• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Iklan Dalam Jual Beli Apartemen Ditinjau Dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Iklan Dalam Jual Beli Apartemen Ditinjau Dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Chapter III V"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEDUDUKAN IKLAN DALAM JUAL BELI APARTEMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH

SUSUN A. Tinjauan Umum Rumah Susun

Dalam menjalani kehidupan di era globalisasi ini, tentunya manusia

memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Perumahan dan

pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar yang berperan penting dalam

kehidupan manusia. Namun seiring dengan perkembangan zaman, ketersediaan

lahan kosong yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dan

pemukiman juga semakin terbatas. Karena itulah dalam mengatasi keterbatasan

lahan ini, ditemukanlah konsep pembangunan rumah susun.

Pembangunan rumah susun merupakan solusi bagi masyarakat Indonesia

atas keterbatasan alokasi lahan untuk perumahan maupun untuk sentra niaga

bisnis dan sekitarnya. Pembangunan rumah susun dianggap sebagai solusi karena

tidak membutuhkan tanah yang luas dan dapat menampung banyak orang dalam

suatu bangunan. Saat ini, di beberapa kota besar sudah mulai bermunculan

gedung-gedung yang dibangun dengan konsep rumah susun atau condominium

baik berupa rumah susun murah sampai apartemen mewah.74

1. Pengertian Rumah Susun Pada Umumnya

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang

(2)

Rumah Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung

bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam

bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal

maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat

dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang

dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Pengertian mengenai rumah susun tersebut dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011 sama seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 16

Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan demikian tidak ada perubahan

mengenai pengertian tentang makna dari rumah susun itu baik yang dijelaskan

dalam UURS yang lama maupun yang baru. Dalam Penjelasan Pasal 1 angka

1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menegaskan bahwa rumah susun

yang dimaksudkan dalam UURS ini adalah istilah yang memberikan

pengertian hukum bagi rumah susun yang senantiasa mengandung sistem

pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian

atau bukan hunian, secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan

sistem pembangunan.75 Dengan demikian berarti tidak semua rumah susun itu

dapat disebut rumah susun menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985,

tetapi setiap rumah susun adalah selalu rumah susun.76

Jika rumusan rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 dan penjelasannya

itu dicermati, diperoleh pemahaman sebagai berikut:

75 Erwin Kallo, Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun, (Jakarta : Minerva Athena Pressindo, 2009, hlm. 28.

(3)

a. Rumah susun merupakan terminologi hukum Indonesia untuk

mengekspresikan bangunan gedung bertingkat yang mengandung

pemilikan perseorangan dan hak bersama. Dalam pengertian inilah,

maka rumah susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium,

flat atau apartment.

b. Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat “yang

distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun

vertikal” (Pasal 1 angka 1 UURS). Dalam Penjelasan UURS di atas

menyatakan “yang distrukturkan secara fungsional dalam arah

horizontal dan vertikal”. Kata “maupun” serta “dan” perlu dicermati

oleh karena membawa konsekuensi pada ruang lingkup UURS.

Apakah pengaturan pemilikan satuan ruang dalam rumah susun selain

rumah susun dapat tunduk pada UURS. Urgensi telaah kata “maupun”

serta “dan” tersebut semakin berarti, terutama jika dikaitkan dengan

Penjelasan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 yang

mencontohkan “rumah toko, rumah sarana industri dan lain-lain” yang

dibangun di atas tanah bersama sebagai rumah susun yang tidak

termasuk dalam pengertian rumah susun.77 Selanjutnya, Penjelasan

pasal 79 PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut menyebutkan bahwa contoh

bangunan gedung tidak bertingkat yang dibangun di atas tanah

(4)

bersama dalam suatu lingkungan adalah rumah-rumah peristirahatan,

rumah kota (town house), dan lain-lain.

Menurut A.P Parlindungan, sebenarnya rumah susun itu adalah suatu

istilah yang dibuat oleh perundangan kita yang berwujud sebagai suatu

perumahan yang dimiliki oleh beberapa orang/badan hukum secara terpisah

dengan segala kelengkapan sebagai suatu tempat hunian ataupun bukan

hunian, untuk perkantoran, usaha komersil dan lain-lain, dengan akses

tersendiri untuk keluar ke jalan besar dan dengan segala hak dan kewajibannya

dan mempunyai bukti-bukti tentang haknya tersebut, dengan berdimensi

horizontal dan vertikal.78

Menurut Arie S. Hutagalung dalam bukunya “Membangun

Condominium (Rumah Susun), Masalah-Masalah Yuridis Praktis Dalam

Penjualan, Pemilikan, Pembebanan serta Pengelolaannya”, bahwa rumah

susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium, flat, atau

apartment. Kondominium berasal dari kata condominium, jika dipenggal, co

berarti bersama-sama, dominium berarti pemilikan. Istilah yang dipakai

berbeda menurut sistem hukum yang bersangkutan, misalnya di Inggris

disebut joint property, di Amerika menggunakan istilah condominium,

sedangkan di Singapura dan Australia menggunakan istilah strata title. Di

antara istilah-istilah tersebut di atas, istilah strata title yang lebih

memungkinkan adanya pemilikan bersama secara horizontal, di samping

pemilikan secara vertikal. Walaupun di Indonesia digunakan istilah seperti:

(5)

rumah susun, apartemen, flat, maupun kondominium, namun bahasa hukum

semuanya disebut rumah susun, karena mengacu pada Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1985 yang kini diganti menjadi Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011.79

2. Asas-Asas Rumah Susun

Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 dan penjelasannya

menyatakan bahwa asas penyelenggaraan rumah susun adalah sebagai berikut:

a. Asas kesejahteraan

Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan rumah susun yang layak bagi masyarakat agar mampu

mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

b. Asas keadilan dan pemerataan

Yang dimaksud dengan asas keadilan dan pemerataan adalah

memberikan hasil pembangunan di bidang rumah susun agar dapat

dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.

c. Asas kenasionalan

Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah memberikan

landasan agar kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya

untuk kepentingan nasional.

d. Asas keterjangkauan dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keterjangkauan dan kemudahan adalah

memberikan landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat

(6)

dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong

terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR.

e. Asas keefisienan dan kemanfaatan

Yang dimaksud dengan asas keefisienan dan kemanfaatan adalah

memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun yang dilakukan

dengan memaksimalkan potensi sumber daya tanah, teknologi rancang

bangun, dan industri bahan bangunan yang sehat serta memberikan

kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

f. Asas kemandirian dan kebersamaan

Yang dimaksud dengan asas kemandirian dan kebersamaan adalah

memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun bertumpu pada

prakarsa, swadaya, dan peran serta masyarakat sehingga mampu

membangun kepercayaan, kemampuan, dan kekuatan sendiri serta

terciptanya kerja sama antar pemangku kepentingan.

g. Asas kemitraan

Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah memberikan landasan

agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan

pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat

dengan prinsip saling mendukung.

h. Asas keserasian dan keseimbangan

Yang dimaksud dengan asas keserasian dan keseimbangan adalah

(7)

dengan mewujudkan keserasian dan keseimbangan pola pemanfaatan

ruang.

i. Asas keterpaduan

Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah memberikan landasan

agar rumah susun diselenggarakan secara terpadu dalam hal kebijakan

dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.

j. Asas kesehatan

Yang dimaksud dengan asas kesehatan adalah memberikan landasan

agar pembangunan rumah susun memenuhi standar rumah sehat, syarat

kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat.

k. Asas kelestarian dan keberlanjutan

Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah

memberikan landasan agar rumah susun diselenggarakan dengan

menjaga keseimbangan lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan

kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan

penduduk dan keterbatasan lahan.

l. Asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keselamatan, kenyamanan, dan

kemudahan adalah memberikan landasan agar bangunan rumah susun

memenuhi persyaratan keselamatan, yaitu kemampuan bangunan

rumah susun mendukung beban muatan, pengamanan bahaya

kebakaran, dan bahaya petir; persyaratan kenyamanan ruang dan gerak

(8)

serta persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam

bangunan, kelengkapan prasarana, dan sarana rumah susun termasuk

fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

m. asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan

Yang dimaksud dengan asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan

adalah memberikan landasan agar pengelolaan dan pemanfaatan rumah

susun dapat menjamin bangunan, lingkungan, dan penghuni dari segala

gangguan dan ancaman keamanan; ketertiban dalam melaksanakan

kehidupan bertempat tinggal dan kehidupan sosialnya; serta

keteraturan dalam pemenuhan ketentuan administratif.

B. Tinjauan Umum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui

oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia

usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli

barang, tanah, perumahan, apartemen, pemberian kredit, asuransi,

pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha, dan sebegitu jauh

menyangkut juga tenaga kerja.80

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam membuat

(9)

perjanjian, kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian sama

dan sederajat. 81

Pengertian perjanjian tersebut ternyata memiliki arti yang luas dan

umum sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa suatu perjanjian dibuat.

Hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih, mengikatkan dirinya

pada pihak lainnya. Karena itu suatu perjanjian akan lebih tegas artinya, jika

pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang

atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam bidang

harta kekayaan.

KUH Perdata menyebut perjanjian dengan istilah persetujuan. Menurut

pasal 1313 KUH Perdata, pengertian persetujuan dapat didefinisikan sebagai

berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, disebutkan bahwa perjanjian

merupakan perbuatan hukum mengenai benda harta kekayaan antara 2 (dua)

pihak, dalam hal mana satu pihak berjanji untuk melaksanakan suatu hal,

sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.82

Dikemukakan oleh R. Subekti bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana kedua orang tersebut

81 Drs. Mohd. Syaufii Syamsuddin, S.H., M.H., Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta : PT. Sarana Bhakti Persada, 2005), hlm. 3.

(10)

saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.83 Dari peristiwa itu timbul

hubungan hukum antara 2 (dua) pihak yang dinamakan perikatan.

Dari pengertian perjanjian di atas, secara umum Abdulkadir

Muhammad, mengatakan sebagai berikut:84

a. ada pihak-pihak sedikitnya dua orang

Persetujuan disini adalah merupakan keputusan, setelah dilakukannya

perundingan. Karena perundingan itu sendiri adalah tindakan pendahulu untuk

menuju tercapainya persetujuan. Selanjutnya persetujuan itu ditunjukkan

dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat dan

objek perjanjian tersebut, maka timbullah persetujuan sebagai salah satu syarat

dari perjanjian.

b. ada persetujuan diantara pihak-pihak itu;

Dalam suatu perjanjian pihak-pihak merupakan unsur yang utama,

karena disamping pihak-pihak itu dijadikan sebagai subjek perjanjian, juga

perjanjian itu tidak akan pernah ada apabila tidak adanya pihak yang

menginginkan, membuat perjanjian itu. Pihak-pihak dalam perjanjian itu yang

menurut hukum perjanjian merupakan subjek perjanjian selain berupa manusia

juga dapat berupa badan hukum. Karena menurut hukum, manusia dan badan

hukum merupakan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan

hukum di dalam masyarakat.

c. ada tujuan yang akan dicapai

83 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1980), hlm. 1

(11)

Tujuan mengadakan perjanjian adalah mencapai sesuatu yang

dibutuhkan oleh pihak-pihak. Kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi

dengan cara mengadakan perjanjian dengan orang lain. Namun belum berarti

para pihak boleh mengadakan perjanjian dengan mencapai kebutuhan tersebut

secara bebas yang mutlak. Karena undang-undang telah membatasinya,

dimana tujuan yang akan dicapai itu tidak boleh bertentangan dengan

ketertiban umum, disesuaikan dan bertentangan dengan undang-undang.

d. ada prestasi yang akan dilaksanakan

Sebagai akibat adanya persetujuan timbullah kewajiban untuk

melakukan suatu prestasi yang merupakan kewajiban para pihak sesuai dengan

syarat-syarat perjanjian.

e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

Bentuk perjanjian ini berguna untuk dijadikan dasar kekuatan

mengikat dan kekuatan pembuktiannya. Bentuk perjanjian ini biasanya dibuat

dalam bentuk akte atau tulisan. Selain itu perjanjian diperbolehkan juga untuk

dibuat secara lisan, dalam hal ini sebagai catatan haruslah diperbuat dengan

kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya.

f. ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian

Syarat-syarat ini pada hakikatnya adalah merupakan isi perjanjian.

Karena dari syarat-syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban

pihak-pihak. Kemudian syarat tersebut pada umumnya terdiri dari

(12)

perlengkapan, seperti cara pembayaran, cara penyerahan barang dan

sebagainya.

Suatu perjanjian akan menerbitkan suatu perikatan diantara para pihak

yang membuatnya. Dalam bentuknya, suatu perjanjian itu berupa suatu

rangkaian perkataan atau kalimat-kalimat yang mengandung janji-janji atau

kesanggupan yang diucapkan atau dibuat dalam tulisan oleh para pihak yang

membuat perjanjian menerbitkan perikatan. Perikatan adalah suatu pengertian

abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hak yang konkrit atau suatu

peristiwa.

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu,

dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Apabila dibuat secara tertulis, perjanjian

tertulis dimaksud bersifat sebagai pembuktian apabila terjadi perselisihan.

Walaupun untuk beberapa perjanjian tertentu, apabila bentuk tertulis itu tidak

dilakukan, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, pada zaman sekarang ini

perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, dalam bentuk akta bawah tangan

atau akta otentik yang dibuat sebagai alat pembuktian.85

Adapula untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang

menentukan lain mengenai suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu

tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah, misalnya perjanjian kerja waktu

tertentu. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidak hanya semata-mata

merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya

perjanjian itu sendiri.

(13)

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Asas-asas hukum dalam perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo,

adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar belakang dari

peraturan hukum yang konkrit, yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat

diketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut.86

Di dalam membuat perjanjian, terdapat 10 (sepuluh) asas yang harus

diperhatikan, antara lain:87

a. Asas Konsensualisme.

Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1

KUH Perdata. Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya

kesepakatan kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan oleh para

pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga

disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

b. Asas Kebebasan Berkontrak.

Dalam Pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan

kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,

mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/

86 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1991), hlm. 97.

(14)

pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu

tertulis atau lisan.

c. Asas Kepercayaan.

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak

lain,menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu

sama lain akan memegang janjinya dengan kata lain akan memenuhi

prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka

perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan kedua belah pihak, dengan

kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya untuk keduanya

prrjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

d. Asas Kepribadian.

Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak

secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan

kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak

dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang

dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

e. Asas Itikad Baik.

Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3

BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur

dan Debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan

kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para

(15)

Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik

nisbi dan itikad baik mutlak. Itikad baik nisbi adalah orang memperhatikan

sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan itikad mutlak,

penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang

objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut

norma-norma yang objektif.

f. Asas Persamaan Hukum.

Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat dan

tidak dibedabedakan baik dari warna kulitnya,bangsa.kekayaan,jabatan

dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini

dan mengharuskan kedua pihak untuk saling menghormati satu sama lain

sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

g. Asas Keseimbangan.

Suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan

pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal di

dalam KUH Perdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang

individualism pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain

pihak.88

h. Asas Pacta Sunt Servanda.

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian

hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda

merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

(16)

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya

sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW

yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang.”

i. Asas Kebiasaan.

Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. Pasal 1347 KUH Perdata,yang

dipandang sebagai bagian dari perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa

saja yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam

kebiasaan dan lazim diikuti.

j. Asas Kepatutan.

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata.Asas

kepatutan di sini barkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.Asas

ini merupakan ukuran tentang hubungan yang ditentukan juga oleh rasa

keadilan masyarakat.89

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Sebuah perjanjian yang telah memenui syarat dan sah, mengikat

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar

keberadaan suatu perjanjian diakui sebagai undang-undang bagi para pihak,

89 Efendi Pakpahan, ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN,

(17)

maka harus dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

undang-undang.90

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya suatu perjanjian

adalah:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

Sepakat berarti adanya penyesuaian kehendak antara kedua belah

pihak setuju mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Berarti apa yang

dikehendaki oleh pihak satu juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Para

pihak menghendaki sesuatu secara timbal balik. Yang merupakan teori

dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori “penawaran dan

penerimaan”. Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya suatu

kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari

salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran (acceptance) oleh

pihak lain dalam kontrak tersebut.91 Teori ini diakui secara umum di setiap

sistem hukum, sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan

di negara-negara yang menganut sistem hukum common law.

Ada pula perjanjian yang untuk sahnya diperlukan bentuk tertentu.

Jika bentuk ini tidak dipenuhi, maka perjanjiannya batal demi hukum.

Pasal 1321 KUH Perdata juga menerangkan bahwa apabila perjanjian

didapat karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan maka perjanjian tersebut

mengalami cacat hukum. Cacat hukum yang dimaksud diterangkan dalam

Pasal 1324 KUH Perdata, antara lain:

90Ibid., hlm. 7

(18)

1) Paksaan (Dwang)

Paksaan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

perbuatan karena takut dengan ancaman atau dibawah ancaman

baik ancaman secara fisik maupun ancaman secara psikis dan

rohani.

2) Kesesatan atau Kekhilafan (Dwaling)

Yaitu keadaan dimana masing-masing pihak saling tersesat

terhadap objek dari perjanjian atau pernyataan kesesuaian

kehendak dari salah satu pihak tidak sesuai dengan kehendaknya.

Kekhilafan terdapat dua macam antara lain mengenai orangnya dan

mengenai bentuknya yaitu objek perjanjian.

3) Penipuan (Bedrong)

Menurut R. Subekti penipuan terjadi karena apabila salah satu

pihak dengan sengaja mmberikan keterangan-keterangan yang

tidak benar disertai tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya

agar memberikan perijinannya.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pada umumnya syarat sahnya suatu perjanjian adalah apabila

dibuat oleh orang yang sudah cakap hukum, artinya orang yang sudah

dewasa dan sehat akal pikirannya. Berdasarkan pasal 330 KUH Perdata,

seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari

(19)

untuk membuat perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1330 KUH

Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang, yang

menyatakan bahwa pasal-pasal 108 dan 110 KUH Perdata

tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan

hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin

atau bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak

ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia. 92

c. Adanya objek perjanjian

Suatu perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan,

artinya apa yang diperjanjikan harus secara tegas mengenai suatu hal,

karena sesuatu yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan atau

dinikmati, kalau berupa barang misalnya dapat dinikmati, atau dapat

ditentukan dan dihitung, karena hal ini menyangkut hak dan kewajiban

kedua belah pihak jika terjadi perselisihan. Jika tidak, maka perjanjian itu

(20)

batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang

dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan

berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di

kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh

undang-undang secara tegas.

d. Adanya sebab yang halal

Sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang,

tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Suatu

perjanjian yang dibuat dengan sebab yang tidak halal, tidak sah menurut

hukum.

C. Tinjauan Umum Pengertian Pelaku Usaha (Developer)

Developer atau sering disebut dengan pengembang adalah perusahaan

yang menjalankan bisnisnya untuk membangun sebuah kawasan dengan penataan

infrastruktur dan fasilitas yang terdesain dengan baik, melalui analisis desain yang

memperhatikan pengembangan ruang terbuka, fasilitas umum, sarana dan

prasarana, sistem transportasi, serta perencanaan pertumbuhan kawasan

dikemudian hari.93

Tujuan umum pengembang adalah menyiapkan sebuah hunian atau produk

kelompo bangunan yang siap untuk digunakan baik sebagai hunian, bisnis, atau

kavling-kavling yang intinya dapat menarik minat para konsumen, bahkan

beberapa pengembang memberi jasanya hingga memfasilitasi urusan perijinan dan

(21)

urusan jual beli, serta melakukan kerjasama dengan bank pemberi kredit agar

konsumennya mudah mendapatkan kredit.

Secara otentik pengertian pelaku usaha ditemukan dalam Pasal 1 angka (3)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam

pasal tersebut dinyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pengertian

pelaku usaha dalam UU No. 8 Tahun 1999 ini sama dengan pengertian pelaku

usaha yang terdapat dalam Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.94

Unsur-unsur definisi pelaku usaha adalah sebagai berikut:95

1. Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:

a) Orang perorangan, yaitu setiap individu yang melakukan kegiatan

usahanya secara seorang diri.

b) Badan usaha, yaitu kumpulan individu yang secara bersama-sama

melakukan kegiatan usaha. Selanjutnya badan usaha dikelompokkan ke

dalam dua kategori, yaitu badan hukum, yang menurut hukum merupakan

94 Semua pengembang diatur oleh Pembangunan Perumahan (Pengendalian dan Perizinan) ketika mereka melakukan pembangunan perumahan yang melibatkan pembangunan lebih dari empat akomodasi perumahan. (Azlinor and Rozanah AB. Rahman, Journal of Economic and Management 2 (1) : 141-156 (2008) ISSN 1823 – 836), http://www.econ.upm.edu.my/ijem/vol2no1/bab7.pdf, diakses pada tanggal 30 Oktober 2016, Pukul 16:48 WIB

(22)

badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum

adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi. Kemudian, badan usaha

yang bukan badan hukum dapat dikelompokkan ke dalam kategori seperti

firma atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara

insidentil. Badan usaha tersebut harus memenuhi kriteria yakni, didirikan

dan berkedudukan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia,

melakukan kegiatan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.

2. Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.

3. Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi, bukan

hanya pada bidang produksi.

Sebagai suatu bentuk perjanjian yang tunduk kepada ketentuan umum

yaitu buku III khususnya Bab II dan IV KUH Perdata, berbagai maam hak,

kewajiban, serta pertanggungjawaban yang dilahirkan dari perjanjian-perjanjian

periklanan tidaklah boleh menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yaitu asas kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang

berlaku di dalam masyarakat. Salah satu hukum yang harus ditaati oleh pelaku

usaha periklanan adalah sebagaimana yang diatur dalam UUPK.96

Disamping adanya hak dan kewajiban pelaku usaha, adapula tanggung

jawab yang harus dipikul oleh developer sebagai bagian dari kewajiban yang

mengikat kegiatannya dalam berusaha, sehingga diharapkan adanya kewajiban

developer (pelaku usaha) untuk selalu berhati-hati dalam memproduksi barang

dan jasa yang dihasilkan. Tanggung jawab yang dimaksud sebagai upaya untuk

(23)

melindungi konsumen atas pemakaian produk yang dihasilkan atau

diperdagangkan pelaku usaha, dimana pelaku usaha harus bertanggung jawab atas

produk yang dihasilkan atau diperdagangkan, tanggung jawab tersebut dikenal

dengan tanggung jawab produk.97

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen diatur secara khusus dalam Bab VI, Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui

tanggung jawab pelaku usaha meliputi:

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan.

2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran.

3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini maka adanya produk barang dan/atau jasa yang rusak

bukan merupakan satu-satunya pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti

bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami

konsumen.

D. Tinjauan Umum Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer

(Inggris-Amerika), atau consument/ konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau

consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata

consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.

Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen

(24)

kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia

memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 98

Sebagai suatu konsep, konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh

tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki

undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada

konsumen. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula

menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan

perlindungan kepada konsumen.99

Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen selanjutnya disingkat UUPK, pengertian Konsumen

adalah “Setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan’’.

A.Z. Nasution mengartikan konsumen adalah “Setiap pengguna barang

atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak

untuk memproduksi barang/jasa lain atau memperdagangkannya kembali

(konsumen akhir)”. Unsur-unsur definisi konsumen adalah sebagai berikut:100

1. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan atau jasa. Istilah orang sebetulnya

menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut

98 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen., (Bandar Lampung : Universitas lampung, 2007), hlm. 54.

99 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hlm. 22.

(25)

natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).

Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih

luas daripada badan hukum.

2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata

pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).

Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan

tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan atau jasa yang dipakai tidak

serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak

selalu harus memberikan presentasinya dengan cara membayar uang untuk

memperoleh barang dan atau jasa.

3. Barang dan atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan atau jasa, sebagai pengganti

terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah

berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada

pengertian barang. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik

berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik

dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan

atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen.

(26)

Barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus

tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini,

syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya,

perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan

transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis

transaksi konsumen tertentu, seperti future trading, keberadaan barang yang

diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain,

Makhluk Hidup Lain Transaksi konsumen ditujukan untuk

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur

yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian

kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan

keluarga, tetapi juga barang dan atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain

atau di luar diri sendiri dan keluarganya, bahkan untuk makhluk hidup lain,

seperti hewan dan tumbuhan.

6. Barang dan atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya

konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan

perlindungan konsumen di berbagai negara. Hal tersebut cukup baik untuk

mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam

kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Sementara pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1)

(27)

memberi perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng

untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha

hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.101

Menurut A.Z. Nasution hukum perlindungan konsumen adalah hukum

konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan

juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.102

Dalam ilmu ekonomi ada dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan

konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka

membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan.

Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir. Yang dimaksud di dalam

UUPK sebagai konsumen adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir

memperoleh barang dan atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk

digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan

makhluk hidup lain.103

E. Pengaturan Tentang Periklanan Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

Frank Jefkins dalam pendapatnya menyatakan bahwa periklanan memiliki

tujuan agar dapat membujuk konsumen untuk membeli suatu produk yang

101 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 1.

(28)

ditawarkan oleh pelaku usaha (developer). Institute of Practioners in Advertising

(IPA) mendefinisikan iklan sebagai suatu kegiatan yang mengupayakan suatu

pesan penjualan yang sepersuasif mungkin kepada calon pembeli yang paling

tepat atas suatu produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang

semurah-murahnya. Fred Danzig seorang editor Advertising Age pernah mengatakan bahwa

iklan dapat membuat konsumen membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan atau

diinginkannya, bahkan si konsumen tersebut rela membayar dengan harga yang

lebih mahal. Kemudian, dikenal pula istilah advertorial, yaitu iklan dengan gaya

penulisan redaksi, dengan ketentuan khusus dari masing-masing media. Iklan ini

biasanya ditulis oleh redaktur media yang bersangkutan berdasarkan briefing dari

Advertiser. Setelah mendapat persetujuan dari Advertiser, iklan tersebut baru

dimuat di media dengan ketentuan harus mencantumkan kata “Advertorial”.104

American Marketing Association memberikan definisi pemasaran

(marketing) sebagai berikut:

“Marketing is the activit, set of institutions, and processes for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for

customers, clients, partners, and society at large”.105

Definisi diatas dapat diartikan sebagai suatu aktivitas, serangkaian

institusi, dan proses menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan

mempertukarkan tawaran yang bernilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan

masyarakat.

104Sigit Santosa, “Advertising Guide Book”, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 3.

(29)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun juga

mengatur tentang periklanan, namun dalam UURS ini tidak menggunakan kata

“iklan” atau “periklanan” melainkan menggunakan kata “pemasaran”. Dalam

Bagian Ketujuh UURS membahas tentang “Pemasaran dan Jual Beli Rumah

Susun”. Dalam Pasal 42 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

Tentang Rumah Susun menyatakan:

“Pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan”.

Dalam Pasal 42 angka (1) UURS ini memberikan kebebasan kepada

pelaku pembangunan yang dalam hal ini adalah developer untuk dapat melakukan

pemasaran (marketing) sejak dari tahap perencanaan pembangunan sampai kepada

telah selesainya pembangunan atas rumah susun itu sendiri.

Selanjutnya Pasal 42 angka (2) UURS juga memberikan bahasan lanjutan

mengenai pemasaran rumah susun, dimana pasal ini juga menyatakan bahwa

dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun

dilaksanakan, pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus memiliki:

a. kepastian peruntukan ruang;

b. kepastian hak atas tanah;

c. kepastian status penguasaan rumah susun;

d. perizinan pembangunan rumah susun; dan

e. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. 106

Dalam Penjelasan dari Undang-Undang Rumah Susun ini memberikan

penjelasan mengenai syarat-syarat bagi pelaku usaha yang hendak melakukan

(30)

pemasaran sebelum pembangunan, yang mana bahwa kepastian peruntukan ruang

ditunjukkan melalui surat keterangan rencana kota yang sudah disetujui pemerintah

daerah, kepastian hak atas tanah ditunjukkan melalui sertifikat hak atas tanah,

kepastian status kepemilikan antara SHM sarusun atau SKBG sarusun harus

dijelaskan kepada calon pembeli yang ditunjukkan berdasarkan pertelaan yang

disahkan oleh pemerintah daerah, izin pembangunan rumah susun ditunjukkan

melalui IMB, dan yang terakhir yang dimaksud dengan “jaminan atas pembangunan

rumah susun” dapat berupa surat dukungan bank atau nonbank.

Kemudian dalam Pasal 42 angka (3) UURS memberikan pengaturan

bahwa dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun,

segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan dan/atau agen

pemasaran mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bagi para

pihak. Sehingga dalam hal ini konsumen dapat meminta suatu

pertanggungjawaban kepada pelaku usaha apabila terjadi ketidaksesuaian terhadap

apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak di dalam PPJB. Di dalam Pasal 42

angka (3) UURS ini juga memberikan pengaturan kepada pelaku usaha dan/atau

agen pemasaran dalam memasarkan produknya kepada konsumen agar senantiasa

memiliki itikad baik.

Kedudukan PPJB itu sendiri dalam perspektif hukum kontrak memberikan

pandangan bahwa berdasarkan teori lahirnya perjanjian, maka PPJB itu sendiri

termasuk kepada perjanjian yang bersifat konsensuil atau mengenal asas

konsensualisme (Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata), dimana perjanjian lahir saat

(31)

barang belum diserahkan dan harga juga belum dibayarkan (Pasal 1458 KUH

Perdata).107

F. Kedudukan Iklan Dalam Jual Beli Apartemen

Iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk atau jasa yang

disampaikan melalui media, baik media elektronik ataupun cetak yang ditujukan

kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Iklan dapat dilukiskan sebagai

komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli.

Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan suatu “pesan”, dengan

demikian menimbulkan kesan bahwa periklanan bermaksud memberikan

informasi yang tujuan terpentingnya adalah memperkenalkan sebuah produk atau

jasa.

Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan

dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli tidak

hanya dapat dilakukan secara berhadapan langsung antara penjual dengan

pembeli, tetapi juga dapat dilakukan secara terpisah antara penjual dan pembeli,

sehingga mereka tidak berhadapan langsung, melainkan transaksi dilakukan

melalui media internet/secara elektronik. Dalam kontrak jual beli para pelaku

yang terkait didalamnya yaitu penjual atau pelaku usaha dan pembeli yang

berkedudukan sebagai konsumen memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda.

Sebelum masuk kepada penyusunan sebuah kontrak, dikenal satu tahapan

dimana para pihak dapat membuat suatu nota kesepahaman atau juga biasa disebut

(32)

dengan MoU (Memorandum of Understanding) atau bisa juga disebut

pra-kontraktual. MoU ini pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di

Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU

sering digunakan oleh pihak-pihak yang berkaitan.

MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek

hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang

ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya

merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan

kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum

membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada

nantinya.108

MoU didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai bentuk Letter of

Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:109

“A written statement detailing the preliminary understanding of

parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a

commitment has been made...”

Dengan terjemahan bebasnya:

“Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau

perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak

menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan.

108 Perbedaan antara Perjanjian dengan MoU,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514689463d4b2/perbedaan-antara-perjanjian-dengan-mou, diakses pada tanggal 16 Desember 2016, Pukul 10:38 WIB.

(33)

Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...”

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal

sebagai berikut:

1. MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);

2. Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;

3. Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;

4. MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban

yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan

5. Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak

lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.

Dalam jual beli apartemen, terdapat suatu sarana periklanan yang

digunakan oleh pelaku usaha (developer) dalam mempromosikan apartemen yakni

dapat berupa brosur dan lain sebagainya. Kedudukan iklan ini dipandang sebagai

suatu nota kesepahaman atau biasa disebut MoU antara pelaku usaha (developer)

dengan konsumen. Kedudukan iklan ini dipandang sebagai dasar bagi konsumen

untuk membeli produk apartemen yang ditawarkan oleh pelaku usaha (developer).

Periklanan dalam jual beli apartemen juga diatur dalam dalam Pasal 42

UURS, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaku usaha dapat melakukan

pemasaran produk apartemennya sebelum pembangunan apartemen tersebut

dilaksanakan, akan tetapi pelaku usaha wajib memiliki kepastian peruntukan

(34)

perizinan pembangunan rumah susun dan jaminan atas pembangunan rumah susun

dari lembaga penjamin. Selain itu ditegaskan pula bahwa segala sesuatu yang

dijanjikan oleh pelaku usaha (developer) dan/atau agen pemasaran sebelum

apartemen dibangun, akan mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli

(PPJB) bagi para pihak.

Keberadaan iklan sendiri juga dapat menjadi pedoman bagi konsumen

untuk menempuh jalur hukum apabila setelah dilakukan jual beli ternyata produk

yang dibeli atau apartemen yang dibeli tersebut tidak sesuai dengan apa yang

ditawarkan dalam sarana yang digunakan oleh pelaku usaha dalam memasarkan

produknya, misalnya brosur dan lain sebagainya. Dalam Pasal 8 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai beberapa perbuatan yang dilarang

dilakukan oleh pelaku usaha/penjual, antara lain pelaku usaha/penjual dilarang

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yangtidak sesuai

dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi

penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Hal inilah yang dapat menjadi dasar bagi

konsumen dalam memperjuangkan haknya baik secara litigasi maupun non

(35)

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN APARTEMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN IKLAN OLEH PELAKU USAHA (DEVELOPER)

A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Proses Non-Litigasi

Upaya hukum non-litigasi adalah upaya hukum yang dilakukan di luar

pengadilan. Untuk mengatasi keberlikuan proses peradilan, UUPK memberi jalan

alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.110

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai

kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan

tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali suatu kerugian yang diderita

oleh konsumen.111 Secara umum, upaya hukum non-litigasi sendiri lebih digemari

karena dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan

bisnis yang sudah terjalin antara para pihaknya. Selain itu, ada beberapa alasan

yang mendasari orang-orang untuk lebih memilih upaya hukum non-litigasi,

diantaranya:112

1) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

2) Biaya perkara yang mahal

3) Pengadilan pada umumnya tidak responsif

4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

5) Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

110 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. Kedua, Ed. Revisi, (Jakarta : PT. Grasindo, 2004), hlm. 175.

111 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Cet. Pertama, (Banjarmasin : FH Unlam Press, 2008), hlm. 86.

(36)

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Antara Para Pihak (Mediasi) Seperti suatu sengketa lainnya, dalam hal sengketa konsumen

apartemen dimana merupakan akibat dari informasi yang menyesatkan yang

dilakukan oleh pelaku usaha (developer), para pihak dapat mengupayakan

penyelesaian sengketa secara damai. Dasar hukum penyelesaian sengketa

secara damai ini diatur dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undag Perlindungan

Konsumen, yang menyatakan:

“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal

45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen ini, memberikan kemungkinan

diadakanannya / dilakukannya penyelesaian sengketa secara damai oleh para

pihak yang terkait sengketa, yakni antara pelaku usaha (developer) dengan

konsumen apartemen itu sendiri, tanpa melalui pengadilan atau badan

penyelesaian sengketa konsumen dan sepanjang tidak bertentangan dengan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal

tersebut dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan agar menggunakan

penyelesaian sengketa secara damai terlebih dahulu oleh kedua belah pihak

yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan

Konsumen dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian

sengketa secara damai merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih

(37)

memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) atau badan peradilan.113

Penyelesaian sengketa secara damai sendiri dapat ditempuh melalui

mediasi. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian di luar pengadilan

ini, disamping sudah dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia, juga

merupakan salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bentuk penyelesaian

sengketa alternatif yang ada.114 Mediasi merupakan cara penyelesaian yang

fleksibel dan tidak mengikat pihak netral, yaitu mediator, yang bertugas

mempermudah negosiasi antara para pihak untuk membantu mereka dalam

mencapai kompromi/kesepakatan.115

Jasa yang diberikan oleh mediator tersebut adalah menawarkan

dasar-dasar penyelesaian sengketa, namun tidak memberikan putusan atau pendapat

terhadap sengketa yang sedang berlangsung. Meskipun kekurangan kekuatan

mengikat, karena tidak memberikan putusan dalam proses mediasi, akan tetapi

keterlibatan mediator akan mengubah dan mempengaruhi dinamika

negosiasi.116

Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara

pendekatan penyelesaian diarahkan kepada kerja sama untuk mencapai

kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan

113 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen

Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 99.

114 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Cet. Pertama, Ed. Pertama, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hlm. 163.

(38)

fakta dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan

kebenaran masing-masing.117

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen

1999 dan sejumlah Undang-Undang lainnya sebagai pelaksanaan reformasi

hukum, telah dikembangkan alternatif penyelesaian sengketa, baik dengan

menggunakan Pengadilan maupun bukan Pengadilan.118 Di luar peradilan

umum UUPK membuat terobosan dengan memfasilitasi para konsumen yang

merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar

peradilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).119

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu

lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah pada daerah tingkat II

Kabupaten/Kota guna membantu penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Sebagai badan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, putusan

BPSK bersifat final dan mengikat, tanpa upaya banding dan kasasi.120

Untuk menangani dan menyelesaikan suatu sengketa konsumen, BPSK

akan membentuk majelis yang harus berjumlah ganjil, paling sedikit 3 (tiga)

orang yang mewakili semua unsur (pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha)

117 Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 392-393.

118 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen & Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cet. Ketiga, 2009), hlm. 24.

119 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2009), hlm. 126.

(39)

serta dibantu oleh seorang panitera. Setelah gugatan diterima, BPSK wajib

mengeluarkan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu)

hari kerja.121 Selain itu dalam pasal 56 UUPK juga mengatur tentang batasan

waktu pelaksanaan putusan yakni paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak

penerimaan putusan BPSK.

Pasal 52 UUPK sendiri mengatur mengenai tugas dan wewenang

BPSK, diantaranya sebagai berikut:

a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam Undang-Undang ini;

e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari

konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan

konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang

yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini;

(40)

i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan

huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian

sengketa konsumen;

j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti

lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan Undang-Undang ini.

Namun, kewenangan BPSK sendiri sangat terbatas. Lingkup sengketa

yang berhak ditanganinya hanyalah mencakup pelanggaran Pasal 19 angka

(2), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Selain itu, sanksi yang dijatuhkan hanya

berupa sanksi administratif.122 Pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya yang

bernuansa pidana, sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan.123

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menentukan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa

konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat

122 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab XIII, Pasal 60.

(41)

ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu

pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.124

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Proses Litigasi

Upaya hukum litigasi adalah upaya hukum yang dilakukan melalui jalur

peradilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada

ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia.125 Pasal 45 ayat (1) UUPK

menyatakan “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan

umum.”126

Dalam kasus perdata di pengadilan negeri, ada 4 (empat) kelompok

penggugat yang dapat menggugat atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku

usaha, sebagai berikut:127

1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

3) Lembaga perlindungan konsumen yang swadaya masyarakatnya memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran

dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu

adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan

sesuai dengan anggaran dasarnya;

124 Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hlm. 103

125 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Cet. Pertama, (Bandung : Nusa Media, 2010), hlm. 86.

126 Shidarta, Op, cit., hlm. 168

(42)

4) Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban

yang tidak sedikit.

Pada klasifikasi kedua, dipaparkan bahwa gugatan dapat dilakukan oleh

sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Ketentuan ini

berbeda dengan gugatan dengan mewakilkan kepada orang lain sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 123 angka (1) HIR. Penjelasan pasal 46 UUPK menyebutkan

gugatan kelompok ini dengan istilah class action.128

Pasal 45 angka (1) dan pasal 46 angka (2) UUPK memang terkesan hanya

memperbolehkan gugatan konsumen diajukan ke lingkungan peradilan umum.

Pembatasan ini jelas menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin

menyentuh kompetensi peradilan tata usaha negara. Sekalipun demikian, masih

terbuka penafsiran lain melalui celah yang dibuka oleh Pasal 46 angka (2) UUPK.

Pasal ini menunjuk gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, LPKSM,

dan pemerintah, harus diajukan ke peradilan umum. Sementara itu, untuk gugatan

yang diajukan oleh konsumen/ahli warisnya secara individual tidak ditetapkan

lingkungan peradilannya.129

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen Apartemen Terhadap Penyalahgunaan Iklan Oleh Pelaku Usaha (Developer)

Informasi yang tidak benar dan tidak jujur tentu saja dapat merugikan pihak

konsumen apartemen. Pelaku usaha menyalahgunakan iklan sebagai sarana

(43)

promosi dalam menawarkan produknya (apartemen) kepada konsumen.

Penyalahgunaan iklan yang dilakukan pelaku usaha dengan mempergunakan iklan

akan berpotensi dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Sebagai bagian

dari praktek bisnis tidak sehat, iklan menyesatkan tidak terdapat perumusannya

dalam peraturan perundang-undangan berbagai negara, termasuk di Amerika

Serikat, Australia, maupun di New Zealand. Sehingga sulit untuk memperoleh

kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan iklan menyesatkan.130

Demikian pula FTC, sebagai salah satu badan pengawasan periklanan di

Amerika Serikat, tidak memberikan pengertian dengan tegas mengenai iklan

menyesatkan. Hanya dalam The FTC’s Deception Policy Statement, dijelaskan

bahwa:

An Ad is deceptive if it contains a statement – or omits information – that:

1. is likely to mislead consumers acting reasonably under the circumstances; and

2. is “material” –that is important to a consumer’s decision to buy or use

the product”.

Merujuk panduan FTC (Federal Trade Commission) tersebut dapat

diterangkan bahwa suatu iklan mengandung misrepresentation jika pernyataan

eksplisit atau implisit bertolak belakang dengan fakta, atau jika informasi penting

untuk mencegah terjadinya misleading dalam suatu praktek, klaim, representasi,

atau kepercayaan yang reasonable tidak dipaparkan (omission), sehingga

konsumen rasional memperoleh kesimpulan yang salah atau menyesatkan. Selain

itu, fakta penting tersebut bersifat “material” karena penting untuk dijadikan

(44)

panduan bagi konsumen untuk memutuskan apakah akan membeli atau

mempergunakan produk yang diiklankan.131

Seperti halnya Amerika Serikat, New Zealand, maupun Australia,

Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), di Indonesia tidak merumuskan secara

tegas mengenai pengertian penyalahgunaan iklan ataupun pengertian iklan

menyesatkan, namun dalam Pasal 10 Bab IV Perbuatan yang Dilarang Bagi

Pelaku Usaha UUPK, menegaskan:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang menawarkan. Mempromosikan,

mengiklankan atau membuat penyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”.

Tampaknya, apa yang dirumuskan dalam Pasal 10 UUPK tersebut

berkaitan dengan adanya “fakta material” dalam suatu iklan, di mana pernyataan

menyesatkan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran

potongan harga, hadiah, maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa dapat

mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan.

Menurut Milton Handler, Iklan Menyesatkan (False Advertising) adalah

“jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk

membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut

merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan.132

Bentuk-bentuk penyalahgunaan iklan sendiri tidak diatur secara khusus

dalam UUPK, namun UUPK memberikan pengaturan mengenai iklan bagi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Oleh karena itu, peneliti memilih media surat kabar Kompas sebagai media untuk melihat tingkat keobjektifan media terhadap pemberitaan sosok Ahok dan Rizieq

Tes kesamaptaan bagi pejabat fungsional Polisi Kehutanan yang akan menduduki jabatan fungsional setingkat lebih tinggi dan Pegawai Negeri Sipil dari jabatan lain yang akan

A vizsgált mutatók alapján a telepeket rangsoroltuk az SRD (Sum of Ranking Difference) módszerrel.. Az SRD módszert Héberger (2010) fejlesztette ki, és a módszer

Eksplorasi Tumbuhan Beracun Sebagai Biopestisida Di Hutan Lindung Desa Habincaran Dan Desa Hutagodang Kecamatan Ulu Pungkut Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.. Di

IMPLEMENTASI PROGRAM HOMESCHOOLING UNTUK ANAK USIA DINI DI SABUMI–Homeschooling Muslim Nusantara BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Pembelajaran keterampilan menulis teks anekdot pada siswa kelas X Usaha Perjalanan Wisata SMK Negeri 6 Surakarta memiliki proses pembelajaran yang kurang sesuai dengan