• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN

C. Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kerjasama Antara PT.

Sebuah sengketa dapat timbul jika salah satu pihak merasa haknya telah dilanggar oleh pihak lain dan pihak yang dirasa melanggar haknya tidak mau melakukan ganti rugi atau mengakuinya. Secara garis besar terdapat 2 cara penyelesaian sengketa, yaitu :

1. Penyelesaian sengketa non litigasi (di luar Peradilan)

Penyelesaian sengketa di luar peradilan merupakan penyelesaian sengketa yang ditawarkan untuk pertama kalinya. Jalur non litigasi ialah jalur penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri (Pasal 6 angka 1 UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun penyelesaian sengketa non litigasi dapat berupa:

a. Mediasi : suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak74

b. Konsiliasi : penyelesaian sengketa para pihak, melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Perbedaannya pada mediasi, mediator berwenang menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaiana sengketa yang bersengkutan, sedangkan pihak konsiliator tidak ada kewenangan untuk itu.75

c. Negosiasi : sebagai suatu proses tawar meenawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah terjadi diantara para pihak.76

d. Arbitrase : merupakan suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Orang yang ditunjuk dan dipilih oleh para pihak atau oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dinamakan arbiter. Arbiter ini dapat memberikan keputusan yang mengikat para pihak. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (Pasal 60 UU No.30 Tahun 1999)77

2. Penyelesaian sengketa litigasi (melalui jalur Peradilan)

Apabila salah satu pihak merasa di rugian oleh pihak lain, sedangkan telah dilakukan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi (di luar pengadilan) namun tidak menemukan titik damai antara kedua belah pihak, maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah pengajuan gugatan ke peradilan. Langkah ini merupakan langkah terakhir yang diambil ketika sebelumnya telah mengadakan negosiasi, mediasi, konsiliasi maupun arbitrase. Dalam hal ini, keputusan hakim adalah keputusan yang sangat mengikat dan

74

Munir Fuady (III), Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hlm. 47.

75

72

menentukan kedudukan yang benar dan salah antara pihak yang menggugat dan tergugat.

Mengenai penyelesaian sengketa atau perselisihan dalam perjanjian kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Nomor : B.VIII-121/TPI-US.12 jo. Nomor : 046/MDP-Pelindo I/PKS/XI/2012, Pasal 17 berbunyi :

a. Seluruh perselisihan yang timbul karena perjanjian ini seperti keabsahan, interpretasi atau pelaksanaan atau pelanggaran atas setiap ketentuan, akan ditafsirkan dan diinterpretasikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia;

b. Segala perselisihan yang timbul karena perjanjian ini akan diselesaikan para pihak secara musyawarah untuk mufakat dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal di mana gagalnya penyelesaian melalui musyawarah maka masing-masing pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan secara pasti melalui Pengadilan Negeri Batam; Dengan kata lain, bahwa jika terjadi sengketa atau perselisihan yang sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian kerjasama maka antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana memilih penyelesaian dengan cara, yaitu :

1. Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan

Segala perselisihan atau permasalahan akan dibahas secara bersama dengan musyawarah atau dengan diskusi terlebih dahulu melalui arbitrase agar menemukan jalan keluar untuk kemudian mencapai mufakat.

Berdasarkan waktu yang telah diperjanjikan selama 30 (tiga puluh) hari, apabila para pihak tidak ditemukan persesuaian pendapat atau mufakat atau dengan kata lain, upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berjalan dengan lancar, misalnya ketika salah satu pihak tidak ada yang mau mengakui kesalahan atau kelalaiannya sehingga tidak mau membayar ganti rugi barulah digunakan jalan penyelesaian melalui proses hukum. Di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahannya dan diteruskan ke pengadilan negeri, dan kedudukan hukum yang telah disepakati oleh para pihak adalah di Pengadilan Negeri Batam.

Berdasarkan hasil wawancara penulis, selama berlangsungnya perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah sejauh ini tidak pernah terjadi sengketa di antara para pihak, sebaliknya dalam pelaksanaan kerjasama ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik bagi PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) maupun PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana dikarenakan kondisi market atau pasar yang memadai, di samping itu dengan tersedianya pelayanan prima baik dari segi operasi maupun keuangan oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana juga turut mendukung kelancaran pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut.78

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah pada awalnya merupakan suatu kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh PT. Maxsteer Dyrynusa yang kemudian beralih menjadi pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchoarge setelah menjalin kerjasama dengan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang kemudian disebut sebagai Nipah Transit Anchorage Area

(NTAA). Pelaksanaan perjanjian kerjasama ini dimulai dari tahap pendaftaran yang diikuti dengan pembayaran awal, pengoperasian kegiatan pelabuhan, dan tahap akhir dari pelaksanaan perjanjian ini adalah pembayaran akhir kepada pihak bank oleh agen kapal.

2. Pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana bekerja sebagai satu kesatuan sehingga bentuk tanggung jawab antara kedua belah pihak yang melakukan kerjasama merupakan tanggung jawab tanggung renteng, yaitu segala permasalahan yang timbul ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Namun para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama operasi ini dapat bebas dari tanggung jawab apabila terjadi suatu keadaan memaksa atau kahar atau force majeur.

3. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah sedapat mungkin diselesaikan secara musyawarah mufakat dengan itikad

baik. Namun, apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan tersebut maka permasalahannya akan diselesaikan ke Pengadilan Negeri Medan.

B. SARAN

1. Sebaiknya para pihak mencantumkan bentuk tanggung jawab dari masing- masing pihak ke dalam sebuah pasal yang lebih terperinci, untuk menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari.

2. Sebaiknya para pihak mencantumkan waktu berlaku dan berakhirnya perjanjian secara jelas dan terperinci, untuk menghindari perbedaan penafsiran di antara para pihak tentang waktu berakhirnya perjanjian kerjasama tersebut.

3. Sebaiknya para pihak menyepakati dan memperbaharui sistem pembagian hasil atas jasa kepelabuhanan untuk menghindari terjadinya permasalahan dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku :

Adiwibowo, Sunarto, 2009, Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk , 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Bosse, Syahrial, 2001, Pengelolaan Pelabuhan di Indonesia, Corporate Secretary, Jakarta.

Budiono,Herlien, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

Fuady,Munir, 2000, Arbitrase, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

___________,2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung.

___________, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung. ___________, 2014, Konsep Hukum Perdata, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Gultom,Elfrida, 2006, Refungsionalisasi Pengaturan Pelabuhan untuk

Meningkatkan Ekonomi Nasional, Rajawali Pers, Jakarta.

___________, 2007, Refungsionalisasi Pengaturan Pelabuhan untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

H.S, Salim , 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta.

___________, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

___________, 2004, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika , Jakarta.

Hernoko, Agus Yudha, 2013, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Karisma Putra Utama, Jakarta.

___________, 2009, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Surabaya.

1233 Sampai 1456 BW), Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muljadi ,Kartini dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

___________, 2006, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Purba, Hasim, 2005, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Raharjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum Cetakan Keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Referensi Kepelabuhanan Seri 4, 2000, Perencanaan dan Pembangunan Pelabuhan, Pelabuhan Indonesia.

___________ 5, 2000, Sumber Daya Manusia Pelabuhan,Pelabuhan Indonesia. Santiago, Faisal, 2012, Pengantar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta. Satrio, J., 2012, Wanprestasi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Doktrin dan Yurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Subekti , R., 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cetakan ke-31, Intermasa, Jakarta.

Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Suyono, R. P, 2001, Shipping: Pengangkutan International Ekspor Impor melalui Laut, Seri Bisnis International keenam, Jakarta.

Syahmin, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tutik,Titik Triwulan, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,

Kencana, Jakarta.

Uli,Sinta, 2006, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat, dan Angkutan Udara, USU Press, Medan.

75

B. Kamus :

Balai Pustaka, 2003,Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III, Jakarta.

C. Undang-undang :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhananan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan Di Perairan, Pasal 44 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

D. Internet :

http://www.negarahukum.com/hukum/perjanjian-perikatan-kontrak.html diakses pada 6 mei 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_sewa_guna_usaha diakses pada 15 Mei 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_anjak_piutang diakses pada 15 Mei 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_modal_ventura diakses pada 15 Mei 2015

Profil PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero), http://portal.inaport1.co.id

diakses pada tanggal 2Mei 2015

https://blogdenni.wordpress.com/2011/07/06/persekutuan-perdatafirma-dan-cv/ diakses pada 15 Mei 2015

http://www.pengertianpengertian.com/2011/12/pengertian-jual-beli.html diakses pada 15 Mei 2015

http://yukalaw.blogspot.com/2012/02/sewa-beli-perjanjian-untukmelakukan.html diakses pada 15 Mei 2015

http://vanbanjarechts.wordpress.com/2013/01/01/teori-mengenai-kesepakatan- kehendak-dan-dasar-mengikatnya/

http://www.jurnalhukum.com/unsur-unsur-perjanjian/ diakses pada 15 mei 2015

77

LAMPIRAN

HASIL WAWANCARA PADA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO)

Narasumber : Bapak Fadillah Haryono, S.H.,M.H Hari/Tanggal : Sabtu, 16 Mei 2015

1. Apa yang menjadi latar belakang perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa perdana?

Jawab : Yang menjadi latar belakang perjanjian tersebut adalah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KP. 255 Tahun 2007, tanggal 12 Juni 2007 tentang Penetapan Lokasi Kegiatan

Anchorage PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) di Perairan Nipah Selat Singapura maka PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) menjalin kerjasama dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana dan kerjasama tersebut dituangkan ke dalam sebuah Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah Nomor : B.VIII-121/TPI-US.12 Jo. Nomor : 046/MDP-Pelindo I/PKS/XI/2012. 2. Apakah pengertian dari ShipTransit Anchorage?

Jawab : Ship Transit Anchorage merupakan suatu kegiatan kepelabuhanan seperti kegiatan pemindahan langsung muatan, gas, cair, ataupun padat dari suatu kapal ke kapal lain. Kegiatan tersebut dilakukan di tengah laut dengan menggunakan kapal sebagai tempat untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang.

3. Bagaimana pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian

Ship Transit Anchorage di perairan Nipah antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa perdana?

Jawab : Pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah pada awalnya merupakan suatu kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana. Selanjutnya PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana menjalin kerjasama dengan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang kemudian disebut sebagai Nipah Transit Anchorage Area (NTAA). Dengan terjalinnya kerjasama ini, kegiatan pemasaran beralih menjadi pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchoarge. Prosedur operasi pelaksanaan kerjasama mengacu kepada Standard Operation Procedure

berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor : PU.60/1/19/DJPL-08 tanggal 02 Juni 2008 tentang Prosedur Operasional Tetap (Standard Operation Procedure) Pengelolaan dan Pengoperasian Nipah Transit Anchorage Area (NTAA) di Perairan Nipah Selat Singapura.

4. Apakah pernah terjadi sengketa antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana?

Jawab : Selama berlangsungnya perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah sejauh ini tidak pernah terjadi sengketa di antara para pihak, sebaliknya dalam pelaksanaan kerjasama ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik bagi PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) maupun PT.

Maxsteer Dyrynusa Perdana dikarenakan kondisi market atau pasar yang memadai, di samping itu dengan tersedianya pelayanan prima baik dari segi operasi maupun keuangan oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero)

79

dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana juga turut mendukung kelancaran pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut.

5. Bagaimana penyelesaian sengketa bila terjadi suatu sengketa antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana? Jawab : Jika terjadi sengketa atau perselisihan yang sehubungan dengan

pelaksanaan perjanjian kerjasama maka PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana terlebih dahulu diselesaikan dengan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Segala perselisihan atau permasalahan akan dibahas secara bersama dengan musyawarah atau dengan diskusi terlebih dahulu melalui arbitrase agar menemukan jalan keluar untuk kemudian mencapai mufakat. Apabila tidak ditemukan penyelesaiannya maka diselesaikan melalui pengadilan. Berdasarkan waktu yang telah diperjanjikan selama 30 (tiga puluh) hari, apabila para pihak tidak ditemukan persesuaian pendapat atau mufakat atau dengan kata lain, upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berjalan dengan lancar, misalnya ketika salah satu pihak tidak ada yang mau mengakui kesalahan atau kelalaiannya sehingga tidak mau membayar ganti rugi barulah digunakan jalan penyelesaian melalui proses hukum. Di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahannya dan diteruskan ke pengadilan negeri, dan kedudukan hukum yang telah disepakati oleh para pihak adalah di Pengadilan Negeri Batam.

6. Bagaimana contoh pembagian bagi hasil antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana?

Jawab : contohnya:

a. Jika PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang melakukan sebuah pemasaran kepada sebuah kapal asing dan kapal tersebut setuju untuk menggunakan jasa kepelabuhanan di perairan NTAA serta biaya penggunaan jasa kepelabuhanan di perairan NTAA adalah sebesar $10.000. Berdasarkan komposisi sebagaimana terdapat dalam bagan 1 di atas, besaran pembagian hasil yang diperoleh oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) adalah sebesar $9.000 selaku pihak pertama yang mendapatkan bagian 90% dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana mendapatkan bagian sebesar $1.000 selaku pihak kedua yang mendapatkan bagian 10%.

b. Jika PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana yang melakukan penundaan terhadap sebuah kapal asing di perairan NTAA dan biaya dari kegiatan penundaan di perairan NTAA sebesar $20.000. Berdasarkan komposisi sebagaimana terdapat dalam bagan 1 di atas, besaran pembagian hasil yang diperoleh oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) adalah sebesar $16.000 selaku pihak pertama yang mendapatkan bagian 80% dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana mendapatkan bagian sebesar $4.000 selaku pihak kedua yang mendapatkan bagian 20%.

7. Bagaimana skema dari kegiatan yang dilakukan di perairan NTAA? Jawab : Skema kegiatan di perairan NTAA :

Pendaftaran/

81

Penjelasan skema berdasarkan skema di atas:

4. Pihak Agen Kapal menghubungi salah satu pihak antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) atau PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana. Dalam hal ini agen tersebut akan menghubungi pihak yang telah melakukan penawaran. Dalam tahap ini agen tersebut akan mendaftarkan kapal yang akan menggunakan jasa kepelabuhanan di perairan NTAA dan melakukan pembayaran atas jasa yang akan digunakan nantinya.

5. Kapal yang telah didaftarkan akan berlabuh pada jadwal yang telah di tetapkan. Pada tahap ini, kapal tersebut akan melakukan kegiatan yang telah didaftarkan mulai dari kegiatan pemanduan, penundaan dan kegiatan lain sesuai dengan keperluan dari kapal tersebut.

6. Proses pembayaran akhir merupakan tahap akhir dari kegiatan di perairan NTAA. Walaupun pada saat pendaftaran kapal sudah dilakukan pembayaran, namun pada saat itu belum dapat dipastikan jumlah jasa yang akan digunakan secara pasti, maka dilakukan pembayaran akhir pada saat kapal tersebut sudah siap melakukan kegiatan di perairan NTAA. Adapun pembayaran akhir tersebut dilakukan oleh agen kapal melalui pembayaran ke bank yang telah ditentukan.

8. Apa sanksi yang diberikan bila tidak melunasi pembayaran atau tidak mengikuti aturan?

Jawab : Bagi kapal-kapal yang tidak mengikuti aturan yang telah ditentukan pada saat pengoperasian dan atau tidak melunasi pembayaran akhir, maka

kapal tersebut akan di black list atau dilarang untuk berlabuh di perairan Nipah.

Medan, 16 Mei 2015 Narasumber,

Bapak Fadillah Haryono, S.H.,M.H (PMO PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero))

Dokumen terkait