TERJADINYA PELANGGARAN JANGKA WAKTU
PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
IDA AYU KADE RIENDA CINTYA DEWI NIM. 1116051235
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
2
STATUS PEKERJA
OUTSOURCING
DALAM HAL
TERJADINYA PELANGGARAN JANGKA WAKTU
PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
IDA AYU KADE RIENDA CINTYA DEWI NIM. 1116051235
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
Lembar Persetujuan Pembimbing
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 3-Maret-2016
Pembimbing I
I KETUT MARKELING, SH., MH NIP 195412311984031007
Pembimbing II
I NYOMAN MUDANA, SH., MH NIP 195612311986011001
4
SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGAL : 3-Maret-2016
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 0196/UN14.4E/IV/PP/2016 Tanggal : 3-Maret-2016
Ketua : I KETUT MARKELING, SH., MH ( )
NIP 195412311984031007
Sekretaris : I NYOMAN MUDANA, SH., MH ( )
NIP 195612311986011001
Anggota : 1. Dr. I MADE SARJANA, SH., MH ( )
NIP 196112311986011001
2. I NYOMAN DARMADHA SH., MH ( ) NIP 195412311981031033
3. I MADE DEDY PRIYANTO, SH., M.Kn ( ) NIP 198404112008121003
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunianyalah sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulisan
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa
guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1)
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun judul skripsi adalah :
“Status Pekerja Outsourcing Dalam Hal Terjadinya Pelanggaran Jangka Waktu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan”.
Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih adanya
kekurangan dari yang diharapkan secara ilmiah, hal ini disebabkan karena
keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Kritik, saran dan
bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat diharapkan guna
kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Karena itu pada kesempatan ini dengan segala hormat disampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
6
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H. M.H, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H, Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana S.H., M.H, Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H, Ketua Bagian Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H., Msi, Ketua Program Non
Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, S.H., M.kn., LLM, Pembimbing
Akademis yang telah membimbing dari awal kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
8. Bapak I Ketut Markeling, S.H., M.H, Dosen Pembimbing I yang dengan
sabar dan tiada hentinya memberikan arahan dan masukan yang berguna
hingga terselesainya skripsi ini.
9. Bapak I Nyoman Mudana, S.H., M.H, Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberikan waktunya untuk tiada hentinya memberikan arahan
dan masukan yang berguna hingga terselesainya skripsi ini.
10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
mengajar dan mendidik penulis selama masa perkuliahan di Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
11. Bapak dan Ibu Pegawai Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
cukup banyak membantu dalam pengurusan administrasi.
12. Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang banyak membantu penulis dalam memperoleh literature
dan refrensi untuk penyusunan skripsi ini.
13. Ibunda tercinta, Tutik Nugrahini, terimakasih untuk semua dukungan dan
doa yang tiada hentinya kepada ananda, hingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
14. Ayahanda tercinta, Ida Bagus Kade Winaya, terimakasih untuk semua
dukungan dan doa yang tiada hentinya kepada ananda, hingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
15. Saudara-saudara penulis, Ida Ayu Putu Niya Pradnya Santhi, Ida Ayu
Komang Tiara Pratistha Sari, Ida Bagus Komang Karistika, dan
keponakanku tercinta Ida Ayu Putu Raisha Gandhasaci yang tiada
hentinya memberikan dukungan dan doa kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
16. Seluruh keluarga tercinta yang tiada hentinya memberikan dukungan
maupun doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8
17. Seluruh keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi (HMPE),
terkhusus kepada sahabat-sahabat Inti Badan Pengurus HMPE Periode
2014-2015 atas kebersamaan, kekompakan, dan pengalaman organisasi
yang telah didapatkan penulis selama di Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang juga telah banyak memberikan dukungan dan doa sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
18. Sahabat penulis, Wulan Yulianita, terimakasih atas waktu dan
kebersamaan selama ini yang telah banyak membantu penulis,
memberikan dukungan, semangat maupun doa dalam menyelesaikan
skripsi ini.
19. Sahabat penulis, Sonia Taruli Beatrix Siahaan, terimakasih atas waktu dan
kebersamaan selama ini yang telah memberikan dukungan, semangat
maupun doa dalam menyelesaikan skripsi ini.
20. Teman-teman seperjuangan sekaligus keluarga besar kelas Z (X-Recht)
angkatan 2011, terkhusus Adi Kusna, Wisnu Wisesa, Widhi Semarajaya,
Gung Wah, Luthfi Adriansyah, Anom, Tugus, Panji, Permadi, Eka
Saputra, Gede Hardiana, Yudi Hartawan, Yogi, Ade Swandewi, Ita, Mitia,
Violeta Prema, Diah, Rika, dan teman-teman yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu, yang sangat banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
21. Para Hakim, pegawai dan teman-teman PKKH di Pengadilan Tata Usaha
Negara Denpasar yang telah memberikan pengalaman dalam praktik di
lapangan.
22. Bapak Risnu, Kepala Cabang PT. Resik Cemerlang Bali yang telah banyak
membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi untuk
menyelesaikan skripsi ini.
23. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2011 yang telah banyak
memberikan dorongan mental dan semangat dalam membuat skripsi ini.
Akhir kata penulis harapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
pedoman untuk seluruh tenaga kerja, khususnya tenaga kerja outsourcing serta
perkembangan ilmu hukum mengenai Perjanjian kerja pada khususnya.
Denpasar, 3-Maret-2016
Penulis
10
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ………. i
HALAMAN SAMPUL DALAM ……… ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ……….... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ………. iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ………….. v
KATA PENGANTAR ………. vi
DAFTAR ISI ……… xi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ……….. xiv
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah ………..………... 1
1. 2 Rumusan Masalah ………... 3
1. 3 Ruang Lingkup Masalah ………. 4
1. 4 Orisinalitas ……….. 4
1. 5 Tujuan Penelitian ……… 6
1.5.1 Tujuan umum ……….. 6
1.5.2 Tujuan khusus ………. 6
1. 6 Manfaat Penelitian ……….. 7
1.6.1 Manfaat teoritis ………... 7
1.6.2 Manfaat praktis ……….. 7
1. 7 Landasan Teoritis ………... 7
1. 8 Metode Penelitian ………. 14
1.8.1 Jenis penelitian ……….. 14
1.8.2 Jenis pendekatan ……… 15
1.8.3 Sumber bahan hukum ……… 16
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ……….. 18
1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum ………….. 18
BAB II Tinjauan Umum Hubungan Kerja dan Outsourcing 2.1 Hubungan Kerja ……… 21
2.1.1 Pengertian hubungan kerja ……… 21
2.1.2 Dasar hukum hubungan kerja ……… 26
2.1.3 Jenis hubungan kerja ………. 28
2.2 Outsourcing ………... 31
2.2.1 Istilah dan pengertian ……… 31
2.2.2 Jenis pekerjaan outsourcing ………... 32
2.2.3 Pihak-pihak dalam outsourcing ………….. 33
2.2.4 Kekuatan mengikat perjanjian outsourcing ………... 35
2.2.5 Kelebihan dan kekurangan outsourcing ……… 36
BAB III Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Hubungan Kerja Outsourcing 3. 1 Hubungan Hukum Para Pihak dalam Hubungan Kerja Outsourcing ……….. 40
3. 2 Dasar Hukum Hubungan Kerja Outsourcing ……… 45
12
3. 3 Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Hubungan Kerja Outsourcing
……….. 46
3. 4 Syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Akibat Hukumnya
Terhadap Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ……….. 48
BAB IV Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja Outsourcing
4.1 Jenis-jenis Penyelesaian Perselisihan ……….. 57
4.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja Outsourcing ………... 65
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ……… 69
5.2 Saran-saran ………. 69
DAFTAR PUSTAKA ……… 71
RINGKASAN SKRIPSI
LAMPIRAN
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi Hukum yang berlaku. Demikian surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 3-Maret-2016 Yang menyatakan,
(IDA AYU KADE RIENDA CINTYA DEWI) NIM. 1116051235
14
Abstract
Employment agreement by specified time (EAST) is an employment agreement that has specified time who was agreed by the company and the employee. EAST must be done appropriate with the Acts. If there is infraction in EAST, so the agreement must be invalid by the law or can also be the employment agreement without specified time (EAWST). In general, outsourcing system using EAST. The concern that will be addressed in this scientific journal is the employee status of the outsourcing workers in infraction of EAST based on Act no 13/2003 about the employment and how the solution of infraction status of outsourcing workers.
The objective of this jurnal is to knowing and understanding the status of
outsourcing workers if there’s infraction in EAST and to knowing and understanding the solution status of outsourcing workers if there’s infraction in
EAST.
Outsurcing workers in infraction EAST must to be the permanent workers in the company of service provider of workers. The solution can be done by the courts of infraction industrial relations (CIIR). The solution of industrial relations is have to be dong by discussion to have agreement from both side. Keywords : Status of employee, Outsourcing, Infraction, Employment Agreement By Specified Time
Abstrak
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) merupakan perjanjian kerja yang memiliki batas waktu tertentu dalam pengerjaannya sengan disepakati para pihak. PKWT harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan. Jika terjadi pelanggaran pada PKWT maka perjanjian tersebut dapat dikatakan batal demi hukum dan dapat pula menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Sistem outsourcing pada
umumnya menggunakan PKWT. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam
karya ilmiah ini yaitu mengenai, status pekerja outsourcing dalam hal terjadinya
pelanggaran PKWT jika ditinjau dari Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan bagaimana penyelesaian permasalahan status pekerja outsourcing tersebut.
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk dapat
mengetahui dan memahami status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran
PKWT serta untuk mengetahui dan memahami penyelesaian status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran PKWT. Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah jenis penelitian hukum yuridis normatif, penelitian ini terutama menggunakan bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sebagai sumber bahan penelitiannya.
Pekerja outsourcing dalam hal terjadinya pelanggaran PKWT seharusnya
berstatus sebagai pekerja tetap di perusahaan penyedia jasa pekerja. Penyelesaian permasalahan tersebut dapat melalui penyelesaian diluar pengadilan maupun melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Penyelesaian industrial sebaikya diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Kata Kunci : Status Pekerja, Outsourcing, Pelanggaran, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berlimpah. Hal tersebut
bisa menjadi keuntungan maupun permasalahan bagi bangsa Indonesia. Sumber
daya manusia yang berlimpah menandakan Indonesia memiliki banyak
individu-individu produktif dalam membangun masa depan bangsa. Namun sumber daya
manusia yang berlimpah juga merupakan salah satu masalah yang sedang
dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini.
Kebutuhan akan biaya hidup sehari-hari merupakan permasalahan bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
masyarakat dituntut untuk bekerja. Individu akhirnya terlibat dalam persaingan
mendapatkan pekerjaan, mengingat lapangan kerja yang sangat terbatas dan tidak
seimbang. Pendidikan sangat berpengaruh dalam proses persaingan mencari kerja.
Namun, bagi individu yang berpendidikan tinggi terkadang susah untuk
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hal
tersebut akan lebih memojokkan bagi masyarakat yang tidak dapat melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi dikarenakan masyarakat tersebut tergolong masyarakat
ekonomi lemah. Banyak dari mereka yang akhirnya bekerja sebagai buruh. Salah
satunya adalah dengan bekerja sebagai tenaga kerja alih daya (outsourcing).
Tenaga kerja outsourcing pada awalnya terdapat secara tersirat pada Pasal
64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa
2
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dalam bidang ketenagakerjaan,
outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan
penyedia/pengerah tenaga kerja.1 Dari pengertian tersebut, disimpulkan bahwa
terdapat 3 pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing, yakni : perusahaan
penyedia jasa pekerja, perusahaan pemberi pekerjaan, dan pekerja itu sendiri.
Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan perusahaan penerima pekerja yang
kemudian menyalurkan pekerja tersebut kepada perusahaan pemberi pekerjaan
untuk kemudian bekerja diperusahannya sesuai dengan perjanjian tertulis.
Kemudian lahirlah istilah outsourcing, (dalam hal ini maksudnya menggunakan
sumber daya manusia dari pihak di luar perusahaan).2
Dari ketiga pihak tersebut hanya terdapat dua perjanjian tertulis. Yakni
perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja (perjanjian
kerja) dan antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi
pekerjaan(perjanjian pemborongan). Sehingga antara pekerja dan perusahaan
pemberi pekerjaan tidak memiliki ikatan hukum yang kuat.
Perusahaan pemberi pekerjaan mempekerjakan pekerja outsourcing karena
dapat menghemat keuangan perusahaan itu sendiri. Pekerja outsourcing bekerja
dalam waktu tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian tertulis antar
perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pekerja
1 Lalu Husni, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Lalu Husni I), h. 187.
outsourcing menerima upah yang terhitung sedikit dan diharapkan dapat bekerja dengan baik tanpa ada jaminan ikatan secara langsung kepada perusahaan pemberi
pekerjaan.
Dengan adanya outsourcing, perusahaan pemberi pekerjaan cendrung
diuntungkan karena menghemat biaya pengeluaran perusahaan namun justru
merugikan bagi pekerja outsourcing itu sendiri karena upah dan jaminan yang
minim namun harus bekerja dengan baik.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
seharusnya dapat menjadi pelindung hukum bagi pekerja outsourcing. Namun,
Undang-undang tersebut memiliki kekosongan norma, karena tidak memiliki
aturan yang spesifik terhadap pekerja outsourcing. Jika pihak-pihak yang
berhubungan dengan outsourcing (perusahaan maupun pakerja) melakukan suatu
pelanggaran, tentunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban yang sesuai
dengan perbuatannya, dikarenakan aturan maupun sanksi yang ada kurang
mengikat, sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Pekerja outsourcing lebih
sering terkena dampaknya, karena antara pekerja outsourcing dengan perusahaan
pemberi kerja tidak ada aturan yang mengikat berupa Peraturan
perundang-undangan maupun perjanjian kerja.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka karya ilmiah mengangkat
4
1. Bagaimana status pekerja outsourcing dalam hal terjadinya
pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT)?
2. Bagaimana penyelesaian status pekerja outsourcing dalam hal
terjadinya pelanggaran perpanjangan waktu dalam Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT)?
1. 3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam menyelesaikan permasalahan diatas penulisan karya ilmiah ini
memberikan suatu pembatasan, yaitu terhadap permasalahan yang pertama
mengenai status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran perpanjangan waktu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan serta terhadap permasalahan yang
kedua mengenai penyelesaian pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) dalam hubungan kerja outsourcing.
1. 4 Orisinalitas
Dalam melakukan penulisan karya ilmiah ini, telah dilakukan pemeriksaan
terhadap semua karya ilmiah yang berhubungan dengan judul dan isi karya ilmiah
ini, baik dalam internet, jurnal, skripsi dan karya ilmiah lainnya dan tidak
ditemukan judul dan isi yang sama.
No
6
Di dalam penulisan karya ilmiah ini, dapat dilihat dalam dua tujuan, yaitu
meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara
lain :
1.5.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari karya ilmiah ini, yaitu sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui status pekerja outsourcing jika terjadi
pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT);
2) Untuk mengetahui penyelesaian status pekerja outsourcing
jika terjadi pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
1.5.2 Tujuan khusus
Di samping terdapatnya tujuan umum, juga terdapat tujuan secara
khusus dari karya ilmiah ini, yaitu :
1) Untuk memahami status pekerja outsourcing jika terjadi
pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu
2) Untuk memahami penyelesaian status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
1. 6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari karya ilmiah ini, yakni :
1.6.1 Manfaat teoritis
1. Dari penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan
informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan status
pekerja outsourcing apabila terjadi pelanggaran
perpanjangan waktu perjanjian kerja waktu tertentu ditinjau
dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan;
2. Selain itu, penulisan skripsi ini diharapkan juga dapat
menambah pemahaman bagi mahasiswa terhadap teori-teori
yang diperoleh dalam perkuliahan.
1.6.2 Manfaat praktis
Penulisan karya ilmiah ini dapat dipakai pedoman baik oleh
pemerintah, pekerja, pengusaha, praktisi, mereka yang
berkepentingan dan berbagai pihak dalam menyelesaikan
permasalahan yang sejenis.
1. 7 Landasan Teoritis
8
Outsourcing adalah pemanfaatan tanaga kerja untuk melakukan proses produksi atau melakukan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan,
melalui jasa penyedia tenaga kerja. Penyedia jasa tenaga kerja secara
khusus melatih, mempersiapkan, menyediakan dan mempekerjakan
tenaga kerja yang nantinya akan bekerja di perusahaan lain. Pekerja
tersebut kemudian bekerja di perusahaan tersebut. Outsourcing merupakan bisnis kemitraan dengan tujuan memperoleh keuntungan
bersama, membuka peluang bagi berdirinya perusahaan-perusahaan baru
di bidang jasa penyedia tenaga kerja, serta efisiensi bagi dunia usah.
Pengusaha tidak perlu disibukkan dengan urusan yang tidak terlalu
penting yang banyak memakan waktu dan pikiran karena hal tersebut
bisa diserahkan kepada perusahaan yang khusus bergerak di bidang itu.3
Dalam outsourcing terdapat 2 jenis perjanjian, yakni perjanjian antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja dan antara perusahaan
penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi kerja.
b. Perjanjian dan Perjanjian Kerja
Perjanjian atau kontrak terdapat dalam ketentuan Pasal 1313
KUH Perdata “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebihh.”
Sehingga perjanjian mengikat para pihak secara hukum. Dari pengertian
perjanjian diatas, diperoleh unsur-unsur perjanjian yakni:
Ada pihak-pihak, minimal 2 orang;
Ada persetujuan antara pihak tersebut;
Ada tujuan yang akan dicapai;
Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
Ada bentuk tertentu (lisan atau tulisan);
Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Sumber hukum mengenai perjanjian antara lain : KUHPerdata
dan peraturan perundang-undangan. Dalam perjanjian terdapat
pihak-pihak yang terikat di dalamnya, yakni:
Antara orang dengan orang;
Antara orang dengan badan usaha berbadan hukum;
Antara orang dengan badan usaha bukan berbadan hukum.
Perjanjian hanya mengikat orang yang membuat, dan para pihak
harus menaati apa yang diperjanjikan, keharusan itu lahir dari perjanjian
itu sendiri yang berkekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. (Pasal 1339 KUHPerdata). Dengan
demikian perjanjian dapat meimbulkan hak dan kewajiban bagi para
pihak yang membuat perjanjian tersebut, karena itu perjanjian yang
mereka buat adalah sumber hukum formal, asal perjanjian tersebut adalah
perjanjian yang sah4.
Mengenai perjanjian kerja, diatur dalam Pasal 1601 a KUH
Perdata: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu
4 Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
10
(si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain,
si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan
menerima upah.” Sedangkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan menjabarkan pengertian lain mengenai
perjanjian kerja: “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja
buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja
hak dan kewajiban kedua belah pihak.” Unsur-unsur yang dapat ditarik
dari pengertian tersebut adalah5:
Pekerjaan
Pekerjaan merupakan objek perjanjian. Di dalam KUH Perdata
Pasal 1603 a berbunyi, “buruh wajib melakukan sendiri
pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh
orang ketiga menggantikannya.”
Perintah
Majikan memberikan perintah untuk melakukan pekerjaan sesuai
dengan apa yang diperjanjikan;
Upah
Pekerja bekerja pada majikannya untuk memperoleh upah,
sehingga upah merupakan hak bagi pekerja dan merupakan
kewajiban bagi majikan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian kerja adalah
perikatan yang terjadi antara pekerja dengan perusahaan/majikan sesuai
dengan ketentuan agar para pihak memenuhi hak dan kewajibannya.
Dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa6:
Buruh/pegawai mengikatkan diri untuk bekerja pada
majikan/perusahaan;
Majikan/perusahaan yang bersangkutan mengikatkan diri pula
untuk memberikan imbalan kerja (berupa gaji, upah, berbagai
fasilitas dan sebagainya) dalam jumlah tertentu serta pada
waktu-waktu yang tertentu pula.
Menurut Pasal 1320 dan Pasal 52 ayat 1 undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa agar
perjanjian kerja dapat dikatakan sah, maka haru memenuhi syarat berupa:
1. Kesepakatan kedua belah pihak;
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Teori mengenai asas perjanjian kontrak tidak berbeda dengan
asas perjanjian pada umumnya. Teori mengenai asas perjanjian yakni:
1. Asas kebebasan berkontrak
Adalah asas yang membebaskan para pihak untuk membuat
atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapa pun, mementukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
12
persyaratan, dan menentukan bentuk perjanjian (lisan atau
tertulis). Teori ini dikembangkan lewat ajaran Hugo de Grecht,
Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.
2. Asas Konsensualisme
Merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan dua belah pihak7. Asas ini merupakan
perkembangan teori dari hukum romawi dan hukum jerman.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini terdapat
pada Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” artinya di
dalam asas ini, baik hakim maupun pihak ketiga harus
menghormati yang terdapat dalam perjanjian sebagaimana
undang-undang. asas ini mulanya dikenal dalam hukum gereja.
4. Asas Itikad Baik
Seperti namanya, asas ini merupakan kepercayaan atau keyakinan
bagi para pihak yang membuatnya bahwa perjanjian ini dibuat
dengan kemauan dan maksud yang baik. Asas itikad baik berasal
dari teori Hoge Road.
5. Asas Kepribadian
Merupakan asas dimana perjanjian dibuat untuk menentukan
bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepeningan perseorangan saja8
c. Pelanggaran Perjanjian
Perjanjian tidak terlepas dari pelaksanaannya, Pasal 1234
KUHPerdata menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
prestasi adalah perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Wanprestasi (ingkar janji) timbul karena tidak dipatuhinya
perjanjian, seperti:
a. tidak melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukan
(tidak dapat memenuhi seluruh perjanjian);
b. melaksanakan apa yang ia janjikan, namun diluar dari apa
yang diperjanjikan (hanya memenuhi sebagian isi
perikatan);
c. melakukan apa yang telah ia janjikan namun terlambat; dan
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh ia
lakukan.
Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dekenakan
sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan resiko,
14
maupun membayar biaya perkara. Pihak yang melakukan
wanprestasi dapat membela diri dengan alasan9:
Keadaan memaksa (overmacht/force majeure);
Kelalaian pihak lain; dan
Pihak lainnya telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti
rugi pada pihak yang melakukan wanprestasi.
Dalam suatu kontrak baku sering dijumpai ketentuan bahwa
para pihak telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal
1266 KUHPerdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi,
maka perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan
kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum.
Dalam hal ini, wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi,
beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal
terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus
dimintakan pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain
bahwa sekalipuns salah satu pihak sudah wanprestasi hakim masih
berwenang untuk memberi kesempatan kepadanya untuk
memenuhi perjanian.10
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian
9 Abdul R. Saliman, op.cit, h. 48.
Untuk mendapatkan jawaban dan guna menguraikan
masalah yang diangkat, maka jenis penelitian hukum yang
digunkan adalah bersifat yuridis normatif. Penelitian secara yuridis
yaitu penelitian yang berdasarkan atas peraturan-peraturan hukum
yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diangkat oleh
penulis, sedangkan penelitian secara normatif yakni penelitian
terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi
hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Penelitian secara
yuridis normatif ini terutama menggunakan bahan-bahan
kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sebagai sumber
bahan penelitiannya.11
Ciri penelitian hukum secara yuridis normatif antara lain :
a) Suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan
dalam norma/asas hukum;
b) Tidak menggunakan hipotesis;
c) Menggunakan landasan teori; dan
d) Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.12
1.8.2 Jenis pendekatan
11 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 166.
16
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan yaitu
pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute
Approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah
pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.13 Dalam
penelitian ini pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait
permasalahan yang diangkat, yakni : KUH Perdata,
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004,
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang telah
digantikan Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
1.8.3 Sumber bahan hukum
Dalam Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum
antara lain:
1. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat,
yakni menggunakan Undang-undang Dasar 1945, KUH
Perdata, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004,
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
yang telah digantikan Peraturan Menteri Tenaga kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan
18
para pakar (doktrin) serta jurnal-jurnal hukum yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan
ensiklopedia yang juga berkaitan dengan penelitian ini.14
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang
dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan
dilakukan dengan cara menelaah dan meneliti data pustaka seperti
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Pencatatan
terhadap bahan-bahan temuan dalam studi kepustakaan perlu
dilakukan secara teliti dan jelas, pencatatan ini juga dilakukan
secara menyeluruh terhadap bahan-bahan yang ada relevansinya
dengan penelitian.15
1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum
Terdapat 2 jenis pengolahan bahan hukum, yakni:
1. Metode pengolahan secara kuantitatif
Menggunakan teknik sampling, yaitu prosedur yang
digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan
14 Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 32.
karakteristik dari suatu populasi, meskipun hanya
beberapa orang yang diwawancarainya;
2. Metode pengolahan secara kualitatif
Penelitian yang mengacu pada norma hukum yang
mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan serta norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis
normatif, maka menggunakan metode pengolahan
secara kualitatif.
Untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah
dikumpulkan maka dipergunakan beberapa teknik analisis
yaitu:
1. Teknik deskripsi, dengan menggunakan teknik ini
peneliti menguraikan secara apa adanya terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proporsi-proporsi
hukum atau non-hukum.
2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis
penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran
gramatikal.
3. Teknik evaluasi merupakan penelitian berupa tepat
20
salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang
tertera dalam bahan primer meupun dalam bahan
hukum sekunder.
4. Teknik argumentasi berupa pernyataan-pernyataan
yang berasal dari pemikiran atau analisis penulis
yang dituangkan dalam bentu tulisan.
Setelah dilakukan teknik argumentasi, maka
didapatlah kesimpulan yang menjawab
BAB II
TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING
2.1 Hubungan Kerja
2.1.1 Pengertian hubungan kerja
Pengusaha dan pekerja memililki hubungan yang disebut dengan
hubungan kerja. Hubungan kerja dan perjanjian kerja tidak dapat dipisahkan.
“Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin hubungan kerja antara pemberi kerja dangan penerima kerja yang bersangkutan, dan selanjutnya akan
berlaku ketentuan tentang hukum perburuhan, antara lain mengenai syarat-syarat
kerja, jaminan sosial, kesehatan, dan keselamatan kerja, penyelesaian perselisihan
dan pemutusan hubungan kerja yang kesemuanya diatur dalam perjanjian kerja.”1
Perjanjian kerja diatur dalam Pasal 1601 a KUH Perdata, Perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah
perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan
dengan menerima upah. Sedangkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan menjabarkan pengertian lain mengenai perjanjian kerja,
perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sehingga menurut
undang-undang tersebut, suatu perjanjian kerja tidak dapat terlepas dari hak dan
kewajiban para pihak dengan mematuhi syarat-syarat yang berlaku diantara para pihak
yang terlibat dalam perjanjian kerja.
Pihak-pihak yang dimaksud dalam perjanjian kerja adalah :
22
A. Pekerja
Buruh merupakan istilah yang digunakan sejak zaman penjajahan
Belanda sebelum digunakannya istilah pekerja.
Pada zaman penjajahan belanda yang dimaksud dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan
pekerjaan kasar, orang-orang ini disebut dengan “Blue Collar”.
Sedangkan pekerja di kantor pemerintahan maupun swasta disebut
sebagai “karyawan/pegawai” (white collar). “Pembedaan tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang pribumi. Setelah Indonesia merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Namun lebih tepat jika disebut sebagai
pekerja sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945”. 2
Pengertian pekerja pada Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan yakni “Pekerja/buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.”
Selain itu pekerja/buruh dapat diartikan sebagai3 :
a. Bekerja pada atau untuk majikan/perusahaan;
b. Imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/perusahaan;
c. Secara resmi/terang-terangan dan kontinu mengadakan
hubungan kerja dengan majikan/perusahaan, baik untuk
waktu yang tertentu maupun untuk jangka waktu yang tidak
tertentu lamanya.
2 Lalu Husni I, op.cit. h. 45.
Istilah tenaga kerja maupun pekerja/buruh memiliki istilah yang
hampir mirip, namun perbedaannya adalah bahwa tenaga kerja yang sudah
bekerja yang dapat disebut sebagai pekerja4.
B. Perusahaan
Istilah perusahaan tidak dapat terlepas dari pengusaha maupun
pemberi kerja. Perusahaan merupakan bentuk badan hukum yang didirikan
oleh pengusaha, sedangkan pemberi kerja adalah pengusaha/perusahaan
yang menyediakan lahan pekerjaan bagi pekerja dengan memberikan
upah/gaji. Pengertian pengusaha menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tetang ketenagakerjaan adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan milikya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada
di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a,b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Undang-undang tersebut juga menyebutkan mengenai pengertian
pemberi kerja yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja degan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 4). Pengertian
24
pemberi kerja lebih luas dibanding pengertian pengusaha. Seorang
pegusaha merupakan pemberi kerja, namun pemberi kerja belum tentu
pengusaha. Jadi, dari pengertian mengenai pengusaha tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa pengusaha bisa berarti perseorangan, dapat
pula persekutuan atau badan hukum.
Istilah perusahaan adalah istilah yang lahir sebagai akibat adanya pembahruan dalam hukum dagang. Oleh karena itu, sejak beberapa pasal dalam buku I KUHD dicabut, maka sejak itu pula istilah dan pengertian pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan) tidak layak lagi mewakili kepentingan kaum pedagang khususnya dan masyarakat pada umumnya yang kemungkinan memiliki hubungan, kepentingan dan atau ikut ambil bagian dalam aktivitas
perusahaan.5
Namun sesuai dengan perkembangan undang-undang, pengertian
perusahaan terdapat pada Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
Antara tenaga kerja, pekerja, maupun perusahaan memiliki
huungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersifat saling
menguntungkan (Simbiosis Mutualisme), karena pekerja melakukan
pekerjaannya di perusahaan agar perusahaan tersebut dapat maju dan
berkembang, timbal baliknya pekerja tersebut mendapatkan upah/imbalan
dari perusahaan tersebut atas kerja kerasnya. Untuk menjaga hubungan
baik timbal balik tersebut, maka dibuatlah perjanjian kerja untuk mengikat
pihak-pihak tersebut.
Para pihak dalam perjanjian kerja tersebut pada akhirnya
menciptakan hubungan yang selaras demi terciptanya kerjasama yang
saling menguntungan para pihak. Hubungan antara para pihak tersebut
disebut dengan hubungan kerja. Hubungan kerja berbeda dengan
hubungan kerjasama pada umumnya. Hubungan kerja diatur dalam Pasal 1
angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah. Hubungan kerja merupakan bentuk hubungan hukum yang lahir
atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha6. Berdasarkan pengertian tersebut, hubungan kerja antara
perusahaan dan pekerja memiliki pengertian yang berbeda dengan
hubungan pada umumnya, seperti hubungan antara penjual dengan
pembeli maupun hubungan antara guru dan murid. Perbedaan tersebut
26
dapat dilihat dari unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1 angka 15
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang
menyebutkan bahwa unsur dari hubungan kerja tersebut adalah: pekerjaan,
upah dan perintah. Perusahaan dan pekerja terlibat dalam suatu ikatan
yang disebut dengan pekerjaan. Pekerjaan dilakukan oleh pekerja sesuai
dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja oleh perusahaan.
setelah pekerja tersebut melaksanakan pekerjaannya, maka perusahaan
wajib membayarkan upah. Upah merupakan kewajiban bagi perusahaan
dan hak bagi pekerja. Pekerja melaksanakan apa yang menjadi
pekerjaannya berdasarkan perintah dari perusahaan. Unsur-unsur tersebut
yang membedakan antara hubungan kerja dengan hubungan pada
umumnya.
2.1.2 Dasar hukum hubungan kerja
Hubungan kerja yang resmi wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam undang-undang. “Hubungan kerja adalah hubugan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” (Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Dari pengertian hubungan kerja diatas,
dapat dipastikan bahwa hubungan kerja dan perjanjian kerja tidak dapat
dipisahkan. Perjanjian kerja dan perjanjian pada umumnya memiliki arti yang
berbeda. Perjanjian didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata “Suatu
dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut Subekti, Perjanjian tertulis untuk hubungan bisnis itu lazim disebut dengan kontrak Namun demikian, tidaklah
semua perjanjian tertulis harus diberikan judul kontrak, tetapi tergantung pada
kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian dan kelaziman dalam penggunaan
istilah untuk perjanjian itu.7
Pengertian lain dari perjanjian/kontrak adalah kontrak atau contracts
(dalam bahasa inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa belanda) dalam
pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.
Kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saring berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut
perikatan (verbintenis). Dengan demikian, kontrak dapat menimbulkan hak
dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asal kontrak
tersebut adalah kontrak yang sah.8
Imam Soepomo berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian kerja dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja
dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan
diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.9
Sedangkan perjanjian kerja terdapat pada Pasal 1601 a KUH Perdata yang
memberikan pengertian bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana
pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang
7I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian kedalam
Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 28. 8 Abdul R. Saliman, op. cit. h. 45.
28
lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan
menerima upah.”
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1
angka 14 memberikan pengertian yakni : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian
antara pekerja buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.”
Mengenai syarat perjanjian kerja secara umum, diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Suatu perjanjian dikatakan sah apabila :
1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian kerja tersebut mengikat antara perusahaan maupun pekerjanya.
Karena, baik perusahaan maupun pekerja merupakan pihak yang telah membuat
perjanjian, sehingga perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-undang bagi
pihak yang telah membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata).
2.1.3 Jenis hubungan kerja
Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha/majikan yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu,
pekerja/buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak
pekerja/buruh dengan membayar upah.10 Hubungan kerja dan perjanjian kerja
yang tidak dapat dipisahkan pada akhirnya membentuk dua jenis perjanjian kerja.
Jenis perjanjian kerja tersebut dapat digolongkan menurut waktunya, yakni
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT).
A. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
Pekerja perjanjian kerja waktu tertentu atau biasa disebut juga
dengan pekerja kontrak. Perjanjian ini dibuat untuk pekerjaan yang
memiliki waktu tertentu dalam pengerjaannya. PKWT diatur dalam
keputusan menteri KEP.100/MEN/VI/2004 didefinisikan sebagai
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu untuk pekerja tertentu.
Suatu perjajian dapat disebut sebagai PKWT jika terdapat unsur:
Hanya sesekali pengerjaan (sementara/musiman);
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu
lama, yakni sekitar 3 Tahun;
Pekerjaan diluar produk baru, kegiatan, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dalam implementasinya, PKWT tudak mensyaratkan uang
pesangon dan uang penghargaan masa kerja jika ada PHK. Jika ada hal-hal
sekitar perjanjian kerja, selebihnya diatur dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentag ketenagakerjaan. PKWT wajib dibuat secara tertulis,
30
selain itu juga wajib didaftarkan pada instansi yang sah, jika tidak
didaftarkan pada instansi ketenagakerjaan maka PKWT dianggap tidak sah
dan secara otomatis PKWT tersebut akan menjadi karyawan sehingga
pekerja tersebut akan membuat dan memperoleh hak-haknya sesuai
undang-undang.
Jika PKWT seseorang telah habis, dapat diperpanjang paling lama
dua tauhun dan boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama
1 tahun. PKWT tidak mengenal adanya masa percobaan.
B. Perjanjian waktu tidak tertentu (PKWTT)
Adalah perjanjian kerja yang tidak ditentukan waktunya (bersifat
tetap). PKWTT dapat dibuat secara lisandan tidak wajib mendapatkan
pengesahan dari instansi ketenagakerjaan. Apabila dibuat secara lisan,
maka klausulnya diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan sehingga
dianggap menyetujui Undang-undang ketenagakerjaan sebagai “dasar
perikatan”. Selain itu, jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang
sekurang-kurangnya memuat : nama dan alamat karyawan, tanggal mulai bekerja,
jenis pekerjaan, dan besarnya upah. Jika PKWT tidak mensyaratkan
adanya masa percobaan kerja, maka PKWTT mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja selama tiga bulan dengan perusahaan tetap membayar
upah pekerja tidak lebih rendah dari UMR (Upah Minimum Regional).
Pekerja meninggal dunia;
Berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja (PKWT);
Adanya putusan pengadilan atau putusan/penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
Munculnya keadaan tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja yang dapat berakhirnya hubungan kerja.
Perbedaan antara PKWT dan PKWTT adalah:
PKWT dibuat menggunakan bahasa Indonesia, jika tidak
secara otomatis akan berubah menjadi PKWTT;
Dalam PKWT harus mencantumkan masa berlaku
perjanjian kerja sesuai dengan yang disepakati;
Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan
penggantian hak tidak diwajibkan dalam PKWT;
Bila salah satu pihak dalam PKWT melakukan PHK maka
pihak yang terkena mendapatkan ganti rugi sejumlah sisa
masa kontrak.
2.2 Outsourcing
2.2.1 Istilah dan pengertian
“Istilah Outsourcing tidak dipergunakan dalam Undang-undang. Outsourcing merupakan istilah yang digunakan untuk menggantikan istilah alih
32
tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu
perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.”11
Pasal 64
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan
bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa
pekerja yang dibuat secara tertulis. Artinya ada perusahaan lain yang melatih
sumber daya manusia dengan keterampilan-keterampilan yang nantinya akan
dipekerjaan di perusahaan lain dengan pekerja tersebut masih berstatus tenaga
kerja di perusahaan awal tersebut. Perusahaan lain yang mempekerjaan tenaga
kerja dari perusahaan awal menggunakan jasa pekerja tersebut untuk mengisi
posisi yang telah disediakan yang tentunya tidak berhubungan dengan kegiatan
inti produksi. Karyawan/pekerja outsourcing adalah karyawan kontrak yang
disediakan dari perusahaan jasa outsourcing untuk membantu pekerjaan-pekerjaan
khusus yang tak berhubungan dengan pekerjaan inti.12
2.2.2 Jenis pekerjaan outsorcing
Sebagai sistem alih daya, pekerjaan yang berhubungan dengan
outsourcing dibagi menjadi beberapa jenis. Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pekerja/buruh
dari perusahaan penyadia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
11 Lalu Husni II, op. cit. h. 168
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Dapat
disimpulkan bahwa ada jenis-jenis pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai
outsourcing. Kelima jenis pekerjaan tersebut adalah cleaning service, jasa
keamanan, katering, transportasi, dan kontraktor pertambangan.13
Kelima jenis pekerjaan outsourcing tersebut tidak secara spesifik
disebutkan sebagai bagian dari outsourcing karena belum ada peraturan yang
membahas secara spesifik mengenai outsourcing. Bahkan dalam Pasal 4
Permenakertrans No. KEP-101/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh memberi kebebasan kepada
pihak perusahaan untuk menentukan sendiri jenis pekerjaan yang akan di
pekerjakan dalam perjanjian kerja. Namun, berdasarkan Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, secara umum kelima perkerjaan tersebut
yang dipakai sebagai acuan mengenai jenis pekerjaan outsourcing di Indonesia.
2.2.3 Pihak-pihak dalam outsorcing
Sebagai sistem alih daya, pihak-pihak yang terlibat dalam outsourcing
tidak jauh berbeda dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja pada
umumnya, yakni pekerja dan perusahaan. Namun pada outsourcing terdapat 2
perusahaan yang memiliki arti berbeda. Pada outsourcing, terdapat perusahaan
yang bertugas sebagai penyalur tenaga kerja outsourcing (selanjutnya disebut
sebagai perusahaan penyedia tenaga kerja), dan perusahaan yang meminta tenaga
34
kerja ke perusahaan penyedia tenaga kerja/pemborong pekerja (selanjutnya
disebut sebagai perusahaan pemberi kerja). Kedua perusahaan tersebut memiliki
arti dan tujuan masing-masing. Adrian Sutedi menggunakan istilah penyedia jasa
pekerja dan pemborongan pekerjaan14 :
A. Perusahaan penyedia tenaga kerja
Perusahaan penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
dipersyaratkan:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan peyedia jasa
pekerja;
b. Perjanjian kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau
perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda
tangani oleh kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja;
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan
penyedia jasa pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur
dalam undang-undang no.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
B. Perusahaan pemberi kerja
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan
pekerjaan dapat dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum, dengan
syarat (Pasal 65 ayat (2) undang-undang Nomor 13 Tahun 2013) :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
perusahaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan;
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
2.2.4 Kekuatan mengikat perjanjian outsorcing
Kekuatan mengikat perjanjian outsourcing sama dengan kekuatan
mengikat pada perjanjian kerja pada umumnya. Karena dalam outsourcing hanya
membedakan jenis perusahaan penerima tenaga kerjanya dan pihak yang
melaksanakan perjanjian kerja tersebut, sehingga kekuatan mengikat dan dasar
dibuatnya perjanjian sama dengan perjajian kerja pada umumnya.
Untuk membuat perjanjian kerja, dibuatlah surat kontrak. Dalam
undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak menggunakan surat
kontrak, tapi istilah yang digunakan adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
(PKWT). Ikatan kerja itu pada dasarnya ada 2 (dua) macam, yaitu kerja untuk
waktu tertentu dan kerja untk waktu tidak tertentu15. Tenaga kerja yang sudah
diangkat menjadi pekerja permanen/tetap termasuk ke dalam kerja untuk waktu
36
tidak tertentu. Sedangkan dalam outsourcing termasuk dalam kerja untuk waktu
tertentu, karena masa kerja ditentukan pada saat perjanjian kerja dilakukan.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian yang
dibuat mengikat orang yang membuat. Para pihak harus menaati apa yang
diperjanjikannya itu, keharusan itu lahir dari perjanjian itu sendiri yang
berkekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1388
KUH Perdata). Pada dasarnya perjanjian hanya mengikat bagi para piihak yang
membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 yo. 1917 KUH
Perdata). Namun demikian, ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata memberikan
pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat oleh si berpiutang, maka si berpiutang
dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja (action Pauliana).16
2.2.5 Kelebihan dan kekurangan outsorcing
Sebagai sistem alih daya, outsourcing tentunya memiliki kelebihan
maupum kekurangan dibanding dengan sistem kerja pada umumnya. Menurut
Doni Judian, outsourcing merupakan penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain secara langsung atau tidak langsung telah membuka kesempatan
kerja yang baru. Serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja
perusahaan17. Sedangkan, menurut Adrian Sutedi kelebihan dari outsourcing
adalah18 :
16 Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit. h 32. 17Doni Judian, op.cit. h. 148
1. Seorang pekerja outsourcing melakukan efisiensi dan dapat terhindar dari
risiko/ekonomis, seperti perselisihan/PHK, jaminan social, dan
kesejahteraan lainnya;
2. Sedangkan bagi perusahaan terhindar adri risiko perburuhan, seperti PHK,
perselisihan, waktu, tenaga, dana.
Kekurangan dari outsourcing adalah tidak semua pekerjaan dapat
dikategorikan sebagai pekerjaan outsourcing. Oleh karena itu harus diperhatikan
dalam penyerahan sebagian pekerjaan perusahaan lain, adalah dilakukan melalui
suatu perjanjian tertulis. Dalam membuat perjanjian, sekurang-kurangnya
memuat:
Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa;
Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang
terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang
dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja;
Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja, bersedia menerima
pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk
jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam
hal ini terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja.
Sehingga, pada umumnya secara garis besar berdasarkan pendapat ahli
38
A. Pekerja :
Memudahkan karyawan mendapatkan pekerjaan, karena perusahaan
outsourcing yang menyalurkan;
Mendapatkan pelatihan dari perusahaan outsourcing;
Memudahkan pencari kerja yang memiliki keahlian khusus memilih
perusahaan yang akan mempekerjakan mereka nantinya dan menentukan
gaji yang akan mereka dapatkan karena para pencari kerja dengan keahlian
khusus sangat jarang, sehingga menjadi rebutan perusahaan besar;
Mendapatkan banyak pengalaman dan relasi;
Lebih mampu mengekspresikan bakat pada spesialis kerja tertentu;
Dapat mengembangkan diri;
Memberi ruang untuk bisa melakukan kegiatan usaha yang lain.
B. Perusahaan :
Tidak memikirkan mengenai tunjangan, jaminan dan asuransi kesehatan;
Fokus pada kompetensi inti;
Penghematan dan pengendalian biaya operasional;
Memanfaatkan kompetensi agen outsourcing;
Mengurangi resiko, perusahaan mampu mempekerjakan lebih sedikit
karyawan dan dipilih yang intinya;
Perusahaan dapat merespon pasar dengan cepat.
Sedangkan, dari segi kekurangan outsourcing yaitu :
Tidak ada jenjang karir dalam pekerjaan outsourcing;
Masa kerja tidak jelas karena sistem kontrak;
Tidak mendapat tunjangan;
Pemotongan penghasilan tidak jelas;
Kesejahteraan tidak terjamin;
Bagi pekerja dengan kemampuan terbatas, memperoleh pendapatan yang
terbatas;
Bagi perusahaan :
Kehilangan control manajerial : control manajerial akan menjadi milik
perusahaan lain karena perusahaan outsourcing tidak akan mendorong
perusahaan melainkan didorong untuk membuat keuntungan dari layanan
yang mereka sediakan;
Adanya biaya tersembunyi : setiap hal yang tidak tercantum dalam kontrak
menjadi dasar perusahaan untuk membayar biaya tambahan;
Ancama keamanan dan kerahasiaan : perusahaan outsourcing dapat
menerima informasi tentang catatan gaji, medis dan rahasia lainnya;
Kualitas : kontrak akan mengalami spesifikasi dan akan ada biaya
tambahan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan kepada perusahaan
outsourcing;
Terkait kesejahteraan keuangan perusahaan lain; perusahaan outsourcing
akan bangkrut;