IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
PENYELIA JASA (
OUTSOURCING
) DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
LAPORAN KERJA PRAKTIK
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kerja PraktikProgram Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
Oleh
Nama : Fitria Yanuari NIM : 31610022 Program Kekhususan : Hukum Bisnis
Dibawah Bimbingan: Arinita Sandria, S.H., M.Hum
NIP: 4127 33 00 006
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 23 Januari 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kp. Cipada Rt 01 Rw 27 Kec. Gunung Halu Desa
Gunung Halu Kabupaten Bandung Barat
Telepon : 085624049793
Pendidikan Formal :
- SD Negeri Neglasari
- SMP Negeri 2 Gunung Halu
- SMA Al-Ma’soem
Daftar riwayat hidup ini di buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada
iv LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR………..……… i
DAFTAR ISI... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………... 1
B. Identifikasi Masalah………..……. 12
C. Maksud dan Tujuan………...….... 12
D. Manfaat Kegiatan……….…….. 13
E. Jadwal Penelitian………..……... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TERHADAP TENAGA KERJA PENYELIA JAS A (OUTSOURCING) A. Tinjauan Teoretis Mengenai Tenaga Kerja Penyelia Jasa (Outsourcing) …... 15
1. Sejarah Tenaga Kerja………...………...……… 15
2. Dasar Hukum Tenaga Kerja………..……….……… 16
3. Para Pihak Dalam Hubungan Kerja………..……… 23
a. Tenaga Kerja………...……….………… 23
b. Pengusaha………..………... 25
4. Hubungan Kerja………..………. 25
5. Kewajiban Para Pihak...……… 28
a. Kewajiban Pekerja………... 29
b. Kewajiban Pengusaha……… 30
6. Penyelia Jasa (Outsourcing)………... 48
v
7. Jaminan Sosial Tenaga Kerja……… 56
8. Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial... 58
a. Penyelesaian Melalui Lembaga Kerja Sama Bipartit …....………... 49
b. Penyelesaian Melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit…....……….... 62
c. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial….. 74
B. Tinjaun Teoretis Terhadap Instansi Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat ……….... 81
1. Sejarah Singkat Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat………....…………..…. 81
2. Struktur Organisasi Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat ……….………. 83
3. Deskripsi Jabatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat……….………... 85
4. Lokasi Penelitian... 113
BAB III LAPORAN KEGIATAN KERJA PRAKTIK A. Kegiatan Selama Kerja Praktik Di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat………... 114
1. Deskripsi Kegiatan Rutin Di Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provin Jawa Barat………...114
vi
NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
A. Implementasi Perlindungan Hukum Yang Diberikan Oleh Undang-UNdang
Nomor 13 TAhun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Hak-Hak
Penyelia Jasa (Outsourcing) ...118 B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Penyelia Jasa (Outsourcing)
Apabila Penyelia Jasa (Outsourcing) Tidak Mendapatkan Upah Sesuai
Dengan Perjanjian... 120
BAB V PENUTUP
A. Simpulan……….……….… 123
B. Saran……… 124
DAFTAR PUSTAKA……….. 125
i Assalamu’alaikum wr.wb
Segala puji serta syukur peneliti panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah
memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W, bahwa peneliti masih
diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik
dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan Laporan Kerja Praktik dengan
judul “IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN TENAGA KERJA PENYELIA JASA
(OUTSOURCING) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN”
Peneliti sangat menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa, sehingga
kiranya masih banyak yang perlu dipahami dan diperbaiki. Peneliti sangat
mengharapkan kritik dan saran yang insya Allah dengan jalan ini dapat
memperbaiki kekurangan dikemudian hari.
Pada proses penyusunan laporan ini banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum
selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan
kesabarannya untuk membimbing dalam penulisan Laporan Kerja Praktik ini,
selain itu juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Min Rukmini, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia
3. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
4. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia
5. Yth. Bapa Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia
6. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia
7. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia
8. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia
9. Yth. Ibu Muntadhiroh Alchujjah, S.H.,LLM selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Komputer Indonesia
10. Yth. Ibu Maya Lasmita, S.H selaku Pembimbing dari Lembaga Klas 1
Sukamiskin
11. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer
Indonesia Dian Pratama Sandi, Endang Mukti A, Ricky Haryanto
Nugroho, Arman Marlando, Adek wahyudin, Widia Magdewijaya, M
Baasith, Meiza Soraya, Wahyu Samsul H, Jajang Supriatna,
Rhamdan Maulana, Rizky Adiputra, Wiko Putra D, Farhan Aziz, Okky
Pratomo dan Aditya Ilham yang telah memberikan Doa, Masukan dan
12. Eka Dewi Purwanti, Jajat Kurnia, Noni Suryani, Herni Wulan Sari
sebagai Kaka dan Adik dan keluarga besar Peneliti yang telah
memberikan doa dan dukunganya
Akhir kata peneliti mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya
kepada Allah S.W.T, karena atas ijin-Nya peneliti dapat menyelesaikan Laporan
Kerja Praktik ini, semoga Laporan Kerja Praktik ini bermanfaat bagi para
pembaca dan peneliti sendiri.
Bandung, Februari 2014
Peneliti
125 BUKU
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2009
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012 Myra M. Hanartani, dkk, Pengantar Hukum Perburuhan, Direktorat Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi RT.I cetakan ke II, Jakarta, 2010
Rekson Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, Peta Jalan Gerakan Buruh Paska Reformasi, Jakarta, Pustaka Sinar, 2009
Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009
PERATURAN
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang 3 Tahun1992 tentang Jamina Sosial Tenaga Kerja
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
- Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/ 25 /pbi/2011 tentang Prinsip
Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain
SUMBER LAIN
Sejarah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat,
http://disnakertrans.jabarprov.go.id/, Diakses pada hari Rabu tanggal 22 Januari 2014, Pukul 19 00 WIB
Visi dan Misi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat,
http://disnakertrans.jabarprov.go.id/, Diakses pada hari Rabu tanggal 22 Januari 2014, Pukul 20 00 WIB
Butir-butir IMF, http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm, Diakses pada hari Selasa 10 Desember 2013, Pukul 20.00 WIB
Hasil Wawancara dari Mantan Karyawan Penyelia Jasa (Outsourcing) Pt. Garment, di Kediaman Narasumber, Minggu 29 Desember 2013,
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan akar dari peradaban sebuah negara.
Pendidikan sekarang telah menjadi kebutuhan pokok yang harus dimiliki
setiap orang agar bisa menjawab tantangan kehidupan, salah satu
implementsi agar mahasiswa mampu menghadapi dunia kerja adalah
dengan diadakannya kerja praktik bagi mahasiswa oleh universitas yaitu
Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) yang bekerjasama dengan
intansi pemerintah dan perusahaan.
Kerja Praktik adalah salah satu bentuk implementasi secara
sistematis dan sinkron antara program pendidikan di universitas dengan
program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan kerja
praktik secara langsung di dunia kerja untuk mencapai tingkat keahlian
tertentu. Keahlian yang tidak didapat di lembaga pendidikan bisa didapat
di dunia kerja, sehingga dengan adanya kerja praktik dapat meningkatkan
kinerja dan pengetahuan mahasiswa mengenai dunia kerja serta dapat
meningkatkan mutu dan relevensi universitas yang dapat diarahkan untuk
mengembangkan suatu sistem yang bagus antara dunia pendidikan dan
dunia kerja.
Kerja Praktik yang dilakukan peneliti bertempat di Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat Sub. Bagian Kepegawaian
merupakan dinas yang merumuskan kebijakan operasional bidang tenaga
kerja dan transmigrasi dan melaksanakan sebagian kewenangan
dekosentrasi yang dilimpahkan Gubernur. Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi merupakan salah satu dinas yang bergerak dibidang
pelayanan sosial, yang mempunyai kewenangan terhadap bidang tenaga
kerja dan transmigrasi. Fungsi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
itu sendiri adalah melaksanakan perumusan kebijakan teknis operasional
bidang tenaga kerja dan transmigrasi, melaksanakan pelayanan umum
bidang tenaga kerja dan transmigrasi dan menjalankan fungsi fasilitasi
dan pelaksanaan tugas – tugas bidang tenaga kerja dan transmigrasi.
Tujuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu sendiri :
1. Meningkatkan sistem informasi manajemen ketenagakerjaan
dan transmigrasi.
2. Meningkatkan sistem perencanaan ketenagakerjaan dan
transmigrasi.
3. Meningkatkan pembinaan dan pengembangan sistem
pelatihan tenaga kerja dan purna kerja.
4. Meningkatkan standarisasi dan sertifikasi tenaga kerja.
5. Meningkatkan upaya pengembangan produktivitas tenaga
kerja.
6. Meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan purna kerja.
7. Meningkatkan pelayanan administrasi dan pengelolaan
internal dinas.
8. Meningkatkan pembinaan personil
10. Meningkatkan upaya penempatan dan pemasaran tenaga
kerja dan purna kerja.
11. Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
pembangunan kawasan transmigrasi
12. Meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian transmigrasi
serta masyarakat sekitar.
Peneliti melakukan kerja praktik selama 2 (dua) bulan dari tanggal
30 September sampai dengan tanggal 30 November 2013 selama 100
jam bertempat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa
Barat, Sub. Bagian Kepegawaian dan Umum Jalan Soekarno Hatta
Nomor. 532 Bandung, Jawa Barat, dalam menjalankan kerja praktik
tersebut peneliti banyak menimba ilmu baru khususnya yang terkait
dengan masalah ketenagakerjaan.
Peneliti melaksanakan kerja praktik dan melakukan penelitian
mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja penyelia jasa
(outsourcing) yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan
tenaga kerja adalah :
“Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”
Tujuan pembangunan ketenagakerjaan menurut Pasal 4
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah :
2.Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
3.Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4.Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.”
Persaingan dalam dunia bisnis antara perusahaan, membuat
perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas
penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya.
Konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan
menghasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas dan daya
saing di pasaran. Iklim perusahaan yang makin ketat, membuat
perusahaan berusaha untuk melakukan efesiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem penyelia jasa (outsourcing), di mana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang
bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Praktik Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu atau perjanjian kerja penyelia jasa (outsourcing) merupakan wujud dari kebijakan pasar kerja fleksibel yang dimintakan kepada
pemerintah Indonesia oleh IMF (international Monetary Fund) , Bank Dunia (Word Bank) dan ILO (International Labour Organisation) sebagai syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis ekonomi 1997.
Kebijakan pasar kerja fleksibel merupakan salah satu konsep kunci dari
kebijakan perbaikan iklim investasi yang juga disyaratkan oleh IMF dan
dicantumkan dalam Letter of Intent atau Nota Kesepakatan ke-21 antara Indonesia dan IMF butir 37 dan 42.
Butir 37 berbunyi :
“We are taking steps to ensure that future settlements under the guarantee scheme are made expeditiously and that the process is not compromised in any way. Thus, an international accounting firm contracted by IBRA completed a preliminary examination of all pending interbank claims in mid-December 1999, allowing a first round of eligible claims to be paid at end-December. Based on this examination, and in close collaboration with the IMF, the World Bank, and the AsDB, IBRA will publicize new and fully transparent procedures for processing claims under the guarantee in February 2000. The eligibility of the remaining claims is expected to be determined during February through a further review conducted with the full cooperation of BI. All of the claims deemed eligible in that review will be settled promptly thereafter.
”
Butir 42 berbunyi :
“State bank restructuring is being implemented under the oversight of an interdepartmental Restructuring Committee, and with the following safeguards. All state banks have been required to prepare business plans with the help of international advisors, and to contract with international banks for their loan work-outs. The Ministry of Finance is establishing a fully funded and staffed monitoring unit to ensure compliance of the state banks with their performance contracts. The monitoring unit has ensured that all state banks have transferred to IBRA all of their category 5 loans (as well as any loans with provisions of more than 50 percent), as of September 30, 1999, together with all loan documentation. Henceforth, all state banks will be subject to an annual audit by international accounting firms, beginning with their end-1999 positions.”1
Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi acuan dasar bagi
penyusunan rangkaian kebijakan dan peraturan perbaikan iklim investasi
dan fleksibilitas tenaga kerja.
Istilah penyelia jasa (outsourcing) mulai ramai diperdebatkan di Indonesia, setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, dimana aturan tersebut ditengaraisebagai awal
mula lahirnya sistem kerja penyelia jasa (outsourcing) yang sekarang
1
dipraktikkan dibeberapa perusahaan. Pengertian dari penyelia jasa
(outsourcing) itu sendiri dapat dilihat dalam beberapa ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13
tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.”
Maksud dari pasal ini adalah sistem penyelia jasa (outsourcing)
diatur dalam pasal tersebut namun secara tersirat yang merupakan suatu
perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja,
dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Perjanjian penyelia jasa (outsourcing) disamakan dengan perjanjian pemborong pekerjaan yaitu pemborong mengikat diri untuk
membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan
dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang
memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada
pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
persamaan antara pemborong pekerjaan dan penyelia jasa (outsourcing) yang berbunyi :
menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang di tentukan.”
Sistem kerja penyelia jasa (outsourcing) mengakibatkan gerakan serikat buruh dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap penyelia
jasa (outsourcing), Ada banyak alasan yang mengemuka atas penolakan tersebut yang semuanya berawal pada tidak adanya perlindungan yang
bersifat mendasar terhadap hak-hak pekerja di tempat kerja serta
keadilan dan kesejahteraan yang semakin jauh dari kehidupan pekerja.
Sistem penyelia jasa (outsourcing) menimbulkan berbagai dampak baik dampak positip maupun dampak negatif bagi tenaga kerja. Dampak
positif yang ditimbulkan bagi tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing) diantaranya:
1. Praktik penyelia jasa (outsourcing) dinilai mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran berdasarkan
asumsi bahwa jika pola sistem kerja penyelia jasa (outsourcing)
yang diterapkan, maka secara langsung membuka kesempatan
bagi siapa saja untuk berkompetisi, bahkan bagi tenaga kerja
yang sebelumnya berada pada sektor informal, dapat terbawa
ke dalam sektor formal yang lebih terproteksi dan menjanjikan.
2. Penyelia jasa (Outsourcing) juga dianggap akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi. Alasan ini lebih
kepada menggugat pola praktik perusahaan keluarga (closed corporation) yang lebih mengukur serapan tenaga kerja suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan
mekanisme pasar, dengan praktik penyelia jasa (outsourcing) tradisi ini akan secara otomatis terkikis. Secara prinsip, penyelia
jasa (outsourcing) akan lebih membuka persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai dengan kehendak dan
kebutuhan pasar tenaga kerja.
Dampak negatif yang ditimbulkan bagi tenaga kerja penyelia jasa
(outsourcing) diantaranya :
1. Pekerjaan penyelia jasa (outsourcing) melahirkan persoalan, pada kenyataan sehari-hari penyelia jasa (outsourcing) selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja, karena hubungan
kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial
kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya jaminan
perlindungan pekerjaan (job security) serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang
benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik
penyelia jasa (outsourcing) akan menyengsarakan pekerja dan membuat tidak jelasnya hubungan industrial. 2
2. Penyelia jasa (outsourcing) merupakan bagian dari mekanisme pasar yang dimaksudkan untuk melakukam efisiensi dalam
insdustri, tetapi disisi lain menimbulkan ketidakpastian kerja.3
3. Penyelia jasa (outsourcing) berakibat kepada semakin lemahnya posisi tenaga kerja dalam perusahaan. Hal tersebut
2
Hasil Wawancara dari Mantan Karyawan Penyelia Jasa (Outsourcing) Pt. Garment, di Kediaman Narasumber, Minggu 29 Desember 2013, Bandung, Pukul 10.00 WIB
3
dilatarbelakangi oleh status hubungan kerja yang sifatnya
sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurun
waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang hanya
berkisar 3-4 bulan), hal ini berakibat semakin kuatnya posisi
pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga
memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut
untuk menindas buruh dalam perusahaannya. Pengusaha
dapat dengan sewenang-wenang memberhentikan tenaga kerja
(PHK) sesuai dengan kemauannya. Berserikat, berkumpul,
menuntut perbaikan, serta menyatakan pendapat pun menjadi
terbatasi akibat posisi tawar tenaga kerja yang lemah, ditambah
ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh
pengusaha.4
4. Penyelia jasa (outsourcing) akan menghilangkan hak serta jaminan masa depan tenaga kerja. Sederhananya, tidak
adanya jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh
perusahaan jika suatu saat nanti tenaga kerja sudah tidak
memiliki produktivitas kerja yang baik dan maksimal akibat
faktor fisik (pensiun), dan atau penghargaan kerja yang menjadi
kewajiban pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja
(PHK).5
5. Penyelia jasa (outsourcing) mempraktikkan dehumanisasi atau pengingkaran hak dasar seseorang layaknya manusia yang
bebas dan merdeka.
4
Op.Cit, dari Narasumber Nurhayati 5
6. Penyelia jasa (outsourcing) akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh
syarat kerja penyelia jasa (outsourcing) yang menekankan keterampilan kerja (labour skill) yang kompetitif, sementara kondisi tenaga kerja di Indonesia sama sekali belum memadai
untuk memiliki keterampilan multi-bidang. Misalnya saja
seorang tenaga kerja disektor informal yang tiba-tiba harus
diserap oleh sektor formal, maka akan menjadi kontra-produktif
akibat adaptasi yang membutuhkan waktu yang lama.6
7. Penyelia jasa (outsourcing) akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat (worker’s organization) dalam perusahaan bahkan akan dihilangkan sama sekali jika perusahaan
menghendakinya, hal tersebut dikarenakan hubungan kerja kita
dalam perusahaan akan lebih bersifat individu, antara pekerja
dengan pengusaha, dengan demikian upaya perjuangan hak
dan kepentingan tenaga kerja melalui serikat akan semakin
terbatasi secara langsung, terlebih ketika ancaman pemutusan
hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan semakin mudah
dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang lemah tersebut.7
Prinsipnya pekerjaan Penyelia jasa (outsourcing) adalah memang bukan pekerjaan inti dari perusahaan. Awalnya, karena dianggap bukan
sebagai pekerjaan inti, maka seharusnya pekerjaan tersebut tidak rutin
ada dalam perusahaan. Namun kemudian berkembang konsep, bahwa
pekerjaan penyelia jasa (outsourcing) mungkin saja akan terus ada sebab
6 Ibid 7
pekerjaan penyelia jasa (outsourcing) tidak sama dengan pekerjaan proyek yang memiliki batas waktu,
Penyelia jasa (outsourcing) merupakan bentuk nyata dari fleksibilatas pasar kerja dan dapat ditemukan dihampir seluruh bagian
dalam rangkaian produksi,8 maka dari itu jenis pekerjaan masih akan
terus menjadi perdebatan akan tetapi sulit dilakukan dalam
mendefinisikan secara tegas apakah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh
penyelia jasa (outsourcing) termasuk dalam kategori kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya memberikan sedikit penjelasan
tentang kegiatan penunjang tapi tidak memberikan penjelasan yang
komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan pokok maka
pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan lain untuk mendukung peraturan tentang penyelia jasa
(outsourcing).
Kasus yang telah selesai ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi salah satunya adalah kasus dengan Nomor Mediasi :
565/3518/Perlindungan antara PT. AT Tbk dengan mantan karyawannya
yaitu AS yang waktu menjadi karyawan PT. AT Tbk menjabat sebagai
kasir, pokok permasalahan yang terjadi adalah PT. AT Tbk tidak
membayar upah cuti mantan karyawan PT. AT Tbk yaitu AS yang
8
mengakibatkan AS merasa di rugiakan atas hak yang seharusnya di
penuhi oleh PT.AT Tbk terhadap mantan karyawannya AS.
Melihat persoalan yang terjadi di lapangan maka peneliti tertarik
untuk mengangkatnya dalam sebuah laporan kerja praktik dengan judul
“
IMPLEMENTASIPERLINDUNGAN TENAGA KERJA PENYELIA JASA(OUTSOURCING) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka
peneliti mencoba untuk mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi perlindungan hukum yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
terhadap hak-hak penyelia jasa (outsourcing) ?
2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh penyelia jasa
(outsourcing) apabila penyelia jasa (outsourcing) tidak mendapatkan upah sesuai dengan perjanjian ?
C. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan laporan kerja praktik ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami tentang perkembangan ketenagakerjaan
terutama dalam aspek penerapan perlindungan hukum terhadap tenaga
kerja penyelia jasa (outsourcing) di tempat kerja.
2. Mengetahui dan memahami cara untuk memperjuangkan hak tenaga
kerja dalam aspek pemenuhan hak mendapatkan upah tenaga kerja
D. Manfaat
1. Mahasiswa
a. Menambah wawasan peneliti di bidang tenaga kerja khususnya
tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing)
b. Dapat memperoleh gambaran dunia kerja yang nantinya berguna
bagi peneliti apabila telah menyelesaikan perkuliahan, sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan dunia kerja.
c. Dapat mengaplikasikan ilmu dan keterampilan yang telah diperoleh
pada masa kuliah dan sekalian menambah wawasan dan
pengalaman.
2. Akademik
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap ilmu
hukum pada umumnya, dan terhadap hukum yang mangatur
tentang hukum ketenagakerjaan pada khususnya
b. Dapat meningkatkan kerjasama antara lembaga pendidikan
khususnya Akademik dengan Instansi.
c. Dapat mempromosikan keberadaan Akademik di tengah-tengah
dunia kerja khususnya Instansi sehingga dapat mengantisipasi
kebutuhan dunia kerja akan tenaga kerja yang profesional dan
kompeten di bidang masing-masing.
3. Instansi
a. Dapat memberikan teori-teori atau ilmu pengetahuan yang tidak
didapatkan mahasiswa di Universitas terutama dalam hal dunia
kerja.
b. Dapat meningkatkan kerjasama antara akademik dengan Instansi
atau Lembaga.
c. Membantu Instansi atau Lembaga dalam menyelesaikan tugas
E. Jadwal Penelitian
No Kegiatan
Bulan
Sep Okt Nov Des Jan Feb
1
Persiapan
kerja praktik
2 Persiapan
penulisan LKP
3 Pengumpulan
data
4 Bimbingan
5 pengolahan
data
6 Analisis data
7 Penyususnan
hasil kerja
praktik ke
dalam bentuk
laporan
8 Sidang
konprehensif
9 Perbaikan
10 Pengesahan
15
TINJAUAN PUSTAKA TERHADAP TENAGA KERJA PENYELIA
JASA (
OUTSOURCING
)
A. Tinjauan Teoretis mengenai Tenaga Kerja Penyelia Jasa (Outsourcing) 1. Sejarah Hubungan Tenaga Kerja
Hubungan perburuhan di Indonesia dimulai dari peristiwa
penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkemampuan secara sosial ekonomi maupun
penguasaan pada saat itu. Para budak atau pekerja tidak diberikan hak
apapun, yang dimiliki pekerja hanyalah kewajiban untuk mentaati perintah
dari majikan atau tuannya. Nasib para budak atau pekerja hanya dijadikan
barang atau objek yang kehilangan hak kodratinya sebagai manusia.
Hukum perburuhan mengenal adanya pancakrida hukum
perburuhan yang merupakan perjuangan yang harus dicapai yakni :
a. Membebaskan manusia indonesia dari perbudakan,
perhambaan
b. Pembebasan manusia indoneia dari rodi atau kerja paksa
c. Pembebasan buruh/pekerja indonesia dari poenale sanksi
d. Pembebasan buruh/pekerja indonesia dari ketakutan
kehilangan pekerjaan
e. Memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan
pengusaha.
Krida satu sampai dengan krida ke tiga secara yuridis sudah
tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian yakni tanggal 18 Agustus
ditetapkannya Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada
kecuali ”.
Pasal tersebut memuat jaminan kesamaan Warga Negara dalam
hukum dan pemerintahan. Krida ke empat sampai dengan saat ini
setidak-tidaknya dari kajian empiris atau sosiologis belum dapat dicapai.
Masih banyak terjadi kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
yang disebabkan oleh adanya tuntutan dari pihak buruh atau pekerja
untuk memperjuangkan hak-hak normatifnya, yang berbuntut pada
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).9
2. Dasar Hukum Tenaga Kerja
Beberapa ahli hukum berpendapat mengenai pengertian hukum
ketenagakerjaan diantaranya menyatakan bahwa hukum perburuhan
adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerja
itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang
langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja10, sedangkan menurut
ahli hukum lain hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian di
9
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, Hlm. 4
10
mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.11
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka Hukum Ketenagakerjaan
memiliki unsur-unsur 12:
a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis
b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha
c. Adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain, dengan
mendapat upah sebagai balas jasa
d. Mengatur perlindungan pekerja, meliputi masalah keadaan sakit,
haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja, dan
sebagainya.
Skema kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Sistem Hukum
Indonesia :
11
(Bagan 2.1 Skema Hubungan Hukum)
Berdasarkan skema di atas, maka kedudukan Hukum
Ketenagakerjaan memiliki keterkaitan dengan aspek Hukum Perdata,
aspek Hukum Tata Usaha Negara, dan aspek Hukum Pidana. Hal ini
sangat bergantung pada bidang yang terkait di dalamnya, misalnya :
a. Menyangkut aspek Hukum Perdata jika terkait dengan
perjanjian kerja termasuk didalamnya hak-hak dan kewajiban
yang telah disepakati bersama dan hanya melibatkan para
pihak.
b. Menyangkut aspek Hukum Tata Usaha Negara Jika terkait
dengan perijinan bidang ketenagakerjaan, penetapan upah
minimum, pengesahan peraturan perusahaan, pendaftaran
perjanjian kerja bersama, pendaftaran serikat pekerja, dan
sebagainnya.
c. Menyangkut aspek Hukum Pidana Jika terkait dengan
pelanggaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
d. Hukum ketenagakerjaan juga termasuk dalam sistem Hukum
Bisnis, didalamnya mengatur tentang Hukum Kontrak, Hukum
Perusahaan, jaminan sosial, pajak, asuransi, Hukum
Lingkungan, Hukum Internasional, dan lain-lain.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan
Pancasila merupakan dasar negara. Pancasila terangkum dalam
empat pokok pikiran pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Empat
pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih
lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila dijadikan landasan dalam menyelenggarakan
pembangunan nasional di Indonesia, dalam Rangka pelaksanaan
pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja,
diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas
tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas
keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat
dan daerah. “
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai
dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi
pancasila serta asas adil dan merata. Asas demokrasi pancasila adalah
suatu faham demokrasi dimana sistem pemerintahan berdasarkan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar
1945. Jadi, pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan asas
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan “.
Asas keadilan dalam pembangunan ketenagakerjaan memiliki
pengertian bahwa dalam penyelenggaraan ketenagakerjaan harus
menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi
keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha
dan pekerja/buruh. Pembangunan ketenagakerjaan
diselenggarakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling
mendukung maksud dari penyelenggaraan secara terpadu adalah agar
berbagai dimensi yang keterkaitan dengan berbagai pihak itu mampu
saling menunjang dan harmonis.
Tujuan Hukum Ketenagakerjaan ialah 13:
a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak
terbatas dari pengusaha.
Tujuan pembangunan ketenagakerjaan sendiri tertuang dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang berbunyi :
“a.Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi
b.Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah
13
c.Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejhteraan
d.Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.”
Dasar hukum yang mengatur tentang penyelia jasa (outsourcing) terdapat dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 64 berbunyi :
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Pasal 65 berbunyi :
“(1)Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis
(2)Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung
(3)Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4)Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5)Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulisa antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakan.
perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8)Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.”
Pasal 66 berbunyi :
“(1)Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2)Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.”
Pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atas kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi, yang dimaksud kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core businnes) suatu perusahaan.
Peraturan lebih lanjut mengenai perusahaan penyedia penyelia
jasa (outsorcing) diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain yang membahas tentang persyaratan pemborongan
pekerjaan, penyedia jasa pekerjaan/buruh, dan pengawasan tenaga kerja
penyelia jasa (outsourcing).
3. Para Pihak dalam Hubungan Kerja
a. Tenaga Kerja
Pengertian tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, sedang mencari pekerjaan, dan yang
melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah
tangga.14 Pengertian tenaga kerja di atas hanya menjelaskan proses
penduduk mencari pekerjaan saja selain rutinitas yang selalu dikerjakan
yaitu sekolah dan mengurus rumah tangga tanpa adanya hasil kerja yang
14
harus di penuhi tenaga kerja sementara dalam pengertian berikut tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.15
Tenaga kerja penyelia jasa (outsourcing) dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lainnya berbunyi :
“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada
perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain”
Pengertian tenaga kerja selain terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat pula dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja, pengertian tenaga kerja diperluas yakni termasuk16 :
“a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak
b. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan
c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.”
15
Myra M. Hanartani, dkk, Pengantar Hukum Perburuhan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I cetakan ke II, Jakarta, 2010, Hlm.1
16
b. Pengusaha
Pengusaha adalah seorang atau kumpulan orang yang
mengidentifikasi kesempatan-kesempatan uasaha (business opportunities) dan merealisasikannya dalam bentuk sasaran-sasaran yang harus dicapai.17
Pengusaha dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah
indonesia.”
4. Hubungan Kerja
Hubungan kerja merupakan suatu ikatan pekerjaan antara
seseorang (pekerja atau tenaga kerja) yang melakukan pekerjaan
tertentu, dengan seseorang (pengusaha) yang menyediakan pekerjaan
atau memberikan perintah untuk suatu pekerjaan yang harus dikerjakan
dengan baik dan benar dan pada akhirnya pekerja/tenaga kerja mendapat
imbalan berupa upah atas kerja dan prestasi yang diberikan. Hubungan
kerja setidaknya harus mengandung 3 unsur, yaitu18 :
17
Rachmat dikutip dalam Abdul Khakim, Op.Cit, Hlm. 4 18
Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, Hlm. 12
a. Upah
Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi
kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
b. Perintah
Perintah adalah satu pihak berhak memberikan perintah dan
pihak yang lain berkewajiban melaksanakan perintah.
c. Pekerjaan.
Pekerjaan adalah sebuah pekerjaan yang bebas sesuai
dengan kesepakatan antara tenaga kerja dan pengusaha,
asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perudang-undanga, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pengertian hubungan kerja diatur dalam Pasal 1 angka 15
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
berbunyi :
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Berdasrkan ketentuan dari Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka dapat disimpulkan
a. Adanya Pekerjaan
Pekerjaan adalah sebuah pekerjaan yang bebas sesuai
dengan kesepakatan antara tenaga kerja dan pengusaha,
asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perudang-undanga, kesusilaa, dan ketertiban umum. Pengusaha
secara teknis jelas tidak mungkin akan merekrut
pekerja/tenaga kerja jika tidak tersedia pekerjaan sesuai
dengan kapasitas kebutuhan perusahaannya, unsur ini
merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian kerja,
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
yang mengadopsi Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur adanya
pekerjaan sebagai syarat objektif dari perjanjian kerja
sehingga objek perjanjian kerja harus jelas, jika syarat
objektif tidak terpenuhi perjanjian kerja batal demi hukum.
b. Adanya Upah
Upah dalam ketentuan ketenagakerjaan minimal adalah
Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Sektoral
Provinsi (UMSP) yang ditetapkan oleh Gubernur pada Pasal
90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :
“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana dimaksud pada Pasal 89.”
Upah Minimum Provinsi Jawa Barat tahun 2013 di kota
Lampiran Keptusan Gubernur Nomor
561/Kep.1405-Bangsos/2012.
c. Adanya Perintah
Perintah adalah satu pihak berhak memberikan perintah dan
pihak yang lain berkewajiban melaksanakan perintah. Letak
strategisnya posisi pengusaha ada disini, perusahaan
memilki bargaining position cukup kuat di banding pekerja atau tenaga kerja. Pengusaha memiliki hak prerogratif
pengusaha artinya pengusaha biasanya berhak dalam
membentuk peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama Perusahaan, maka perusahaan berhak memberi
perintah kepada pekerja atau tenaga kerja sesuai dengan
kebutuhan opersional perusahaan sehingga pekerja atau
tenaga kerja mengikatkan diri pada pengusaha untuk
bekerja di bawah perintah pengusaha. Menurut istilah para
ahli hukum, hal ini disebut sebagai hubungan diperatas
(dienstverhoeding), artinya pekerja/tenaga kerja harus bersedia bekerja di bawah perintah orang lain.19
5. Kewajiban Para Pihak
Kewajiban Para Pihak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
19
a. Kewajiban Pekerja
1) Tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi tertuang pada
Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
“Pekerja/buruh Tidak wajib bekerja pada hari-hari libur
resmi”
2) Melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja
bersama tertuang pada Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
berbunyi :
“Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada
dalam perjanjian kerja bersama.”
3) Melaksanakan mogok kerja dan/atau mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja dengan tidak
melanggar hukum tertuang pada Pasal 138 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang berbunyi :
“Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yan
bermaksud mengajak pekerja/buruh untuk mogok kerja
berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.”
4) Memberitahukan secara tertulis dalam jangka waktu 7 hari
sebelum melaksanakan mogok kerja kepada pengusaha
dan intansi bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang berbunyi :
“Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat. ”
5) Berusaha dengan segala upaya agar jangan terjadi PHK
tertuang pada Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
“Pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja”
6) Mentaati segala ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja bersama, agar tidak terkena PHK oleh pengusaha
tertuang pada Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
“Dalam hal pekerja/buruh melanggar ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.”
b. Kewajiban Perusahaan
1) Memberikan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi
kepada pekerja tertuang pada Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
berbunyi :
“Perusahaan adalah :
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
2) Bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau
pengembangan kompetensi pekerja melalui pelatihan kerja
tertuang pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
“Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.”
3) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib:
i. Memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang
ditunjuk. Tertuang dalam Pasal 42 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau
pejabat yang ditunjuk ”
ii. Memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Tertuang dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
“Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing
harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing
yang sahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk ”
iii. Menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku. Tertuang dalam Pasal 44 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati
ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi
yang berlaku ”
iv. Menunjuk tenaga kerja WNI sebagai pendamping untuk
teknologi dan alih keahlian. Tertuang dalam Pasal 45
ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Menunjuk tenaga kerja warga Negara Indonesia
sebagai tenaga pendamping tenaga kerja tenaga kerja
asing yang dipekerjakan untuk alih tehnologi dan ahli
keahlian dari tenaga kerja asing”
v. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi
tenaga kerja WNI yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing. Tertuang dalam
Pasal 45 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi
huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing.”
vi. Membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing
yang dipekerjakan. Tertuang dalam Pasal 47 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap
tenaga kerja asing yang dipekerjakkannya ”
vii. Memulangkan tenaga kerja asing ke Negara asalnya
setelah hubungan kerjanya berakhir. Tertuang dalam
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing
wajib memulangkan tenaga kerja asing ke Negara
asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir”
4) Menanggung segala hal dan/atau biaya yang diperlukan
dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja kerja
tertuang pada Pasal 53 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
“Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi
pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh
dan menjadi tanggung jawab pengusaha.”
5) Memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh
mengenai maksud perpanjangan Perjanjian Kerja Waktu
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berakhir. Tertuang dalam
Pasal 59 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian
kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari
sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan ”
6) Tidak menggunakan pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi. Tertuang dalam Pasal 66 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”
7) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja
penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatannya. Tertuang dalam
Pasal 67 ayat (1) 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja
penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai
8) Tidak mempekerjakan anak. Tertuang dalam Pasal 68
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas)
tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.”
9) Tidak mempekerjakan atau melibatkan anak pada
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Tertuang dalam Pasal
74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak
pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk”
10) Tidak mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara
pukul 23.00 WIB sampai dengan 07.00.WIB
i. Berusia kurang dari 10 (sepuluh tahun). Tertuang dalam
pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“ Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari
18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara
pukul 23.00 s.d 07.00.
ii. Yang hamil dan menurut keterangan dokter berbahaya
bagi kesehatan dan keselamatan kandungan maupun
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara
pukul 23.00 s.d pukul 07.00 “
11) Jika mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara
pukul 23.00 s.d 07.00, maka pengusaha wajib :
i. Memberikan makanan dan minuman bergizi. Tertuang
dalam Pasal 76 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
berbunyi :
“ Memberikanmakanan dan minuman bergizi ; dan “
ii. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat
kerja. Tertuang dalam Pasal 76 ayat (3) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat
kerja .“
12) Wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 s.d 05.00 Tertuang dalam Pasal
76 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
“Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput
bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00. “
13) Melaksanakan ketentuan waktu kerja. Tertuang dalam
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja. “
14) Membayar upah kerja lembur. Tertuang dalam Pasal 78
ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
membayar upah kerja lembur. “
15) Memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
Tertuang dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti
kepada pekerja/buruh.”
16) Memberikan kesempatan yang cukup kepada kepada
pekerja/buruh yang melaksanakan ibadah yang diwajibkan
agamanya tertuang dalam Pasal 80 Undang-Undang
“Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang
secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.”
17) Memberikan kesempatan sepatutnya bagi pekerja/buruh
perempuan untuk menyusui anaknya tertuang dalam Pasal
83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi :
“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui
anaknya jika hal itu dilakukan selama waktu kerja. ”
18) Memberikan perlindungan kepada pekerja kerja tertuang
pada Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 86 berbunyi :
“(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuaidengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
Pasal 87 berbunyi :
“(1)Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
.”
19) Memberikan penghasilan yang layak, minimal upah
minimum kerja tertuang pada Pasal 90 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang berbunyi :
“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”
20) Memberikan upah walaupun pekerja/buruh berhalangan
melaksanakan tugasnya karena alasan tertentu tertuang
dalam Paal 93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
“(1)Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
a. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;
maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. Pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. Untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. Untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. Untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3
e. Isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. Suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(5)Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
”
21) Memberikan jaminan sosial tenaga kerja kepada
pekerja/buruh pekerja/buruh dan keluarganya tertung
dalam Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun