PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG TNDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PERJUDIAN DI INDONESIA
C. Penyertaan dan Penggabungan Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Dalam melakukan tindak pidana, pada prakteknya tidak selalu ada satu orang pelaku tindak pidana dalam peristiwa hukum pidana. Tidak tertutup kemungkinan bahwa orang yang melakukan tindak pidana tersebut dibantu oleh orang lain. Selain itu, kemungkinan pula bisa terjadi pada suatu peristiwa hukum, seorang pelaku dapat melakukan lebih dari satu tindak pidana. Dalam teori hukum pidana, hal tersebut dikenal dengan istilah penyertaan atau turut serta melakukan tindak pidana dan juga penggabungan tindak pidana.
Terkait dengan turut serta melakukan tindak pidana, KUHP telah memuat dalam Pasal 55 KUHP dan 56 KUHP, yang merupakan aturan yang mengatur tentang turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana. Sehingga seseorang yang turut serta pada waktu melakukan tindak pidana dapat pulah dipidana, tidak semata-mata seseorang yang melakukan tindak tindak pidana sajalah yang dipidana.
Dari kedua Pasal tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP pembagian golongan peserta terhadap tindak pidana penyertaan yaitu, mereka yang melakukan (Pembuat Pelaksana Pleger), mereka yang menyuruh melakukan (Pembuat Penyuruh: Doen Pleger), mereka yang turut serta melakukan (Pembuat
Peserta: Medepleger), orang yang sengaja menganjurkan (Pembuat Penganjur:Uitlokker),dan Pembantuan (Medeplichtige) .
Kata “penyertaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menyertakan atau perbuatan ikut serta (mengikuti). Kata
“penyertaan” berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.
Sementara menurut Moeljatno berpendapat bahwa ada penyertaan apabila bukan satu orang yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana akan tetapi beberapa orang. Tersangkutnya dua orang atau lebih dalam suatu tindak pidana dapat terjadi dalam hal :
a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik atau
b. Mungkin hanya seorang saja yang berkehendak (berniat) dan merencanakan delik, tetapi delik tersebut tidak dilakukannya tetapi ia mempergunakan orang lain untuk mewujudkan delik tersebut, atau:
c. Mungkin seorang saja yang melakukan delik sedang orang lain orang itu dalam mewujudkan delik
Penyertaan (Deelneeming) dipermasalahkan dalam hukum pidana karena berdasarkan kenyataan sering suatu tindak pidana dilakukan bersama oleh beberapa orang. Jika hanya satu orang yang melakukan suatu tindak pidana, pelakunya disebut allen dader.
Menurut Adami Chazawi bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP mengenai golongan
yang disebut dengan mededader dan Pasal 56 KUHP mengenai medeplichtige (pembuat pembantu). Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berukut :31
a. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1) Mereka yang melakukan yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
b. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 55 KUHP dapat dikelompokkan orang-orang yang disebut sebagai pembuat yaitu :
1) mereka, yang melakukan perbuatan pidana. Arti kata dari „melakukan‟
adalah secara lengkap memenuhi semua unsur delik dan merupakan suatu bentuk tunggal dari pengertian „berbuat‟.Orang itu sendiri yang melakukan delik tersebut.
2) mereka, yang menyuruh melakukan perbuatan pidana. Arti kata
„menyuruhlakukan‟ adalah bukan pelaku utama yang melakukan delik tersebut, namun pelaku utama tersebut menggerakkan orang lain, yang
31 Adami Chazawi. 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 82
(dengan alasan apapun) tidak dapat dikenai pidana, melakukan suatu delik;
3) mereka, yang turut serta melakukan perbuatan pidana. Arti kata „turut (serta) melakukan adalah bersepakat dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu delik dan secara bersama-saman melaksanakannya;
4) mereka, yang membujuk supaya dilakukan perbuatan pidana. Arti dari
„membujuk‟ adalah meminta orang lain untuk melakukan suatu delik dengan bantuan yang secara limitatif terdapat dalam Pasal 55 ayat (2) KUHP yang biasa disebut sarana-sarana pembujukan, membujuk orang lain yang memang dapat dipidana
Seseorang merupakan pembuat atau pelaku dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, bilamana tindak-tindakannya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan perbuatan yang dapat dihukum tersebut.
Pertanggungjawaban yang dibebankan pelaku yang melakukan suatu tindak pidana adalah berdiri sendiri, pelaku tersebut harus bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang telah dilakukannya sesuai dengan aturan hukum yang mengaturnya.
Sedangkan Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
b. Mereka yang sengaja member kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 56 KUHP menjelaskan tentang medeplichtigheid atau pembantuan dimana ancaman pidana bagi mereka yang terlibat dalam tindak pidana kejahatan, secara sengaja memberikan bantuan atau memberikan kesempatan serta daya upaya atau keterangan sehubungan dengan pelaksanaan tindak pidana.
Medeplichtigheid atau pembantuan terjadi apabila terdapat 2 (dua) orang yang satu sebagai pembuat (dader) sedangkan yang lain sebagai pembantu (medeplichtigheid). Orang yang membantu dalam Pasal 56 KUHP ini khusus mereka yang membantu tindak pidana kejahatan. Sedangkan pembantuan dalam hal pelanggaran tidak dipidana karena terdapat ketentuan dalam Pasal 60 KUHP.
Pengertian orang yang membantu adalah mereka yang dengan sengaja memberi bantuan untuk melakukan kejahatan, sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Sedangkan penggabungan tindak pidana dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai Samenloop van strafbaar feiten dan sedangkan concursus berasal dari bahasa Latin. Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau lebih melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan pidana atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa peratuaran pidana itu diadili sekaligus.
Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah: ada dua/lebih tindak pidana dilakukan:32
a. Bahwa dua/lebih tindak pidan tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan.);
b. Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili;
c. Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
Dikalangan para sarjana digunakan beberapa terjemahan seperti gabungan tindak pidana atau rentetan peristiwa pidana dan masih banyak lagi. Moeljatno mendefiniskan gabungan tindak pidana sebagai berikut :33
a. Bilamana seseorang melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan itu melanggar beberapa peraturan pidana
b. Bilamana seseorang melakukan beberapa perbuatan, dalam tiap-tiap perbuat mana merupakan perbuatan pidana yang masing-masing berdiri sendiri sendiri, dan terhadap salah satu perbuatan tersebut belum pernah dijatuhi keputusan hakim. Atas orang tersebut kemudian diadili sekaligus
Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concurcus. Perbarengan merupakan terjemahan
dari samenloop atau concurcus. Ada juga yang menterjemahkannya dengan
32 Utrecht E, 1985, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Bandung, PT. Penerbitan Universitas, Hal. 17.
33 Loebby Loqman, 1996, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanegara, Jakarta, hal. 215.
gabungan. Berdasarkan pembahasan ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan.
Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri, dipersyartakan bahwa salah satu diantaranya belum pernah diadili. Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang yang tersulit dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan memahami apa yang sebenernya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri.34
Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP tentang Gabungan Delik, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan perbuatan menunjukkan bahwa tim penerjemah Departemen Kehakiman Republik Indonesia sekarang (Departemen Hukum dan HAM) Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP tentang Gabungan Delik itu sebagai suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh Hoge Raad (HR) sendiri telah ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Kiranya tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan menerjemahkan perkataan feit di
34 PAF Lamintang, 1987, Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Sinar Baru, Hal. 65
dalam rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP tentang Gabungan Delik itu dengan perkataan perbuatan, seandainya tim tersebut mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu terdapat keberatan-keberatan terhadap penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.
Apa yang disebut samenloop van strafbare feiten atau gabungan tindak-tindak pidana itu, oleh pembentuk Undang-Undang telah diatur di dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau tegasnya di dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP tentang Gabungan Delik, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama. Dalam suatu samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana, atau ia telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana. Simons berpendapat, bahwa apabila tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana dan dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu tindak pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Van Hamel juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan pidana. Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus.
Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis). Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu
perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana.
Hal ini diatur dalam Pasal 63 KUHP tentang Gabungan Delik yang bunyinya sebagai berikut:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diaturpula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP tentang Gabungan Delik adalah tindakan nyata atau tindakan materiil. Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari Pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih dapat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut. Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa
perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakteknya Hoge Raad menyelesaikan perkara secara kasuistis. Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cukupan. Ketentuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus
mengenyampingkan ketentuan yang umum.35 Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.
2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis). Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam Pasal 65, 66, 70 dan 70 tentang Gabungan Delik bis KUHP.
Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana
35 Kanter,E.Y. dan S.R. Sianturi, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, Hal. 156
kejahatan termuat dalam Pasal 65 dan 66 KUHP tentang Gabungan Delik. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam Pasal 70 dan 70 bis KUHP tentang Gabungan Delik. Pasal 65 KUHP tentang Gabungan Delik mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP tentang Gabungan Delik mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat. Perbedaan antara Pasal 65 dan 66 KUHP tentang Gabungan Delik terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan Pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran. Jika Pasal 65 dan 66 KUHP tentang Gabungan Delik menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, Pasal 70 KUHP tentang Gabungan Delik memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masingmasing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi
pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis KUHP tentang Gabungan Delik menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
3. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling). Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendiri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu perbuatan lanjutan. Hal ini diatur dalam Pasal 64 KUHP tentang Gabungan Delik dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi. Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolaholah digabungkan menjadi satu delik. Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP tentang Gabungan Delik yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan Pasal 64 KUHP tentang Gabungan Delik menyimpang dari ketentuan Pasal 65 dan
66 KUHP tentang Gabungan Delik. Menurut Pasal 65 dan 66 KUHP tentang Gabungan Delik yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut Pasal 64 KUHP tentang Gabungan Delik yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP tentang Gabungan Delik sebagai pengecualian terhadap concursus realis/
meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
1. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
2. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
3. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/culpa dan delik materil/formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari satu kehendak jahat tersebut
Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam :36 1. Absorbsi dipertajam
Apabila diancam dengan pidana pokok sejenis maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah repository.unisba.ac.id
36 Moeljatno, Op.cit, hal.74
maksimum pidana tidak boleh lebih dari jumlah maksimum terberat ditambah sepertiga.
2. Kumulatif diperlunak
Apabila diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka setiap pidana pokok akan dikenakan dengan ketentuan jumlahnya tidak boleh melebihi jumlah pidana pokok terberat ditambah sepertiga.
3. Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem hukum kumulatif (jumlah), jumlah semua pidana yang diancamkan.
Maksimum 1 tahun 4 bulan.
4. Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan, maka digunakan sistem pemberian pidana kumulatif, maksimum pidana penjara 8 bulan
c. Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling
Suatu perbuatan dikatakan merupakan gabungan dari beberapa perbuatan apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.37
Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan
37 Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, Hal 93.
pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah 38
a. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
b. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
c. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama
Jika dikaitkan dengan tindak pidana perjudian dan tindak pidana narkotika, tidak tertutup kemungkinan pula terjadi pelaku tindak pidana melakukan tindak pidana gabungan. Misalnya, seorang pelaku yang melakukan perjudian, sambil menggunakan narkotika.
Undang-undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 dan Undang-undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 terdapat pengaturan khusus apabila suatu tindak pidana tersebut, baik narkotika maupun perjudian terdapat suatu unsur penyertaan ataupun penggabungan tindak pidana. Sehingga, apabila terjadi penyertaan atau penggabungan tindak pidana tersebut maka berlaku ketentuan umum dalam KUHP. Apabila terjadi penggabungan tindak pidana perjudian dan tindak pidana narkotika yang merupakan bentuk tindak pidana yang berdiri sendiri, maka sesuai
38 Ibid.
dengan Pasal 66 ayat (1) KUHP, apabila seorang pelaku melakukan tindak pidana tersebut secara bersamaan, maka akan dikenakan sanksi pidana tiap perbuatan, dengan syarat hukuman tersebut tidak boleh melebihi pidana pokok terberat ditambah satu pertiga dari pidana pokok terberat.
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU