• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PERAIRAN NIPAH ANTARA PT. PELABUHAN

INDONESIA I (PERSERO) DENGAN PT.

MAXSTEER

DYRYNUSA PERDANA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : JOHN WILLI

110200204

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

(2)

PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN

PENGOPERASIAN

SHIP TRANSIT ANCHORAGE

DI

PERAIRAN NIPAH ANTARA PT. PELABUHAN

INDONESIA I (PERSERO) DENGAN PT.

MAXSTEER

DYRYNUSA PERDANA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : John Willi 110200204

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Hasim Purba, S.H.,M.Hum. NIP.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(3)

NAMA : JOHN WILLI

NIM : 110200204

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN

PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) DENGAN PT. MAXSTEER

DYRYNUSA PERDANA

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi

atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2016

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

segala berkat, rahmat dan kasih karunia-Nya tidak terhingga yang telah

memberikan penulis kekuatan dan inspirasi yang terbaik sehingga mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Perjanjian Kerjasama

Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana”. Penulisan skripsi ini membahas tentang pentingnya suatu perjanjian untuk

mengikat para pihak yang bersangkutan dalam pelaksanaan kerjasama

pengelolaan dan pengoperasian ship transit anchorage di perairan nipah, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan,

semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu,S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H.,M.Hum.,selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM.,selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas

(5)

6. Ibu Sinta Uli, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Kekhususan Hukum

Perdata Dagang sekaligus merupakan Dosen Pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan

motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini;

7. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus

merupakan Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu

kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi kepada

penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum.,selaku Ketua Program Kekhususan

Hukum Perdata BW;

9. Bapak Faisal Akbar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik

penulis;

10.Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya

yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam

menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

11.Teristimewakan kepada orang tuaku tercinta yaitu Ayah (James Li), Ibu

(Nurzana Tanujaya), adik-adikku (Liberty Theresia, Likelly Claudia, John

Kerli), dan keluarga besarku terima kasih atas dorongan motivasi serta cinta

(6)

12.Kepada Bapak Swandi Hutasoit, S.H.,M.H., Bapak M.Yusron, S.H.,M.H.,

Bang Fadillah Haryono, S.H., dan Kak Sabrina Sitompul, S.H., selaku legal staff di PT. Pelindo I Medan yang telah memberikan kesempatan pada penulis melaksanakan riset dengan wawancara untuk penyelesaian skripsi penulis ini;

13.Kepada sahabat-sahabatku Pom2 Group (Intan, Kartika, Emma, Citra, Dyah, Kristy Emelia, Imelda, Octaviana, Novia Utami, Ari Pareme, Rurin, dan

Gabeta) , AFC (Agus Syahputra, Ahmad Thohir Pane, M.Rifaldi, Ryan

Samuel, Imam Fauzi). Teman-teman kelas Grup D, teman-teman Grup Perdata

BW dan seluruh teman-teman stambuk 2011 yang tidak dapat penulis sebut

satu per satu, terima kasih atas doa dan juga dukungan semangat dalam

perkuliahan selama ini;

14.Dan segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak

langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas

doa dan dukungan semangat yang dibagikan bersama.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Bila ada kesalahan dan

kekurangan dalam skripsi ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhir

kata penulis memanjatkan doa dan puji kehadiratNya, semoga skripsi ini

bermanfaat bagi semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2016

(7)

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 7

C.Tujuan Penulisan ... 8

D.Manfaat Penulisan ... 8

E.Metode Penelitian ... 9

F. Keaslian Penulisan ... 13

G.Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN ... 16

A.Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian ... 16

B.Syarat Sahnya Perjanjian dan Asas-Asas Perjanjian ... 24

C.Jenis-Jenis Perjanjian dan Perjanjian Kerjasama ... 37

BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH ... 47

A.Profil PT. Pelabuhan Indonesia I dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana ... 47

(8)

C.Hak dan Kewajiban PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan

PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana Dalam Perjanjian Kerjasama... 56

BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH ... 61

A.Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Dan Pengoperasian Ship Transit Anchoarge di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana ... 61

B.Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchoarge di Perairan Nipah ... 67

C.Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kerjasama Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana ... 70

BAB V PENUTUP ... 74

A.Kesimpulan ... 74

B.Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN

A.Hasil Wawancara dengan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero)

Medan.

(9)

(PERSERO) Pelabuhan Indonesia I di Perairan Nipah Selat

Singapura.

(10)

ABSTRAK

John Willi*) SintaUli, S.H., M.Hum.**) RabiatulSyahriah, S.H, M.Hum***)

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP.255 Tahun 2007 tentang penetapan lokasi kegiatan anchorage di perairan Nipah ditetapkan bahwa PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) menjalin kerjasama dengan PT. Maxsteer

Dyrynusa Perdana. Ship Transit Anchoarge merupakan salah satu jenis usaha atau kegiatan usaha yang ditawarkan oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) kepada PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana. Terbatasnya kemampuan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) untuk melakukan kegiatan pelabuhan tersebut mengharuskan pihaknya menjalin kerjasama dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana, untuk menjadikan pelaksanaan kegiatan kerjasama aman dan tentram maka diperlukan suatu perangkat hukum yaitu perjanjian kerjasama. Skripsi ini berjudul

“Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer

Dyrynusa Perdana”. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah, bagaimana tanggung jawab para pihak, serta bentuk penyelesaian apabila terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah antara PT. Pelindo I dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan penelitian yuridis empiris merupakan penelitian yang dilakukan oleh penulis secara langsung di lapangan yaitu dengan melakukan wawancara di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero).

Kesimpulan dari isi perjanjian kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana mengenai hak dan kewajiban diantara para pihak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian Nomor : B.VIII-121/TPI-US.12 jo. Nomor : 046/MDP-Pelindo I/PKS/XI/2012, baik dari segi mekanisme operasi pengelolaan dan pengoperasian

Ship Transit Anchorage maupun pembagian hasil atau sharing antara kedua belah pihak. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh pihak yang terikat dalam perjanjian, maka para pihak sepakat akan bertanggung jawab secara bersama-sama atau tanggung renteng. Apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut maka penyelesaiannya akan diusahakan terlebih dahulu melalui musyawarah, namun jika tidak ditemukan jalan keluar maka diselesaikan secara litigasi dan memilih kedudukan hukum di Pengadilan Negeri Batam.

Kata kunci : Perjanjian, Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian, Ship Transit Anchorage

*)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**)

Dosen Pembimbing I

***)

(11)

A. Latar Belakang

Ribuan tahun yang lalu pelabuhan-pelabuhan yang ada pada awalnya

dibangun di sungai-sungai dan perairan pedalaman, kemudian berkembang secara

bertahap, pelabuhan dibangun di tepi laut terbuka seiring dengan perkembangan

peradaban manusia.

Wilayah Indonesia sering disebut dengan kepulauan nusantara, dari tiga

matra wilayah Indonesia maka wilayah perairan merupakan bahagian yang terluas

dibanding dengan wilayah daratannya. Hal ini membuat sejak zaman nenek

moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai negara maritim.1

Peran dan fungsi pelabuhan pada masa tersebut hanya sebagai tempat

aktivitas perdagangan sehingga fasilitas dan pengelolaannya belum merupakan

kelembagaan yang dikelola secara terstruktur dan terencana seperti pelabuhan

yang ada dewasa ini.2 Kondisi wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau

besar dan pulau-pulau kecil yang memiliki perairan yang besar jika dibandingkan

dengan daratan merupakan faktor yang menentukan betapa pentingnya peranan

jasa transportasi angkutan laut dalam rangka menghubungkan daerah yang secara

geografis terpisah-pisah.

Melihat keadaan geografis Indonesia, wajar apabila pembangunan dan

pengaturan transportasi laut perlu mendapat perhatian yang lebih. Sehingga

(12)

2

mampu menggerakkan pembangunan nasional dan pembangunan daerah,

dengan meningkatkan perdagangan dan kegiatan pembangunan transportasi laut.

Pelabuhan merupakan pertemuan lalu lintas internasional dan lalu lintas

nasional, seperti pelayaran samudera dan pelayaran dalam negeri. Pelabuhan

sebagai prasarana ekonomi merupakan penunjang bagi perkembangan industri

perdagangan maupun pelayanan, oleh karena itu pengelolaannya perlu

disesuaikan.

Dalam bahasa Indonesia, pelabuhan secara umum dapat didefinisikan sebagai wilayah perairan yang terlindung, baik secara alamiah maupun secara buatan, yang dapat digunakan untuk tempat berlindung kapal dan melakukan aktivitas bongkar muat barang, manusia ataupun hewan serta dilengkapi dengan fasilitas terminal yang terdiri dari tambatan, gudang dan tempat penumpukan lainnya, di mana kapal melakukan transfer muatannya.3

Mengenai pengusahaan pelabuhan ini dalam PP No. 69 Tahun 2001

tentang Kepelabuhanan, dinyatakan bahwa masalah kepelabuhanan merupakan

faktor yang tidak terpisahkan dalam sistem ekonomi negara secara keseluruhan,

institut kepelabuhanan perlu disesuaikan dengan landasan baru.4

Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan

penyelanggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi

pelabuhan untuk menunjang kelancaran keamanan dan ketertiban arus lalu lintas

kapal, penumpang dan atau barang, keselamatan berlayar, serta tempat

perpindahan intra dan atau antarmoda.

Bila ditinjau dari jenisnya, jenis pelabuhan sangatlah beragam tergantung

dari sudut pandangnya. Menurut sudut pandang orang awam, dikenal pelabuhan

3

Referensi Kepelabuhanan Seri 5, Sumber Daya Manusia Pelabuhan,Pelabuhan Indonesia, 2000, hlm. 1.

4

(13)

laut (sea port), pelabuhan udara (air port), dan pelabuhan darat (dry port) yang dibagi berdasarkan jenis moda transportasi utama yang dilayani.5

Kegiatan usaha yang terdapat di pelabuhan juga beragam seperti usaha

bongkar muat, usaha tally mandiri, usaha jasa pengurusan transportasi, usaha depo peti kemas, usaha angkutan perairan pelabuhan, usaha penyewaan peralatan

angkutan laut peralatan jasa terkait dengan angkutan laut, usaha pengelolaan

kapal, usaha perantara jual beli dan atau sewa kapal, usaha keagenan awak kapal,

usaha keagenan kapal, dan usaha perawatan dan perbaikan kapal.

Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang paling sederhana (tradisional) sampai kepada taraf kehidupan manusia yang modern senantiasa didukung oleh kegiatan pengangkutan. Bahkan salah satu barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.6

Selain berbagai usaha tersebut, terdapat kegiatan usaha lain yang dapat

menunjang kegiatan di pelabuhan seperti jasa pelayanan alih muat dari kapal ke

kapal (Ship to Ship Transfer). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan Di Perairan, Pasal 44 ayat (1)

Ship to Ship Transfer adalah kegiatan pemindahan langsung muatan, gas, cair, ataupun padat dari suatu kapal ke kapal lainnya. Kegiatan jasa pelayanan alih

muat dari kapal ke kapal (Ship to Ship) adalah bagian dari kegiatan bongkar muat barang atau pemindahan suatu barang yang dilakukan dari suatu kapal ke kapal

lain. Kegiatan bongkar muat barang tersebut dilakukan oleh Badan Hukum

(14)

4

Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara atau

Badan Usaha Milik Daerah atau Koperasi, yang didirikan untuk usaha itu.

Di Indonesia, sesuai Pasal 26 UU No. 17 Tahun 2008 jo. PP No. 69 Tahun

2001, untuk pelabuhan umum dianut tiga macam bentuk pengelolaan, yaitu

sebagai berikut:

1. Perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat.

Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang disebut unit pelaksana teknis atau satuan kerja pelabuhan yang mengelola pelabuhan-pelabuhan kecil yang tidak komersial, tetapi penting sebagai prasarana transportasi di pulau-pulau dan daerah terpencil. Semua biaya yang diperlukan dalam menjalankan fungsi pelabuhan tersebut disetorkan ke kas negara.

2. Badan Usaha Milik Negara dengan status Perseroan Terbatas (Persero).

Badan ini mengelola pelabuhan-pelabuhan besar yang bersifat komersial dan termasuk sebagian pelabuhan-pelabuhan kecil yang masih mampu membiayai diri sendiri atau yang menerima saham dari perseroan ini dimiliki oleh negara, namun tidak menutup kemungkinan untuk dimiliki sebagian oleh pihak swasta, baik dengan go public melalui pasar saham maupun dengan cara penempatan langsung (direct placement). 3. Pihak swasta melalui kerjasama dengan pihak BUMN yang bersangkutan.

Kerjasama ini dapat diwujudkan dalam bentuk joint venture atau dimungkinkan juga dalam bentuk perjanjian pemberian konsesi untuk membangun pelabuhan baru.7

Dengan berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang

menggantikan UU Nomor 21 Tahun 1992, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan

Badan Usaha Milik Negara yang menyelanggarakan pelabuhan tetap

menyelanggarakan kegiatan pengusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan baru

Undang-Undang tersebut.

7

(15)

PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia adalah Suatu Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) yang diberikan tugas untuk mengoperasikan dan pengelolaan

pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan di seluruh Indonesia.8 Dengan beragamnya

kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) dan juga

mengingat biaya dan kemampuan serta fasilitas untuk mengoperasikan usaha yang

beragam tersebut maka PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) membuka peluang

kerja sama dengan pihak swasta untuk mengoperasikan salah satu bentuk usaha

yang dimiliki. Salah satunya adalah kerjasama dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana dalam pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah.

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjalinnya perjanjian

kerjasama, antara lain karena keterbatasan sarana dan juga prasarana, keterbatasan

skill (kemampuan). Ataupun karena tuntutan perkembangan usahanya yang

semakin maju. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, berkembanglah apa yang

dinamakan dengan hubungan kerjasama.

Kerjasama tersebut lahir karena adanya kepentingan dari masing-masing

pihak yang saling membutuhkan. Dimana PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero)

membutuhkan pihak luar untuk membantu dalam pengelolaan dan pengoperasian

pelayanan jasa di bidang Ship Transit Anchorage di perairan Nipah. Sebagai dasar yang mengikat dari hubungan kerjasama tersebut dibutuhkan apa yang disebut

dengan perjanjian kerjasama. Perjanjian kerjasama merupakan suatu perjanjian

(16)

6

dasar yang dipakai sebagai bingkai hubungan kerjasama sehingga kepastian hak

dan kewajiban para pihak menjadi jelas dan rinci.

Sebagai dasar dari hubungan kerjasama tersebut dibutuhkan apa yang

dinamakan dengan perjanjian kerjasama. Perjanjian kerjasama merupakan suatu

kesepakatan bersama antara kedua belah pihak yang merupakan dasar untuk

membuat perjanjian pelaksanaan lebih lanjut sesuai dengan kepentingan dan

kebutuhan para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya. Pada

dasarnya perjanjian kerjasama ini berawal dari suatu perbedaan atau

ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak yang bersangkutan.

Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa

diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak

berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan

sesuatu yang diinginkan melalui proses tawar-menawar.9

Pada prinsipnya perjanjian kerjasama dibedakan dalam 3 pola yaitu Usaha

Bersama (Joint Venture), Kerjasama Operasi (Joint Operational) dan Operasi Sepihak (Single Operational).

Hubungan kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan

PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana merupakan perjanjian kerjasama dalam bentuk kerjasama operasi atau joint operation dan menganut sistem sharing pendapatan operasi. PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana telah mengikatkan diri dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian

Ship Transit Anchorage di perairan Nipah. Perjanjian tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak dan menjadi undang-undang yang berlaku bagi para pihak

9

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,

(17)

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dan

perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa suatu perjanjian diperlukan untuk

menjaga para pihak dalam melaksanakan kegiatan kerjasama dapat terjaga atau

adanya suatu kepastian hukum. Untuk menjadikan kegiatan kerjasama aman dan

tentram maka diperlukan suatu perangkat hukum yaitu perjanjian kerjasama.10

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka sangat

menarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang perjanjian, khususnya

perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage

antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana, mengenai pelaksanaan perjanjian, dan bagaimana bentuk penyelesaian

apabila terjadi sengketa yang akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul :

Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.”

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan

(18)

8

2. Bagaimanakah tanggung jawab para pihak dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah? 3. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa antara PT. Pelabuhan

Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana apabila terjadi sengketa?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat

mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dan beberapa tujuan lain yang ingin dicapai, yaitu :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan

pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam perjanjian kerjasama

pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana. 3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa kedua belah pihak

apabila terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan

pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara teoretis yaitu , untuk menambah pengetahuan penulis tentang

bagaimana bentuk pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan

(19)

dibidang perjanjian khususnya tentang perjanjian kerjasama dan juga

pertanggungjawaban dalam penyelesaian sengketa perjanjian kerjasama

pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage tersebut.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

pihak PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) maupun bagi pihak PT.

Maxsteer Dyrynusa Perdana baik dalam hal pembuatan perjanjian kerjasama maupun pelaksanaan perjanjian tersebut. Dan penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi

masyarakat.

E. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam

rangka ilmu tersebut untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode

ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi himpunan

pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala yang lainnya.11

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kecuali

itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum

tersebut untuk kemudian suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam

gejala yang bersangkutan.

Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu

(20)

10

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap.

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal–hal yang belum diketahui.

3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.12

Skripsi merampungkan penyajian agar dapat memenuhi kriteria sebagai

tulisan ilmiah sehingga diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam

upaya pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian diterapkan metode

penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode penelitian Yuridis

Normatif. Penelitian Yuridis Normatif adalah penelitian kepustakaan atau studi

dokumen disebabkan penelitian ini dilakukan terhadap data yang bersifat

sekunder. Karena penyusunan skripsi ini juga melalui proses penelitian lapangan,

maka penelitian ini juga menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris.

Penelitian Yuridis Empiris yaitu penelitian lapangan yang berasal dari data primer

yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber utama dengan melalui

pengamatan (observasi), wawancara, ataupun penyebaran kuisioner. Dalam hal

penelitian empiris ini, diperoleh data primer melalui wawancara langsung dengan

legal staff di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero).

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di

dalam tujuan penyusunan bahan skripsi, maka jenis penulisan yang diterapkan

adalah untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, pengumpulan data yang

12

(21)

digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan penelitian

kepustakaan (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dianggap relevan, antara lain perusahaan terkait dengan perjanjian

kerjasama operasi yang diangkat dalam penelitian ini. Sumber bahan

hukum sekunder yang berupa artikel, jurnal ilmiah, buku-buku hukum

yang berkaitan dengan hukum perjanjian.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan

penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer guna akurasi terhadap hasil yang dipaparkan, yaitu berupa wawancara.

Wawancara dilakukan sebagai alat pengumpulan bahan hukum

tambahan selain daripada bahan hukum yang didapatkan dari

perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan informan, yaitu dengan

pihak PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) sebagai perusahaan Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang jasa

kepelabuhananan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang

berkedudukan hukum di Jl. Krakatau Ujung No. 100 Medan. Oleh karena itu,

diperoleh bahan hukum dari lokasi penelitian yang dimaksud.

(22)

12

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder didukung oleh data primer.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan

dengan cara melalui wawancara langsung dengan legal staff di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero).

b. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

guna mendapatkan landasan teoretis terhadap segi-segi hukum

perjanjian kerjasama. Selain itu tidak menutup kemungkinan diperoleh

melalui bahan hukum lain, di mana pengumpulan bahan hukumnya

dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data

yang terdapat dalam buku, literatur, tulisan-tulisan ilmiah,

dokumen-dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut berupa:

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, meliputi

seluruh peraturan perundang undangan yang relevan dengan

permasalahan dan tujuan penelitian antara lain terdiri atas:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran;

c) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 Tentang

Kepelabuhananan;

(23)

2) Bahan Hukum Sekunder, berupa bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu hasil karya ahli

hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang

berhubungan dengan skripsi ini dan acuan lainnya yang berisikan

informasi tentang bahan primer berupa tulisan artikel ilmiah,

jurnal-jurnal hukum dan buku-buku terkait dengan hukum perjanjian,

khususnya yang berkaitan dengan materi penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier, diperlukan untuk berbagai hal dalam

penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan dari

bahan hukum primer khususnya kamus hukum.

F. Keaslian Penulisan

Penelitian ini berjudul :“Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan

Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah antara PT. Pelabuhan

Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana”. Berdasarkan

pengamatan dan pengecekan judul di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara materi yang dibahas dalam penelitian ini belum pernah dijadikan

judul maupun dibahas dalam skripsi yang sudah ada lebih dulu, sehingga judul

dan pokok permasalahan serta pembahasan dalam skripsi ini layak untuk diteliti.

Apabila ditemukan nantinya ada kesamaan dengan penelitian lainnya maka dapat

dipertanggungjawabkan sepenuhnya baik dalam hal judul maupun pembahasan.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai karya ilmiah penelitian ini memiliki sistematika yang teratur

(24)

14

tujuannya. Tulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang akan diperinci lagi dalam sub

bab, adapun kelima bab itu terdiri dari :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penulisan

pemilihan judul yang dipilih serta hal-hal yang mendorong

ketertarikan mengangkat judul yang bersangkutan, permasalahan,

tujuan dan manfaat penulisan dilanjutkan dengan keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian yang digunakan

serta sistematika penulisan penelitian ini.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

Pada bab ini membahas tentang pengertian sebuah perjanjian,

syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian, unsur-unsur sebuah

perjanjian, jenis-jenis perjanjian dan asas-asas perjanjian.

BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN

KERJASAMA PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SHIP

TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH

Pada bab ini akan dibahas tentang profil PT. Pelabuhan Indonesia I

(Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana, ruang lingkup, bentuk dan jangka waktu, serta hak dan kewajiban para pihak.

BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN

PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI

PERAIRAN NIPAH

Pada bab ini diuraikan tentang pelaksanaan perjanjian kerjasama

(25)

Nipah antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT.

Maxsteer Dyrynusa Perdana, tanggung jawab para pihak yang terkait dalam perjanjian kerjasama, dan bagaimana penyelesaian

atau solusi apabila terjadi perselisihan atau sengketa yang berkaitan

dengan perjanjian kerjasama yang dimaksud.

BAB V PENUTUP

Bab ini adalah bagian terakhir yang merupakan kesimpulan dari

jawaban permasalahan dan saran dari penulisan ini. Di mana dalam

bab ini akan ditentukan saran untuk pihak-pihak yang terkait dalam

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan

perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu pihak dalam perjanjian.

Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada

pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam

perikatan yang lahir dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.

Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian tersebut, maka kreditur

berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian yang belum dilaksanakan atau

yang telah dilaksanakan secara bertentangan, dengan atau tidak disertai dengan

penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.13

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan

tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.14 Istilah

perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa

Belanda yakni overeenkomst. Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan,

masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat

bersama.”15

13

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.91.

14

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka Jakarta, 2005, hlm. 458.

15

(27)

Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda

untuk perjanjian. Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan

kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement

dalam bahasa Inggris.16 Achmad Ichsan memakai istilah verbintenis untuk perjanjian, sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia

memakai istilah overeenkomst untuk perjanjian.17

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum

Perdata (Burgelik Wetboek) menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.” Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang

diatur dalam ketentuan di atas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas,

seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya

Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:

“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang Hukum Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dengan uang.”18

Menurut Muhammad Abdul Kadir, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata mengandung kelemahan karena:

16

Munir Fuady (I), Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.

17

(28)

18

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.

Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan

“kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya

konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b. Kata perbuatan “mencakup” juga tanpaconsensus. Pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.

Seharusnya digunakan kata “persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa. 19

Berdasarkan alasan yang dikemukankan di atas, maka perlu dirumuskan

kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut Kamus Hukum,

perjanjian adalah persetujuan, pemufakatan antara dua orang pihak untuk

melaksanakan sesuatu. Kalau diadakan tertulis juga dinamakan kontrak. Menurut

doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas, telah tampak

adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak

dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan

dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut

19

(29)

tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat

perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.20

Beberapa Sarjana Hukum juga memberikan definisi mengenai perjanjian

antara lain sebagai berikut:

a. Menurut R. Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.21

b. Menurut Syahmin AK

Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.22

c. Yahya Harahap

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.

d. Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

e. Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.23

Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa syarat

perjanjian, antara lain:

a. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.

20

Salim H.S (I), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.161.

21

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cetakan ke-31, Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 5.

(30)

20

Pihak-pihak yang dimaksud disini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perubahan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana salah satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.24

b. Adanya persetujuan atau kata sepakat.

Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang diperjanjikan.

c. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan disini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian. Dengan membuat

perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara “sukarela”

mengikatkan diri untuk menyertakan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa dia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

d. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.

Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prsetasi tersebut.25

e. Adanya bentuk tertentu.

Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Untuk beberapa perjanjian tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.26

f. Adanya syarat-syarat tertentu

24

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I),Op.Cit., hlm. 92.

25

Ibid.,hlm. 2.

26

(31)

Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, di

mana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat

hukum tertentu. Di mana dalam kesepakatan itu, satu pihak wajib melaksanakan

sesuai dengan yang telah disepakati, dan pihak yang satunya berhak mendapatkan

sesuai dengan apa yang telah disepakati.

2. Unsur-Unsur Perjanjian.

Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur

esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut

karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu

perjanjian.27 Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur yaitu:

a. Unsur essensialia dalam perjanjian

Unsur essensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari sebuah perjanjian.28

Unsur essensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karena itu, unsur essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya, dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda pula antara satu dengan yang lain. Misalnya harga jual beli merupakan essensialia yang harus ada pada perjanjian jual beli. Artinya tanpa dijanjikan adanya harga maka jual beli bukanlah perjanjian jual beli melainkan mungkin perjanjian lain yang berbeda. Dengan kata lain, apabila oleh para pihak dikatakan adanya jual beli tanpa menyebutkan

27

(32)

22

harganya tetapi oleh para pihak saling diserahkan suatu benda perbuatan hukum tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jual beli melainkan tukar menukar.29

b. Unsur naturalia dalam perjanjian

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli mengkhendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual-beli, di mana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.30

c. Unsur aksidentalia dalam perjanjian

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian pula unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya, dalam jual-beli yaitu ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang essensialia dalam kontrak tersebut.31

Salim H.S. menyatakan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam hukum

perjanjian dikategorikan sebagai berikut:

a. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul,

29

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 67.

30

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Op.Cit., hlm. 88.

31

(33)

tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

b. Subjek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson

diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

c. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.

d. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud di atas, di mana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

e. Akibat hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya perjanjian di mana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.32

Dari berbagai pengertian perjanjian yang telah diuraikan sebelumnya,

dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian terdiri dari beberapa unsur, yaitu :

a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih

Kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataa kehendak. Suatu perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua pihak atau lebih yang saling menyatakan kehendak untuk berbuat sesuatu.

b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak

Kehendak dari para pihak harus dinyatakan, sehingga setelah para pihak saling menyatakan kehendaknya dan terdapat kesepakatan di antara para pihak, terbentuklah suatu perjanjian diantara mereka.

(34)

24

c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum Suatu janji atau pernyataan kehendak tidak selamanya menimbulkan akibat hukum. Terkadang suatu pernyataan kehendak hanya menimbulkan kewajiban sosail atau kesusilaan. Misalnya janji di antara para pihak.

d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik

Akibat hukum yang terjadi adalah untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban terhadap pihak lainnya atau bersifat timbal balik. Yang perlu diperhatikan adalah akibat hukum dari suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak dan tidak boleh merugikan pihak ketiga.

e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan

Pada umumnya para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian. Namun dalam beberapa perjanjian tertentu undang-undang telah menentukan bentuk yang harus dipenuhi. Misalnya untuk pendirian perseroan terbatas harus dibuat dengan akta notaries.33

B. Syarat Sah Perjanjian dan Asas-Asas Perjanjian 1. Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian baru sah dan karenanya akan menimbulkan akibat hukum

jika dibuat secara sah sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian tersebut

harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat

syarat yang disebutkan dalam Pasal tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah

dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut dibagi

ke dalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Dua

syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau

subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir

dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau

obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

33

(35)

Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari keempat syarat sahnya perjanjian

tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut

diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabila terdapat

pelanggaran terhadap syarat subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal

tidak terpenuhinya syarat objektif), dalam pengertian bahwa perikatan yang lahir

dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

Persyaratan-persyaratan hukum yang harus dipenuhi agar sebuah

perjanjian ini sah dan mengikat adalah sebagai berikut:

a. Syarat Umum Sahnya Perjanjian

Syarat umum terhadap sahnya suatu perjanjian adalah seperti yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berlaku untuk semua bentuk dan jenis perjanjian, yang meliputi dua hal, yaitu:

1) Syarat subjektif

Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian, meliputi:

a) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Dalam suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak tidak ada paksaan dan lainnya. Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya

„cacat‟ bagi perwujudan kehendak tersebut.

b) Kedua belah pihak harus cakap bertindak.

Cakap bertindak, yaitu kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap atau berwenang adalah orang dewasa (berumur 21 tahun atau sudah menikah). Sedangkan orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, meliputi: (a) anak di bawah umur (minderjarigheid), (b) orang dalam pengampuan (curandus), (c) orang-orang perempuan.

2) Syarat Objektif

(36)

26

Benda yang dijadikan objek perjanjian harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:

(1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan; (2) Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum

antara lain, jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian;

(3) Dapat ditentukan jenisnya; (4) Barang yang akan datang.

b) Adanya sebab yang halal

Dalam suatu perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai

„sebab‟ (oorzaak, causa). Menurut Abdulkadir Muhammad, sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud causa yang halal dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat

perjanjian, melainkan sebab dalam arti „isi perjanjian itu sendiri‟, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.34

b. Syarat Tambahan Sahnya Perjanjian

Syarat tambahan terhadap sahnya suatu perjanjian yang juga berlaku terhadap seluruh bentuk dan jenis perjanjian adalah sebagaimana yang disebut antara lain dalam Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut:

1) Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik; 2) Perjanjian mengikat sesuai kepatutan; 3) Perjanjian mengikat sesuai kebiasaan;

4) Perjanjian harus sesuai dengan undang-undang (hanya terhadap yang bersifat hukum memaksa);

5) Perjanjian harus sesuai ketertiban umum.35

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua

atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk

dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan

34

Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, hlm. 225-226.

35

(37)

siapa yang harus melaksanakan.36 Para pihak yang mengadakan perjanjian harus

bersepakat dan setuju mengenai hal-hal pokok yang diadakan dalam perjanjian

itu.37 Sepakat dan setuju itu sifatnya bebas, artinya benar-benar atas kemauan

sukarela diantara para pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun.

Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak

berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya

bersifat menakut-nakuti.

Menurut ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata secara a contrario dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak kecuali dapat

dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan,

maupun penipuan sebagaimana dituliskan dalam Pasal 1321 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

a. Tentang kekhilafan dalam perjanjian

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal

1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :

1) Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

2) Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian

karena kekhilafan yaitu, mengenai :

a) Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya (error in substantia). Misalnya seseorang menganggap bahwa ia membeli lukisan yang asli,

(38)

28

ternyata kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya

adalah tiruan.

b) Terhadap orang yang dibuatnya suatu perjanjian (error in

persona). Misalnya, seorang penyelenggara konser menandatangi perjanjian dengan seorang penyanyi sebagai salah satu pengisi

acara. Namun setelah penandatanganan perjanjian tersebut, baru

diketahui bahwa orang yang menandatangani perjanjian bukanlah

orang yang dimaksud hanya saja karena namanya sama.

b. Tentang Paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam lima

Pasal, yaitu dari Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan

dalam Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merujuk pada

subjek yang melakukan pemaksaan yang dilakukan oleh pihak di dalam

perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjan tetapi memiliki

kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut. Selanjutnya

berdasarkan rumusan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, dapat diketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan

dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak

dalam perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau

isteri dan keluarga dalam garis keturunan ke atas maupun ke bawah.

Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1326

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbicara mengenai akibat

(39)

alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (di bawah paksaan atau

ancaman tersebut). Jika merujuk pada rumusan Pasal 1324 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1326 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat

terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan. Perbuatan yang

dimaksud berupa :

1) Paksaan fisik, dalam pengertian kekerasan.

2) Paksaan psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis

atau kejiwaan.

Selain itu, paksaan tersebut juga mencakup dua hal yaitu :

1) Jiwa dari subyek hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 1325

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Harta kekayaan dari pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 1325

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia

takut pada suatu ancaman. Paksaan yang dimaksud dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tidak hanya berarti tindakan kekerasan

saja tetapi paksaan dalam arti yang lebih luas yaitu meliputi ancaman

terhadap kerugian kepentingan hukum seseorang. Intinya, bukan

kekerasan itu sendiri tetapi rasa takut yang ditimbulkan oleh adanya

kekerasan tersebut.

c. Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian diatur dalam

(40)

30

ayat. Dari rumusan pasal ini dapat dilihat, bahwa penipuan mempunyai

unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian untuk

mengelabui pihak lawannya sehingga pihak yang satunya memberikan

kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara

mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa

masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dapat

dibuktikan dan tidak diperbolehkan hanya dengan adanya persangkaan

saja.

Suatu perjanjian haruslah memiliki obyek tertentu sekurang-kurangnya

dapat ditentukan jenisnya.38 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

maksud hal tertentu dengan memberikan rumusannya dalam Pasal 1333 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Jika melihat kepada rumusan pasal tersebut,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk

menyerahkan sesuatu. Namun jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan dari pasal

tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu perikatan

untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis

perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan yang

tertentu.

Kebendaan yang diperjanjikan tersebut harus cukup jelas, ditentukan

jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat bahwa kebendaan itu harus dapat ditentukan jenisnya, gunanya untuk

38

(41)

menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak itu

apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau

yang mendorong orang untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi di dalam Pasal

1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak

(causa yang halal). Hukum pada dasarnya tidak menghiraukan apa yang ada

dalam gagasan atau pemikiran seseorang, yang diperhatikan adalah tindakan yang

nyata dan dilakukan dalam masyarakat. Dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

1) Bukan tanpa sebab;

2) Bukan sebab yang palsu;

3) Bukan sebab yang terlarang.

Di dalam Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dilihat

bahwa yang diperhatikan oleh undang-undang adalah “isi perjanjian” yang

menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah bertentangan dengan

undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan

atau tidak dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

Sementara di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa sebab yang halal adalah prestasi yang wajib

dilakukan oleh para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan, tanpa adanya

prestasi yang telah diperjanjikan untuk dilakukan maka perjanjian tidak akan ada

(42)

32

Akibat hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah

perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada yang menjadi dasar

untuk menuntut pemenuhan prestasi karena sejak semula dianggap tidak pernah

ada perjanjian. Dan begitu pula sebaliknya apabila perjanjian itu tanpa sebab

maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

2. Asas-Asas Perjanjian

Asas-asas dalam perjanjian merupakan sebuah aturan dasar atau

merupakan prinsip hukum yang masih bersifat abstrak atau dapat dikatakan bahwa

asas dalam perjanjian merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan

yang bersifat konkret dan bagaimana perjanjian itu dilaksanakan. Adapun

asas-asas dalam perjanjian yang terdapat di dalam hukum perdata terdiri dari :

a. Asas Konsensualisme

Konsensualisme berasal dari kata “consensus” yang berarti

kesepakatan. Asas konsensualisme dapat disimpulkan terdapat dalam

Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada pasal

tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat perjanjian adalah adanya

kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas konsensualisme

diartikan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat terjadinya

kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara

para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu belum

dilaksanakan pada saat itu juga. Hal ini berarti bahwa dengan

tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban

bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah

(43)

memenuhi perjanjian tersebut. Dengan kata lain asas konsensualisme

menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau lebih

telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu

atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang

tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan

tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah adanya

kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada

masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan

dan ketertiban umum.

Asas kebebasan berkontrak dapat di lihat dalam Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.” Kebebasan berkontrak memberikan jaminan

kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa syarat

yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:

1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.

2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.

3) Bebas menentukan isi klausul perjanjian.

4) Bebas menentukan bentuk perjanjian.

5) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan

Referensi

Dokumen terkait

”Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertangung dengan menerima premi

Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak, sedangkan perjanjian

Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat seimbang atau sudah sesuai dengan hukum