PERAIRAN NIPAH ANTARA PT. PELABUHAN
INDONESIA I (PERSERO) DENGAN PT.
MAXSTEER
DYRYNUSA PERDANA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan
Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : JOHN WILLI
110200204
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN
PENGOPERASIAN
SHIP TRANSIT ANCHORAGE
DI
PERAIRAN NIPAH ANTARA PT. PELABUHAN
INDONESIA I (PERSERO) DENGAN PT.
MAXSTEER
DYRYNUSA PERDANA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan
Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh : John Willi 110200204
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui Oleh,
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Prof. Dr. Hasim Purba, S.H.,M.Hum. NIP.196603031985081001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
NAMA : JOHN WILLI
NIM : 110200204
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
JUDUL SKRIPSI : PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN
PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) DENGAN PT. MAXSTEER
DYRYNUSA PERDANA
Dengan ini menyatakan :
1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi
atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka
segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau
tekanan dari pihak manapun.
Medan, Januari 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala berkat, rahmat dan kasih karunia-Nya tidak terhingga yang telah
memberikan penulis kekuatan dan inspirasi yang terbaik sehingga mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Perjanjian Kerjasama
Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana”. Penulisan skripsi ini membahas tentang pentingnya suatu perjanjian untuk
mengikat para pihak yang bersangkutan dalam pelaksanaan kerjasama
pengelolaan dan pengoperasian ship transit anchorage di perairan nipah, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan,
semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu,S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H.,M.Hum.,selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM.,selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas
6. Ibu Sinta Uli, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Kekhususan Hukum
Perdata Dagang sekaligus merupakan Dosen Pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan
motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini;
7. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
merupakan Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu
kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi kepada
penulis dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum.,selaku Ketua Program Kekhususan
Hukum Perdata BW;
9. Bapak Faisal Akbar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik
penulis;
10.Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya
yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam
menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara;
11.Teristimewakan kepada orang tuaku tercinta yaitu Ayah (James Li), Ibu
(Nurzana Tanujaya), adik-adikku (Liberty Theresia, Likelly Claudia, John
Kerli), dan keluarga besarku terima kasih atas dorongan motivasi serta cinta
12.Kepada Bapak Swandi Hutasoit, S.H.,M.H., Bapak M.Yusron, S.H.,M.H.,
Bang Fadillah Haryono, S.H., dan Kak Sabrina Sitompul, S.H., selaku legal staff di PT. Pelindo I Medan yang telah memberikan kesempatan pada penulis melaksanakan riset dengan wawancara untuk penyelesaian skripsi penulis ini;
13.Kepada sahabat-sahabatku Pom2 Group (Intan, Kartika, Emma, Citra, Dyah, Kristy Emelia, Imelda, Octaviana, Novia Utami, Ari Pareme, Rurin, dan
Gabeta) , AFC (Agus Syahputra, Ahmad Thohir Pane, M.Rifaldi, Ryan
Samuel, Imam Fauzi). Teman-teman kelas Grup D, teman-teman Grup Perdata
BW dan seluruh teman-teman stambuk 2011 yang tidak dapat penulis sebut
satu per satu, terima kasih atas doa dan juga dukungan semangat dalam
perkuliahan selama ini;
14.Dan segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas
doa dan dukungan semangat yang dibagikan bersama.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Bila ada kesalahan dan
kekurangan dalam skripsi ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhir
kata penulis memanjatkan doa dan puji kehadiratNya, semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Januari 2016
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Permasalahan ... 7
C.Tujuan Penulisan ... 8
D.Manfaat Penulisan ... 8
E.Metode Penelitian ... 9
F. Keaslian Penulisan ... 13
G.Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN ... 16
A.Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian ... 16
B.Syarat Sahnya Perjanjian dan Asas-Asas Perjanjian ... 24
C.Jenis-Jenis Perjanjian dan Perjanjian Kerjasama ... 37
BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH ... 47
A.Profil PT. Pelabuhan Indonesia I dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana ... 47
C.Hak dan Kewajiban PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan
PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana Dalam Perjanjian Kerjasama... 56
BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH ... 61
A.Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Dan Pengoperasian Ship Transit Anchoarge di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana ... 61
B.Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchoarge di Perairan Nipah ... 67
C.Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kerjasama Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana ... 70
BAB V PENUTUP ... 74
A.Kesimpulan ... 74
B.Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
LAMPIRAN
A.Hasil Wawancara dengan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero)
Medan.
(PERSERO) Pelabuhan Indonesia I di Perairan Nipah Selat
Singapura.
ABSTRAK
John Willi*) SintaUli, S.H., M.Hum.**) RabiatulSyahriah, S.H, M.Hum***)
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP.255 Tahun 2007 tentang penetapan lokasi kegiatan anchorage di perairan Nipah ditetapkan bahwa PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) menjalin kerjasama dengan PT. Maxsteer
Dyrynusa Perdana. Ship Transit Anchoarge merupakan salah satu jenis usaha atau kegiatan usaha yang ditawarkan oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) kepada PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana. Terbatasnya kemampuan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) untuk melakukan kegiatan pelabuhan tersebut mengharuskan pihaknya menjalin kerjasama dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana, untuk menjadikan pelaksanaan kegiatan kerjasama aman dan tentram maka diperlukan suatu perangkat hukum yaitu perjanjian kerjasama. Skripsi ini berjudul
“Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer
Dyrynusa Perdana”. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah, bagaimana tanggung jawab para pihak, serta bentuk penyelesaian apabila terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah antara PT. Pelindo I dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan penelitian yuridis empiris merupakan penelitian yang dilakukan oleh penulis secara langsung di lapangan yaitu dengan melakukan wawancara di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero).
Kesimpulan dari isi perjanjian kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana mengenai hak dan kewajiban diantara para pihak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian Nomor : B.VIII-121/TPI-US.12 jo. Nomor : 046/MDP-Pelindo I/PKS/XI/2012, baik dari segi mekanisme operasi pengelolaan dan pengoperasian
Ship Transit Anchorage maupun pembagian hasil atau sharing antara kedua belah pihak. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh pihak yang terikat dalam perjanjian, maka para pihak sepakat akan bertanggung jawab secara bersama-sama atau tanggung renteng. Apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut maka penyelesaiannya akan diusahakan terlebih dahulu melalui musyawarah, namun jika tidak ditemukan jalan keluar maka diselesaikan secara litigasi dan memilih kedudukan hukum di Pengadilan Negeri Batam.
Kata kunci : Perjanjian, Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian, Ship Transit Anchorage
*)
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**)
Dosen Pembimbing I
***)
A. Latar Belakang
Ribuan tahun yang lalu pelabuhan-pelabuhan yang ada pada awalnya
dibangun di sungai-sungai dan perairan pedalaman, kemudian berkembang secara
bertahap, pelabuhan dibangun di tepi laut terbuka seiring dengan perkembangan
peradaban manusia.
Wilayah Indonesia sering disebut dengan kepulauan nusantara, dari tiga
matra wilayah Indonesia maka wilayah perairan merupakan bahagian yang terluas
dibanding dengan wilayah daratannya. Hal ini membuat sejak zaman nenek
moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai negara maritim.1
Peran dan fungsi pelabuhan pada masa tersebut hanya sebagai tempat
aktivitas perdagangan sehingga fasilitas dan pengelolaannya belum merupakan
kelembagaan yang dikelola secara terstruktur dan terencana seperti pelabuhan
yang ada dewasa ini.2 Kondisi wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau
besar dan pulau-pulau kecil yang memiliki perairan yang besar jika dibandingkan
dengan daratan merupakan faktor yang menentukan betapa pentingnya peranan
jasa transportasi angkutan laut dalam rangka menghubungkan daerah yang secara
geografis terpisah-pisah.
Melihat keadaan geografis Indonesia, wajar apabila pembangunan dan
pengaturan transportasi laut perlu mendapat perhatian yang lebih. Sehingga
2
mampu menggerakkan pembangunan nasional dan pembangunan daerah,
dengan meningkatkan perdagangan dan kegiatan pembangunan transportasi laut.
Pelabuhan merupakan pertemuan lalu lintas internasional dan lalu lintas
nasional, seperti pelayaran samudera dan pelayaran dalam negeri. Pelabuhan
sebagai prasarana ekonomi merupakan penunjang bagi perkembangan industri
perdagangan maupun pelayanan, oleh karena itu pengelolaannya perlu
disesuaikan.
Dalam bahasa Indonesia, pelabuhan secara umum dapat didefinisikan sebagai wilayah perairan yang terlindung, baik secara alamiah maupun secara buatan, yang dapat digunakan untuk tempat berlindung kapal dan melakukan aktivitas bongkar muat barang, manusia ataupun hewan serta dilengkapi dengan fasilitas terminal yang terdiri dari tambatan, gudang dan tempat penumpukan lainnya, di mana kapal melakukan transfer muatannya.3
Mengenai pengusahaan pelabuhan ini dalam PP No. 69 Tahun 2001
tentang Kepelabuhanan, dinyatakan bahwa masalah kepelabuhanan merupakan
faktor yang tidak terpisahkan dalam sistem ekonomi negara secara keseluruhan,
institut kepelabuhanan perlu disesuaikan dengan landasan baru.4
Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan
penyelanggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi
pelabuhan untuk menunjang kelancaran keamanan dan ketertiban arus lalu lintas
kapal, penumpang dan atau barang, keselamatan berlayar, serta tempat
perpindahan intra dan atau antarmoda.
Bila ditinjau dari jenisnya, jenis pelabuhan sangatlah beragam tergantung
dari sudut pandangnya. Menurut sudut pandang orang awam, dikenal pelabuhan
3
Referensi Kepelabuhanan Seri 5, Sumber Daya Manusia Pelabuhan,Pelabuhan Indonesia, 2000, hlm. 1.
4
laut (sea port), pelabuhan udara (air port), dan pelabuhan darat (dry port) yang dibagi berdasarkan jenis moda transportasi utama yang dilayani.5
Kegiatan usaha yang terdapat di pelabuhan juga beragam seperti usaha
bongkar muat, usaha tally mandiri, usaha jasa pengurusan transportasi, usaha depo peti kemas, usaha angkutan perairan pelabuhan, usaha penyewaan peralatan
angkutan laut peralatan jasa terkait dengan angkutan laut, usaha pengelolaan
kapal, usaha perantara jual beli dan atau sewa kapal, usaha keagenan awak kapal,
usaha keagenan kapal, dan usaha perawatan dan perbaikan kapal.
Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang paling sederhana (tradisional) sampai kepada taraf kehidupan manusia yang modern senantiasa didukung oleh kegiatan pengangkutan. Bahkan salah satu barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.6
Selain berbagai usaha tersebut, terdapat kegiatan usaha lain yang dapat
menunjang kegiatan di pelabuhan seperti jasa pelayanan alih muat dari kapal ke
kapal (Ship to Ship Transfer). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan Di Perairan, Pasal 44 ayat (1)
Ship to Ship Transfer adalah kegiatan pemindahan langsung muatan, gas, cair, ataupun padat dari suatu kapal ke kapal lainnya. Kegiatan jasa pelayanan alih
muat dari kapal ke kapal (Ship to Ship) adalah bagian dari kegiatan bongkar muat barang atau pemindahan suatu barang yang dilakukan dari suatu kapal ke kapal
lain. Kegiatan bongkar muat barang tersebut dilakukan oleh Badan Hukum
4
Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Milik Daerah atau Koperasi, yang didirikan untuk usaha itu.
Di Indonesia, sesuai Pasal 26 UU No. 17 Tahun 2008 jo. PP No. 69 Tahun
2001, untuk pelabuhan umum dianut tiga macam bentuk pengelolaan, yaitu
sebagai berikut:
1. Perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang disebut unit pelaksana teknis atau satuan kerja pelabuhan yang mengelola pelabuhan-pelabuhan kecil yang tidak komersial, tetapi penting sebagai prasarana transportasi di pulau-pulau dan daerah terpencil. Semua biaya yang diperlukan dalam menjalankan fungsi pelabuhan tersebut disetorkan ke kas negara.
2. Badan Usaha Milik Negara dengan status Perseroan Terbatas (Persero).
Badan ini mengelola pelabuhan-pelabuhan besar yang bersifat komersial dan termasuk sebagian pelabuhan-pelabuhan kecil yang masih mampu membiayai diri sendiri atau yang menerima saham dari perseroan ini dimiliki oleh negara, namun tidak menutup kemungkinan untuk dimiliki sebagian oleh pihak swasta, baik dengan go public melalui pasar saham maupun dengan cara penempatan langsung (direct placement). 3. Pihak swasta melalui kerjasama dengan pihak BUMN yang bersangkutan.
Kerjasama ini dapat diwujudkan dalam bentuk joint venture atau dimungkinkan juga dalam bentuk perjanjian pemberian konsesi untuk membangun pelabuhan baru.7
Dengan berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang
menggantikan UU Nomor 21 Tahun 1992, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
Badan Usaha Milik Negara yang menyelanggarakan pelabuhan tetap
menyelanggarakan kegiatan pengusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan baru
Undang-Undang tersebut.
7
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia adalah Suatu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang diberikan tugas untuk mengoperasikan dan pengelolaan
pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan di seluruh Indonesia.8 Dengan beragamnya
kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) dan juga
mengingat biaya dan kemampuan serta fasilitas untuk mengoperasikan usaha yang
beragam tersebut maka PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) membuka peluang
kerja sama dengan pihak swasta untuk mengoperasikan salah satu bentuk usaha
yang dimiliki. Salah satunya adalah kerjasama dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana dalam pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjalinnya perjanjian
kerjasama, antara lain karena keterbatasan sarana dan juga prasarana, keterbatasan
skill (kemampuan). Ataupun karena tuntutan perkembangan usahanya yang
semakin maju. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, berkembanglah apa yang
dinamakan dengan hubungan kerjasama.
Kerjasama tersebut lahir karena adanya kepentingan dari masing-masing
pihak yang saling membutuhkan. Dimana PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero)
membutuhkan pihak luar untuk membantu dalam pengelolaan dan pengoperasian
pelayanan jasa di bidang Ship Transit Anchorage di perairan Nipah. Sebagai dasar yang mengikat dari hubungan kerjasama tersebut dibutuhkan apa yang disebut
dengan perjanjian kerjasama. Perjanjian kerjasama merupakan suatu perjanjian
6
dasar yang dipakai sebagai bingkai hubungan kerjasama sehingga kepastian hak
dan kewajiban para pihak menjadi jelas dan rinci.
Sebagai dasar dari hubungan kerjasama tersebut dibutuhkan apa yang
dinamakan dengan perjanjian kerjasama. Perjanjian kerjasama merupakan suatu
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak yang merupakan dasar untuk
membuat perjanjian pelaksanaan lebih lanjut sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya. Pada
dasarnya perjanjian kerjasama ini berawal dari suatu perbedaan atau
ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak yang bersangkutan.
Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa
diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak
berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan
sesuatu yang diinginkan melalui proses tawar-menawar.9
Pada prinsipnya perjanjian kerjasama dibedakan dalam 3 pola yaitu Usaha
Bersama (Joint Venture), Kerjasama Operasi (Joint Operational) dan Operasi Sepihak (Single Operational).
Hubungan kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan
PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana merupakan perjanjian kerjasama dalam bentuk kerjasama operasi atau joint operation dan menganut sistem sharing pendapatan operasi. PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana telah mengikatkan diri dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian
Ship Transit Anchorage di perairan Nipah. Perjanjian tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak dan menjadi undang-undang yang berlaku bagi para pihak
9
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dan
perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa suatu perjanjian diperlukan untuk
menjaga para pihak dalam melaksanakan kegiatan kerjasama dapat terjaga atau
adanya suatu kepastian hukum. Untuk menjadikan kegiatan kerjasama aman dan
tentram maka diperlukan suatu perangkat hukum yaitu perjanjian kerjasama.10
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka sangat
menarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang perjanjian, khususnya
perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage
antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana, mengenai pelaksanaan perjanjian, dan bagaimana bentuk penyelesaian
apabila terjadi sengketa yang akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul :
“Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.”
B. Permasalahan
1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan
8
2. Bagaimanakah tanggung jawab para pihak dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah? 3. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa antara PT. Pelabuhan
Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana apabila terjadi sengketa?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat
mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan beberapa tujuan lain yang ingin dicapai, yaitu :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan
pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam perjanjian kerjasama
pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana. 3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa kedua belah pihak
apabila terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan
pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Secara teoretis yaitu , untuk menambah pengetahuan penulis tentang
bagaimana bentuk pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan
dibidang perjanjian khususnya tentang perjanjian kerjasama dan juga
pertanggungjawaban dalam penyelesaian sengketa perjanjian kerjasama
pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage tersebut.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pihak PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) maupun bagi pihak PT.
Maxsteer Dyrynusa Perdana baik dalam hal pembuatan perjanjian kerjasama maupun pelaksanaan perjanjian tersebut. Dan penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi
masyarakat.
E. Metode Penelitian
Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam
rangka ilmu tersebut untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode
ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi himpunan
pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala yang lainnya.11
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kecuali
itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut untuk kemudian suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam
gejala yang bersangkutan.
Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu
10
1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap.
2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal–hal yang belum diketahui.
3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.12
Skripsi merampungkan penyajian agar dapat memenuhi kriteria sebagai
tulisan ilmiah sehingga diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam
upaya pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian diterapkan metode
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode penelitian Yuridis
Normatif. Penelitian Yuridis Normatif adalah penelitian kepustakaan atau studi
dokumen disebabkan penelitian ini dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder. Karena penyusunan skripsi ini juga melalui proses penelitian lapangan,
maka penelitian ini juga menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris.
Penelitian Yuridis Empiris yaitu penelitian lapangan yang berasal dari data primer
yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber utama dengan melalui
pengamatan (observasi), wawancara, ataupun penyebaran kuisioner. Dalam hal
penelitian empiris ini, diperoleh data primer melalui wawancara langsung dengan
legal staff di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero).
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di
dalam tujuan penyusunan bahan skripsi, maka jenis penulisan yang diterapkan
adalah untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, pengumpulan data yang
12
digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan penelitian
kepustakaan (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dianggap relevan, antara lain perusahaan terkait dengan perjanjian
kerjasama operasi yang diangkat dalam penelitian ini. Sumber bahan
hukum sekunder yang berupa artikel, jurnal ilmiah, buku-buku hukum
yang berkaitan dengan hukum perjanjian.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan
penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer guna akurasi terhadap hasil yang dipaparkan, yaitu berupa wawancara.
Wawancara dilakukan sebagai alat pengumpulan bahan hukum
tambahan selain daripada bahan hukum yang didapatkan dari
perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan informan, yaitu dengan
pihak PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) sebagai perusahaan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang jasa
kepelabuhananan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang
berkedudukan hukum di Jl. Krakatau Ujung No. 100 Medan. Oleh karena itu,
diperoleh bahan hukum dari lokasi penelitian yang dimaksud.
12
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder didukung oleh data primer.
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan
dengan cara melalui wawancara langsung dengan legal staff di PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero).
b. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
guna mendapatkan landasan teoretis terhadap segi-segi hukum
perjanjian kerjasama. Selain itu tidak menutup kemungkinan diperoleh
melalui bahan hukum lain, di mana pengumpulan bahan hukumnya
dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data
yang terdapat dalam buku, literatur, tulisan-tulisan ilmiah,
dokumen-dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut berupa:
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, meliputi
seluruh peraturan perundang undangan yang relevan dengan
permasalahan dan tujuan penelitian antara lain terdiri atas:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran;
c) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 Tentang
Kepelabuhananan;
2) Bahan Hukum Sekunder, berupa bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu hasil karya ahli
hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang
berhubungan dengan skripsi ini dan acuan lainnya yang berisikan
informasi tentang bahan primer berupa tulisan artikel ilmiah,
jurnal-jurnal hukum dan buku-buku terkait dengan hukum perjanjian,
khususnya yang berkaitan dengan materi penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier, diperlukan untuk berbagai hal dalam
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan dari
bahan hukum primer khususnya kamus hukum.
F. Keaslian Penulisan
Penelitian ini berjudul :“Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan
Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah antara PT. Pelabuhan
Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana”. Berdasarkan
pengamatan dan pengecekan judul di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara materi yang dibahas dalam penelitian ini belum pernah dijadikan
judul maupun dibahas dalam skripsi yang sudah ada lebih dulu, sehingga judul
dan pokok permasalahan serta pembahasan dalam skripsi ini layak untuk diteliti.
Apabila ditemukan nantinya ada kesamaan dengan penelitian lainnya maka dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya baik dalam hal judul maupun pembahasan.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai karya ilmiah penelitian ini memiliki sistematika yang teratur
14
tujuannya. Tulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang akan diperinci lagi dalam sub
bab, adapun kelima bab itu terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penulisan
pemilihan judul yang dipilih serta hal-hal yang mendorong
ketertarikan mengangkat judul yang bersangkutan, permasalahan,
tujuan dan manfaat penulisan dilanjutkan dengan keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian yang digunakan
serta sistematika penulisan penelitian ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
Pada bab ini membahas tentang pengertian sebuah perjanjian,
syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian, unsur-unsur sebuah
perjanjian, jenis-jenis perjanjian dan asas-asas perjanjian.
BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN
KERJASAMA PENGELOLAAN DAN PENGOPERASIAN SHIP
TRANSIT ANCHORAGE DI PERAIRAN NIPAH
Pada bab ini akan dibahas tentang profil PT. Pelabuhan Indonesia I
(Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana, ruang lingkup, bentuk dan jangka waktu, serta hak dan kewajiban para pihak.
BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA PENGELOLAAN DAN
PENGOPERASIAN SHIP TRANSIT ANCHORAGE DI
PERAIRAN NIPAH
Pada bab ini diuraikan tentang pelaksanaan perjanjian kerjasama
Nipah antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT.
Maxsteer Dyrynusa Perdana, tanggung jawab para pihak yang terkait dalam perjanjian kerjasama, dan bagaimana penyelesaian
atau solusi apabila terjadi perselisihan atau sengketa yang berkaitan
dengan perjanjian kerjasama yang dimaksud.
BAB V PENUTUP
Bab ini adalah bagian terakhir yang merupakan kesimpulan dari
jawaban permasalahan dan saran dari penulisan ini. Di mana dalam
bab ini akan ditentukan saran untuk pihak-pihak yang terkait dalam
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan
perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu pihak dalam perjanjian.
Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada
pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam
perikatan yang lahir dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.
Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian tersebut, maka kreditur
berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian yang belum dilaksanakan atau
yang telah dilaksanakan secara bertentangan, dengan atau tidak disertai dengan
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.13
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan
tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.14 Istilah
perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa
Belanda yakni overeenkomst. Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan,
masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat
bersama.”15
13
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.91.
14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka Jakarta, 2005, hlm. 458.
15
Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda
untuk perjanjian. Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan
kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement
dalam bahasa Inggris.16 Achmad Ichsan memakai istilah verbintenis untuk perjanjian, sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia
memakai istilah overeenkomst untuk perjanjian.17
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgelik Wetboek) menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.” Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang
diatur dalam ketentuan di atas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas,
seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya
Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:
“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang Hukum Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dengan uang.”18
Menurut Muhammad Abdul Kadir, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengandung kelemahan karena:
16
Munir Fuady (I), Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
17
18
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan
“kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya
konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.
b. Kata perbuatan “mencakup” juga tanpaconsensus. Pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.
Seharusnya digunakan kata “persetujuan”.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.
d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa. 19
Berdasarkan alasan yang dikemukankan di atas, maka perlu dirumuskan
kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut Kamus Hukum,
perjanjian adalah persetujuan, pemufakatan antara dua orang pihak untuk
melaksanakan sesuatu. Kalau diadakan tertulis juga dinamakan kontrak. Menurut
doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas, telah tampak
adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak
dan kewajiban).
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan
dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut
19
tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat
perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.20
Beberapa Sarjana Hukum juga memberikan definisi mengenai perjanjian
antara lain sebagai berikut:
a. Menurut R. Subekti
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.21
b. Menurut Syahmin AK
Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.22
c. Yahya Harahap
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.
d. Wirjono Prodjodikoro
Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
e. Abdul Kadir Muhammad
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.23
Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa syarat
perjanjian, antara lain:
a. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.
20
Salim H.S (I), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.161.
21
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cetakan ke-31, Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 5.
20
Pihak-pihak yang dimaksud disini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perubahan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana salah satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.24
b. Adanya persetujuan atau kata sepakat.
Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang diperjanjikan.
c. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan disini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian. Dengan membuat
perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara “sukarela”
mengikatkan diri untuk menyertakan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa dia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.
d. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.
Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prsetasi tersebut.25
e. Adanya bentuk tertentu.
Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Untuk beberapa perjanjian tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.26
f. Adanya syarat-syarat tertentu
24
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I),Op.Cit., hlm. 92.
25
Ibid.,hlm. 2.
26
Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, di
mana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat
hukum tertentu. Di mana dalam kesepakatan itu, satu pihak wajib melaksanakan
sesuai dengan yang telah disepakati, dan pihak yang satunya berhak mendapatkan
sesuai dengan apa yang telah disepakati.
2. Unsur-Unsur Perjanjian.
Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur
esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut
karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu
perjanjian.27 Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur yaitu:
a. Unsur essensialia dalam perjanjian
Unsur essensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari sebuah perjanjian.28
Unsur essensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karena itu, unsur essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya, dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda pula antara satu dengan yang lain. Misalnya harga jual beli merupakan essensialia yang harus ada pada perjanjian jual beli. Artinya tanpa dijanjikan adanya harga maka jual beli bukanlah perjanjian jual beli melainkan mungkin perjanjian lain yang berbeda. Dengan kata lain, apabila oleh para pihak dikatakan adanya jual beli tanpa menyebutkan
27
22
harganya tetapi oleh para pihak saling diserahkan suatu benda perbuatan hukum tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jual beli melainkan tukar menukar.29
b. Unsur naturalia dalam perjanjian
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli mengkhendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual-beli, di mana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.30
c. Unsur aksidentalia dalam perjanjian
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian pula unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya, dalam jual-beli yaitu ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang essensialia dalam kontrak tersebut.31
Salim H.S. menyatakan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam hukum
perjanjian dikategorikan sebagai berikut:
a. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul,
29
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 67.
30
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Op.Cit., hlm. 88.
31
tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
b. Subjek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson
diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
c. Adanya Prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.
d. Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud di atas, di mana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
e. Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya perjanjian di mana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.32
Dari berbagai pengertian perjanjian yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian terdiri dari beberapa unsur, yaitu :
a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih
Kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataa kehendak. Suatu perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua pihak atau lebih yang saling menyatakan kehendak untuk berbuat sesuatu.
b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak
Kehendak dari para pihak harus dinyatakan, sehingga setelah para pihak saling menyatakan kehendaknya dan terdapat kesepakatan di antara para pihak, terbentuklah suatu perjanjian diantara mereka.
24
c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum Suatu janji atau pernyataan kehendak tidak selamanya menimbulkan akibat hukum. Terkadang suatu pernyataan kehendak hanya menimbulkan kewajiban sosail atau kesusilaan. Misalnya janji di antara para pihak.
d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik
Akibat hukum yang terjadi adalah untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban terhadap pihak lainnya atau bersifat timbal balik. Yang perlu diperhatikan adalah akibat hukum dari suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak dan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan
Pada umumnya para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian. Namun dalam beberapa perjanjian tertentu undang-undang telah menentukan bentuk yang harus dipenuhi. Misalnya untuk pendirian perseroan terbatas harus dibuat dengan akta notaries.33
B. Syarat Sah Perjanjian dan Asas-Asas Perjanjian 1. Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian baru sah dan karenanya akan menimbulkan akibat hukum
jika dibuat secara sah sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian tersebut
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat
syarat yang disebutkan dalam Pasal tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah
dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut dibagi
ke dalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Dua
syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau
obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
33
Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari keempat syarat sahnya perjanjian
tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut
diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabila terdapat
pelanggaran terhadap syarat subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal
tidak terpenuhinya syarat objektif), dalam pengertian bahwa perikatan yang lahir
dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.
Persyaratan-persyaratan hukum yang harus dipenuhi agar sebuah
perjanjian ini sah dan mengikat adalah sebagai berikut:
a. Syarat Umum Sahnya Perjanjian
Syarat umum terhadap sahnya suatu perjanjian adalah seperti yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berlaku untuk semua bentuk dan jenis perjanjian, yang meliputi dua hal, yaitu:
1) Syarat subjektif
Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian, meliputi:
a) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak tidak ada paksaan dan lainnya. Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya
„cacat‟ bagi perwujudan kehendak tersebut.
b) Kedua belah pihak harus cakap bertindak.
Cakap bertindak, yaitu kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap atau berwenang adalah orang dewasa (berumur 21 tahun atau sudah menikah). Sedangkan orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, meliputi: (a) anak di bawah umur (minderjarigheid), (b) orang dalam pengampuan (curandus), (c) orang-orang perempuan.
2) Syarat Objektif
26
Benda yang dijadikan objek perjanjian harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
(1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan; (2) Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum
antara lain, jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian;
(3) Dapat ditentukan jenisnya; (4) Barang yang akan datang.
b) Adanya sebab yang halal
Dalam suatu perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai
„sebab‟ (oorzaak, causa). Menurut Abdulkadir Muhammad, sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud causa yang halal dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat
perjanjian, melainkan sebab dalam arti „isi perjanjian itu sendiri‟, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.34
b. Syarat Tambahan Sahnya Perjanjian
Syarat tambahan terhadap sahnya suatu perjanjian yang juga berlaku terhadap seluruh bentuk dan jenis perjanjian adalah sebagaimana yang disebut antara lain dalam Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut:
1) Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik; 2) Perjanjian mengikat sesuai kepatutan; 3) Perjanjian mengikat sesuai kebiasaan;
4) Perjanjian harus sesuai dengan undang-undang (hanya terhadap yang bersifat hukum memaksa);
5) Perjanjian harus sesuai ketertiban umum.35
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan
34
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, hlm. 225-226.
35
siapa yang harus melaksanakan.36 Para pihak yang mengadakan perjanjian harus
bersepakat dan setuju mengenai hal-hal pokok yang diadakan dalam perjanjian
itu.37 Sepakat dan setuju itu sifatnya bebas, artinya benar-benar atas kemauan
sukarela diantara para pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun.
Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak
berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya
bersifat menakut-nakuti.
Menurut ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata secara a contrario dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak kecuali dapat
dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan,
maupun penipuan sebagaimana dituliskan dalam Pasal 1321 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
a. Tentang kekhilafan dalam perjanjian
Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal
1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :
1) Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;
2) Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian
karena kekhilafan yaitu, mengenai :
a) Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya (error in substantia). Misalnya seseorang menganggap bahwa ia membeli lukisan yang asli,
28
ternyata kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya
adalah tiruan.
b) Terhadap orang yang dibuatnya suatu perjanjian (error in
persona). Misalnya, seorang penyelenggara konser menandatangi perjanjian dengan seorang penyanyi sebagai salah satu pengisi
acara. Namun setelah penandatanganan perjanjian tersebut, baru
diketahui bahwa orang yang menandatangani perjanjian bukanlah
orang yang dimaksud hanya saja karena namanya sama.
b. Tentang Paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam lima
Pasal, yaitu dari Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan
dalam Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merujuk pada
subjek yang melakukan pemaksaan yang dilakukan oleh pihak di dalam
perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjan tetapi memiliki
kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut. Selanjutnya
berdasarkan rumusan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dapat diketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan
dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak
dalam perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau
isteri dan keluarga dalam garis keturunan ke atas maupun ke bawah.
Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1326
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbicara mengenai akibat
alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (di bawah paksaan atau
ancaman tersebut). Jika merujuk pada rumusan Pasal 1324 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1326 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat
terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan. Perbuatan yang
dimaksud berupa :
1) Paksaan fisik, dalam pengertian kekerasan.
2) Paksaan psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis
atau kejiwaan.
Selain itu, paksaan tersebut juga mencakup dua hal yaitu :
1) Jiwa dari subyek hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 1325
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Harta kekayaan dari pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 1325
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia
takut pada suatu ancaman. Paksaan yang dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak hanya berarti tindakan kekerasan
saja tetapi paksaan dalam arti yang lebih luas yaitu meliputi ancaman
terhadap kerugian kepentingan hukum seseorang. Intinya, bukan
kekerasan itu sendiri tetapi rasa takut yang ditimbulkan oleh adanya
kekerasan tersebut.
c. Tentang penipuan dalam perjanjian
Penipuan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian diatur dalam
30
ayat. Dari rumusan pasal ini dapat dilihat, bahwa penipuan mempunyai
unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian untuk
mengelabui pihak lawannya sehingga pihak yang satunya memberikan
kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara
mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dapat
dibuktikan dan tidak diperbolehkan hanya dengan adanya persangkaan
saja.
Suatu perjanjian haruslah memiliki obyek tertentu sekurang-kurangnya
dapat ditentukan jenisnya.38 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan
maksud hal tertentu dengan memberikan rumusannya dalam Pasal 1333 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Jika melihat kepada rumusan pasal tersebut,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk
menyerahkan sesuatu. Namun jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan dari pasal
tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu perikatan
untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis
perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan yang
tertentu.
Kebendaan yang diperjanjikan tersebut harus cukup jelas, ditentukan
jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat bahwa kebendaan itu harus dapat ditentukan jenisnya, gunanya untuk
38
menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak itu
apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau
yang mendorong orang untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi di dalam Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal). Hukum pada dasarnya tidak menghiraukan apa yang ada
dalam gagasan atau pemikiran seseorang, yang diperhatikan adalah tindakan yang
nyata dan dilakukan dalam masyarakat. Dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :
1) Bukan tanpa sebab;
2) Bukan sebab yang palsu;
3) Bukan sebab yang terlarang.
Di dalam Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dilihat
bahwa yang diperhatikan oleh undang-undang adalah “isi perjanjian” yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah bertentangan dengan
undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
atau tidak dalam pelaksanaan suatu perjanjian.
Sementara di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sebab yang halal adalah prestasi yang wajib
dilakukan oleh para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan, tanpa adanya
prestasi yang telah diperjanjikan untuk dilakukan maka perjanjian tidak akan ada
32
Akibat hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah
perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada yang menjadi dasar
untuk menuntut pemenuhan prestasi karena sejak semula dianggap tidak pernah
ada perjanjian. Dan begitu pula sebaliknya apabila perjanjian itu tanpa sebab
maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.
2. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas dalam perjanjian merupakan sebuah aturan dasar atau
merupakan prinsip hukum yang masih bersifat abstrak atau dapat dikatakan bahwa
asas dalam perjanjian merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan
yang bersifat konkret dan bagaimana perjanjian itu dilaksanakan. Adapun
asas-asas dalam perjanjian yang terdapat di dalam hukum perdata terdiri dari :
a. Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari kata “consensus” yang berarti
kesepakatan. Asas konsensualisme dapat disimpulkan terdapat dalam
Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas konsensualisme
diartikan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat terjadinya
kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara
para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu belum
dilaksanakan pada saat itu juga. Hal ini berarti bahwa dengan
tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban
bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah
memenuhi perjanjian tersebut. Dengan kata lain asas konsensualisme
menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau lebih
telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu
atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang
tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan
tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah adanya
kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan
dan ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak dapat di lihat dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” Kebebasan berkontrak memberikan jaminan
kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa syarat
yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:
1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.
2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.
3) Bebas menentukan isi klausul perjanjian.
4) Bebas menentukan bentuk perjanjian.
5) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan