• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III UPAYA-UPAYA HUKUM DALAM PENYELESAIAN

3.2. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Menurut pasal 19 ayat (1) jo pasal 23 UUPK, “Pelaku usaha bertanggung

jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

 

diperdagangkan”. “Apabila pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”.

Sedangkan menurut pasal 47 UUPK, “Penyelesaian sengketa konsumen di

luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution

(ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. Adapun cara tersebut dapat berupa

arbitrase, mediasi, konsiliasi, ministrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya. 33

Sedangkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli.

Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK hanya memperkenalkan 3 (tiga) macam yaitu ; arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas

      

33

 

BPSK. Adapun tugas dan wewenang BPSK dapat dilihat dalam pasal 52 UUPK, yaitu meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan

cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf G dan huruf H, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Walaupun terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, namun yang akan dibahas lebih lanjut hanya arbitrase, konsiliasi, dan mediasi sebagaimana ditentukan dalam huruf a dari pasal 45 diatas. a. Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak tersebut telah

 

mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa diantara kedua belah pihak.34

Pada kasus telepon genggam yang penulis angkat, proses penyelesaian sengketanya tidak menggunakan cara arbitrase. Hal ini disebabkan tidak ditemukannya suatu perjanjian tentang prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati para pihak terdahulu. Sedangkan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara demikian, harus terlebih dahulu memperhatikan perjanjian tentang prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati para pihak terdahulu. Selain itu, para pihak menyatakan tidak menggunakan cara penyelesaian sengketa demikian karena biaya yang mahal, serta proses penyelesaiannya yang lambat. Hal ini tidak sesuai dengan nilai kerugian yang diderita akibat kecacatan pada produk tersebut.

b. Konsiliasi

Konsiliasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa yang juga dapat ditempuh di luar pengadilan. Cara penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak.

Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Ketidakterikatan para pihak terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang

      

34

 

dihadapi para pihak tersebut, menyebabkan penyelesaiannya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak.

Pada kasus sengketa konsumen yang pernah terjadi di BPSK Surabaya, belum pernah sekalipun cara penyelesaian sengketanya menggunakan cara konsiliasi. Hal ini disebabkan karena cara demikian kurang efektif dibandingkan dengan cara penyelesaian sengketa yang lainnya.

c. Mediasi

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, dimana majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat.

Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian dalam bentuk kompromi terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya.

Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Selain itu cara penyelesaian demikian cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak

 

terbuka untuk umum seperti di pengadilan), saling memberikan keuntungan dalam kompromi, hubungan kedua pihak bersifat kooperatif, tidak ada pihak yang kalah atau menang, tapi sama-sama menang, serta tidak emosional.35

Pada kasus telepon genggam yang penulis angkat, dari beberapa cara penyelesaian sengketa konsumen yang terdapat di UUPK, para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi oleh BPSK sepakat bahwa cara penyelesaian sengketanya menggunakan mediasi. Adapun prosedur mulai dari awal pengajuan hingga akhir penyelesaian sengketa pada kasus tersebut yaitu antara lain sebagai berikut:

Secara teknis bentuk pengajuan permohonan penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 15-17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Bentuk permohonan penyelesaian sengketa konsumen diajukan kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan penyelesaian sengketa dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya, apabila konsumen meninggal, sakit, belum dewasa atau orang asing.

Permohonan penyelesaian sengketa secara tertulis yang telah diterima oleh sekretatriat BPSK diberikan bukti tanda terima kepada pemohon. Sedangkan apabila secara lisan harus dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu format yang disediakan untuk itu dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti

      

35

 

tanda terima. Berkas permohonan tersebut, baik tertulis maupun lisan oleh sekretariat BPSK dicatat dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.

Adapun isi daripada permohonan penyelesaian sengketa secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai:

a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;

b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. Barang atau jasa yang diajukan;

d. Bukti perolehan (bon, faktur, kuitansi dan dokumen lain);

e. Keterangan tempat, waktu, dan taggal diperoleh barang atau jasa tersebut; f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.

Permohonan penyelesaian sengketa ditolak oleh BPSK apabila:

a. Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan penyelesaian sengketa konsumen tersebut;

b. Permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.

Setelah secara teknis bentuk pengajuan permohonan penyelesaian sengketa selesai atau terpenuhi, oleh BPSK dilakukan pemanggilan pelaku usaha beserta konsumen untuk menghadiri persidangan dengan cara tertulis disertai dengan salinan permohonan penyelesaian sengketa. Adapun surat pemanggilan tersebut memuat hari, tanggal, jam dan tempat persidangan.

 

Selain itu, dibentuk surat tugas oleh ketua BPSK Kota Surabaya untuk membentuk majelis. Adapun dalam kasus telepon genggam ini yang menjadi majelis/meditor yaitu dr. Slamet Santoso, M. Kes (selaku Ketua Majelis), Nuriyanto, SH. dan Ir. Chairuddin Ramli (selaku Anggota Majelis).

Secara aktif BPSK mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa serta memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.

Hasil daripada mediasi antara kedua belah pihak tersebut dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh pihak konsumen dan pihak pelaku usaha yang bersangkutan. Perjanjian tersebut kemudian dikuatkan dengan Keputusan Majelis BPSK serta ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. (Pasal 37 ayat (1) dan (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Adapun sifat daripada putusan BPSK yang menguatkan perjanjian tadi, merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (Pasal 42 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001).

 

BAB IV

Dokumen terkait