• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Apartemen Terhadap Penyalahgunaan Iklan Oleh Pelaku Usaha (Developer)

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN APARTEMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN IKLAN OLEH PELAKU USAHA (DEVELOPER)

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen Apartemen Terhadap Penyalahgunaan Iklan Oleh Pelaku Usaha (Developer)

Informasi yang tidak benar dan tidak jujur tentu saja dapat merugikan pihak konsumen apartemen. Pelaku usaha menyalahgunakan iklan sebagai sarana

128 Shidarta, Op. cit., hlm. 170 129Ibid., hlm. 172

promosi dalam menawarkan produknya (apartemen) kepada konsumen. Penyalahgunaan iklan yang dilakukan pelaku usaha dengan mempergunakan iklan akan berpotensi dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Sebagai bagian dari praktek bisnis tidak sehat, iklan menyesatkan tidak terdapat perumusannya dalam peraturan perundang-undangan berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, Australia, maupun di New Zealand. Sehingga sulit untuk memperoleh

kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan iklan menyesatkan.130

Demikian pula FTC, sebagai salah satu badan pengawasan periklanan di Amerika Serikat, tidak memberikan pengertian dengan tegas mengenai iklan

menyesatkan. Hanya dalam The FTC’s Deception Policy Statement, dijelaskan

bahwa:

An Ad is deceptive if it contains a statement – or omits information –

that:

1. is likely to mislead consumers acting reasonably under the circumstances; and

2. is “material” –that is important to a consumer’s decision to buy or use the product”.

Merujuk panduan FTC (Federal Trade Commission) tersebut dapat

diterangkan bahwa suatu iklan mengandung misrepresentation jika pernyataan

eksplisit atau implisit bertolak belakang dengan fakta, atau jika informasi penting

untuk mencegah terjadinya misleading dalam suatu praktek, klaim, representasi,

atau kepercayaan yang reasonable tidak dipaparkan (omission), sehingga

konsumen rasional memperoleh kesimpulan yang salah atau menyesatkan. Selain itu, fakta penting tersebut bersifat “material” karena penting untuk dijadikan

panduan bagi konsumen untuk memutuskan apakah akan membeli atau

mempergunakan produk yang diiklankan.131

Seperti halnya Amerika Serikat, New Zealand, maupun Australia, Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), di Indonesia tidak merumuskan secara tegas mengenai pengertian penyalahgunaan iklan ataupun pengertian iklan menyesatkan, namun dalam Pasal 10 Bab IV Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha UUPK, menegaskan:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang menawarkan. Mempromosikan,

mengiklankan atau membuat penyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”.

Tampaknya, apa yang dirumuskan dalam Pasal 10 UUPK tersebut berkaitan dengan adanya “fakta material” dalam suatu iklan, di mana pernyataan menyesatkan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga, hadiah, maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan.

Menurut Milton Handler, Iklan Menyesatkan (False Advertising) adalah

“jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut

merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan.132

Bentuk-bentuk penyalahgunaan iklan sendiri tidak diatur secara khusus dalam UUPK, namun UUPK memberikan pengaturan mengenai iklan bagi

131Ibid., 132Ibid.,

perusahaan periklanan yang dapat dimanifestasikan sebagai bentuk-bentuk penyalahgunaan iklan. Pasal 17 UUPK memberikan pengaturan bagi perusahan periklanan dalam memproduksi iklan. Perusahaan periklanan dalam memproduksi

iklan dilarang:133

g. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan

harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

h. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

i. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang

dan/atau jasa;

j. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

k. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan;

l. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

periklanan.

Dari Pasal 17 UUPK di atas, terdapat beberapa penggunaan kata seperti penggunaan kata “mengelabui”, “memuat informasi informasi yang keliru”, “tidak memuat informasi” dan “mengeskploitasi kejadian atau seseorang”, kata-kata tersebut merupakan modus dalam menyesatkan konsumen ketika melakukan persuasi atau bujukan. ‘Mengelabui’ merupakan padanan kata dari menyesatkan atau menipu, sehingga larangan bagi perusahaan periklanan untuk tidak mengelabui konsumen diartikan bahwa dalam memproduksi iklan hendaknya

tidak menggunakan kata-kata atau gambar yang dapat menyesatkan atau menipu

konsumen. Demikian pula frasa, ‘tidak memuat informasi’ mengindikasikan

bahwa terdapat informasi yang disembunyikan atau tidak dimaksudkan untuk diberitahukan kepada konsumen.

Penyalahgunaan iklan yang sering terjadi pada praktik jual beli di

masyarakat adalah mengenai adanya penyesatan informasi (misleading statement).

Australian Business Register (ABR), memberikan definisi mengenai misleading statement, yakni: “A false statement is when it is not true, regardless of whether or not you know that it is false. A misleading statement is when it gives a false impression, is uninformative, unclear, or deceptive”. ABR menyatakan bahwa misleading statement merupakan suatu pernyataan palsu dimana hal tersebut tidak benar, terlepas dari apakah konsumen mengetahui atau tidak tentang hal palsu tersebut. Pernyataan palsu ini dapat memiliki ciri-ciri kesan palsu, tidak

informatif, tidak jelas, atau bahkan menipu.134

Permasalahan dibidang apartemen antara konsumen apartemen dengan

pihak developer mungkin dapat terjadi setelah adanya PPJB (Pengikatan

Perjanjian Jual Beli) antara developer dengan konsumen apartemen. Salah satu

masalah yang dapat terjadi adalah ketidaksesuaian antara produk dengan apa yang

telah ditawarkan oleh developer di dalam iklan sebagaimana menjadi sarana

dalam promosi apartemen tersebut, selanjutnya hal ini dikatakan sebagai

penyalahgunaan iklan oleh pelaku usaha (developer).

134 Making A False Or Misleading Information, https://abr.gov.au/General-information/Making-a-false-or-misleading-statement, diakses pada tanggal 18 Desember 2016, Pukul 19:26 WIB.

Sebagai pihak yang dirugikan, konsumen apartemen dapat melakukan berbagai upaya hukum untuk memperjuangkan haknya. Dalam Pasal 5 UUPK terdapat aturan mengenai hak-hak konsumen yang diberikan oleh UUPK, dimana salah satu hak tersebut adalah untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut jika pelaku usaha melakukan pelanggaran. Dengan demikian, konsumen apartemen dapat mengajukan upaya hukum atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku

usaha (developer) atas penyalahgunaan iklan. Berikut akan dijelaskan

upaya-upaya hukum penyelesaian sengketa konsumen yang dapat dilakukan oleh

konsumen apartemen terkait penyalahgunaan iklan oleh pelaku usaha (developer)

yaitu sebagai berikut:

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi

Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan cara penyelesaian yang fleksibel dan tidak mengikat pihak netral, yaitu mediator, yang bertugas mempermudah negosiasi antara para pihak untuk membantu mereka dalam mencapai kompromi/kesepakatan. Pihak konsumen apartemen dan pelaku

usaha (developer) dapat menentukan mediator secara bersama-sama guna

menjadi pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa antara konsumen

apartemen dengan pelaku usaha (developer).

Jasa yang diberikan oleh mediator tersebut adalah menawarkan dasar-dasar penyelesaian sengketa, namun tidak memberikan putusan atau pendapat terhadap sengketa yang sedang berlangsung. Meskipun kekurangan kekuatan

mengikat, karena tidak memberikan putusan dalam proses mediasi, akan tetapi keterlibatan mediator akan mengubah dan mempengaruhi dinamika negosiasi.

Mediator nantinya akan membantu konsumen apartemen yang merasa dirugikan menemukan jalan keluar terhadap permasalahan yang terjadi dengan

pelaku usaha (developer), dimana jalan keluar tersebut juga disepakati oleh

pelaku usaha. Sehingga mediator akan membantu para pihak untuk menemukan titik temu antara para pihak dengan memperhatikan keseimbangan diantara para pihak. Selanjutnya hasil mediasi dibuatkan dalam bentuk perjanjian tertulis agar mengikat bagi konsumen apartemen dengan

pelaku usaha (developer).

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK)

Berikut ini adalah beberapa tahapan penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh oleh konsumen apartemen apabila menyelesaikan sengketanya dalam hal informasi yang menyesatkan yang dilakukan oleh

pelaku usaha (developer) melalui BPSK, yaitu:

a. Tahap pengajuan gugatan

Konsumen apartemen yang merasa dirugikan akibat

penyalahgunaan iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha (developer) dapat

mengadukan informasi menyesatkan kepada BPSK, baik secara langsung, diwakilkan kuasanya, maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan yang langsung disampaikan oleh kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat

dilakukan apabila konsumen yang bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa, atau warga negara asing. Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan atau tulisan kepada secretariat BPSK di kota/kabupaten domisili hukum si konsumen. Apabila permohonan (pengaduan) telah memenuhi persyaratan dan diterima, maka Ketua BPSK harus memanggil pelaku usaha secara tertulis selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan. Apabila pada hari persidangan yang telah ditentukan, pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampaui 3 (tiga) hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi.

Apabila pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha. Cara yang dapat dipilih dan disepakati para pihak diantaranya: konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. Jika cara yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka Ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai dengan ketentuan untu ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika cara yang dipilih para pihak adalah arbitrase, maka prosedurnya adalah para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsure pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Arbiter yang terpilih memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsure pemerintah sebagai ketua majelis. Persidangan pertama dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ketujuh sejak diterimanya permohonan.

1) Persidangan dengan cara konsiliasi

Konsiliasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak. Bagaimanapun juga penyelesaian sengketa model konsiliasi ini mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara consensus antar pihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif. Konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwenang memutus perkara. Konsumen apartemen dengan harus menyatakan persetuuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa, yaitu konsumen apartemen dengan

pelaku usaha (developer) dengan didampingi majelis BPSK yang

bertindak pasif sebagai konsiliator. Majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, kemudian hasil kesepakatan antara konsumen apartemen dengan

pelaku usaha (developer) dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang

kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.

2) Persidangan dengan cara mediasi

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh

konsumen apartemen dengan pelaku usaha (developer) yang

bersengketa dengan didampingi oleh mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulang kembali kejadian yang sama yang merugikan konsumen apartemen.

Masing-masing pihak menunjukkan alat bukti surat dan/atau dokumen lain yang mendukung dari masing-masing pihak yang berperkara. Selain itu dapat pula menghadirkan seorang saksi atau saksi ahli dalam bidang tertentu guna mendukung proses penyelesaian sengketa melalui mediasi. Jika proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan dibantu mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang telah dicapai dan ditandatangani oleh

para pihak).135 Selanjutnya hasil musyawarah dibuat dalam bentuk

perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan kemudian diserahkan kepada majelis BPSK untuk

menguatkan perjanjian tersebut.136

3) Persidangan dengan cara arbitrase

135 Shidarta, Op. cit., hlm. 110. 136Ibid., hlm. 111.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan definisi bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa konsumen apartemen melalui arbitrase dapat dilakukan dengan cara konsumen dan pelaku usaha memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Kemudian arbiter yang telah dipilih ini, memilih arbiter dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Dalam persidangan pertama, majelis wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa. Apabila terjadi perdamaian, majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. Namun apabila tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan agenda pembacaan gugatan pihak konsumen apartemen dan surat jawaban dari pihak pelaku usaha. Ketua majelis BPSK harus memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.

Pada persidangan pertama sebelum pembacaan surat jawaban dari pihak pelaku usaha, konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat pernyataan pencabutan perkara. Dalam hal demikian, maka majelis hakim wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut. Apabila pelaku usaha dan/atau konsumen tidak hadir dalam

persidangan pertama, maka majelis memberikan kesempatan terakhir pada persidangan kedua dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Pada persidangan kedua dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 hari kerja terhitung sejak persidangan pertama dan diberitahukan kepada konsumen dan pelaku usaha, dengan surat panggilan oleh sekretariat BPSK. Bilamana pada persidangan kedua konsumen tidak hadir maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum. Sebaliknya, jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan

konsumen dikabulkan oleh majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.137

Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen apartemen oleh BPSK,

beban pembuktian ada pada pelaku usaha (developer), namun pihak konsumen

juga harus mengajukan bukti-bukti untuk mendukung gugatan yang diajukannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak dan hasil pembuktian, maka majelis BPSK akan memberikan putusan.

3. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”

137Ibid., hlm. 117.

Secara normatif pelaku usaha (developer) bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya terkait penyalahgunaan iklan. Konsumen apartemen yang merasa dirugikan akibat penyalahgunaan iklan yang

dilakukan oleh pelaku usaha (developer) dapat menggugat pelaku usaha

melalui badan peradilan umum, yakni pengadilan negeri.

Dengan berlakunya UUPK, maka konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 HIR, tetapi diajukan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen apartemen sebagai penggugat. Ketentuan Pasal 23 jo Pasal 45 UUPK ini merupakan “lex specialis derogate lex generalis” dari Pasal 118 HIR/RBg. Adapun dasar menggugat konsumen apartemen kepada pelaku usaha (developer) adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena perbuatannya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut. Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Empat unsur yang harus dipenuhi dalam konstruksi hukum perbuatan melawan hukum, yaitu:

a. Adanya perbuatan melanggar hukum.

b. Menimbulkan kerugian.

d. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan hukum dan kerugian yang timbul.

Tindakan pelaku usaha (developer) mengenai penyalahgunaan iklan

terhadap konsumen apartemen dapat digolongkan kepada perbuatan melawan hukum, karena memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya pelanggaran atas ketentuan Pasal 7 huruf b dan d jo Pasal 9 jo

Pasal 10 huruf c UUPK mengenai pemberian informasi yang menyesatkan.

b. Adanya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha (developer) dalam

iklan yang tidak memberikan informasi apartemen secara jelas dan jujur.

c. Adanya kerugian yang diderita oleh konsumen apartemen atas informasi

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya yang dikaitkan dengan

permasalahan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kegiatan periklanan diatur di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen yang pada pokoknya menjelaskan bahwa kegiatan periklanan adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. Selain itu periklanan juga diatur dalam Kitab Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta dalam Kode Etik Periklanan. Pelaku usaha dan/atau agen pemasaran properti diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan periklanan. Sehingga diberikan pengaturan tentang batasan-batasan dalam kegiatan periklanan yang mana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UUPK, diantaranya dilarang menggunakan cara-cara manipulatif atau deseptif, serta menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga, jaminan, dan bahaya penggunaan barang/jasa. Selain itu, Kode Etik Periklanan juga memberikan pengaturan-pengaturan terkait dengan kegiatan periklanan. Kode

etik periklanan ini termasuk ke dalam self regulation atau regulasi sendiri

yang merupakan salah satu bentuk pelaku usaha dalam memberikan perlindungan kepada konsumen.

2. Rumah susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium, flat atau apartment. Pasal 42 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur tentang pemasaran yang isinya menyatakan bahwa pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum pembangunan

rumah susun dilaksanakan. Dalam hal pemasaran yang dimaksud, developer

dapat menggunakan media iklan. Kedudukan iklan itu sendiri ternyata dapat

dikategorikan sebagai MoU (Memorandum of Understanding), dimana MoU

sendiri jika dalam bahasa Indonesia dikatakan nota kesepahaman yang biasanya berada pada tahapan pra kontraktual. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.

3. Begitu tendensiusnya pemasaran, tidak jarang informasi yang disampaikan

tersebut malah menjadi menyesatkan (misleading information) atau tidak

benar, padahal konsumen sudah terlanjur menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pengembang, atau bahkan sudah akad kredit dengan bank penyedia jasa kredit. Dan pada akhirnya mengakibatkan banyak konsumen yang merasa dirugikan atas itikad buruk pengembang atas penawarannya. Dampak yang paling nyata banyak terjadi akibat dari

ketidaksesuaian penawaran pengembang (developer) dengan realita adalah

terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, diantaranya hak-hak individual konsumen rumah susun/apartemen. Dalam memperjuangkan haknya,

konsumen apartemen dapat melakukan upaya hukum melalui penyelesaian sengketa secara non-litigasi ataupun litigasi. Penyelesaian sengketa secara non-litigasi diantaranya dengan cara mediasi dan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sedangkan upaya hukum penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat ditempuh dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUPK yang menyatakan “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Penyelesaian sengketa konsumen apartemen terhadap penyalahgunaan iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha (developer) dapat diselesaikan dengan beberapa proses, diantaranya dengan proses mediasi atau secara damai antara para pihak. Selain itu konsumen dapat mengajukan gugatannya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atas tindak penyalahgunaan iklan atau iklan yang menyesatkan yang

dilakukan oleh pelaku usaha (developer). Atau konsumen juga dapat

menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan, baik dengan jalur perdata ataupun pidana.

B. Saran

Dari hasil penelitian diatas, berikut ini saran-saran:

1. Berbagai macam permasalahan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara

iklan sebagai sarana promosi dengan realita produk yang ditawarkan (apartemen). Kode etik periklanan tentu saja sangat diharapkan mampu

untuk membatasi pengaruh iklan ini. Akan tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai pihak, yang antara lain: ahli etika, konsumen (lembaga konsumen), ahli hukum, pengusaha, pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa harus merampas kemandirian profesi periklanan.

2. Selain itu, penting pula untuk diketahui bahwa profesi periklanan dan

organisasi profesi periklanan perlu benar-benar mempunyai komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang baik bagi masyarakat. Namun, jika ini tidak memadai, kita membutuhkan perangkat legal politis dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang periklanan beserta sikap tegas tanpa kompromi dari pemerintah melalui departemen terkait untuk menegakkan dan menjamin iklan yang baik bagi masyarakat.

Dokumen terkait