• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENIH PADI SEHAT Pendahuluan

Percobaan 2. Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Produksi Benih Padi Sehat di Lapangan

4. Penyemaian, Penanaman, dan Pemeliharaan

Benih padi sebanyak 0.8 kg per perlakuan benih disemai pada petak persemaian hingga bibit berumur 3 MSS. Penanaman bibit dilakukan pada setiap petakan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Jumlah bibit yang digunakan adalah tiga bibit per lubang tanam. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyulaman, penyiangan, pengairan, dan pemupukan. Penyulaman dilakukan paling lambat 2 minggu setelah pindah tanam (MST). Penyiangan dilakukan pada saat gulma telah mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pengairan dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu: 1) pada saat tanam sampai dengan 3 MST, petakan dibuat macak-macak; 2) pada tanaman umur 4-10 MST, petakan diairi setinggi 2 - 5 cm; 3) pada 11 MST sampai dengan fase pembentukan primordia bunga, petakan diairi setinggi 5 cm, dibiarkan mengering sendiri, kemudian diairi kembali, demikian berulang-ulang; 4) pada fase berbunga sampai 10 hari sebelum panen (HSP), petakan diairi terus-menerus setinggi 5 cm, dan 5) pada 10 HSP sampai panen, petakan tidak diairi.

Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk alami (pupuk kandang dari kotoran kambing) dan pupuk kimia. Pupuk kandang diaplikasikan pada saat pengolahan lahan dengan dosis 5 ton ha-1. Pemupukan selanjutnya menggunakan 200 kg ha-1 Urea, 50 kg ha-1 SP-36 dan 100 kg ha-1 KCl. Sepertiga dosis Urea, SP-18, dan KCl diaplikasikan pada 3 MST. Pada 6 MST, pemupukan Urea kembali dilakukan (sepertiga dosis keseluruhan). Pada saat primordia berbunga, sepertiga dosis pupuk urea diaplikasikan kembali.

16

5. Penyemprotan Tanaman dengan Agens Hayati dan Bakterisida

Penyemprotan tanaman dengan agens hayati dimaksudkan untuk pencegahan infeksi Xoo terhadap tanaman padi. Oleh karena itu, penyemprotan tanaman dilakukan pada 7 dan 9 MST (gejala HDB belum muncul) menggunakan sprayer ukuran 10 liter sesuai dengan masing-masing perlakuan. Penyemprotan dilakukan sampai seluruh daun terbasahi dan hampir menetes dari daun (dosis 519 L ha-1). Penyemprotan daun terdiri atas P0 (tanaman tidak disemprot, kontrol), P1 (tanaman disemprot bakterisida streptomisin sulfat 0.2%), P2(tanaman disemprot dengan agens hayati F112), P3 (tanaman disemprot dengan agens hayati F57), dan P4 (tanaman disemprot dengan agens hayati F198).

6. Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman (bobot kering bibit, bobot kering brangkasan), hasil (produksi benih per rumpun), kesehatan tanaman (tingkat keparahan HDB), dan kesehatan benih (Xoo terbawa benih).

1. Bobot kering bibit (g per bibit)

Bobot kering bibit diamati pada 3 MSS. Bibit dicabut sampai ke akarnya dan dibersihkan dari tanah yang menempel masing-masing 15 bibit per perlakuan benih. Bibit yang sudah bersih kemudian dioven dengan suhu 80 °C selama 24 jam. Setelah dioven, bibit yang sudah mengering dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit. Setelah itu ditimbang bobotnya dan dirata-ratakan.

2. Bobot kering brangkasan (g per rumpun)

Bobot kering brangkasan diamati saat panen (15 HST). Tanaman dicabut sampai ke akarnya dan dibersihkan dari tanah yang menempel masing-masing lima rumpun per satuan percobaan. Tanaman yang sudah bersih kemudian dioven dengan suhu 80 °C selama 24 jam. Setelah dioven, tanaman yang sudah mengering dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit. Setelah itu ditimbang bobotnya dan dirata-ratakan. 3. Produksi benih (g per m2)

Produksi benih per m2 diamati pada saat panen (14 MST) dengan menimbang gabah bernas (GKG) per rumpun dari rumpun contoh dan dikonversi ke m2 dengan mengkalikannya dengan jumlah rumpun per m2. 4. Tingkat keparahan HDB (%)

Tingkat keparahan HDB diamati berdasarkan persentase luas daun terserang dibandingkan luas total permukaan daun pada 12 MST pada lima tanaman contoh per satuan percobaan.

5. Patogen terbawa benih (cfu ml-1)

Patogen terbawa benih diuji setelah panen terhadap keberadaan

Xoo menggunakan metode grinding. Metode grinding dilakukan dengan terlebih dahulu 400 butir benih (setara dengan 10 g) disterilisasi permukaan dengan merendamnya selama 1 menit pada larutan natrium hipoklorit 1%. Setelah itu, 400 butir benih ditambahkan aquades steril 90 ml, kemudian digerus. Suspensi hasil gerusan diinkubasi pada suhu 15 °C selama 2 jam. Supernatan diencerkan secara bertingkat sampai 10-5. Kemudian suspensi yang telah diencerkan (10-5) dituangkan dan disebar merata sebanyak 200 µl ke cawan petri yang telah berisi media PSA. Setelah seminggu diinkubasi pada suhu kamar (± 25 °C), koloni Xoo yang terbentuk diamati dan dihitung jumlah koloni yang terbentuk.

Hasil dan Pembahasan

Percobaan 1. Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Padi di Rumah Kaca

Perlakuan benih memperbaiki daya tumbuh benih. Perlakuan benih dengan

matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B meningkatkan daya tumbuh benih secara nyata dibanding kontrol negatif, kontrol positif maupun perlakuan benih lainya. Perlakuan benih matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B menghasilkan daya tumbuh benih sebesar 96.9%, sementara kontrol negatif 91.3% dan kontrol positif 93.6% (Tabel 4). Peningkatan daya tumbuh benih pada perlakuan matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B disebabkan oleh kombinasi antara agens hayati dan matriconditioning. Agens hayati yang digunakan menghasilkan hormon IAA (Agustiansyah et al. 2010) yang meningkatkan perkecambahan. Hormon IAA mampu meningkatkan perkecambahan (Afifah et al. 2010). Sementara itu, Hacisalihoglu dan White (2006) melaporkan bahwa matriconditioning merupakan perlakuan yang disarankan untuk meningkatkan performa perkecambahan cabai.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan benih terhadap daya tumbuh benih

Perlakuan benih Daya tumbuh benih 2 MSS (%)

A0 91.3 bc A1 93.6 abc A2 90.4 c A3 92.2 bc A4 94.6 ab A5 96.9 a

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

18

Benih yang diberi perlakuan matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B menghasilkan bobot kering tanaman terbaik yaitu 1.91 g (Tabel 5) daripada perlakuan lain. Hal ini karena agens hayati pada perlakuan tersebut berkembang sehingga memberikan dukungan pertumbuhan yang semakin baik bagi tanaman. Dugaan tersebut mendasari perlakuan P. diminuta A6 + B. subtilis

5B yang walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, namun menunjukkan kecenderungan meningkatkan bobot kering tanaman terbaik setelah

matriconditioning+ P. diminuta A6 + B. subtilis 5B. Sementara itu, penyemprotan tanaman menunjukkan pengaruhnya terhadap bobot kering tanaman secara signifikan. Penyemprotan tanaman tanaman dengan agens hayati F112 dan agens hayati F57 meningkatkan bobot kering tanaman dan merupakan yang terbaik dibandingkan penyemprotan lainnya, masing-masing sebesar 1.78 g dan 1.77 g. Tabel 5 Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap bobot

kering tanaman (g per tanaman) pada 8 MSS Perlakuan benih Penyemprotan tanaman Rata-rata P0 P1 P2 P3 P4 A0 1.46 1.47 1.81 1.49 1.31 1.51 b A1 1.18 1.13 1.32 1.37 1.73 1.35 b A2 1.29 1.35 1.78 1.94 1.13 1.50 b A3 1.15 1.68 1.57 2.09 1.57 1.61 b A4 1.41 1.54 1.61 1.63 1.57 1.55 b A5 1.93 1.50 2.59 2.13 1.39 1.91 a Rata-rata 1.40 b 1.44 b 1.78 a 1.77 a 1.45 b

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. P0 = kontrol, P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, P2 = agens hayati F112,

P3 = agens hayati F57,P4 = agens hayati F198. Angka yang diikuti huruf yang sama

pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji

DMRT pada α = 0.05.

Tabel 6 Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tinggi tanaman (cm) pada 8 MSS Perlakuan benih Penyemprotan tanaman Rata-rata P0 P1 P2 P3 P4 A0 76.9 72.9 74.3 71.3 73.4 73.8 abc A1 70.8 67.4 70.2 70.9 75.3 70.9 c A2 73.4 68.8 73.9 77.3 71.0 72.9 bc A3 70.2 74.8 72.2 69.4 74.3 72.2 bc A4 75.8 74.3 72.8 72.8 74.5 74.1 ab A5 73.8 76.8 77.2 78.4 73.7 76.0 a Rata-rata 73.5 72.5 73.4 73.4 73.7

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. P0 = kontrol, P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, P2 = agens hayati F112,

P3 = agens hayati F57,P4 = agens hayati F198. Angka yang diikuti huruf yang sama

pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji

Benih yang diberi perlakuan matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B menghasilkan laju pertumbuhan tertinggi dengan menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 76 cm (Tabel 6). Sementara itu, pengaruh penyempotan tanaman masih bersifat kecenderungan. Tanaman yang disemprot dengan agens hayati F198 menunjukkan kecenderungan yang lebih baik meningkatkan tinggi tanaman dengan tinggi 73.7 cm. Tidak berpengaruhnya penyemprotan tanaman kemungkinan karena perlakuan agens hayati membutuhkan waktu untuk memberikan dampak positif bagi tanaman. Hal ini terkait dengan adaptasi dan perkembangan agens hayati itu sendiri. Agens hayati membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan berkembang mencapai populasi yang optimum untuk dapat mengkolonisasi tanaman. Hal ini terlihat pada penyemprotan tanaman dengan agens hayati F112 dan F57 yang menunjukkan pengaruh setelah 8 MSS terhadap bobot kering tanaman. Sementara itu, matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B yang dari awal pertumbuhan telah secara nyata menunjukkan daya dukung terhadap pertumbuhan disebabkan karena efek kombinasi yang saling menguatkan antara matriconditioning dan agens hayati.

Tabel 7 Pengaruh interaksi antara perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tingkat keparahan HDB (%) pada 8 MSS

Perlakuan benih

Penyemprotan tanaman

P0 P1 P2 P3 P4

A0 6.3 ABb 5.0 Bb 7.0 ABa 8.3 Aa 7.3 ABab

A1 10.0 Aa 7.6 ABab 6.0 Ba 9.3 Aa 10.0 Aa

A2 3.6 Bb 4.0 Bb 5.0 ABab 7.0 ABab 7.6 Aab A3 9.0 Aa 8.3 ABa 7.3 ABa 7.0 ABab 5.6 Bb

A4 6.6 Ab 2.6 Bb 2.0 Bb 4.6 ABb 6.6 Ab

A5 8.6 Aab 2.0 Bb 1.3 Bb 4.0 Bb 4.0 Bb

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. P0 = kontrol, P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, P2 = agens hayati F112,

P3 = agens hayati F57,P4 = agens hayati F198. Angka dalam satu kolom atau baris

yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji

DMRT pada α = 0.05. Huruf kapital ke samping (dalam satu baris) menunjukkan

pengaruh perlakuan benih sedangkan huruf kecil ke bawah (dalam satu kolom) menunjukkan pengaruh penyemprotan tanaman.

Terdapat interaksi antara perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tingkat keparahan HDB. Perlakuan benih matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B atau matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2% yang selanjutnya diikuti penyemprotan bakterisida streptomisin sulfat 0.2% maupun agens hayati F112 menghasilkan tingkat keparahan HDB terendah dibandingkan dengan lainnya (Tabel 7). Hal ini merupakan efek kombinasi dari pengendalian Xoo terbawa benih yang dikendalikan dengan matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B dan matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2% dan perkembangan Xoo selanjutnya oleh bakterisida streptomisin

20

sulfat 0.2% maupun agens hayati F112. Integrasi plant growth promotion rizobacteria dengan penyemprotan agens hayati lebih efektif untuk mengendalikan bercak bakteri tomat daripada aplikasi secara tunggal (Ji et al.,

2006). Menurut Mishra et al. (2013), aplikasi campuran agens hayati fungi dan bakteri yang kompatibel memiliki keunggulan variasi mekanisme pengendalian patogen yang handal dan berpotensi menekan penyakit.

Percobaan 2. Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Produksi Benih Padi Sehat di Lapangan

Benih padi yang dimatriconditioning dengan bahan pelembab larutan bakterisida streptomisin sulfat 0.2% maupun suspensi P. diminuta A6 + B. subtilis

5B meningkatkan bobot kering bibit. Kedua perlakuan tersebut menghasilkan bobot kering bibit masing-masing 0.22 g dan 0.21 g (Tabel 8) dan merupakan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan bobot kering bibit 2 MSS pada percobaan 1 dimana matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2% dan

matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B juga mampu menghasilkan bobot kering bibit tertinggi dibanding perlakuan lainnya (Tabel 1).

Matriconditioning mempercepat laju perkecambahan (Ilyas 2006) sehingga pertumbuhan lebih cepat. Penambahan agens hayati pada matriconditioing

menambah efektivitas perlakuan benih dalam memacu pertumbuhan karena menghasilkan hormon tumbuh tanaman. Yarnia et al. (2012) melaporkan aplikasi hormon tumbuh tanaman dapat memacu perkecambahan dan pertumbuhan bibit bawang.

Tabel 8 Pengaruh perlakuan benih terhadap bobot kering bibit 3 MSS Perlakuan Bobot kering bibit (g per bibit)

A0 0.14 b A1 0.12 b A2 0.14 b A3 0.15 b A4 0.22 a A5 0.21 a

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.

Bobot kering brangkasan yang dihasilkan oleh semua perlakuan benih, penyemprotan tanaman, dan interaksinya tidak berpengaruh nyata (Tabel 9). Perlakuan benih matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2% dan

matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B yang pada fase bibit menghasilkan bobot kering terbaik dibanding perlakuan lainnya tidak berpengaruh lagi bobot kering brangkasan dan tinggi tanaman. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh faktor lain yang menghilangkan pengaruh perlakuan benih diawal

tersebut sehingga tidak terlihat pada fase pertumbuhan selanjutnya. Pengamatan terhadap bobot kering brangkasan menunjukkan kecenderungan penyemprotan tanaman dengan agens hayati F112 menghasilkan bobot kering brangkasan tertinggi yaitu 56.5 g. Data percobaan 1 yang menunjukkan bahwa penyemprotan tanaman padi dengan agens hayati F112 meningkatkan bobot kering tanaman pada 8 MSS memperkuat kecenderungan ini walaupun pada fase pertumbuhan yang lebih awal. Santosa et al. (2003) melaporkan bahwa bakteri filosfir dapat meningkatkan bobot kering tanaman padi varietas IR64.

Tabel 9 Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap bobot kering brangkasan (g per rumpun)

Perlakuan benih

Penyemprotan tanaman Rata-

rata P0 P1 P2 P3 P4 A0 38.8 75.6 44.1 54.8 55.3 53.7 A1 55.2 46.3 52.6 47.3 43.9 49.1 A2 47.6 53.0 60.0 57.3 50.3 53.6 A3 65.0 51.2 56.7 64.3 50.9 57.6 A4 51.5 54.8 67.8 51.0 52.8 55.6 A5 47.4 47.6 57.9 61.4 63.6 55.6 Rata-rata 50.9 54.7 56.5 56.0 52.8

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. P0 = kontrol, P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, P2 = agens hayati F112, P3 = agens hayati F57,P4 = agens hayati F198.

Tabel 10 Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap produksi benih (g per m2)

Perlakuan benih

Penyemprotan tanaman Rata-

rata P0 P1 P2 P3 P4 A0 319 253 272 284 380 302 A1 191 267 282 234 266 248 A2 244 350 461 347 340 348 A3 293 340 454 299 276 332 A4 354 367 316 418 351 361 A5 307 292 237 328 330 299 Rata-rata 285 312 337 318 324

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. P0 = kontrol, P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, P2 = agens hayati F112, P3 = agens hayati F57,P4 = agens hayati F198.

Pengamatan produksi benih menunjukkan perlakuan benih, penyemprotan tanaman, dan interaksinya tidak berpengaruh. Hal ini diduga karena adanya pengaruh faktor lain pada tahap pertumbuhan seperti serangan hawar daun bakteri sehingga perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh yang menyebabkan fase selanjutnya juga tidak terjadi pemacuan pertumbuhan dan perkembangan.

22

Epidemi HDB yang terjadi sebelum inisiasi malai secara nyata menurunkan hasil panen, fertilitas malai, dan berat gabah (Reddy et al. 1979). Namun, kecenderungan data menunjukkan bahwa benih yang diberi perlakuan

matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% menghasilkan produksi benih tertinggi yaitu 361 g per m2 (Tabel 10). Sementara itu, tanaman yang disemprot dengan agens hayati A112 cenderung menghasilkan produksi benih terbanyak daripada perlakuan lainnya yaitu 337 g per m2. Moubark dan Abdel-monaim (2011) melaporkan bahwa perlakuan benih dan tanah dengan B. subtilis dan B. megaterium meningkatkan produksi benih gandum.

Tingkat keparahan HDB terjadi cukup tinggi dan semua perlakuan tidak berpengaruh (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa serangan patogen Xoo yang bersumber dari lapangan sangat tinggi dan belum mampu dikendalikan oleh perlakuan yang diberikan. Selain itu, banyaknya sumber inokulum Xoo di lapangan menjadi faktor penting yang menyebabkan Xoo mampu menginfeksi tanaman sampai panen. Saluran irigasi pada lahan sawah yang terinfeksi akan menjadi media penyebaran patogen ke lahan sawah yang lain (Suparyono et al. 2003). Selain itu, pemupukan N juga dapat memicu tingginya keparahan HDB yang terjadi. Pemupukan N mampu meningkatkan tingkat keparahan HDB pada tanaman padi (Myint et al. 2007).

Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman yang belum terlihat mengindikasikan bahwa baik bakterisida streptomisin sulfat maupun P. diminuta

A6 + B. subtilis 5B yang digunakan belum mampu menekan populasi patogen Xoo yang tinggi di lapangan. Selain itu, faktor kompetisi P. diminuta A6 + B. subtilis 5B dengan mikroorganisme indegenous di lapangan tersebut juga diduga menyebabkan pengendalian P. diminuta A6 + B. subtilis 5B terhadap Xoo tidak maksimal. Hal ini dikarenakan P. diminuta A6 + B. subtilis masih harus berkompetisi mendapatkan nutrisi dan ruang tumbuh sehingga perkembangan populasinya menjadi lambat dan pada akhirnya gagal mengkolonisasi tanaman padi. Kondisi ini kemungkinan dapat diatasi dengan peningkatan frekuensi aplikasi agens hayati di lapangan tersebut.

Tabel 11 Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tingkat keparahan HDB (%) pada 12 MST

Perlakuan benih

Penyemprotan tanaman Rata-

rata P0 P1 P2 P3 P4 A0 29.7 29.3 28.7 29.3 29.3 29.3 A1 30.0 29.7 29.3 30.3 29.7 29.8 A2 30.0 29.3 29.0 29.3 29.7 29.5 A3 28.3 28.3 28.7 29.7 29.0 28.8 A4 29.0 28.3 28.3 28.7 28.7 28.6 A5 29.3 28.0 28.7 29.0 29.0 28.8 Rata-rata 29.4 28.8 28.8 29.4 29.2

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. P0 = kontrol, P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, P2 = agens hayati F112, P3 = agens hayati F57,P4 = agens hayati F198.

Pada kondisi lapangan yang tidak sehat (inokulum patogen banyak), pengendalian secara langsung pada patogen target kemungkinan tidak akan efektif. Hal ini dikarenakan sumber inokulum dan tanaman inang sekunder (gulma) masih akan tetap hidup dan terus mendukung perkembangan patogen tersebut. Oleh karena itu, pada konteks lapangan yang seperti ini seharusnya pengendalian patogen baik secara hayati maupun kimiawi harus diintegrasikan dalam pengendalian hama penyakit terpadu. Aplikasi agens hayati untuk mengendalikan penyakit seharusnya diintegrasikan dengan kultur teknis (pemilihan lahan, rotasi tanaman, pengolahan lahan, penggunaan pupuk secara tepat, pengaturan air) dan tanaman yang tahan terhadap penyakit (Pal et al. 2006).

Jika dilihat dari segi perbaikan kesehatan lahan, perlakuan agens hayati rizosfir perlu dilakukan terus menerus agar mampu bersaing dengan patogen Xoo dan mampu lebih maksimal mendukung pertumbuhan tanaman padi pada musim- musim selanjutnya. Sementara itu, aplikasi agens hayati filosfir melalui penyemprotan tanaman kemungkinan terkendala ektrimnya ekologi filosfir daun padi. Peluang tercuci, sedikit nutrisi, paparan ultraviolet merupakan kendala perkembangan agens hayati filosfir. Pada konteks ini, penyemprotan agens hayati filosfir dapat dipandang sebagai metode pencegahan dan pelengkap pengendalian HDB oleh agens hayati rizosfir. Keberhasilan agens hayati filosfir dalam mendukung pengendalian HDB terletak pada kesiapan agens hayati filosfir dalam mengkolonisasi tanaman sebelum Xoo menginfeksi tanaman padi.

Tabel 12 Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap Xoo

terbawa benih (x 107 cfu ml-1) Perlakuan

benih

Penyemprotan tanaman Rata-

rata P0 P1 P2 P3 P4 A0 2.6 1.3 0.8 1.2 1.2 1.4 A1 3.3 1.1 1.2 1.7 1.9 1.8 A2 2.4 2.3 1.2 1.3 1.5 1.8 A3 1.6 1.7 1.7 1.8 1.2 1.6 A4 1.1 1.5 2.0 3.3 1.6 1.9 A5 2.1 1.1 1.4 1.2 1.9 1.5 Rata-rata 2.2 1.5 1.4 1.8 1.5

Keterangan: A0 = kontrol negatif, A1 = kontrol positif, A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B, A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis

5B. P0 = kontrol, P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%, P2 = agens hayati F112, P3 = agens hayati F57,P4 = agens hayati F198.

Perlakuan benih dan penyemprotan tanaman yang tidak berpengaruh terhadap tingkat keparahan hawar daun bakteri ternyata juga terjadi pada benih yang dihasilkan tanaman padi tersebut (Tabel 12). Hal ini disebabkan tanaman telah terlebih dahulu terserang hawar daun bakteri sehingga Xoo dapat masuk ke jaringan tanaman dan menginfeksi benih yang dihasilkan. Setelah menginfeksi tanaman inang, patogen masuk ke jaringan vaskular khususnya xilem, kemudian memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh bagian tanaman, sehingga mengakibatkan infeksi yang bersifat sistemik (Noda dan Kaku 1999; Gnanamanickam 2009). Sakthivel et al. (2001) sebelumnya juga telah melaporkan bahwa Xoo penyebab HDB ditemukan pada benih yang dipanen dari tanaman

24

padi yang tumbuh dari benih yang terinfeksi Xoo. Dengan demikian, untuk mendapatkan benih yang sehat, tanaman padi harus bebas dari serangan HDB.

Simpulan

1. Hasil percobaan di rumah kaca menunjukkan, perlakuan benih dengan

matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B di rumah kaca meningkatkan daya tumbuh benih dari 93.6% menjadi 96.9%, tinggi tanaman dari 70.9 cm menjadi 76 cm, bobot kering tanaman dari 1.35 g menjadi 1.91 g. Penyemprotan tanaman padi menggunakan agens hayati A112 meningkatkan bobot kering tanaman dari 1.40 g menjadi 1.78 g. Sementara itu, benih yang diberi perlakuan matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B diikuti dengan penyemprotan tanaman pada umur 4 dan 5 MSS dengan agens hayati F112 menurunkan tingkat keparahan HDB pada padi dari 10% menjadi 1.3%.

2. Hasil percobaan di lapangan menunjukkan, perlakuan benih dengan

matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B meningkatkan bobot kering bibit dari 0.12 g menjadi 0.21 g. Semua perlakuan benih dan penyemprotan tanaman dengan agens hayati yang dilakukan pada tanaman padi belum dapat meningkatkan produksi benih sehat karena populasi agens hayati yang diaplikasikan belum optimum.

Dokumen terkait