalah Pengadilan Negeri Bitung Sulawesi Utara.63

62

Ridwan Mansyur, Implementasi SIPP/CTS danSIADPA Berbasis IT “Menyambut Matahari Terbit di Januari 2014, http://www.mahkamahagung.go.id/, diunduh tgl. 15-6-013

63

Maroni, 2012, Rekonstruksi Birokrasi Peradilan Pidana Berbasis Pelayanan Publik Untuk

Mewujudkan Keadilan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, hlm. 168.