ANALISIS TERHADAP STATUS HUKUM DAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
OUTSOURCING DALAM UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN
2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
TESIS
Oleh
ASRINA MARDHIAH
077005046/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS TERHADAP STATUS HUKUM DAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
OUTSOURCING DALAM UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN
2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ASRINA MARDHIAH
077005046/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS TERHADAP STATUS HUKUM DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DALAM UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG ETENAGAKERJAAN
Nama Mahasiswa : Asrina Mardhiah
Nomor Pokok : 077005046
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum)
Ketua
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. T.Keizerina Devi A.,, SH, CN, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 10 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH
2. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum
3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Amanat para pendiri Republik dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tidak berlaku diskriminatif terhadap pekerja outsourcing. Dapat dipahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Sebagaimana dilihat kenyataan yang ada akar masalahnya adalah tingginya angka pengangguran karena ketidak seimbangan antara ketersediaan tenaga kerja dan sempitnya lapangan kerja. Outsourcing merupakan salah satu tren bisnis terpopuler di Indonesia beberapa tahun ini, banyak perusahaan maupun tenaga kerja yang merasakan manfaatnya, namun tidak sedikit pula yang memendam kerugiannya, dimana kerugian yang timbul lebih banyak berdampak bagi tenaga kerja outsourcing. Banyak perusahaan yang menggunakan atau merekrut tenaga kerja outsourcing untuk menekan biaya produksi.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status hukum bagi pekerja outsourcing, kemudian bagaimana UU Ketenagakerjaan mengatur tentang perjanjian kerja, hak dan kewajiban tenaga kerja outsourcing. Serta bagaimana perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library researh). Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni primer, sekunder dan tersier.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status hukum bagi pekerja outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan telah diatur dalam Pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan. Artinya UU Ketenagakerjaan melegalkan outsourcing, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam implementasinya. Pengaturan mengenai perjanjian kerja, hak dan kewajiban tenaga kerja outsourcing, yaitu melalui perjanjian pemborongan dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Sifat pekerjaannya adalah pekerjaan penunjang dan bukan pekerjaan pokok perusahaan. Dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja outsourcing diselenggarakan dalam bentuk jaminan sosial tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan upah.
ABSTRACT
Commendation of all Republic founder in Section 27 (2) UUD 1945 “Every citizen is entitled to for competent subsistence and work for human, not applicable of discriminative to labor outsourcing. Perceivable that target of development manpower has created the work field for citizen to get the competent subsistence. As seen an existing fact grow on its problem is height of unemployment number of because well-balanced between availability of labor and as tight as employment. Outsourcing represent one of popular trend business in Indonesia this some years, a lot of company and also labor feeling its benefit, but by dozens also which hide its loss, where more amount arising out loss affect for labor outsourcing. A lot of company using or recruitment the labor outsourcing to depress production cost.
Go together the mentioned, hence becoming problems is how legal status for labor outsourcing, later how Legal of Manpower arrange about work agreement, rights and obligations of labor outsourcing. And also how legal protection for labor outsourcing.
This normative legal study analyzes the research problems through a legal principle approach and refers to the legal norms found in the legislation. To collect the data in this thesis conducted with the research having the character of descriptive analyze the. The secondary data used in this study were obtained through library research. As for secondary data obtained library research from consisted of by 3 substance punish namely primary, secondary and tertiary.
Pursuant to research result known that by the legal status for labor of outsourcing in Law of Manpower have been arranged in Section 64, 65, and 66 Law of Manpower. Its meaning is Law of Manpower of outsourcing, fixed pay attention to the conditions which must be fulfilled in its implementation. Arrangement of concerning work agreement, rights and obligations of labor outsourcing, that is through agreement of contract and work agreement certain time ( PKWT). Nature of its work is supporter work and non fundamental work of company. And legal protection for labor outsourcing carried out in the form of social security labor, safety and health work, and also fee protection.
Key words: Legal Status, Legal Protection, Manpower, Outsourcing.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Keaslian Penelitian ... 16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17
G. Metode Penelitian ... 24
1. Sifat Penelitian ... 25
3. Tekhnik Pengumpulan Data ... 26
4. Alat Pengumpulan Data ... 26
5. Analisis Data ... 27
BAB II STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING .. 28
A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing
dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan ... 28
B. Status Hukum Tenaga Kerja Outsourcing ... 43
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .... 43
2. Menurut UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan ... 44
BAB III PENGATURAN PERJANJIAN KERJA, HAK
DAN KEWAJIBAN TENAGA KERJA OUTSOURCING.. 50
A. Pengaturan Tentang Perjanjian Kerja ... 50
1. Perjanjian Kerja Menurut KUHPerdata ... 57
2. Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ... 64
3. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu ... 68
B. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Outsourcing ... 72
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
TENAGA KERJA OUTSOURCING... 92
A. Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kerja/Buruh yang telah Melakukan Perjanjian Kerja ... 92
1. Prinsip Perlindungan Tenaga Kerja ... 93
2. Jenis dan Objek Perlindungan Tenaga Kerja... 95
B. Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Outsourcing ... 96
a. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ... 97
b. Keselamatan dan Kesehatan Kerja ... 109
c. Perlindungan Upah ... 114
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124
A. Kesimpulan ... 124
B. Saran ... 125
ABSTRAK
Amanat para pendiri Republik dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tidak berlaku diskriminatif terhadap pekerja outsourcing. Dapat dipahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Sebagaimana dilihat kenyataan yang ada akar masalahnya adalah tingginya angka pengangguran karena ketidak seimbangan antara ketersediaan tenaga kerja dan sempitnya lapangan kerja. Outsourcing merupakan salah satu tren bisnis terpopuler di Indonesia beberapa tahun ini, banyak perusahaan maupun tenaga kerja yang merasakan manfaatnya, namun tidak sedikit pula yang memendam kerugiannya, dimana kerugian yang timbul lebih banyak berdampak bagi tenaga kerja outsourcing. Banyak perusahaan yang menggunakan atau merekrut tenaga kerja outsourcing untuk menekan biaya produksi.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status hukum bagi pekerja outsourcing, kemudian bagaimana UU Ketenagakerjaan mengatur tentang perjanjian kerja, hak dan kewajiban tenaga kerja outsourcing. Serta bagaimana perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library researh). Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni primer, sekunder dan tersier.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status hukum bagi pekerja outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan telah diatur dalam Pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan. Artinya UU Ketenagakerjaan melegalkan outsourcing, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam implementasinya. Pengaturan mengenai perjanjian kerja, hak dan kewajiban tenaga kerja outsourcing, yaitu melalui perjanjian pemborongan dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Sifat pekerjaannya adalah pekerjaan penunjang dan bukan pekerjaan pokok perusahaan. Dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja outsourcing diselenggarakan dalam bentuk jaminan sosial tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan upah.
ABSTRACT
Commendation of all Republic founder in Section 27 (2) UUD 1945 “Every citizen is entitled to for competent subsistence and work for human, not applicable of discriminative to labor outsourcing. Perceivable that target of development manpower has created the work field for citizen to get the competent subsistence. As seen an existing fact grow on its problem is height of unemployment number of because well-balanced between availability of labor and as tight as employment. Outsourcing represent one of popular trend business in Indonesia this some years, a lot of company and also labor feeling its benefit, but by dozens also which hide its loss, where more amount arising out loss affect for labor outsourcing. A lot of company using or recruitment the labor outsourcing to depress production cost.
Go together the mentioned, hence becoming problems is how legal status for labor outsourcing, later how Legal of Manpower arrange about work agreement, rights and obligations of labor outsourcing. And also how legal protection for labor outsourcing.
This normative legal study analyzes the research problems through a legal principle approach and refers to the legal norms found in the legislation. To collect the data in this thesis conducted with the research having the character of descriptive analyze the. The secondary data used in this study were obtained through library research. As for secondary data obtained library research from consisted of by 3 substance punish namely primary, secondary and tertiary.
Pursuant to research result known that by the legal status for labor of outsourcing in Law of Manpower have been arranged in Section 64, 65, and 66 Law of Manpower. Its meaning is Law of Manpower of outsourcing, fixed pay attention to the conditions which must be fulfilled in its implementation. Arrangement of concerning work agreement, rights and obligations of labor outsourcing, that is through agreement of contract and work agreement certain time ( PKWT). Nature of its work is supporter work and non fundamental work of company. And legal protection for labor outsourcing carried out in the form of social security labor, safety and health work, and also fee protection.
Key words: Legal Status, Legal Protection, Manpower, Outsourcing.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi perburuhan betul-betul sangat rentan, penuh dengan ketidakpastian
dan kapan saja dapat terancam PHK. Keputusan untuk melakukan PHK itu bisa
berlangsung akibat perusahaan tidak menerima order lagi dari pembelinya di luar
negeri, atau perusahaan mengalami mis-management, sehingga terjadi kebangkrutan
baik yang disengaja maupun yang terpaksa. PHK massal bakal terus terjadi seiringan
dengan kondisi politik dan iklim bisnis yang tidak mendukung. Banyak investor asing
yang siap-siap hengkang. Persoalannya juga terletak pada kualitas buruh serta
regulasi yang mengekang.1
Era globalisasi dan pasar bebas belum berjalan sepenuhnya. Akan tetapi
persaingan antar perusahaan barang maupun jasa, baik dalam negeri maupun antar
negara sudah sedemikian terasa ketatnya. Dalam iklim pasar bebas semacam ini,
hanya perusahaan yang efisien dengan produk yang berkualitas tinggi saja yang akan
mampu bertahan dalam seleksi ini. Kondisi demikian memaksa perusahaan untuk
melakukan berbagai upaya efisiensi di segala bidang, dan pada saat yang bersamaan
harus meningkatkan kualitas produk maupun layanan. Dalam operasional perusahaan
hampir seluruh yang berkait dengan biaya produksi seperti harga bahan baku, bunga
1
Bank, pajak, listrik, telefon dan lain-lain, hampir seluruhnya berada di luar kekuasaan
perusahaan karena tarifnya ditentukan oleh mekanisme pasar atau ditentukan oleh
pemerintah, kecuali komponen tenaga kerja. Artinya dalam rangka efisiensi dalam
proses produksi, pengusaha tidak dapat mempengaruhi apalagi ikut mengendalikan
harga maupun tarif yang termasuk dalam biaya produksi, kecuali komponen tenaga
kerja, satu-satunya komponen yang dapat diintervensi atau dimainkan oleh
pengusaha.2
Buruh kontrak dan outsourcing telah menjadi fenomena global dan
menyiratkan satu dari tantangan terbesar yang dihadapi oleh serikat-serikat buruh.
Hal ini menjadi permasalahan bagi serikat buruh di Negara-negara maju di awal
tahun 1980-an, ketika perusahaan-perusahaan menuntut kelenturan (fleksibilitas), dan
kini menjadi masalah di Negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin
dan Eropa Tengah dan Timur.3
Kini, perusahaan berkonsentrasi pada bidang produksi atau layanan utama
mereka. Hal ini mengakibatkan pengurangan dalam jumlah besar, akuisisi dan merjer
karena mereka mengkonsentrasikan pada satu atau beberapa usaha utama agar dapat
memenuhi ambisi mereka menjadi sepuluh besar dalam bisnis terkait di dalam pangsa
pasar global. Sehingga konsentrasi ini berakibat pada upaya mereka untuk mencoba
beroperasi dengan memperkerjakan karyawan sesedikit mungkin. Kegiatan
2
Akar Masalah Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing, http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/akar-masalah-sistem-kerja-kontrak-dan-outsourcing, Diakses Tanggal 23 Maret 2009.
3
peripheral dilakukan dengan pesatnya melalui kemungkinan opsi termurah yang
berarti upaya menghindarkan tanggung jawab sebagai pemberi kerja. Agar
mendapatkan layanan dengan murah, perusahaan pusat memberikan kontrak sesuai
kehendak. Kemampuan untuk mengubah kontrak mati dan hidup memberikan
keleluasaan pengusaha untuk memperoleh keluwesan financial yang dicari.4
Kondisi demikian mendorong pengusaha untuk lebih jauh dalam
meminimalkan komponen tenaga kerja agar biaya produksi dapat lebih rendah.
Modusnya bermacam-macam, seperti melalui tenaga kerja kontrak, outsourcing
ataupun dengan cara mengurangi atau bahkan tidak memberikan hak pekerja yang
telah diatur undang-undang. Kenyataannya banyak pekerja di perusahaan yang tidak
mengetahui/memahami peraturan ketenagakerjaan atau mengetahui, tetapi faktor
langkanya pekerjaan membuat pekerja bertahan dan tidak berani menuntut, meskipun
sebenarnya hak-haknya dilanggar oleh pengusaha. Belum lagi apabila dilihat
penegakan hukum ketenagakerjaan yang terkesan setengah hati, walau sebenarnya
hak-hak pekerja itu sendiri pada umumnya sudah minim, karena peraturan
ketenagakerjaan hanya mengatur hak-hak minimum sebagai jaring pengaman yang
harus diberikan perusahaan.5
Sudah menjadi kodrat bagi para pemimpin atau penguasa untuk terus
memperoleh bagian terbanyak dari apa yang dapat dilakukan oleh pekerjanya.
Sehingga para pekerja sering sekali ditindas oleh para penguasanya dan yang lebih
4
Ibid., 5
menyedihkan lagi para penguasa tersebut tidak memikirkan kesejahteraan para
pekerjanya, sehingga para pekerja tersebut sering sekali tidak mendapatkan
kesejahteraan yang layak sebagaimana mestinya.
Di zaman modern ini nampaknya situasi yang menyedihkan itu akan terulang
kembali, sebab melalui hubungan kerja outsourcing ini pekerja atau karyawan dapat
ditekan sedemikian rupa tanpa bisa menuntut hak normatif yang wajar. Globalisasi
ekonomi yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat, transparansi dan
demokratis, telah menempatkan Indonesia sebagai Negara berkembang pada posisi
yang serba dilematis dalam menangani masalah perburuhan. Di satu pihak
Negara-negara berkembang yang berada pada posisi tergantung pada modal dan tekhnologi
negara maju, terpaksa menekan tingkat upah dan syarat-syarat kerja lainnya untuk
menarik penanam modal asing (foreign investor). Di lain pihak pengusaha ditekan
oleh Negara-negara maju untuk memperhatikan upah buruh serta syarat-syarat kerja
dan kondisi kerja lainnya melalui berbagai macam cara. Amerika Serikat beberapa
kali mengancam akan mencabut kuota ekspor tekstil ke Amerika Serikat karena
pemerintah Indonesia tidak menjamin hak buruh untuk berserikat ataupun
pelaksanaan peraturan perundang-undangan.6
Berkaitan dengan itu, dalam era globalisasi dan perdagangan bebas pada saat
ini, dunia usaha dituntut untuk mampu bersaing demi tercapainya pemenuhan
kebutuhan di segala aspek. Berkaitan dengan hal itu, perusahaan-perusahaan di
6
Indonesia dituntut pula untuk meningkatkan produksinya agar tidak tersapu oleh
derasnya persaingan dalam era pasar bebas ini. Dalam dunia usaha aspek tenaga kerja
(human resource) mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan
tingkat produktivitas suatu perusahaan. Karena dengan adanya pengelolaan tenaga
kerja yang baik serta diimbangi dengan penerapan teknologi yang mutakhir tingkat
produksi suatu perusahaan relatif akan jauh lebih baik.7
Tipe umum perusahaan pada abad 20 adalah perusahaan besar terintegrasi
yang dapat memiliki, mengatur, dan mengontrol secara langsung semua asetnya. Pada
tahun 1960-an berbagai himbauan dalam berbagai pertemuan ekonomi dilakukan
untuk mengadakan diversifikasi (penggolongan), memperbesar basis perusahaan,
serta mengambil keuntungan dari perkembangan ekonomi. Pada tahun 1970 dan
1980, perusahaan berusaha dalam persaingan global, tetapi banyak yang mengalami
kesulitan karena kurangnya persiapan akibat struktur manajemen yang membengkak.
Akibatnya, resiko usaha dalam segala hal termasuk resiko ketenagakerjaan pun
meningkat. Tahap ini merupakan awal timbulnya pemikiran outsourcing pada dunia
usaha. Untuk meningkatkan keluwesan dan kreatifitasnya, banyak perusahaan besar
yang membuat strategi baru dengan konsentrasi pada bisnis inti (core bussines),
mengindentifikasikan proses yang kritikal, dan memutuskan hal-hal yang harus di
outsource.8
7
Ibid., 8
Kini semakin banyak perusahaan yang menggunakan tenaga kerja kontrak.
Perusahaan-perusahaan tersebut ada yang merekrutnya sendiri, namun yang lebih
banyak mereka bekerja sama dengan perusahaan penyedia tenaga kerja, perusahaan
outsourcing dan perusahaan pemborongan pekerjaan. Merebaknya sistem kerja
kontrak ini telah mengundang banyak protes dari berbagai pihak terutama dari
elemen-elemen pekerja. Aksi dan penolakan ini wajar karena dalam kenyataannya
penggunaan pekerja kontrak ini banyak yang menyimpang dari peraturan
ketenagakerjaan. Sekedar contoh, Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan telah membatasi jenis pekerjaan yang dapat menggunakan karyawan
kontrak yaitu pekerjaan yang predictiable penyelesaiannya, pekerjaan musiman dan
pekerjaan yang bukan merupakan pekerjaan utama perusahaan tersebut. Namun,
dalam praktiknya pekerjaan yang bersifat terus menerus pun menggunakan tenaga
kontrak.9 Penyimpangan lain, perjanjian kerja yang semestinya berlaku paling lama
dua tahun, dan hanya dapat diperpanjang untuk satu kali selama satu tahun, dalam
kenyataannya ada kontrak yang dibuat lebih dari tiga tahun. Belum lagi tindakan
perusahaan penyedia tenaga kerja atau oknum-oknum perusahaan tersebut memungut
atau memotong upah karyawan.10
Defenisi outsourcing sendiri adalah pendelegasian operasi dan manajemen
dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing)
9
Libertus Jehani, Hak-Hak Karyawan Kontrak, Cetakan kedua, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hlm. iii-iv.
dengan tujuan untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk
masalah ketenagakerjaan. Sedangkan secara terminology, dalam KUHPerdata telah
diatur mengenai masalah tersebut, dengan istilah pemborongan pekerjaan, yaitu Pasal
1601b KUHPerdata bahwa yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan adalah
perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan,
dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan
hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku produksi barang maupun jasa
dan oleh pemerhati, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk
menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja
yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat
merugikan pekerja/buruh. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat
menimbulkan kesehatan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan tindakan
mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan
di atas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang
maupun jasa.11
Hubungan kemitraan antara buruh dan pengusaha ini akan terganggu jika
salah satu pihak memaksakan kehendak kepada pihak lainnya sehingga pemenuhan
kebutuhan atau kepentingan salah satu pihak dirugikan. Untuk mengarahkan atau
11
mengembalikan hubungan kerjasama antara buruh dan pengusaha dalam kegiatan
usaha tersebut, hukum perburuhan sebagai pedoman tingkah laku para pelaku dalam
proses produksi, mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting. Melalui
ketentuan-ketentuan di bidang perburuhan yang mencerminkan kepentingan buruh
maupun pengusaha, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.12
Ketimpangan hubungan hukum, yang timbul sebagai akibat perjanjian kerja
antara buruh dan majikan merupakan fenomena yang bersifat global, oleh karena itu
hal tersebut juga dapat dijumpai di Indonesia khususnya dalam permasalahan
penerapan sistem outsourcing. Posisi tawar buruh yang jauh lebih lemah
dibandingkan dengan majikan, menyebabkan tidak terlindunginya hak-hak si buruh,
sehingga dalam keadaan terpaksa buruh memenuhi persyaratan-persyaratan yang
diminta oleh si majikan, meskipun hal tersebut sangat merugikan dirinya. Dengan
menyadari hal tersebut keikutsertaan pemerintah untuk turut campur tangan sangat
diperlukan.
Berdasarkan hal di atas, maka sangat perlu kiranya bagi setiap perusahaan,
untuk mempunyai suatu hubungan kerja yang baik yaitu antara perusahaan, dalam hal
ini adalah majikan, dengan para tenaga kerja, sehingga salah satu pihak tidak akan
ada yang merasa dirugikan.
Menurut Imam Soepomo, hubungan kerja adalah suatu hubungan antara
seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan
12
kedua pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban majikan terhadap buruh.13 Kemudian dijelaskan pula bahwa hubungan
kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu
perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk
memperkerjakan buruh itu dengan membayar upah. Pada pihak lainnya mengandung
arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan ini berada di bawah pimpinan
pihak majikan.14
Tenaga kerja/buruh dituntut untuk selalu mempunyai keterampilan dan tentu
saja bekal ilmu yang lebih untuk dapat bersaing menempati bidang kerjaan yang
sesuai dengan ilmu serta keterampilannya itu. Karena pada saat ini tingkat tenaga
kerja di Indonesia semakin tinggi dengan dapat dilihat dari begitu tingginya angka
pengangguran yang setiap tahun semakin bertambah. Pihak perusahaan dalam
memilih para tenaga kerjanya tentu saja akan melakukan suatu proses penyaringan
dalam pemilihan tenaga kerja yang akan digunakannya. Proses tersebut dapat
dilakukan sendiri oleh pihak perusahaan ada pula yang melalui suatu lembaga atau
perusahaan lain yang melakukannya.
Outsourcing merupakan salah satu tren bisnis terpopuler di Indonesia
beberapa tahun ini, banyak perusahaan maupun tenaga kerja yang merasakan
13
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm.1.
manfaatnya, namun tidak sedikit pula yang memendam kerugiannya, dimana
kerugian yang timbul lebih banyak berdampak bagi tenaga kerja outsourcing. Banyak
perusahaan yang menggunakan atau merekrut tenaga kerja outsourcing untuk
menekan biaya produksi. Seperti yang diungkapkan oleh Dirjen Pembinaan
Hubungan Industrial Depnakertrans di Jakarta, yang mengatakan perlindungan dan
syarat kerja yang diterima pekerja outsourcing jauh di bawah standar sehingga sangat
merugikan pekerja.15
Terminology outsourcing, ada di Pasal 1601b KUHPerdata yang mengatur
perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni suatu perjanjian dimana pihak pertama
(pemborong) mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain
yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu.16 Dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara eksplisit tidak ada istilah
outsourcing, tetapi praktik outsourcing tersebut dalam Undang-Undang ini dikenal
dalam dua bentuk. Bentuk ini adalah pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa
pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).17
Praktik outsourcing dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat
dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat, yakni perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Selain itu bagian pekerjaan yang dapat
15
Muzni Tambusai, Banyak Perusahaan Pakai Pekerja Outsourcing untuk Tekan Biaya, http://www.mediaindonesiaonline.com/ketenagakerjaan/170304/html. Diakses Tanggal 23 Maret 2009.
16 Ibid., 17
diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum.
Persyaratan lainnya adalah perlindungan kerja serta syarat-syarat kerja perusahaan
penerima sekurangnya sama dengan yang ada diperusahaan pemberi kerja, serta
hubungan kerja dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis.18 Dengan adanya sistem
outsourcing yang mempunyai kepastian hukum diharapkan dapat mampu untuk
mengatasi masalah pengangguran dan sekaligus memperbaiki iklim dunia usaha di
tanah air yang pada saat ini masih dalam suasana yang belum menggembirakan.
Sehingga dapat terjalinnya hubungan yang harmonis antara para pengusaha dan para
tenaga kerjanya.
Pendekatan apa saja yang dapat dilakukan oleh pengusaha atau pemerintah
agar tragedi di zaman Raffles itu tidak terulang kembali. Perlukah pemerintah meniru
tindakan Raffles dahulu untuk melakukan reformasi dan kalau jawabannya ya, maka
apa, dari persoalan ini perlu terlebih dahulu bertanya apakah perlu perduli terhadap
nasib tenaga kerja outsourcing ini. Jawabannya tentu saja sudah jelas bahwa perlu
memperhatikan nasib bukan saja karena alasan etis bahwa di zaman modern ini masih
terdapat keadaan yang mendekati perbudakan, akan tetapi juga yang terlebih penting
adalah untuk alasan kemajuan ekonomi.19
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak
disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di
18
Pasal 64,65, dan 66 UU No 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan, 19
bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut Robert A. Nisbet dalam bukunya: Social
Change and History, bahwa dengan timbul perubahan di dalam susunan masyarakat
yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Pengertian hak milik yang semula
mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang juga
mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh
karena sekarang “ barang siapa yang memiliki alat-alat produksi” bukan lagi hanya
menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai
buruh.20
Dalam perspektif hukum, bahwa pemilik barang hanya terikat kepada
barangnya saja. Hanya mempunyai kekuasaan atas barang yang dimilikinya, tetapi
apa yang semula merupakan penguasaan serta kontrol atas barang, atas pekerja
upahan. Perubahan ini terjadi setelah barang itu berubah fungsinya menjadi kapital.
Orang yang disebut sebagai pemilik, membebani orang lain dengan tugas-tugas,
menjadikan orang itu sebagai sasaran dari perintah-perintahnya dan setidak-tidaknya
pada masa awal-awal kapitalisme mengawasi sendiri pelaksaan dari
perintah-perintahnya. Seorang yang semula memiliki res, sekarang bisa “memaksakan”
kehendaknya kepada personae.21 Dari dua pernyataan di atas, akan mengingatkan kita
kepada: pertama, jiwa dari Pembukaan UUD 1945 dan pasal 27 (2) UUD 1945.
Kedua, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK).
20
Robert A. Nisbet, Social Change and History - Aspects of the Western Theory of Development, (London, Oxfort University Press, 1972), Dalam: Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 97.
21
Tenaga outsourcing ini perlu diberikan perlindungan hukum karena alasan
menyelamatkan angkatan kerja (work force) yang sangat potensial satu dan lain hak
untuk melakukan gerak kemajuan ekonomi secara umum. Kebanyakan dari tenaga
kerja outsourcing ini adalah profesional di bidangnya, muda dalam usia, mempunyai
semangat kerja yang baik. Kekurangannya kebanyakan adalah karena tidak
mempunyai kesempatan dan tidak mempunyai hubungan khusus dengan para penentu
kebijaksanaan perusahaan. Dan datang belakangan dibandingkan dengan tenaga tetap
karena memang belakangan juga datangnya di dunia. Angkatan kerja potensial ini
perlu dilindungi juga dengan alasan bilamana gerak pembangunan ekonomi bangsa
mulai berjalan lagi maka tenaga kerja ini tetap tersedia dan siap menyambut gerak
pembangunan kembali ekonomi Indonesia pasca krisis. Kenyataan di Negara maju
menunjukkan bahwa bagaimana modernnya proses produksi tetap saja diperlukan
operator yang handal dan bersemangat tinggi sehingga sekarang ini menurut
Newsweek 30 Januari 2006 harus mempekerjakan tenaga-tenaga yang sudah berumur
lanjut.22
Sebagaimana dilihat pada kenyataan yang ada akar masalahnya adalah
tingginya angka pengangguran karena ketidak seimbangan antara ketersediaan tenaga
kerja dan sempitnya lapangan kerja. Untuk dapat memberikan solusi yang permanen
tentu saja secara makro pemerintah perlu mengusahakan agar gerak kegiatan ekonomi
dapat berjalan lancar kembali. Meskipun menggerakkan kembali roda perekonomian
22
ini harus secara simultan atau bersamaan akan tetapi tentu saja ada beberapa sektor
yang memerlukan prioritas karena sektor ini akan memberikan efek atau akibat
berganda bagi gerak perbaikan ekonomi. Sektor-sektor yang padat karya dengan
tekhnologi madya kiranya perlu memperoleh prioritas. Dengan menggerakkan sektor
ini maka dapat diciptakan pasar baru bagi produsen karena karyawan dan buruh yang
telah memperoleh gaji yang memadai telah kembali mempunyai tenaga beli
purchasing power. Demikianlah kegiatan ekonomi bisa berputar kembali dengan
kecenderungan untuk terus meningkat sehingga sektor lainnya dapat pula diperbaiki.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana status hukum bagi pekerja outsourcing?
2. Bagaimana UU ketenagakerjaan mengatur tentang perjanjian kerja, hak dan
kewajiban tenaga kerja outsourcing?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan di atas maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan menganalisis mengenai status hukum bagi para pekerja
outsourcing.
2. Mengetahui dan menganalisis mengenai perjanjian kerja, hak dan kewajiban
3. Mengetahui dan menganalisis mengenai perlindungan hukum bagi para
pekerja outsourcing.
D. Manfaat Penelitian
Ditetapkannya permasalahan-permasalahan, maka diharapkan akan membawa
sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis, sehubungan dengan itu,
penelitian ini setidaknya bermanfaat untuk:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma
berpikir dalam memahami, mengerti dan mendalami permasalahan hukum,
khususnya mengenai tenaga kerja outsourcing. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan dan dapat
memperkaya khazanah kepustakaan, khususnya dalam studi ilmu hukum
ekonomi.
2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi
pemikiran bagi orang yang ingin berkecimpung atau ikut serta dalam suatu
perusahaan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
yang ada, melalui penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara
dan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
terhadap Tenaga Kerja Outsourcing dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya.
Walaupun ada beberapa kesamaan dalam membahas topik tentang ketenagakerjaan,
misalnya mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh dalam Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau dari UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan23. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentu sangat berbeda
dengan penelitian yang penulis tulis. Dalam penelitian ini, penulis menekankan
mengenai tenaga kerja outsourcing. Sedangkan penelitian terdahulu lebih
menekankan pada tenaga kerja PKWT. Walaupun pada dasarnya PKWT merupakan
bagian dari pekerja outsourcing. Sehingga penulisan penelitian ini dapat dikatakan
asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Amanat para pendiri Republik dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 tentang hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak berlaku diskriminatif terhadap pekerja
outsourcing. Kemudian, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa:
Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
23
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dari
amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa tujuan pembangunan
ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk
mendapatkan penghidupan yang layak.
Selanjutnya, UUK sebagai penjabaran dari UUD 1945 dan TAP MPR, telah
mengatur perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain: 1. perlindungan PHK;
2. jamsostek; 3. upah yang layak dan tabungan pensiun. Dalam praktek outsourcing,
hak-hak tersebut merupakan sesuatu yang sangat mahal untuk didapat oleh para
pekerja outsourcing. Karena status pekerja outsourcing adalah pekerja pada PT.A,
tapi harus bekerja pada PT.B dengan waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun.
Proses demokrasi di tempat kerja yang sedang berlangsung di Indonesia pada
saat ini pada dasarnya mempunyai nilai positif terhadap perkembangan hubungan
perburuhan di Indonesia. Hal ini disebabkan demokratisasi tersebut dapat
dilaksanakan sebaik-baiknya oleh para pengambil keputusan itu sendiri. Di samping
itu, proses pengambilan keputusan secara demokratis ini pada gilirannya dapat
mendorong terciptanya hubungan kemitraan antara buruh dan pengusaha yang
cenderung bersifat permusuhan (adversarial), namun saling membutuhkan satu sama
lain. Dengan kata lain mitranisasi hubungan buruh dan pengusaha disini di satu pihak
mekanisme konflik (conflict-consensus), dan di lain pihak juga bukan dengan cara
melarang penggunaan hak mogok.24
Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dan majikan dimana buruh menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana
majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan
membayar upah.25 Pendapat lain mengenai hubungan kerja menurut Husni dalam
Asikin adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja,
yaitu suatu perjanjian dimana pihak buruh mengikatkan dirinya pada pihak majikan
untuk bekerja dengan mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupannya
untuk memperkerjakan si buruh dengan membayar upah.26 Hal yang sama mengenai
hubungan kerja juga terdapat dalam Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang isinya hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsure pekerjaan, upah dan perintah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam
suatu hubungan kerja diawali dengan suatu perjanjian yang dalam hal ini adalah suatu
perjanjian kerja terlebih dahulu.
24
Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, Cetakan I, (Jakarta: UI Press, 2001), hlm.221. 25
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet-12, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm.70.
26
Pasal 1320 KUHPerdata (syarat sah perjanjian), untuk sahnya
persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Pasal 1338 KUHPerdata (asas kebebasan berkontrak), “Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik.”
Selanjutnya mengenai pengertian perlindungan hukum bagi tenaga
kerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan. Dan kemudian mengenai
outsourcing, bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip mengenai outsourcing telah
dijalankan sejak dulu. Hal tersebut dapat dilihat dari bangsa Yunani dan Romawi
menyewa prajurit asing untuk bertempur pada peperangan mereka serta menyewa ahli
bangunan untuk membangun kota beserta istana.27 Undang-Undang Ketenagakerjaan
memang secara eksplisit tidak menjelaskan mengenai pengertian dasar dari
outsourcing itu sendiri. Namun praktik outsourcing tersebut dalam undang-undang
27
ini dikenal dalam dua bentuk. Bentuk ini adalah pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal
66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Seperti yang ditegaskan oleh Imam Soepomo tujuan pokok hukum
perburuhan adalah terlaksananya dan terwujudnya keadilan sosial. Hukum
ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari tujuan awal dilahirkannya sebagai hukum
yang mengatur hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan guna
tercapainya keadilan sosial. Hukum dalam pengertiannya yang utama adalah suatu
aturan yang dicita-citakan dan diwujudkan dalam undang-undang, namun sebelumnya
perlu ditegaskan bahwa hukum memiliki dua pengertian yang perlu dipahami:28
1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan= iustitia). Maka di sini hukum menandakan
peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan.
2. Hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan
itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut.
Hukum ketenagakerjaan seperti yang telah disinggung merupakan hukum
yang dibentuk untuk mengadakan keadilan dalam hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Secara sosial ekonomi posisi pengusaha dan
pekerja/buruh sangat bertolak belakang. Hal ini menyebabkan hubungan antara
keduanya diatur oleh hukum, yaitu hukum yang adil. Keadilan sosial adalah keadilan
28
yang berhubungan dengan pembagian nikmat dan beban dari suatu kerjasama sosial
khususnya yang dilakukan oleh negara.29
Agar tercapainya suatu keadilan sosial, diperlukan pelaksanaan prinsip-prinsip
hukum tertentu. Teori keadilan dari John Rawls menyaratkan dua prinsip keadilan
sosial yang sangat mempengaruhi pemikiran abad ke-20, yaitu prinsip-prinsip sebagai
berikut:30
1. Paling utama adalah prinsip kebebasan yang sama (equal liberty), yakni setiap
orang memiliki hak atas kebebasanindividual (liberty) yang sama dengan hak
orang lainnya.
2. Prinsip kesempatan yang sama (equal opportunity). Dalam hal ini, ketidakadilan
ekonomi dalam masyarakat harus diatur untuk melindungi pihak yang tidak
beruntung, dengan jalan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang
dengan persyaratan yang adil.
Kepastian hukum merupakan syarat untuk melahirkan ketertiban. Untuk
mencapai ketertiban hukum diperlukan adanya keterarutan dalam masyarakat. Hukum
diartikan sebagai tata hukum atas hukum positif tertulis.31 Keberlakukan hukum di
tengah masyarakat bukan lagi untuk mencapai keadilan semata, tetapi juga harus
29
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm.6,8 dalam Agusmidah, Politik Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Disertasi, (Medan: SPS USU, 2006), hlm.131.
30
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hlm.126. 31
memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman, baik
bagi masyarakat maupun bagi aparatur hukum dalam mengambil keputusan.32
Sociological Jurisprudence: Roscoe Pound mengatakan, hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menunjukkan kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat
hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum.33 Aktualisasi
dari living law, hukum tidak dilihat dari wujud sebagai kaidah, melainkan hukum
terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Pada kenyataan hukum adalah kemauan
publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books.
2. Landasan Konsepsi
Dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris,
dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsional yang dipiris, dimungkinkan
untuk menyusun kerangka konsepsional yang didasarkan atau diambil dari
peraturan-peraturan perundang-undangan tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di
dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.
32
Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.
33
a. Perlindungan hukum adalah penjagaan agar tenaga kerja dapat melakukan
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.34
b. Status hukum adalah keberadaan seseorang mengenai hak dan kewajiban yang
diatur dalam peraturan yang mengikat.
c. Outsourcing adalah proses memindahkan pekerjaan dan layanan yang
sebelumnya dilakukan di dalam perusahaan ke pihak ketiga.35
d. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.36
G. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.37 Soerjono Soekanto mengatakan menurut kebiasaan metode
dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan
34
Yusufaditya, Perlindungan Hukum terhadap Pekerja pada Malam Hari di Easy Mini Market, http://one.indoskripsi.com. Di akses Tanggal 29 Mei 2009.
35
Amin Widjaja Tunggal, Outsourcing, Konsep dan Kasus, (Jakarta: Harvarindo, 2008), hlm.11.
36
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 37
3. Cara tertentu untuk melaksanakan prosedur38
Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dari asal kata Methodos yang
berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut
cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan.39
Pengumpulan data dengan cara deskriptif dilakukan pendekatan yuridis
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian
melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, di mana jenis penelitian yang
bertujuan melukiskan permasalahan hukum40 yaitu penelitian ini hanya
menggambarkan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka
studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara
langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.41
2. Sumber Data
38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm.5. 39
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penellitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997),
hlm.16. 40
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16. 41
Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder.
Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas.42 Dari sudut
informasi, maka bahan pustaka dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut:43
a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma
dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dan merupakan
landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 Tentang Surat Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan lain
yang berkaitan dengan objek penelitian.
b. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,
bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang
relevan dengan objek telaah penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan jurnal-jurnal ilmiah.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori
atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang
42
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.122.
43
berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini, yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dan karya ilmiah lainnya.
4. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan studi
dokumen yang dikumpulkan dengan mempergunakan studi pustaka sebagai alat
pengumpulan data yang dilakukan di Perpustakaan, baik melalui penelusuran katalog
maupun browsing internet.
Pada tahap awal pengumpulan data dilakukan inventaris seluruh data dan atau
dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan
pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah
ditetapkan.
5. Analisis Data
Analisis merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian dalam rangka
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah diperoleh data
sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier, maka dilakukan pengklasifikasian data, kemudian data disusun secara
sistematis untuk mempermudah proses analisa. Analisa data dilakukan dengan
pendekatan kualitatif. Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif
sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Menurut Lexy J. Moleong, analisa data kualitatif ini adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.44
44
BAB II
STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING
A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan
Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan
sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan
untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost production). Dengan menggunakan
sistem outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran
dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan.45
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya
bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, yang
menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia
jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dalam prakteknya, ketentuan tentang
penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam peraturan di atas akhirnya memunculkan
pula istilah outsourcing, (dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya
manusia dari pihak di luar perusahaan).
45
Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “alih daya”. Outsourcing
mempunyai nama lain yaitu “contracting out” merupakan sebuah pemindahan
operasi dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk
memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal lain. Di
negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, pemanfaatan outsourcing sudah
sedemikian mengglobal sehingga menjadi sarana perusahaan untuk lebih
berkonsentrasi pada core businessnya sehingga lebih fokus pada keunggulan produk
servisnya. Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan
Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing, seperti
penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan
utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak
dimiliki oleh perusahaan.
Salah satu kunci kesuksesan dari outsource adalah kesepakatan untuk
membuat hubungan kerja jangka panjang (long term relationship), tidak hanya
kepada proyek jangka dekat. Alasannya sangat sederhana, yaitu outsource harus
memahami proses bisnis dari perusahaan. Perusahaan juga akan menjadi sedikit
tergantung kepada outsourcer. Namun ternyata hal ini tidak mudah dilakukan di
Indonesia. Terlebih-lebih lagi di Indonesia ada banyak masalah dalam menentukan
partner outsourcing ini. Di industri milik pemerintah, seperti BUMN, pemilihan
penyedia layanan harus dilakukan dengan melalui tender. Akibatnya pemegang
ditenderkan lagi. Hubungan baik antara pengguna jasa outsourcing dan penyedia jasa
outsourcing sulit terjadi.
Beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan sebenarnya banyak yang
mengkritik sistem outsourcing, karena secara legal formal perusahaan pemberi kerja
tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan hak-hak karyawan
yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam rangka melindungi karyawan yang
ditempatkan tersebut ditentukan beberapa syarat untuk meminimalisasi dampak
negatif dari sistem outsourcing. Syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja maupun perusahaan pemberi kerja, agar
pekerja/buruh yang bersangkutan tetap terlindungi hak-haknya dan tidak mengalami
eksploitasi secara berlebihan. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi adalah sebagai
berikut:
1. Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang berwenang
2. Pekerja/karyawan yang ditempatkan tidak boleh digunakan untuk melaksanakan
kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi
3. Adanya hubungan kerja yang jelas antara pekerja/buruh dengan perusahaan
penyedia jasa pekerja, sehingga pekerja yang ditempatkan tersebut mendapatkan
perlindungan kerja yang optimal sesuai standar minimum ketenagakerjaan
4. Hubungan kerja harus dituangkan dalam perjanjian secara tertulis yang memuat
seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat
membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua
lingkungan. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk
menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan
fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan
suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang
kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi
lebih efektif, efisien dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau
kemudian muncul kecenderungan outsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau
beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada
perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.46
Berikut akan dicoba untuk menguraikan sedikit mengenai pemborongan
pekerjaan sebagai latar belakang, sebelum memasuki definisi dari outsourcing.
Tentang isi perjanjian yaitu bahwa pihak yang satu menghendaki hasil dari suatu
pekerjaan yang disanggupi oleh pihak yang lainnya untuk diserahkannya dalam suatu
jangka waktu yang ditentukan, dengan menerima suatu jumlah uang sebagai harga
hasil pekerjaan tersebut. Perjanjian pemborongan diwajibkan memberikan bahannya
46
untuk pekerjaan tersebut, dan si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya
saja.47
Pasal 1601b mengartikan pemborongan kerja sebagai suatu persetujuan. Pihak
pemborongan mengikatkan diri kepada pihak pemberi borongan untuk menyelesaikan
suatu borongan tertentu, dan sebagai imbalan atas penyelesaian tersebut, pihak
pemborong mendapat prestasi harga tertentu sebagai upah. Upah tertentu dalam
pemborongan ini tidak hanya dimaksudkan semata-mata hanya upah yang telah
ditentukan lebih dahulu. Tidak itu saja maksudnya, tetapi harus diartikan lebih luas
dari pada itu yaitu, meliputi upah yang dapat ditentukan kemudian.48
Prestasi upah yang diterima pemborong dalam pemborongan kerja tergantung
pada objek kerja yang diborongkan. Bisa saja si pemborong hanya menyediakan
bahan-bahan atau barang-barang borongan. Namun bisa juga sekaligus pemborong itu
sendiri yang menyediakan bahan dan menyiapkan kerja borongan. Seperti
memborong bangunan rumah. Seorang pemborong hanya ditugaskan untuk
menyediakan bahan bagunan saja, sedangkan pembangunan rumah diserahkan kepada
pemborong lain. Tetapi bisa juga sekaligus alat bangunan dan pembangunan rumah
diserahkan kepada seorang pemborong.49
Satu dan lain membawa perbedaan dalam hal dan tanggung jawabnya.
Pemborong atas hasil pekerjaan yang diperjanjikan. Dalam halnya si pemborong
47
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.65.
48
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan kedua, (Jakarta: Alumni, 1986), hlm.258.
diwajibkan memberikan bahannya, dan pekerjaannya dengan cara bagaimanapun
musnah sebelumnya diserahkan kepada pihak yang memborongkan. Maka segala
kerugian adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang
memborongkan telah lalai untuk menerima hasil pekerjaan itu. Jika si pemborong
hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, dan pekerjaannya musnah, maka hanya
bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal 1605 dan Pasal 1606). Ketentuan yang
terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak, yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh pihak yang
memborongkan, dipikulkan pada pundak pihak yang memborongkan ini. Baru
apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadian itu, hal mana
harus dibuktikan oleh pihak yang memborongkan. Maka si pemborong dapat
dipertanggung jawabkan sekedar kesalahannya itu mengakibatkan kemusnahan
bahan-bahan tersebut.50
Kemudian, dalam halnya si pemborong hanya diwajibkan melakukan
pekerjaan saja, Pasal 1607 KUHPerdata dituturkan bahwa jika musnahnya pekerjaan
itu terjadi di luar sesuatu kelalaian dari pihaknya pemborong, sebelum pekerjaan itu
diserahkan, sedang pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan
menyetujui pekerjaannya. Maka si pemborong tidak berhak atas harga yang
50
dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang (pekerjaan) itu disebabkan oleh suatu
cacat dalam bahannya.51
Dari ketentuan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua belah
pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tidak disengaja yang memusnahkan
pekerjaan itu, pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah
disediakan, sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menggarap pekerjaan. Pihak yang memborongkan hanya dapat
menuntut penggantian kerugiannya apabila dapat membuktikan adanya kesalahan
dari si pemborong. Sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut harga
yang dijanjikan apabila ia berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan
oleh pihak lawannya itu mengandung cacat-cacat yang menyebabkan kemusnahan
pekerjaannya.52
Jika suatu pekerjaan dikerjakan sepotong demi sepotong (sebagian demi
sebagian) atau seukuran demi seukuran, maka pekerjaan itu dapat diperiksa sebagian
demi sebagian. Pemeriksaan tersebut dianggap terjadi (dilakukan) untuk semua
bagian yang telah dibayar apabila pihak yang memborongkan tiap-tiap kali membayar
si pemborong menurut imbangan dari apa yang telah selesai dikerjakan (Pasal 1608).
Ketentuan ini mengandung maksud bahwa bagian pekerjaan yang sudah dibayar itu
51
Ibid., hlm.66. 52
menjadi tanggungan pihak yang memborongkan apabila terjadi suatu peristiwa (di
luar kesalahan salah satu pihak) yang memusnahkan bagian pekerjaan itu.53
Mengenai pemborongan pembangunan gedung terdapat suatu ketentuan
sebagai berikut: jika suatu gedung yang telah diborongkan dan dibuat untuk suatu
harga tertentu, seluruhnya atau sebagian musnah disebabkan karena suatu cacat dalam
penyusunannya atau bahkan karena tidak sanggup tanahnya, maka para ahli
pembangunannya serta para pemborongnya adalah bertanggung jawab untuk itu
selama sepuluh tahun (Pasal 1609). Ketentuan ini meletakkan kepada ahli
pembangunan dan pemborongan suatu kewajiban untuk menjamin mutu pekerjaan
yang telah mereka lakukan. Apabila tanahnya tidak cukup kuat untuk didirikan
gedung di atasnya, maka hal itu sepantasnya harus diketahui oleh ahli pembangunan
dan pemborong dan karena itu mereka juga dipertanggung jawabkan atas runtuhnya
gedung akibat kurang kuat tanahnya. Dan adalah pantas pula dalam hal pemborongan
pembangunan suatu gedung untuk meletakkan kewajiban menanggung hasil karya
mereka itu selama sepuluh tahun.54
Kemudian dalam hal pemborongan pembangunan gedung itu didapatkan juga
ketentuan sebagai berikut: jika seorang ahli pembangunan atau seorang pemborong
telah menyanggupi untuk membuat suatu gedung secara memborong menuntut suatu
penambahan harga, baik dengan dalih telah dibuatnya perubahan-perubahan dan
tambahan-tambahan yang tidak termasuk dalam rencana, jika perubahan-perubahan
53
Ibid., 54
atau tambahan-tambahan itu tidak telah disetujui secara tertulis dan tentang harganya
tidak telah diadakan persetujuan dengan si pemilik (Pasal 1610). Ketentuan tersebut
sudah tepat, karena naiknya upah buruh dan harga bahan bangunan turun, itu adalah
untungnya pemborong.55
Pihak yang memborongkan jika menghendaki demikian, boleh menghentikan
pemborongannya, meskipun pekerjaan telah dimulai. Asalkan memberikan ganti rugi
sepenuhnya kepada si pemborong untuk segala biaya yang telah dikeluarkan guna
pekerjaannya serta untuk keuntungan yang terhilang karenanya. Demikianlah
diterangkan oleh Pasal 1611. Di sini diberikan kemungkinan pengakhiran secara
sepihak dengan segala konsekwensinya, yaitu pembayaran ganti rugi kepada
pemborong yang tidak saja terdiri atas segala biaya yang telah dikeluarkan. Tetapi
juga atas kehilangan keuntungan yang sedianya akan diperoleh si pemborong apabila
dapat menyelesaikan pekerjaannya.56
Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong. Namun
pihak yang memborongkan diwajibkan untuk membayar kepada para ahli waris.
Harga pekerjaan yang sudah dikerjakan menurut imbangan terhadap harga pekerjaan
yang telah dijanjikan dalam perjanjian. Serta harga bahan bangunan yang telah
disediakan, asal pekerjaan atau bahan-bahan tersebut dapat mempunyai sesuatu
manfaat baginya (Pasal 1612). Tukang-tukang batu, tukang kayu,
tukang-tukang besi, dan lain-lain tukang-tukang yang telah dipakai untuk mendirikan sebuah gedung
55
Ibid., 56
atau untuk membuat sesuatu pekerjaan lain yang diborongkan. Tidak mempunyai
tuntutan terhadap orang untuk siapa pekerjaan-pekerjaan itu telah dibuatnya,
selainnya untuk suatu jumlah yang orang ini berutang kepada si pemborong pada saat
mereka mengajukan tuntutan mereka (Pasal 1614).57
Sebenarnya prinsip-prinsip outsourcing telah dijalankan sejak dulu. Pada
waktu itu, bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk bertempur pada
peperangan mereka serta menyewa ahli bangunan untuk membangun kota beserta
istana. Dengan perkembangan sosial yang ada, prinsip outsourcing mulai diterapkan
dalam dunia usaha.58
Definisi outsourcing sendiri adalah pendelegasian operasi dan manajemen
harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (pengusaha penyedia jasa
outsourcing) dengan tujuan untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah,
termasuk masalah ketenagakerjaan.59 Sedangkan secara terminology, dalam
KUHPerdata telah diatur mengenai masalah tersebut, dengan istilah pemborongan
pekerjaan, yaitu Pasal 1601b KUHPerdata bahwa yang dimaksud dengan
pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si
pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak
57
Ibid., 58
Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003), hlm.2.