BAB III KEDUDUKAN ALASAN KEADAAN SULIT
B. Penyelesaian Sengketa Kontrak Karena Alasan
menerapkan clausula rebus sic stantibus (hardship), penerapan ini pun semaking
berkembang. Namun, pada sekitar abad ke XVII, seiring dengan berkembangnya
paham liberalisme yang sepaham dengan aliran Laisse faire
atau lassez passe, maka
muncul perlawanan yang dilakukan oleh kaum borjuis terhadap klausula tersebut
117
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase (Jakarta : PT.
karena ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam pelaksanaan kontrak bisnis yang
dijalankan oleh kaum borjuis akibat menyebarluaskan konsep rebus sic stantibus,
sehingga pamornya sangat memudar dan secara perlahan digantikan oleh paham
pacta sunt servanda. Akan tetapi, setelah pecahnya perang dunia I, ahli-ahli hukum
dari Eropa mencari justifikasi terhadap beban yang sangat berat yang ditanggung oleh
promissors
dalam pelaksanaan kontrak
dalam kondisi
perang tersebut.
Konsekuensinya, prinsip
rebus sic stantibus
kembali mengambil peranan yang
penting dalam sistem hukum di beberapa negara, terutama negara-negara dengan
sistem common lawdengan istilah-istilah yang berbeda.
Prinsip keadaan sulit menjelma menjadi bermacam istilah di beberapa sistem
seperti
hardship rule
(PECL
dan
UNIDROIT)
118, essesivamente onorosa
(Italy),
wegfall des geschaftsgrundlage
(Jerman),
imprevision
(Prancis),
impracticability
(AS) and frustration of purpose(Inggris). Selain itu, ternyata prinsip ini juga diadopsi
oleh konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian (The Vienna Convention
on the Law of Treaties, 1969) khususnya dalam Pasal 61 dan Pasal 62 yang masing-
masing mencakup hal-hal tentang kesulitan dalam pelaksanaan perjanjian dan
perubahan keadaan yang bersifat mendasar dalam pelaksanaan perjanjian.
UNIDROIT
principles (Principles of International Commercial Contracts,
1994) sebagai acuan dalam perancangan kontrak internasional mengadopsi prinsip
rebus sic stantibusini pada Section2 di bawah titel hardship. Hardshipadalah suatu
118
PECL (Principles of European Contract Law, 1998) dan UNIDROIT (Principles of
keadaan ketika ekuilibrium atau keseimbangan kontrak secara fundamental berubah
dikarenakan biaya pelaksanaan kontrak oleh promissor (debitur) meningkat secara
signifikan atau nilai dari performa yang diterima oleh promisee
(kreditur) menjadi
kecil secara signifikan (Pasal 6.2.2.
UNIDROIT principles). Selanjutnya dari
pengertian hardship dalam UNIDROIT principles tersebut, terdapat 4 persyaratan
yang dikategorikan sebagai suatu keadaan sulit, yaitu :
1.
keadaan (yang dimaksud dalam pengertian hardship tersebut) yang muncul atau
baru diketahui oleh pihak yang tidak diuntungkan pada saat pelaksanaan atau
penutupan kontrak;
2.
keadaan tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya secara rasional atau secara
semestinya akan terjadi oleh pihak yang tidak diuntungkan oleh keadaan itu pada
saat pelaksanaan atau penutupan kontrak;
3.
keadaan tersebut di luar kendali dari pihak yang tidak diuntungkan tersebut; dan
4.
risiko dari keadaan tersebut tidak diprediksi atau diperkirakan sebelumya oleh
pihak yang tidak diuntungkan tersebut.
Berpijak dari definisi hardship
yang diberikan oleh UNIDROIT principles
tersebut di atas beserta empat persyaratannya, maka setidaknya terdapat tiga unsur
untuk menentukan ada tidaknya hardship yaitu:
1191.
perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental (alteration of equilibrium);
2.
meningkatnya biaya pelaksanaan kontrak (increase in cost of performance);
119
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. (Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008), hlm. 254.
3.
menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang diterima salah satu pihak (decrease
in value of the performance received by one party);
Pengadilan
120memainkan peranan yang penting dalam hal timbulnya suatu
keadaan yang mengarah ke
rebus sic stantibus
namun para pihak tidak mau
merenegosiasikan syarat-syarat dalam kontrak yang mereka buat. Hal itu setidaknya
tersirat dalam Pasal 6.2.3 UNIDROIT principles
yang menegaskan bahwa dalam hal
para pihak tidak mencapai kata sepakat untuk merenegosiasikan kontrak di antara
mereka sebagai dampak timbulnya keadaan rebus sic stantibus, maka mereka bisa
membawa kasus tersebut ke pengadilan. Jika pengadilan berpendapat bahwa keadaan-
keadaan sebagaimana dalam definisi rebus sic stantibuseksis, maka pengadilan dapat
mengambil setidaknya dua putusan yaitu :
1.
Mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti
Penghentian kontrak dalam hal munculnya keadaan sulit (hardship) tidak
tunduk pada keadaan wanprestasi
121, maka akibatnya proses pemeriksaaan perkara
mungkin akan menyimpang dari proses pengakhiran kontrak pada umumnya. Dengan
demikian, pengakhiran kontrak harus dilakukan pada tanggal dan atas syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pengadilan.
120
Pengadilan disini dimaksudkan penulis dalam konteks yang lebih luas khususnya pengadilan perdata pada sistem hukum nasional masing-masing negara dan juga dalam konteks UNIDROIT merujuk ke ICJ serta pengadilan arbitrase dan PECL merujuk ke European Court of Justice.
121
Taryana Soenandar, Tinjauan Atas Beberapa Aspek Hukum Dari Prinsip-Prinsip
UNIDROIT dan CISG”. Dalam Miriam Darus Badrulzaman, dkk. 2001. “ Kompilasi Hukum Perikatan
Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun” (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), hlm. 212.
2.
Menyesuaikan kontrak dengan keadaan berjalan untuk mengembalikan
keseimbangannya
Adapun hal-hal alternatif yang dipilih oleh pengadilan, maka pengadilan akan
menentukan pembagian yang adil atas kerugian-kerugian di antara para pihak.
Tindakan ini dapat mencakup perubahan harga atau tidak, bergantung dari sifat
kesulitan dari peristiwa itu sendiri. Namun, jika perubahan itu mencakup harga, maka
perubahan itu tidak perlu harus mencerminkan perbaikan secara sepenuhnya yang
dialami
akibat
perubahan
keadaan
tersebut.
122Misalnya
pengadilan
mempertimbangkan sejauh mana salah satu pihak mendapatkan risiko dan
sejauhmana para pihak yang berhak menerima pelaksanaan dapat memperoleh
manfaat dari pelaksanaan kontrak itu.
Prinsip yang dianut oleh
PECL
juga memberikan kesempatan kepada
pengadilan untuk mengambil putusan dalam beberapa bentuk ketika muncul kesulitan
(rebus sic stantibus/hardship) pada kontrak yang mengikat para pihak.
123Bentuk-
bentuk dimaksud yaitu :
1.
Menolak permohonan untuk menegosiasikan kontrak apabila dampak yang
ditimbulkan oleh renegosiasi itu lebih banyak ruginya daripada manfaatnya.
2.
Memperpanjang jangka waktu pelaksanaan kontrak.
3.
Menambah/mengurangi harga yang diperjanjikan.
4.
Menambah/mengurangi kuantitas kontrak.
122 Ibid.
123
Ole Lando dan Hugh Neale (ed), Principles of European Contract Law (Kluwer Law
5.
Memerintahkan pembayaran kompensasi
6.
Memerintahkan penundaan pelaksanaan dalam hal keadaan yang melingkupi
pelaksanaan kontrak tersebut semakin memburuk.
7.
Mengurangi prestasi yang diterima.
8.
Mengakhiri kontrak antara para pihak tersebut.
Putusan
pengadilan
yang
memerintahkan
untuk
mengakhir
atau
memperbaharui
kontrak dalam hal perubahan keadaan yang radikal dalam
pelaksanaan kontrak (rebus sic stantibus) haruslah merupakan putusan yang bersifat
tindakan yang paling akhir dilakukan.
124Prosedur di pengadilan dalam kasus rebus
sic stantibus
haruslah difungsikan sebagai alat untuk menyelesaikan secara damai
kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam kontrak dengan memasuki ranah
perundingan. Pengadilan juga bisa mengembalikan persoalan pokok dalam perkara
tersebut kepada para pihak untuk dinegosiasikan, bahkan dengan menunjuk mediator.
Jika tercapai kata mufakat, maka pengadilan akan memerintahkan untuk
memodifikasi kontrak sebagaimana kesepakatan, namun risiko harus ditanggung
bersama. Jika tidak tercapai kata mufakat, maka pengadilan mengambil peran untuk
menentukan nasib akhir kontrak yang dihadang oleh kendala rebus sic stantibusitu.
Peranan hakim yang memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan
persoalan rebus sic stantibus
adalah terutama untuk menginterpretasikan apa yang
dimaksud dengan keadaan sulit (onerous). Sebagai contoh, hakim harus menarik
124
Tri Harnowo, “Asian Economics Crisis as a Supervening Event : Legal and Economic of
Impossibility Doctrine Rebus Sic Stantibus” (Thesis pada program LL.M Law and Economics, Faculty
suatu kesimpulan untuk menjawab apakah tidak dapat terlaksananya suatu perjanjian
karena benar-benar sulit atau tidak mungkin dilaksanakan ataukah sebenarnya ada
alternatif penyelesaian lain. Misalnya eksportir batal mengirim barang yang dipesan
oleh importir karena pengapalan (shipping) barang harus melewati daerah perang
seumpama perang Teluk atau perang Iran-Irak. Beberapa hakim menyatakan bahwa
hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan onerous, karena promissor memiliki alternatif
pelayaran yang tidak harus melalui jalur tersebut.
125Senada dengan peranan tersebut,
hakim di Amerika Serikat misalnya yang memutus dengan UCC harus memberikan
makna atau pengertian dari impracticable
untuk membedakannya dari impossible
sehingga terpenuhi keadaan yang masuk dalam pengertian impracticability.
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa pengadilan hanyalah
difungsikan jika renegosiasi kontrak pada keadaan rebus sic stantibustidak mencapai
titik temu. Penekanannya yaitu apabila timbul keadaan sulit (rebus
sic
stantibus/hardship), maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah negosiasi
ulang oleh para pihak untuk kelanjutan kontrak. Apabila renegosiasi tersebut gagal,
maka barulah pengadilan mengambil peran untuk memodifikasi kontrak itupun
setelah tawaran mediasi oleh pengadilan agar para pihak sendiri yang memodifikasi
kontrak tersebut tidak mencapai kata sepakat.
125 Ibid.