• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghentian Pemenuhan Prestasi dalam Suatu Kontrak Bisnis Akibat Terjadinya Keadaan Sulit (Hardship)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penghentian Pemenuhan Prestasi dalam Suatu Kontrak Bisnis Akibat Terjadinya Keadaan Sulit (Hardship)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

Adi, Rianto. Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta : Garanit, 2004.

Atiyah,P.S. An Introduction To The Law Of Contract, Third Edition, Oxford : Claderon Press,1981.

Abdurrasyid, H. Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : PT.Fikahati Aneska, 2002.

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni, 1994. . Mariam Darus, Asas-Asas Hukum Perikatan. Medan: FH USU,

1970.

Bishop. General Course of Public International Law, Hague Academy of International Law(HAIL), 115/II/1965.

Burnham, Scott J. Drafting Contracts, Second ed. The Michie Company Law Publishes, Charlottesville, Virginia, 1993.

Dely, Philip. Formation of Making Contract. Erasmus : University Press, 2004. Djojodirjo, Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita,

1982.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Cetakan ke-II. Bandung: PT. Citra Aditya Bekti, 2001.

. Munir. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002. Giorgio Gogiashvili, “Clausula rebus sic stantibus : Dynamics and Statics in

Law”. Georgian Law Review No.9, 2006.

Gautama, Sudargo.Indonesian Business Law. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

(2)

Hartono,Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta : Sinar Grafika, 1997.

Harahap, Yahya. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni, 1986.

Hasan, Madjedi. Pacta Sunt Servanda : Penerapan Asas (Janji Itu Mengikat) dalam Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta : Fikahati Aneska, 2005.

Hasibuan, Natalia Kiki. Tanggung Jawab Perbankan dalam kasus Mis-Selling. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta : Prenada Media, 2009.

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian : Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008.

Kansil. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD Dan KUHPerdata. Jakarta : Sinar Grafika, 1994.

Khairandy, Ridwan. Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama). Yogyakarta : FH UII Press, 2013.

Komariah, Hukum Perdata. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2002. Lando, Ole dan Neale, Hugh (ed), Principles of European Contract Law (Kluwer

Law International, 2000.

Lissitzyn, Oliver J. Treaties and Changed Circumstances, AJIL No. 61/1967. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Prenada Media, 2005 McNair ,Lord. The Law of Treaties, London : Oxford, 1961.

Miru, Ahmadi.Hukum Kontrak. Jakarta : Rajawali Press.

Miru, Ahmadi dan Pati, Sakka.Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

(3)

Pramono, Nindyo.Hukum Komersil. Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003.

Putra, Muhammad Febriansyah.Eksekusi Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Hutang Akibat Wanprestasi Debitur (Studi Mengenai Penetapan Nomor 31/Eks/HT/2008/PN.Mdn). Medan : FH USU, 2011.

Ristiono, Budi. Kajian Terhadap Perjanjian Baku Antara Distributor dan Sub Distributor Produk Fast Moving Consumer Good, Suatu Kajian Terhadap Penerapan Perjanjian Baku Ditinjau Dari Teori Kepatutan. Yogyakarta : Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Atmajaya,2011.

Satrio, J. Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995.

Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : Bina Cipta, 1987. Setiawan, R.Pokok-Pokok Hukum Perjanjiancet. 6. Jakarta : Putra Abadin, 1999. Sugono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 1996.

Syahrani, Riduan. Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung : Alumni, 1992.

Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Persfektif Filsafat, Teori, Dogmatic, dam Praktik hukum Seri Pengayaan Hukum Perikatan. Bandung : Mandar Maju, 2012.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa, 1987.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet 32. Jakarta : Intermasa, 2005. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono. Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris. Jakarta :

Indonesia Hillco, 1990.

Soenandar, Taryana.Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

(4)

Waluyo, Bambang. Penelitan Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 1996.

Wijdaja, Gunawan. Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa,cet II. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2002.

Wijdaja, Gunawan. Arbitrase VS Pengadilan, Persoalan Kompetensi (absolut) yang tidak pernah selesai. Jakarta : Kencana, 2008.

Widjaja, Gunawan dan Adrian, Michael. Peran Pengadilan dalam Penyelesaian Sengketa oleh Arbitrase. Jakarta : Kencana, 2008.

B. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa

PECL (Principles of European Contract Law, 1998).

UNIDROIT (Principles of International Commercial Contracts, 1994). Harvard Research in International Law , Law of Treaties, AJIL29/1965.

Guide to Draft Articles on the Law of the Treaties Adopted by ILC, UN Doc. A/C.6/376,May 11,1967, AJIL.

C. Jurnal

Muhtarom, Muhammad. “Asas-asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak.” Jurnal Suhuf, Vol. 26, No.1, Mei 2014.

Momuat, Yulia Vera. “Akibat Hukum Pasal 1266 KUHPerdata Dalam Perjanjian Terhadap Debitur Yang Tidak Aktif Dalam Melaksanakan Perjanjian.” Yogyakarta : Jurnal Universitas Atma Jaya, 2014.

D. Website

(5)

on International Commercial Contracts. www.cisg.law.pace/edu/cisg/biblio/rimke.html. (diakses pada tanggal 29 Oktober 2015).

Olga tentang Wanprestasi. http://olga260991.wordpress.com (diakses pada tanggal 12 Desember 2015).

Rahmanto, Sukma Dwi. tentang prestasi dan wanprestasi dalam hukum kontrak :

http://sukmablog12.co.id/2012/12/prestasi-dan-wanprestasi-dalam-hukum.html?m=1, (diakses pada tanggal 15 November 2015).

Perbandingan Hardship dan Force Majeur dalam UNIDROIT 2010. http://khafidsociality.blogspot.co.id/2011_11_24_archive.html?m=1 (diakses pada tanggal 17 November 2015).

Qodhi. Wanprestasi, Ganti Rugi, sanksi dan keadaan memaksa, http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/ (diakses pada tanggal 20 November 2015).

Aziz, T. Saliba. Rebus Sic Stantibus: A Comparative Survey, http://www.murdoch.edu.au/elaw/issues/v8n3/saliba83_text.html (diakses pada tanggal 15 Januari 2016).

Taqwa, Faisal Akbarruddin. “Rebus Sic Stantibus Dalam Khazanah Hukum Kontrak”, www.isjn.or.id (diakses pada tanggal 15 Januari 2016).

Nassar, Nalga. Sancity of Contracts Revisited, Dordrecht, Boston, London, TLDB Document ID 105700, 1995, pg 193, http://tldb.uni-koeln.de/TLDN.html (diakses pada tanggal 4 Februari 2016).

Wei, Lie Cheng. “Changed Contract Circumstances 2nd edition : Case annoted update,” 2005, http://cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/liu5.html (diakses pada tanggal 4 Februari 2016).

Treitel, Guenter. Frustation and Force Majeure, Thomson, Sweet & Maxwell, Second edition, 2004, http://cisg.law.pace.edu (diakses pada tanggal 4 Februari 2016).

Liu, Chengwei Liu. “Changed Contract Circumstances 2ndedition: Case Annoted

Update April 2005”, dimuat di

www.cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/liu5.html (diakses pada tanggal 5 Maret 2016)

(6)

http://notariatundip2011.blogspot.co.id/2012/03/hukum-perikatan-pada-pemahaman-awal.html (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).

http://iyudkidd02street17.blogspot.co.id/2012/11/perjanjian-bernama-dan-perjanjian-tidak.html (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).

https://docs.google.com/document/d/1R7G1oRzVnzJWTBv_WvpJkYjxwRK_SE 1FpZ06FrVIG80/edit?pli=1 (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).

http://www.legalakses.com/mewakili-perusahaan-dalam-perjanjian/ (diakses pada tanggal 24 Maret 2016).

(7)

A. Perkembangan Asas Keadaan Sulit (Hardship)

1. Istilah hardshipdalam prinsip UNIDROIT

The UNIDROIT principles merupakan salah satu upaya unifikasi hukum

atau pengaturan dalam hukum kontrak internasional. Prinsip ini diratifikasi oleh

Negara Indonesia melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59

Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The

Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi

Hukum Perdata). Pada dasarnya prinsip UNIDROIT tidak memiliki kekuatan

hukum apapun, namun dapat digunakan oleh para pihak sebagai choice of law

atau diterapkan sebagai prinsip-prinsip hukum umum, kebiasaan, atau praktek

dalam perdagangan internasional ataupun lex mercantoria.80 Adapun tujuan atau

dasar memberlakukan prinsip UNIDROITini adalah :81

a. Prinsip itu dipakai sebagai aturan umum untuk kontrak komersial

internasional.

b. Prinsip itu dapat diterapkan bila pihak-pihak sepakat bahwa kontrak

mereka diatur oleh prinsip-prinsip tersebut.

80

Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan

Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 15. 81

(8)

c. Prinsip tersebut dapat diterapkan apabila pihak-pihak telah sepakat

bahwa kontrak mereka diatur oleh prinsip-prinsip hukum umum lex

Mercatoriaatau sejenisnya.

d. Menyediakan suatu penyelesaian atas suatu masalah yang timbul apabila

tidak mungkin menemukan aturan yang relevan untuk diterapkan.

Dengan kata lain UNIDROIT principles dapat diterapkan ketika para

pihak belum memilih hukum apapun yang mengatur kontrak mereka.

Atau dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah para pihak,

apabila ternyata aturan yang relevan berdasarkan hukum yang berlaku,

tidak dapat ditentukan.

e. UNIDROIT principles dapat dimanfaatan untuk menafsirkan dan/atau

melengkapi pranata-pranata hukum yang sudah diseragamkan secara

internsional.

f. Serta dapat dipakai sebagai model bagi pembentuk undang-undang

nasional. Dengan kata lain, UNIDROIT principles juga dapat digunakan

untuk menafsirkan atau melengkapi hukum domestic.

g. UNIDROIT principles dapat dimanfaatkan sebagai model law bagi para

pembuat undang-undang baik di tingkat nasional maupun di tingkat

internasional.

Kitab undang-undang hukum perdata tidak mengatur keadaan apabila

kontrak tidak terlaksana akibat perubahan keadaan yang fundamental. Misalnya,

ketika krisis ekonomi yang menimpa Indonesia yang mengakibatkan banyak

(9)

oleh beberapa hal seperti nilai biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan

kontrak naik secara signifikan. Adapun nilai kontrak yang ditutup dengan kurs

dollar sangatlah kecil. Maka berdasarkan hal tersebut, terjadi perubahan keadaan

yang sangat mendasar.82

Klausul keadaan sulit (hardship clauses) merupakan metode kontraktual

yang sangat diperlukan dalam menangani persoalan terjadinya perubahan keadaan

yang akan mempengaruhi hakikat daripada perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Klausul ini sering digunakan dalam kontrak jangka panjang yang bernilai tinggi

(long term high value contracts).83 Klausul hardship biasanya mewajibkan

pengujian kembali pelaksanaan kotnrak dari masing-masing pihak berdasarkan

perubahan tersebut. Apabila para pihak sepakat untuk mengadakan renegosisasi

perjanjian/kontrak, maka terjadi tiga kemungkinan :84

a. Mereka mungkin sepakat bahwa kontrak yang ada dikesampingkan dan

kemudian menegosiasikan kesepakatan yang seluruhnya baru.

b. Mereka membatalkan persyaratan kontrak yang lama dan menggantinya

dengan yang baru.

c. Mereka membiarkan kontrak yang ada tetapi mengubah beberapa

syaratnya yang disebut variationdari kontrak asli.

Berdasarkan ketentuan UNIDROIT principles sebagai acuan dalam

perancangan sebuah kontrak internasional mengadopsi prinsip rebus sic stantibus

pada Section 2 dibawah title hardship. Dalam UNIDROIT principles, mengenai

82

Ibid., hlm. 121. 83

Ibid. 84

(10)

kontrak yang harus dipatuhi (contract to be observed), terdapat dua ketentuan

pokok, yakni :85

a. Sifat mengikat dari kotnrak sebagai aturan umum (binding character of the

contract the general rule). Dimana tujuan dari aturan umum untuk

mempertegas bahwa kontrak tersebut mengikat untuk dilaksanakan selama

dimungkinkan, tanpa memperhatikan beban yang dipikul oleh pihak-pihak

yang melaksanakan.

b. Perubahan keadaan yang relevan hanya terkait kontrak-kontrak tertentu

(seperti kontrak yang pelaksanaannya belum dilakukan, atau kontrak yang

masih berlaku, dan berjangka panjang).

Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menegaskan bahwa sebagai akibat

dari berlakunya prinsip umum tentang sifat mengikat kontrak, maka pelaksanaan

kontrak harus dijalankan sepanjang hal itu mungkin tanpa memperhatikan beban

yang dapat dipikul oleh pihak yang melaksanakan. Dengan kata lain, meskipun

salah satu pihak mengalami kerugian besar atau pelaksanaan kontrak menjadi

tidak bearti bagi pihak lainnya, bagaimanapun kontrak tersebut harus tetap

dihormati.

2. Istilah change of circumtancesdalam (PECL)

Principles of Euro Contract Law (selanjutnya disebut PECL) merupakan

prinsip hukum kontrak yang diterapkan pada negara-negara dalam kawasan

Eropa. Dalam PECL, asas rebus sic stantibusdapat ditemukan dalam Pasal 6: 111

mengenai change of circumstances atau perubahan keadaan. Perubahan keadaan

85

(11)

pada ketentuan ini mengandung arti bahwa pada dasarnya para pihak

berkewajiban untuk memenuhi kewajiban atau prestasinya meskipun jika kinerja

telah menjadi berat, baik karena biaya pelaksanaan/kinerja (performance) yang

meningkat atau kerena nilai kerja yang diterima berkurang/menurun.

PECL, Article 6:111 : Change of Circumstances

“(1) A party is bound to fulfill its obligation even if performances has become more onerous, whether because the cost of performance has increased or because the value of the performance it receives has diminished.

(2) If, however, performance of the contract becomes excessively onerous because of a change of circumstances, the parties are bound to enter into negotiations with a view to adapting the contract or terminating it, provided that :

(a) the change of the circumstances occurred after the time of conclusion of the contract.

(b) the possibility of a change of circumstances was not one which could reasonably have been taken into account at the time of conclusion of the contract, and (c) the risk of the change of circumstances is not one

which, according to the contract, the party affected should be required to bear.”

Ketentuan ini merupakan ketentuan yang bersifat umum dimana suatu kewajiban

pada dasarnya mengikat dan tetap harus dilaksanakan. Namun terdapat

pengecualian dalam hal ini. Dalam hal pelaksanaan kontrak menjadi “lebih berat”,

para pihak dapat masuk dalam perundingan (negosiasi) dengan maksud untuk

menyesuaikan kontrak atau mengakhirinya, dengan syarat bahwa :

a. Perubahan keadaan terjadi setelah kontrak ditutup.

b. Kemungkinan perubahan keadaan bukanlah suatu hal yang cukup bisa

diperkiarakan pada saat kesimpulan kontrak.

c. Risiko perubahan keadaan bukanlah sesuatu yang menurut kontrak harus

(12)

Prinsip-prinsip yang dianut oleh PECL juga memberikan hak kepada

pengadilan untuk mengambil keputusan dalam beberapa bentuk ketika terjadinya

change of circumstancespada kontrak. Bentuk-bentuk yang dimaksud yakni :

a. Menolak permohonan untuk merenegosiasi kontrak apabila dampak yang

ditimbulkan oleh renegosisasi itu lebih banyak kerugiannya daripada

manfaatnya untuk para pihak.

b. Memperpanjang jangka waktu pelaksanaan kontrak.

c. Menambah atau mengurangi harga yang diperjanjikan.

d. Menambah atau mengurangi kuantitas kontrak.

e. Memerintahkan pembayaran kompensasi.

f. Memerintahkan penundaan pelaksanaan dalam hal keadaan yang

melingkupi pelaksanaan kontrak tersebut semakin buruk.

g. Mengurangi prestasi yang diterima.

h. Mengakhiri kontrak antara para pihak tersebut.

Putusan pengadilan yang memerintahkan untuk mengakhiri atau

memperbaharui kontrak dalam hal terjadi change of circumstances haruslah

merupakan tindakan yang paling akhir yang dapat dilakukan.86

3. Istilah frustation of purposedalam hukum kontrak Inggris

Menurut sistem hukum di Britania Raya dikenal istilah “frustration of

purpose”. Menurut asas ini, perubahan keadaan yang sangat ekstrim dan

fundamental yang menyebabkan pemenuhan isi perjanjian menjadi berbeda secara

radikal dengan pada saat awal dibuatnya perjanjian tersebut menjadi alasan

86

Aziz T. Saliba, “Rebus Sic Stantibus: A Comparative Survey”,

(13)

pemaaf bagi pihak yang merasa tidak diuntungkan dari perubahan keadaan itu

untuk tidak melaksanakan atau menunda atau menegosiasikan kembali isi

perjanjian.87 Penerapan konsep frustration pada dasarnya akan berdampak pada

pengakhiran kontrak dengan alokasi risiko. Konsep frustration sebagaimana

diterapkan pada waktu dahulu sangatlah kaku dan sempit untuk dapat

menghasilkan penyesuaian yang dianggap wajar oleh para pihak, meskipun kini

pengadilan dalam beberapa hal mengakui ketentuan-ketentuan kontraktual yang

memberikan fleksibilitas yang diperlukan untuk menyesuaikan kontrak dengan

perubahan keadaan.88

Perumusan modern doktrin frustration dapat ditemukan dalam keputusan

house of lordsdalam perkara antara Davis Kontraktor Ltd v Fareham UDC, sejak

tahun 1956. Dimana berdasarkan perkara tersebut, House of Lords menyatakan

bahwa 89Frustasi (frustration) terjadi apabila hukum mengakui bahwa tanpa

adanya kesalahan dari salah satu pihak, kewajiban kontraktual menjadi tidak

mampu untuk dilaksanakan karena adanya keadaan yang membuat pelaksanaan

tersebut secara radikal berbeda dari yang telah disepakati dalam kontrak. Bukan

sesuai yang diperjanjikan. Contoh lainnya dapat dilihat dari kasus coronation.

Dimana pada kasus ini sebuah apartemen disewakan untuk suatu waktu karena

dari apartemen tersebut dapat dilihat secara langsung parade Penobatan Raja

Edward VII. Karena Raja sakit, maka parade tersebut akhirnya dibatalkan, oleh

karena itu pemilik apartemen digugat untuk mengembalikan uang sewa. Kasus ini

87

Faisal Akbarruddin Taqwa “Rebus Sic Stantibus Dalam Khazanah Hukum Kontrak”,

www.isjn.or.id, hal 2 (diakses pada tanggal 15 Januari 2016). 88

Aziz T. Saliba, Op.Cit. 89

(14)

di bawa ke pengadilan dan pengadilan bagaimanapun memutuskan bahwa kontrak

tersebut adalah frustasi karena pelaksanaanya adalah fundamental dan pada

dasarnya berbeda dari apa yang para pihak maksud.90

4. Istilah imprevisiondalam hukum kontrak Perancis

Hukum kontrak di Perancis tidak memberikan keringanan untuk

perubahan situasi yang menyulitkan pelaksanaan kontrak, tetapi masih dapat

dijalankan. Pengadilan sipil dan komersial dan khususnya pengadilan Perancis

tertinggi (Cour de cassation) secara tegas menolak doktrin inim dengan

memutuskan bahwa yang hanya bisa memaafkan suatu kinerja hanyalah force

majeure.91Doktrin imprevision hanya diterapkan oleh pengadilan tata usaha untuk

kontrak-kontrak yang berkaitan dengan kepentingan atau perusahaan-perusahaan

public (public entities). Dalam kontrak-kontrak komersial, harga kotnrak yang

disepakati tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga atau depresiasi mata uang.

Doktrin ini dikembangkan dari asas itikad baik dalam French civil code oleh

Counsel d’Etat berkaitan dengan kontrak-kontrak yang menyangkut pelayanan

publik.92

5. Istilah wegdall des geschaftsgrundlagedalam hukum kontrak Jerman

Di Jerman rebus sic stantibus dikenal sebagai teori wegfall des

geschaftgrundlage(dasar kontrak)93

, yang diperkenalkan oleh seorang guru besar

90

Ibid. 91

Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda : Penerapan Asas (Janji Itu Mengikat) dalam

Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi(Jakarta : Fikahati Aneska, 2005), hlm. 33. 92

Nalga Nassar, Sancity of Contracts Revisited, Dordrecht, Boston, London, TLDB

Document ID 105700, 1995, pg 193, http://tldb.uni-koeln.de/TLDN.html(diakses pada tanggal 4 Februari 2016).

93

(15)

dari Universitas Gottingen, Oetmann, yang pada praktek peradilan di Jerman,

teori tersebut dikembangkan menjadi suatu doktrin bahwa ketika terjadi

keadaan-keadaan (yang melingkupi suatu pelaksanaan perikatan) berubah secara

fundamental dan tidak bisa diperkirakan sebelumnya, maka pijakan dasar dari

transaksi telah dirusak dan para pihak tidak lagi terikat dengan

komitmen-komitmen mereka yang telah mereka tuangkan dalam kontrak.94 6. Istilah impracticalabilitydalam hukum kontrak Amerika Serikat

Di Amerika Serikat juga terdapat konsep dari perubahan keadaan ini yang

dikenal dengan istilah impracticalability. Impracticalability meliputi

kesulitan-kesulitan yang sangat ekstrim dan tidak rasional, biaya-biaya, maupun kerugian

yang diderita oileh salah satu pihak dalam perjanjian, misalnya kelangkaan yang

sangat serius terhadap bahan-bahan mentah atau kesulitan dalam penyaluran

bahan-bahan mentah tersebut akibat adanya perang, embargo ekonomi, gagal

panen, penutupan tiba-tiba sumber-sumber utama suplai dan sejenisnya, yang

mengakibatkan peningkatan secara signifikan terhadap biaya yang dikeluarkan.95

Berdasarkan Uniform Commercial Code (UCC) 2-616 di Amerika Serikat,

maka setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi agar suatu keadaan

dikatakan impracticalability, yaitu :96

akan ada yang melingkupi niat serta suasana batin pihak tersebut untuk mengikatkan diri pada saat kontrak tersebut dibuat.

94

Chengwei Liu. “Changed Contract Circumstances 2nd edition: Case Annoted Update

April2005”, dimuat di www.cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/liu5.html (diakses pada tanggal 5 Maret 2016)

95

Sir Guenter Treitel, Frustation and Force Majeure, Thomson, Sweet & Maxwell, Second edition, 2004, http://cisg.law.pace.edu (diakses pada tanggal 4 Februari 2016).

96

Prinsip Impracticalbility di Sistem Hukum Amerika Serikat dapat ditemukan di

(16)

a. Hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian sulit dilaksanakan

(impracticable). Secara lebih lugas, sulit dilaksanakan adalah lebih

fleksible pengertiannya dari tidak mungkin untuk dilaksanakan

(impossible). Seberapa fleksible pengertian dari impracticable tersebut

merupakan pertanyaan yang harus dijawab melalui putusan pengadilan.

b. Munculnya titik temu tentang adanya suatu keadaan yang mengubah

asumsi dasar (yang mengikat kedua belah pihak) sebagai pijakan pada saat

dibuatnya kontrak.

c. Impracticalabilitybukan merupakan akibat dari kesalahan salah satu pihak

agar pihak tersebut dibebaskan dari kewajibannya.

d. Salah satu pihak menanggung “kewajiban yang lebih besar daripada yang

di tetapkan secara hukum”, sebagaimana dipersyaratkan dalam UCC.

B. Prasyarat Terjadinya Keadaan Sulit (Hardship)

KUHPerdata tidak mengatur keadaan apabila kontrak tidak terlaksana

akibat perubahan keadaan yang fundamental, misalnya krisis ekonomi yang

terjadi di Indonesia beberapa tahun silam telah menyebabkan banyak kontrak

tidak dapat diselesaikan. Sedangkan hal ini sudah diakomodir dalam UPICCs

(UNIDROIT Principles Of International Commercial Contracts 2010), dalam

Article 6.2.1 sampai dengan Article 6.2.3. Article 6.2.1. Dalam UPICCs

dinyatakan bahwa apabila pelaksanaan kontrak ternyata menjadi lebih berat bagi

salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga tetap tunduk untuk

(17)

UPICCs article 6.2.1 :

“Where the performance of a contract becomes more onerous for

one of the parties, that the party is nevertheless bound to perform its

obligations subject to the following provisions on hardship.”

Article 6.2.2 memberikan definisi kesulitan (hardship) adalah peristiwa

yang secara fundamental telah merubah keseimbangan kontrak. Hal ini

diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai

pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu:

1. Peristiwa tersebut diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah kontrak terjadi;

2. peristiwa tidak dapat diperkirakan oleh pihak yang dirugikan sebelum kontrak

disepakati;

3. peristiwa terjadi di luar kontrol pihak yang dirugikan;

4. risiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.

Article 6.2.2 :

“There is hardship where the occurrence of events fundamentally alters the equilibrium of the contract either because the cost of a party’s performance has increased or because the value of the performance a party receives had diminished, and

(a) The events occurs or become known to the disadvantaged party after the conclusion of the contract;

(b) The events could not reasonably have been taken into account by the disadvantaged party at the time of the conclusion of the contract (c) The events are beyond the control of the disadvantaged party; and (d) The risk of the events was not assumed by the disadvantaged party.”

Selain diatur dalam UPICCs, ternyata tata cara berlakunya asas ini juga di

atur dalam konvensi Wina 1969/VCLT yang merupakan suatu konvensi

(18)

dilihat dalam ketentuan pasal VCLT, yaitu article ,62, yang dalam naskah asli

VCLT berbunyi sebagai berikut :

“1. A fundamental change of circumstances which has occurred with regard to those at the time of the conclusion of a treaty, and whoch was not foreseen by the parties, may not be invoked as a ground for teminating or withdrawing from the treaty unless :

(a) The existence of those circumstances constituted an essential basis of the consent of the partien to be bound by the treaty; and 21

(b) The effect of the change is radically to transform the extent of obligations still to be performed under the treaty.

2. A fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from a treaty :

(a). if the treaty establishes a boundary; or

(b). if the fundamental chage is the result of a breach by the party invoking it either of an obligation under the treaty or of any other international obligation owed to any other party to the treaty.

3. if, under the foregoing paragraphs, a party may invoke a fundamental change of circumstances as a ground for terminating or withdrawing from a treaty it may also invoke the change as a ground for suspending the operation of the treaty.”

Penjelasan tersebut mengartikan bahwa, jika suatu perubahan keadaan

yang mendasar terjadi terhadap keadaan yang ada pada saat penutupan perjanjian,

dan tidak dapat diduga oleh para pihak, tidaklah dapat dikemukakan sebagai dasar

untuk pengakhiran atau penarikan diri dari perjanjian, kecuali :

1. keberadaan keadaan-keadaan itu merupakan suatu dasar penting bagi para

pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian; dan

2. akibat dari perubahan itu secar radikal memperluas kewajiban yang harus

dilaksanakan di bawah perjanjian.

Juga dinyatakan bahwa suatu perubahan dari keadaan mendasar tidak

boleh dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari

perjanjian, jika :

(19)

2. perubahan itu merupakan hasil dari pelanggaran oleh pihak yang

mengemukakannya baik atas suatu kewajiban dalam perjanjian atau setiap

kewajiban internasional lainnya terhadap pihak lain dari perjanjian tersebut.

Apabila semua ketentuan diatas telah terpenuhi, maka suatu pihak boleh

menuntut suatu perubahan keadaan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik

diri dari perjanjian, maka pihak tersebut juga dapat menuntut perubahan sebagai

dasar untuk menunda berlakunya perjanjian tersebut.

C. Akibat Hukum Terjadinya Keadaan Sulit (Hardship)

Philip Dely dalam bukunya formation of contract mengatakan bahwa

dalam hal terjadinya kealpaan oleh para pihak dalam mencantumkan klausula

hardship, maka dapatlah diartikan bahwa kontrak tersebut masih dapat

dinegosiasikan ulang, tergantung kesepakatan dari para pihak.97 Namun di sisi

lain, beberapa sarjana internasional, seperti Mariol Copennol dan Michele

Fontana mengatakan bahwa tidaklah dapat dinegokan lagi jika dengan alasan

kealpaan pencantuman klausula hardship. Hal ini dikarenakan isi dan materi

kontraknya adalah kesepakatan para pihak yang berbasis party autonomy.

Berpijak dari definisi hardshipyang diberikan oleh UNIDROIT principles

beserta empat persyaratannya, maka terkait dengan prinsip umum tersebut yang

menyatakan bahwa perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban

pelaksanaan kontrak, maka adanya kesulitan (hardship) tidak dapat dijadikan

alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental. Maksud

97

Philip Dely, Formation of Making Contract(Erasmus : University Press, 2004), hlm.

(20)

dari kata fundamental sangat bergantung pada keadaan dari peristiwa tersebut.

Misalnya apabila yang dimaksud dengan pelaksanaan kontrak adalah suatu

kemampuan yang dapat dihitung dengan syarat keuangan secara pasti, maka

perubahan yang bernilai sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari biaya

atau dari pelaksanaan kontrak dianggap sebagai jumlah yang fundamental.98

Contoh :

Bermula pada bulan September 1989, A sebuah perusahaan dealer barang

elektronik yang bertempat tinggal di bekas Republik Demokrasi Jerman, telah

melakukan perjanjian jual beli stok barang dengan B, yang bertempat tinggal di

negara X, yang juga bekas negara sosialis. Barang itu seharusnya dikirim oleh B

pada bulan Desember 1990, tetapi pada bulan November 1990, A memberitahu B

bahwa barang tersebut tidak dapat dikirim seperti biasanya, dengan alasan bahwa

setelah penyatuan Republik Demokrasi Jerman dengan Republik Federal Jerman

tidak lagi terbuka pasar untuk barang-barang yang diimpor dari negara X tersebut.

Maka kecuali keadaan menunjukkan sebaiknya, A berhak untuk menerapkan

alasan kesulitan (hardship).

Para pihak dapat saja merubah isi kontrak dalam rangka menyesuaikannya

dengan keadaan khusus dari transaksi. Adapun akibat hukum apabila terjadi

hardship menurut UNIDROIT principlespasal 6.2.3, yaitu :

ARTICLE 6.2.3 (Effect of Hardship)

“(1) In case of hardship the disadvantaged party is entitled to request renegotiations.

The request shall be made without undue delay and shall indicate the grounds on which it is based.

98

(21)

(2) The request for renegotiation does not in itself entitle the disadvantaged party to withhold performance.

(3) Upon failure to reach agreement within a reasonable time either party may resort to the court.

(4) If the court finds hardship it may, if reasonable,

(a) terminate the contract at a date and on terms to be fixed, or (b) adapt the contract with a view to restoring its equilibrium.”

Akibat hukum bila terjadi kesulitan diatur dalam article 6.2.3 yang

menentukan bahwa: 99

1. Pihak yang dirugikan berhak meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain

yang harus diajukan dengan menunjukan dasar-dasarnya; permintaan tersebut

harus diajukan segera (without undue delay) dengan menunjukkan

dasar-dasarnya.

Karena adanya alasan kesulitan (hardship) yang mengandung perubahan

fundamental keseimbangan kontrak, pada tahap pertama pihak yang dirugikan

berhak untuk meminta negosiasi atas syarat kontrak awal untuk disesuaikan

dengan keadaan yang berubah.

Contoh :

A sebuah perusahaan konstruksi berkedudukan di negara X, mengadakan

kontrak lump sumdengan B, sebuah agen pemerintah untuk pembangunan sebuah

pabrik di negara Y. Kebanyakan mesin canggihnya harus diimpor dari luar negri.

Karena terjadinya devaluasi di negara Y yang tidak diduga, yang menimpa kurs

pembayaran maka biaya mesin tersebut meningkat sebesar lebih dari 50 %. A

berhak untuk meminta B mengadakan renegosiasi harga kontrak semula agar

diubah dan disesuaikan dengan perubahan keadaan.

99

(22)

Dilakukannya renegosiasi kotnak atas dasar hardship tidak akan dihalangi

meskipun klausul perubahan yang dimuat dalam kotnrak tidak menggambarkan

peristiwa yang menimbulkan kesulitan (hardship). Permintaan renegosisasi

kontrak juga harus dilakukan secepat mungkin setelah saat terjadinya kesulitan

yang dapat diduga kejadiannya. Waktu yang pasti untuk meminta renegosiasi

kontrak tergantung pada keadaan kasus. Misalnya apabila perubahan keadaan

berlangsung secara bertahap mungkin permintaan renegosiasinya akan lebih lama.

Pihak yang dirugikan tidak bergitu saja kehilangan haknya untuk meminta

renegosiasi kontrak karena ia lalai melakukannya dengan segera. Hal tersebut

dikarenakan lamanya menemukan unsur kesulitan (hardship) yang benar-benar

telah terjadi, serta akibatnya terhadap kontrak.

2. Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada

pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak.

Pihak yang dirugikan juga wajib menunjukkan alasan diajukannya

permohonan renegosiasi dan mengizinkan pihak lawan untuk mempelajarinya

apakah permohonan renegosiasi tersebut dapat dibenarkan atau tidak.

Permohonan yang tidak lengkap dapat dianggap sebagai hal yang tidak dapat

diterima. Kecuali apabila dasar-dasar mengenai adanya dugaan kesulitan

(hardship) itu sedemikian nyata sehingga tidak perlu dinyatakan dalam

permohonan renegosiasi kontrak. Hal yang terpenting adalah permohonan

renegosisasi kontrak tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang

dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak. Hal tersebut untuk di

(23)

penyalahgunaan upaya hukum. Penghentian pelaksanaan dapat dibenarkan dalam

keadaan luar biasa.

Contoh ;

A mengadakan kontrak dengan B untuk melakukan konstruksi sebuah

pabrik. Pabrik itu dibangun di negara X, yang menerapkan peraturan keamanan

setelah penutupan kontrak. Peraturan baru tersebut mewajibkan disediakannya

alat-alat tambahan. Oleh karena itu mengubah keseimbangan kontrak secara

fundamental yang mengakibatkan pelaksanaan kontrak oleh A secara substansial

menjadi lebih berat. A berhak untuk meminta renegosiasi kontrak dan dapat

menghentikan pelaksanaan kontrak untuk sementara waktu. Akan tetapi, ia juga

dapat menghentikan pengiriman alat tambahan tersebut, apabila harga yang sesuai

tidak disepakati.

Adapun secara mendasar, permohonan renegosiasi kontrak oleh pihak

yang dirugikan tunduk kepada prinsip umum itikad baik dan prinsip kewajiban

bekerjasama.100Maka pihak yang dirugikan harus secara jujur mengatakan bahwa

hardship tersebut memang ada, dan tidak meminta renegosiasi kontrak

semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Selain itu, kedua belah pihakjuga harus

berperilaku agar renegosiasi kontrak dilakukan dengan cara yang konstruktif,

saling menahan diri untuk mencegah terjadinya gangguan serta saling

memberikan segala informasi yang penting (keterbukaan).

3. Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang

wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan. Hal ini

100

(24)

memberikan kewenangan kepada para pihak apabila para pihak gagal

mencapai kesepakatan pada saat renegosiasi kontrak. Keadaan tersebut dapat

terjadi dikarenakan pihak yang tidak dirugikan sama sekali mengabaikan

permintaan renegoasiasi kontrak yang dianjurkan oleh pihak yang dirugikan,

atau karena renegosiasi yang tidak mencapai kesepakatan walaupun

dilakukan oleh kedua belah pihak dengan itikad baik.

4. Apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan, maka pengadilan dapat

memutuskan untuk:

a. Mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti;

b. mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.

Mengakhiri atau menghentikan kontrak yang dilakukan oleh pengadilan

dikarenakan adanya hardship, tidak tunduk pada ketentuan mengenai wanprestasi.

Dengan demikian, pengakhiran kontrak harus dilakukan pada tanggal dan atas

syarat-syarat yang ditetapkan oleh pengadilan. Pengadilan juga dapat

mengarahkan para pihak untuk mengadakan renegosiasi kontrak untuk mencapai

kesepakatan melalui kontrak, atau dengan cara memperkuat syarat kontrak yang

telah para pihak tersebut tentukan.

Perubahan kontrak yang dilakukakan oleh pengadilan pada hakikatnya

adalah untuk mengembalikan keseimbangan kontrak. Pengadilan akan

menentukan pembagian yang adil atas kerugian di antara para pihak. Tindakkan

tersebut dapat mencakup perubahan harga atau tidak, tergantung pada sifat

kesulitan dari peristiwa itu sendiri. Namun jika perubahan itu mencakup harga,

(25)

akibat perubahan keadaan tersebut. Misalnya, pengadilan mempertimbangkan

sejauh mana salah satu pihak mendapat risiko dan pihak yang berhak menerima

pelaksanaan memperoleh manfaat dari pelaksanaan kontrak itu.101

101

(26)

A. Penyelesaian Sengketa Kontrak

Aktivitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi aspek hukum terkait,

ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan menuju tujuannya apabila

ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan geraknya. Tidak berlebihan

kiranya apabila keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir para pihak

hendaknya senantiasa memperhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktifitas

bisnis mereka. Dengan demikian, bagaimana agar bisnis mereka berjalan sesuai

tujuan akan berkorelasi dengan struktur kontrak yang dibangun bersama.

102

Dinamika

bisnis

dengan

pasang

surutnya,

juga

berakibat

pada

keberlangsungan hubungan kontraktual para pihak. Apa yang diproyeksikan lancar,

untung, memuaskan, prospek bisnis cerah kadangkala dapat berubah merugi dan

memutus hubungan bisnis para pihak. Siapa yang dapat memastikan hujan esok hari,

demikian pula dengan kontrak. Para pihak yang berkontrak senantiasa berharap

kontraknya berakhir dengan ”happy ending”, namun tidak menutup kemungkinan

kontrak dimaksud menemui hambatan bahkan berujung pada kegagalan kontrak.

102

Scott J. Burnham, Drafting Contracts, Second ed. (The Michie Company Law Publishes,

(27)

Kegagalan kontrak ini, pada akhirnya akan bermuara pada sengketa yang

seringkali dipandang sebagai suatu fenomena yang menakutkan bagi kelangsungan

bisnis diantara para pihak. Kegagalan kontrak ini juga pada akhirnya akan membawa

para pihak menuju pilihan hukum yang semula mereka sepakati pada tahap

pra-kontraktual dimana dapat diselesaikan melalui proses litigasi maupun non-litigasi.

1.

Melalui proses litigasi

Proses yang paling umum ditempuh untuk menyelesaikan sengketa adalah

melalui proses litigasi. Fakta menunjukkan bahwa seringkali proses penyelesaian

sengketa secara litigasi bisa berlangsung sampai puluhan tahun, belum lagi biaya,

pikiran, dan tenaga yang terbuang sia-sia.

103

Kreditur dapat melakukan gugatan

melalui proses litigasi dengan melakukan gugatan ke pengadilan negeri. Kreditur

dapat menggugat debitur apabila debitur wanprestasi. Adapun dasar gugatan dapat

dilihat pada Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

104

Debitur di sini dapat

dikenakan pertanggungjawaban perdata karena telah melakukan wanprestasi.

Lahirnya tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasi diawali dengan

adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Perjanjian diawali dengan

dengan adanya janji untuk melakukan pemenuhan kontrak. Apabila dalam hubungan

hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban tidak

melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya maka

103

Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, Peran Pengadilan dalam Penyelesaian Sengketa

oleh Arbitrase(Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 1.

104

(28)

perusahaan reasuransi dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) atas dasar itu ia dapat

dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. Sementara apabila

debitur melakukan perbuatan melawan hukum didasarkan pada adanya hubungan

hukum, hak dan kewajiban, yang bersumber pada hukum. Adapun tanggung jawab

hukum dengan dasar wanprestasi didasari adanya hubungan kontraktual. Hubungan

kontraktual timbul baik karena perjanjian atau undang-undang. Apabila ada salah satu

pihak yang tidak memenuhi kontrak (kewajiban) berarti ada kepentingan pihak yang

dilanggar maka hukum memberikan perlindungan atas kepentingan para pihak yang

dilanggar janjinya tersebut. Kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan

ekonomi. Tanggung jawab ini lahir dari adanya pelanggaran terhadap sebuah

perjanjian (breach of promises).

105

Wanprestasi dapat berupa suatu keadaan dimana

pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi :

a.

Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan.

b.

Melaksanakan apa yang dijanjikan namun tidak tepat seperti apa yang

dijanjikan.

c.

Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi terlambat.

d.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Konsekuensi dari keadaan wanprestasi adalah pihak yang dirugikan dapat

menuntut pihak yang melakukan wanprestasi berupa penggantian kerugian dengan

perhitungan-perhitungan tertentu berupa biaya, rugi, dan bunga dan/atau pengakhiran

105

Kiki Natalia Hasibuan, Tanggung jawab perbankan dalam kasus mis-selling (Jakarta :

(29)

kontrak. Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap pengeluaran yang dikeluarkan

secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya wanprestasi.

Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian adalah berkurangnya nilai kekayaan

debitur sebagai akibat adanya wanprestasi dari kreditur. Selanjutnya yang disebut

dengan bunga adalah kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi tidak

jadi diperoleh oleh kreditur karena tindakan wanprestasi dari debitur.

106

Adapun dalil lain yang dapat digunakan apabila salah satu pihak melakukan

penghentian pemenuhan kontrak dapat kita tinjau menurut Pasal 1365 KUHPerdata,

maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang

melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah

menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori

dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:

107

a.

Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

b.

Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan

maupun kelalaian).

c.

Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:

108

a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)

sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

106

Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Cetakan ke-II.

(Bandung: PT. Citra Aditya Bekti, 2001) hlm.138

107

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, cet.1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002),

hlm.3.

(30)

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana

terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal

1367 KUHPerdata.

Adapun perumusan luas dari

onrechmatigedaad, maka yang termasuk

perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :

109

a. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

b. Bertentangan dengan kesusilaan baik.

c. Bertentangan dengan hak orang lain.

d. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan

masyarakat mengenai orang lain atau benda.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak

disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata,

sebagai berikut :

“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

109

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2 (Jakarta : Pradnya

(31)

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum diatas merupakan tanggung

jawab perbuatan melawan hukum secara langsung, juga dikenal perbuatan melawan

hukum secara tidak langsung menurut Pasal 1367 KUHPerdata.

2.

Melalui cara non litigasi

Suatu perjanjian biasanya tertulis ketentuan mengenai penyelesaian sengketa,

yaitu mengenai cara mana yang akan diambil apabila antara kedua belah pihak tidak

terjadi suatu kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Dalam dunia

perdagangan pada umumnya proses penyelesaian sengeketa secara litigasi kurang

disukai

110

, oleh karena itu diperkenalkanlah penyelesaian sengketa secara non litigasi

yaitu alternative dispute resolution

(selanjutnya disebut dengan ADR). Batasan ADR

itu sendiri menurut Blacks law dictionary

yakni

111

“A procedure for settling a dispute by means other than litigation, such

as arbitration, mediation, minitrial.”

Terjemahan bebasnya adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa

secara non litigasi seperti arbitrase, mediasi dan konsiliasi.

Berdasarkan penjelasan demikian sengketa tersebut dapat diputus atau

setidak-tidaknya

diklasifikasi dengan mempersempit persoalannya melalui

mekanisme

ADR

yang tepat. Salah satu bentuk ADR adalah arbitrase. Menurut

Priyatna Abdrurasyid, dalam bukunya yang berjudul arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa mengatakan bahwa arbitrase merupakan suatu istilah yang

110

Gunawan Wijdaja, Arbitrase VS Pengadilan, Persoalan Kompetensi (absolut) yang tidak

pernah selesai (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 9.

111

(32)

dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara yang damai dan sesuai atau

sebagai penyediaan bagaimana cara menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga

mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.

112

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altenatif

Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999). Pasal 82 UU

No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa “pada saat undang-undang baru ini mulai

berlaku, semua peraturan tentang arbitrase yang lama yang termaksud dalam Pasal

615 sampai dengan Pasal 651

Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

atau

disingkat dengan nama Rv. Di Indonesia ini, dan juga Pasal 377 Reglemen

Indonesia

yang diperbaharui HIR serta Pasal 705 berita acara untuk luar Jawa dan Madura

(Reglement oop de Buitengewesten) yang disingkat dengan nama RBg dinyatakan

tidak berlaku.”

113

Proses arbitrase tidak akan dapat berjalan dengan sempurna jika tidak

didukung atau dibantu oleh badan peradilan. Memang dalam Pasal 3 UU No. 30

Tahun 1999 tentang arbitrase menentukan bahwa “pengadilan negeri tidak berwenang

untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase,”

114

ketentuan tersebut mempertegas pembatasan wewenang pengadilan dalam mengadili

perkara arbitrase. Pengadilan memang tidak berhak untuk mengadili sengketa apabila

112

H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta :

PT.Fikahati Aneska, 2002), hlm. 54.

113

Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872), Pasal 82.

114

(33)

para pihak telah menentukan proses penyelesaian sengketa yang dituangkan dalam

kontrak, namun demikian pengadilan mendukung berjalannya proses arbitrase.

Penegasan peranan pengadilan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang

arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) yang

menyatakan bahwa “pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan

di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase kecuali

dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Peranan

pengadilan dalam keseluruhan proses arbitrase menunjukkan bahwa pengadilan

hanya menunjang proses arbitrase tersebut, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip

independensi dari arbitrase itu sendiri.

Selain arbitrase, ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa secara non litigasi yakni:

a. Negosiasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan

langsung oleh para pihak yang bersengketa.

b. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana terdapat mediator

yang hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang

bersengketa tidak mungkin bertemu sendiri karena berbagai faktor yang

berada di luar kemampuan mereka ataupun karena para pihak dengan sengaja

tidak mau bertemu satu dengan yang lainnya, meskipun mereka dapat bertemu

(34)

alternatif penyelesaian sengketa dalam bentuk mediasi ini tunduk sepenuhnya

pada kesepakatan para pihak.

115

c. Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa di mana pihak ketiga

yang mempertemukan para pihak yang bersengketa juga memberikan solusi

pada pihak yang bersengketa.

Namun cara penyelesaian sengketa arbitrase yang sering dipilih oleh para

pihak, karena arbitrase mempunyai beberapa kelebihan dan kemudahan, yakni antara

lain:

a. para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbitrasenya sendiri;

b. proses majelis arbitrase rahasia dan oleh karena itu, dapat menjamin

kerahasiaan dan publisitas yang tidak dikehendaki;

c. putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa;

d. tata caranya cepat, tidak mahal serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang

harus dikeluarkan dalam proses pengadilan;

e. tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu,

terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian

kekeluaragan dan damai (amicable)

116

Selain kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh arbitrase ternyata dalam

praktiknya menurut Lely Niwan dalam “Mengapa harus arbitrase” dalam buku

115

Gunawan Wijdaja, Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa,cet II (Jakarta :

PT. Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 2.

116

(35)

Arbitrase di Indonesia, terdapat juga beberapa problem yang dapat timbul pada

arbitrase. Problem tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut :

a. pendirian atau sikap hakim tentang klausul arbitrase;

b. kekurangan-kekurangan dalam klausul arbitrase sendiri karena soal bahasa,

misalnya menggunakan terminologi yang mengandung banyak arti dapat

menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda;

c. apabila ada perbedaan tempat antara domisili badan peradilan dan tempat

(negara) dimana putusan badan itu harus dilaksanakan;

d. karena choice of law, penerapan strict rules of law, atau ex aequo et bono.

117

Para pihak hendaknya menentukan proses penyelesaian sengketa terlebih

dahulu sebelum melaksanakan kontrak itu sendiri, melalui jalur litigasi atau non

litigasi. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat banyaknya kelemahan dalam

proses penyelesaian sengketa secara litigasi.

B. Penyelesaian Sengketa Kontrak Karena Alasan Keadaan Sulit (Hardship)

Abad-abad mendatang semakin banyak pengadilan dan ahli hukum yang

menerapkan

clausula rebus sic stantibus (hardship), penerapan ini pun semaking

berkembang. Namun, pada sekitar abad ke XVII, seiring dengan berkembangnya

paham liberalisme yang sepaham dengan aliran Laisse faire

atau

lassez passe, maka

muncul perlawanan yang dilakukan oleh kaum borjuis terhadap klausula tersebut

117

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase (Jakarta : PT.

(36)

karena ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam pelaksanaan kontrak bisnis yang

dijalankan oleh kaum borjuis akibat menyebarluaskan konsep

rebus sic stantibus,

sehingga pamornya sangat memudar dan secara perlahan digantikan oleh paham

pacta sunt servanda. Akan tetapi, setelah pecahnya perang dunia I, ahli-ahli hukum

dari Eropa mencari justifikasi terhadap beban yang sangat berat yang ditanggung oleh

promissors

dalam pelaksanaan kontrak

dalam kondisi

perang tersebut.

Konsekuensinya, prinsip

rebus sic stantibus

kembali mengambil peranan yang

penting dalam sistem hukum di beberapa negara, terutama negara-negara dengan

sistem common law

dengan istilah-istilah yang berbeda.

Prinsip keadaan sulit menjelma menjadi bermacam istilah di beberapa sistem

seperti

hardship rule

(PECL

dan

UNIDROIT)

118

,

essesivamente onorosa

(Italy),

wegfall des geschaftsgrundlage

(Jerman),

imprevision

(Prancis),

impracticability

(AS) and frustration of purpose

(Inggris). Selain itu, ternyata prinsip ini juga diadopsi

oleh konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian (The Vienna Convention

on the Law of Treaties, 1969) khususnya dalam Pasal 61 dan Pasal 62 yang

masing-masing mencakup hal-hal tentang kesulitan dalam pelaksanaan perjanjian dan

perubahan keadaan yang bersifat mendasar dalam pelaksanaan perjanjian.

UNIDROIT

principles (Principles of International Commercial Contracts,

1994) sebagai acuan dalam perancangan kontrak internasional mengadopsi prinsip

rebus sic stantibus

ini pada Section

2 di bawah titel hardship. Hardship

adalah suatu

118

PECL (Principles of European Contract Law, 1998) dan UNIDROIT (Principles of

(37)

keadaan ketika ekuilibrium atau keseimbangan kontrak secara fundamental berubah

dikarenakan biaya pelaksanaan kontrak oleh promissor (debitur) meningkat secara

signifikan atau nilai dari performa yang diterima oleh

promisee

(kreditur) menjadi

kecil secara signifikan (Pasal 6.2.2.

UNIDROIT principles). Selanjutnya dari

pengertian hardship dalam

UNIDROIT principles

tersebut, terdapat 4 persyaratan

yang dikategorikan sebagai suatu keadaan sulit, yaitu :

1.

keadaan (yang dimaksud dalam pengertian hardship tersebut) yang muncul atau

baru diketahui oleh pihak yang tidak diuntungkan pada saat pelaksanaan atau

penutupan kontrak;

2.

keadaan tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya secara rasional atau secara

semestinya akan terjadi oleh pihak yang tidak diuntungkan oleh keadaan itu pada

saat pelaksanaan atau penutupan kontrak;

3.

keadaan tersebut di luar kendali dari pihak yang tidak diuntungkan tersebut; dan

4.

risiko dari keadaan tersebut tidak diprediksi atau diperkirakan sebelumya oleh

pihak yang tidak diuntungkan tersebut.

Berpijak dari definisi

hardship

yang diberikan oleh

UNIDROIT principles

tersebut di atas beserta empat persyaratannya, maka setidaknya terdapat tiga unsur

untuk menentukan ada tidaknya hardship yaitu:

119

1.

perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental (alteration of equilibrium);

2.

meningkatnya biaya pelaksanaan kontrak (increase in cost of performance);

119

(38)

3.

menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang diterima salah satu pihak (decrease

in value of the performance received by one party);

Pengadilan

120

memainkan peranan yang penting dalam hal timbulnya suatu

keadaan yang mengarah ke

rebus sic stantibus

namun para pihak tidak mau

merenegosiasikan syarat-syarat dalam kontrak yang mereka buat. Hal itu setidaknya

tersirat dalam Pasal 6.2.3

UNIDROIT principles

yang menegaskan bahwa dalam hal

para pihak tidak mencapai kata sepakat untuk merenegosiasikan kontrak di antara

mereka sebagai dampak timbulnya keadaan

rebus sic stantibus, maka mereka bisa

membawa kasus tersebut ke pengadilan. Jika pengadilan berpendapat bahwa

keadaan-keadaan sebagaimana dalam definisi rebus sic stantibus

eksis, maka pengadilan dapat

mengambil setidaknya dua putusan yaitu :

1.

Mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti

Penghentian kontrak dalam hal munculnya keadaan sulit (hardship) tidak

tunduk pada keadaan wanprestasi

121

, maka akibatnya proses pemeriksaaan perkara

mungkin akan menyimpang dari proses pengakhiran kontrak pada umumnya. Dengan

demikian, pengakhiran kontrak harus dilakukan pada tanggal dan atas syarat-syarat

yang ditetapkan oleh pengadilan.

120

Pengadilan disini dimaksudkan penulis dalam konteks yang lebih luas khususnya pengadilan perdata pada sistem hukum nasional masing-masing negara dan juga dalam konteks UNIDROIT merujuk ke ICJ serta pengadilan arbitrase dan PECL merujuk ke European Court of Justice.

121

Taryana Soenandar, Tinjauan Atas Beberapa Aspek Hukum Dari Prinsip-Prinsip

UNIDROIT dan CISG”. Dalam Miriam Darus Badrulzaman, dkk. 2001. “ Kompilasi Hukum Perikatan

(39)

2.

Menyesuaikan kontrak dengan keadaan berjalan untuk mengembalikan

keseimbangannya

Adapun hal-hal alternatif yang dipilih oleh pengadilan, maka pengadilan akan

menentukan pembagian yang adil atas kerugian-kerugian di antara para pihak.

Tindakan ini dapat mencakup perubahan harga atau tidak, bergantung dari sifat

kesulitan dari peristiwa itu sendiri. Namun, jika perubahan itu mencakup harga, maka

perubahan itu tidak perlu harus mencerminkan perbaikan secara sepenuhnya yang

dialami

akibat

perubahan

keadaan

tersebut.

122

Misalnya

pengadilan

mempertimbangkan sejauh mana salah satu pihak mendapatkan risiko dan

sejauhmana para pihak yang berhak menerima pelaksanaan dapat memperoleh

manfaat dari pelaksanaan kontrak itu.

Prinsip yang dianut oleh

PECL

juga memberikan kesempatan kepada

pengadilan untuk mengambil putusan dalam beberapa bentuk ketika muncul kesulitan

(rebus sic stantibus/hardship) pada kontrak yang mengikat para pihak.

123

Bentuk-bentuk dimaksud yaitu :

1.

Menolak permohonan untuk menegosiasikan kontrak apabila dampak yang

ditimbulkan oleh renegosiasi itu lebih banyak ruginya daripada manfaatnya.

2.

Memperpanjang jangka waktu pelaksanaan kontrak.

3.

Menambah/mengurangi harga yang diperjanjikan.

4.

Menambah/mengurangi kuantitas kontrak.

122 Ibid.

123

Ole Lando dan Hugh Neale (ed), Principles of European Contract Law (Kluwer Law

(40)

5.

Memerintahkan pembayaran kompensasi

6.

Memerintahkan penundaan pelaksanaan dalam hal keadaan yang melingkupi

pelaksanaan kontrak tersebut semakin memburuk.

7.

Mengurangi prestasi yang diterima.

8.

Mengakhiri kontrak antara para pihak tersebut.

Putusan

pengadilan

yang

memerintahkan

untuk

mengakhir

atau

memperbaharui

kontrak dalam hal perubahan keadaan yang radikal dalam

pelaksanaan kontrak (rebus sic stantibus) haruslah merupakan putusan yang bersifat

tindakan yang paling akhir dilakukan.

124

Prosedur di pengadilan dalam kasus

rebus

sic stantibus

haruslah difungsikan sebagai alat untuk menyelesaikan secara damai

kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam kontrak dengan memasuki ranah

perundingan. Pengadilan juga bisa mengembalikan persoalan pokok dalam perkara

tersebut kepada para pihak untuk dinegosiasikan, bahkan dengan menunjuk mediator.

Jika tercapai kata mufakat, maka pengadilan akan memerintahkan untuk

memodifikasi kontrak sebagaimana kesepakatan, namun risiko harus ditanggung

bersama. Jika tidak tercapai kata mufakat, maka pengadilan mengambil peran untuk

menentukan nasib akhir kontrak yang dihadang oleh kendala rebus sic stantibus

itu.

Peranan hakim yang memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan

persoalan

rebus sic stantibus

adalah terutama untuk menginterpretasikan apa yang

dimaksud dengan keadaan sulit (onerous). Sebagai contoh, hakim harus menarik

124

Tri Harnowo, “Asian Economics Crisis as a Supervening Event : Legal and Economic of

Impossibility Doctrine Rebus Sic Stantibus” (Thesis pada program LL.M Law and Economics, Faculty

(41)

suatu kesimpulan untuk menjawab apakah tidak dapat terlaksananya suatu perjanjian

karena benar-benar sulit atau tidak mungkin dilaksanakan ataukah sebenarnya ada

alternatif penyelesaian lain. Misalnya eksportir batal mengirim barang yang dipesan

oleh importir karena pengapalan (shipping) barang harus melewati daerah perang

seumpama perang Teluk atau perang Iran-Irak. Beberapa hakim menyatakan bahwa

hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan onerous, karena promissor memiliki alternatif

pelayaran yang tidak harus melalui jalur tersebut.

125

Senada dengan peranan tersebut,

hakim di Amerika Serikat misalnya yang memutus dengan UCC harus memberikan

makna atau pengertian dari

impracticable

untuk membedakannya dari

impossible

sehingga terpenuhi keadaan yang masuk dalam pengertian impracticability.

Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa pengadilan hanyalah

difungsikan jika renegosiasi kontrak pada keadaan rebus sic stantibus

tidak mencapai

titik temu. Penekanannya yaitu apabila timbul keadaan sulit (rebus

sic

stantibus/hardship), maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah negosiasi

ulang oleh para pihak untuk kelanjutan kontrak. Apabila renegosiasi tersebut gagal,

maka barulah pengadilan mengambil peran untuk memodifikasi kontrak itupun

setelah tawaran mediasi oleh pengadilan agar para pihak sendiri yang memodifikasi

kontrak tersebut tidak mencapai kata sepakat.

(42)

C. Penerapan Alasan Keadaan Sulit (Hardship) Dalam Pengadilan

Beberapa ahli hukum internasional dan negara-negara menganggap bahwa

doktrin

rebus sic stantibus

merupakan pembenaran atas penolakan

kewajiban-kewajiban yang memberatkan dari suatu perjanjian.

126

Dengan kata lain, agar tujuan

keseimbangan dari suatu perjanjian terwujud, sebaiknya dilanjutkan daripada

digagalkan oleh perkembangan hukum yang dapat mengakhiri hubungan-hubungan

hukum, sehingga akan menimbulkan ketidak serasian di antara para pihak. Kesulitan

dalam membuat hukum perjanjian adalah perolehan suara yang bulat dalam

permintaan persetujuan (consent) dari negara-negara yang terlibat. Seluruh struktur

dan isi dari hukum perjanjian didasarkan pada prinsip persetujuan, dan prinsip ini

biasanya digunakan secara khusus. Seperti terdapat di dalam Pasal 11 Konvensi Wina

1969 tentang hukum perjanjian, yang menyatakan :

“The Consent of a state to bound by a treaty may be expressed by

signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification,

acceptance, approval or accesion by any other means if so agreed.”

Selain pasal tersebut, terdapat beberapa pasal di dalam Konvensi Wina 1969

<

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status hukum bagi pekerja outsourcing, kemudian bagaimana UU Ketenagakerjaan mengatur

Sehingga menimbulkan dua permasalahan yakni bagaimana Kedudukan perjanjian kawin dalam perkawinan campuran serta bagaimanakah akibat hukum terhadap status hak milik

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, tentang pelaksanaan perjanjian kredit perbankan, maka penulis mengangkat judul yaitu Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Akibat