• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyiapan Bahan

Penelitian ini menggunakan bagian daun dari tanaman jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl). Banyaknya tanaman yang berpotensi sebagai obat menjadikan pemastian tanaman yang akan digunakan dalam penelitian sangat penting (Epidemiological and Statistical Methodology Unit, 1986). Pemastian tanaman dilakukan dengan melakukan determinasi tanaman. Tanaman yang digunakan diambil dari kebun obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Determinasi dilakukan dengan mengacu pada tulisan van Steenis (1992). Pengamatan untuk determinasi dilakukan dari keseluruhan tanaman mulai daun, bunga, batang, hingga akar. Hasil dari determinasi didapat bahwa tanaman yang

akan digunakan adalah benar tanaman jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl.) (Lampiran 7 dan Lampiran 8).

2. Pengumpulan bahan uji

Setelah didapatkan daun jarong, lalu diproses hingga pengeringan sesuai dengan panduan pembuatan simplisia. Sortasi dilakukan untuk memastikan daun yang diambil tidak terkontaminasi dengan bahan lain, selain itu juga untuk memilah daun yang rusak. Daun yang rusak harus dipisahkan karena jika daun yang rusak akibat hama serangga ditakukan akan mempengaruhi kualitas dari zat yang terkandung dalam daun tersebut. Proses diangin-anginkan setelah sortasi dilakukan agar pengeringan dapat berlangsung dengan tepat dan benar. Suhu oven pengeringan dilakukan pada suhu 40oC karena pada suhu tersebut merupakan suhu optimal (tidak terlalu tinggi maupun tidak terlalu panas), sehingga diharapkan tidak merusak kandungan senyawa daun jarong. Hasil pengumpulan bahan uji ini mendapatkan daun jarong sesuai dengan yang diharapkan dan dalam kondisi yang baik hingga pengeringannya.

3. Pembuatan serbuk daun S. indica (L.) Vahl.

Daun jarong dipastikan kering dengan cara meremas daun, jika daun langsung hancur menandakan bahwa daun telah kering sempurna dan dapat dilakukan pembuatan serbuk. Pengayakan serbuk dilakukan dengan menggunakan penyaring antara mesh 30-40 (International Centre for Science and High Technology, 2008), sehingga pada penelitian ini digunakan mesh 40 untuk pengayakan agar partikel serbuk yang besar tidak tercampur dengan partikel serbuk (ukuran partikel sama). Ukuran peraktikel yang kecil juga diharapkan pada saat

penyarian serbuk simplisia daun jarong dapat tersari sempurna karena dengan semakin kecilnya ukuran serbuk simplisia menyebabkan luas permukaan kontak menjadi lebih besar. Serbuk yang didapatkan berwarna hijau.

4. Penetapan kadar air serbuk simplisa S. indica (L.) Vahl.

Syarat serbuk simplisia yang baik menurut Dirjen POM salah satunya adalah kandungan air yang ada tidak lebih dari 10%. Mengacu syarat tersebut maka dilakukan pengujian kadar air serbuk simplisia daun jarong yang telah siap digunakan dalam penelitian. Pengujian kadar ini bertujuan mengetahui % kandungan air yang ada dalam serbuk simplisa. Pengujian dilakukan dengan metode gravimetri di laboratorium Kimia Analisis Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hasil pengukuran kadar air yang didapat sebesar 8,26%. Hasil tersebut sudah memenuhi persyaratan mutu serbuk simplisia yang baik menurut Dirjen POM tahun 1995 yang menyatakan bahwa untuk kadar air serbuk simplia kurang dari 10%.

5. Hasil uji tabung kandungan polifenol

Pada tulisan Harborne pada tahun 1987 menjelaskan bahwa pengujian polifenol dapat dilakukan dengn pereaksi FeCl3. Pengujian polifenol ini dengan tujuan untuk melihat secara kualitatif apakah ekstrak etanol 70% daun S. indica (L.) Vahl. mempunyai senyawa yang dituju, yaitu flavonoid. Flavonoid merupakan bagian terbesar penyusun polifenol (Dai dan Mumper, 2010). Hasil uji secara kualitatif ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70% daun S. indica (L.) Vahl. mengandung polifenol salah satunya flavonoid, hal ini ditunjukkan dengan adanya

perubahan warna dari ekstrak yang berwaran coklat kehijauan menjadi warna hijau kebiruan setelah diberikan FeCl3 pada ekstrak (Harborne, 1987).

B. Pembuatan ekstrak etanol 70% daun S. indica (L.) Vahl.

Ekstrak etanol 70% didapat dengan meode maserasi yang dilanjutkan remaserasi satu kali. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana (menggunakan alat-alat sederhana) dengan cara merendam serbuk simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Selanjutnya dilakukan remaserasi untuk menyari kembali senyawa yang masih tertinggal pada serbuk simplisia. Penggunaan pelarut yang sebanyak 300 mL ini dimaksudkan agar dapat menyari senyawa yang diinginkan dengan optimal, dimana Mahdi dan Altikriti (2010) juga menyatakan bahwa perbandingan simplisia dan pelarut yang digunakan 1:5 atau 1:10. Penggunaan shaker ini bertujuan untuk mempermudah penggojogan secara konstan selama maserasi berlangsung, sehingga pelarut yang ada disekitar permukaan partikel tidak jenuh dan pengambilan senyawa dapat berlangsung dengan maksimal (International Centre for Science and High Technology, 2009).

Ektrak cair hasil maserasi dan remaserasi kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator. Prinsip penggunaan rotary evaporator ini adalah proses pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu, cairan penyari akan dapat menguap dibawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena adanya tekanan. Selanjutnya diuapkan dengan menggunakan water bath untuk mendapatkan ekstrak kental dan agar memudahkan perhitungan rendemennya. Ektrak kental harus memenuhi salah satu klasifikasi, yaitu bobot yang didapatkan adalah tetap. Bobot tetap ini dimaksudkan

bahwa ekstrak yang ada hanya ekstrak yang diinginkan saja, sedangkan pelarutnya diharapkan sudah menguap semua. Berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia, bobot tetap didapat dengan menimbang selama 1 jam ekstrak hingga selisi bobot tidak lebih dari 0,5 mg. Sebanyak 30 gram serbuk simplisia daun jarog dengan replikasi 3 kali menghasilkan bobot ekstrak kental 6,494 gram dengan rendemen yang didapat, yaitu 21,646%.

C. Uji Pendahuluan 1. Penetuan dosis hepatotoksin

Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan salah satu senyawa hepatotoksin yang sering digunakan dalam penelitian. Sebelum digunakan sebagai hepatotoksin, senyawa ini harus diketahui berapa dosisnya agar menyebabkan tikus mengalami kerusakan hati dalam hal ini steatosis. Dosis CCl4 pada penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) yang menyatakan bahwa dosis 2 mL/KgBB CCl4 yang diinduksikan pada tikus secara intra peritoneal telah dapat menyebabkan hepatotoksik. Karbon tetraklorida ini dilarutkan dalam pelarut olive oil dengan perbandingan 1:1. Pemastian dosis hepatotoksin ini dilihat dari uji kadar ALT dan AST. Kenaikan dari kadar ALT dan AST dari kadar normal menandakan adanya kerusakan hati yang terjadi.

2. Penentuan dosis ekstrak etanol 70% daun jarong (S. indica (L.) Vahl.) Joshi et al (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dosis efektif untuk ekstrak etanol daun jarong(S. indica (L.) Vahl.) adalah 200 mg/KgBB. Dosis tersebut dijadikan sebagai acuan untuk dosis ekstrak etanol 70% daun jarong pada penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan tiga peringkat dosis dengan faktor

kelipatan 2, dengan dosis acuan sebagai dosis tengah. Sehingga dosis yang digunakan dalam penelitian ini 100 mg/KgBB sebagai dosis rendah, 200 mg/KgBB sebagai dosis tengah, dan 400 mg/KgBB sebagai dosis tinggi.

3. Penentuan waktu pencuplikan darah

Penentuan waktu pencuplikan darah ini dilakukan untuk mengetahui efek optimum hepatotoksin CCl4 pada jam tertentu yang akan digunakan sebagai penentu pemngambilan darah pada penelitian ini. Penentuan waktu pencuplikan berdasarkan nilai ALT dan AST kelompok tikus jantan galur Wistar yang diberikan hepatotoksin CCl4 diukur kadar ALT dan AST pada jam ke 0, 24, dan 48 setelah pemberian hepatotoksin. Dari pengambilan darah pada jam-jam tersebut dibandingkan manakah yang memiliki kadar hepatotoksin tertinggi. Darah yang diambil melalui sinus orbitalis. Hasil dari pengukuran kadar ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/KgBB tersaji pada tabel III dan gambar 7.

Tabel III. Purata aktivitas serum ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada pencuplikan jam ke-0, 24, dan 48 (n = 3)

Waktu pencuplikan jam ke- Purata kadar ALT ± SE (U/L)

0 60,80 ± 2,27

24 181,40 ± 6,40

Gambar 7. Diagram batang aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Berdasarkan tabel III dan gambar 7 dapat diketahui bahwa aktivitas serum ALT pada jam ke 0, 24, dan 48 secara beturut-turut, yaitu 60,80 ± 2,27, 181,40 ± 6,40 dan 74,20 ± 1,99 U/L, sehingga dari data tersebut dapat diketahui bahwa kadar ALT kelompok tikus yang terinduksi CCl4 pada pencuplikan darah jam ke-24 menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pencuplikan darah pada jam ke 0 dan 48. Selanjutnya, dari hasil tersebut dilakukan analisa paired-samples T test. Hasil dari analisa paired-paired-samples T test disajikan pada tabel IV. Tabel IV. Hasil Paired-Samples T Test aktivitas serum ALT tikus setelah induksi

karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada pencuplikan jam ke-0, 24, dan 48 (n = 3)

Waktu pencuplikan (jam ke-)

Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Jam ke-0 BB BB

Jam ke-24 BB BB

Jam ke-48 BB BB

Hasil analisa paired-samples T test menunjukkan bahwa kadar ALT pada jam ke-0, 24, dan 48 menunjukkan bahwa hasil yang didapat berbeda bermakna dimana kadar CCl4 pada jam ke 24 naik dengan signifikan dari jam ke-0 dan pada jam ke-48 terjadi penurunan kadar tetapi belum sama dengan kadar pada jam ke-0, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar ALT yang optimum adalah pada jam ke-24. Hal ini karena pada jam ke-24 menunjukkan bahwa kadar ALT paling tinggi dibandingkan yang lain (Gambar 7).

Sedangkan hasil pengukuran kadar AST tersaji pada tabel V dan gambar 8.

Tabel V. Purata aktivitas serum AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48

Waktu pencuplikan jam ke- Purata kadar AST ± SE (U/L)

0 141,20 ± 5,15

24 452,40 ± 32,45

48 156,80 ± 4,61

Gambar 8. Diagram batang purata aktivitas serum AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Berdasarkan hasil aktivitas serum AST tersebut pada jam ke-0, 24, dan 48 berturut-turut, yaitu 141,20 ± 5,15, 452,40 ± 32,45 dan 156,80 ± 4,61 U/L. Penentuan perbandingan kadar AST pada jam ke 0, 24, dan 48 dengan menggunakan analisis statistik Paired-Sample Test (Tabel VI). Hasil statistik menunjukkan aktivitas kadar serum AST pada jam ke-0 berbeda bermakna dengan kadar AST jam ke-24 (p=0,000) dan jam ke-48 (p=0,006), yang dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan kadar CCl4 dalam darah pada jam ke-24 dan pada jam ke-48 terjadi penurunan tetapi belum sama dengan kadar pada jam ke-0. Pada perbandingan kadar AST pada jam ke-24 dengan kadar AST jam ke-48 menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,001), dimana terjadi penurunan yang cukup signifikan dari jam ke-24 ke jam ke-48. Berdasarkan pengukuran, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar AST pada jam ke 24 yang paling optimum. Pada jam ke 48, kadar AST mengalami penuruanan tetapi tidak mencapai nilai normal. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kadar optimum CCl4 terjadi pada jam ke-24. Berikut adalah tabel hasil uji T berpasangan kadar AST:

Tabel VI. Hasil Paired-Samples T Test kadar AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48

Waktu pencuplikan (jam ke-)

Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Jam ke-0 BB BB

Jam ke-24 BB BB

Jam ke-48 BB BB

D.Hasil Uji Hepatoprotekti Ekstrak Etanol 70% Daun Jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl.) pada Tikus Jantan Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek hepatoprotektif pemberian ekstrak etanol 70% daun jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl.) terhadap penurunan aktivitas ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida serta untuk mengetahui dosis efektif pemberian ekstrak etanol 70% daun jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl.) terhadap aktivitas ALT dan AST yang dapat memberikan efek hepatoprotektif optimal pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Pada penelitian untuk perlakuan dengan menggunakan tiga peringkat dosis, yaitu 100, 200, dan 400. Sebelum dilakukan pengujian kepada kelompok perlakuan, peneliti melakukan pengukuran untuk kontrol olive oil, kontrol CCl4, dan kontrol ekstrak dengan dosis tertinggi. Efek hepatoprotektif yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar aktivitas serum ALT dan AST dari hewan uji. Data kadar aktivitas serum ALT dan AST ditampilkan dalam bentuk purata ± SE pada tabel VII, gambar 9, dan gambar 10.

Tabel VII. Purata ± SE kadar ALT dan AST tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan

Kelompok Perlakuan Purata kadar ALT ± SE (U/L) Purata kadar AST ± SE (U/L) Efek hepato-protektif (ALT) Efek hepato-protektif (AST) I Kontrol olive oil 2 mL/kgBB 49,20 ± 1,07 127,00 ± 2,30 - -II Kontrol CCl4 2 mL/kgBB 178,80 ± 7,47 451,00 ± 32,21 - -III Kontrol ekstrak 51,20 ± 0,86 127,80 ± 2,65 - -IV EE 70% DJ (*) 100 mg/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB 129,40 ± 4,36 363,80 ± 10,92 38,12% 26,91% V EE 70% DJ (*) 200 mg/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB 139,20 ± 5,63 374,60 ± 19,53 30,56% 23,58% VI EE 70% DJ (*) 400 mg/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB 52,40 ± 1,43 137,60 ± 1,86 97,53% 96,73% Keterangan : * EE 70% DJ : Ekstrak etanol 70% daun Jarong

Gambar 9. Diagram batang purata kadar ALT tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan

Gambar 10.Diagram batang purata kadar AST tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Shapiro Wilk untuk mengetahui normalitas dari data yang didapat. Hasil dari data aktivitas serum ALT menunjukkan data yang tidak normal dengan p < 0,05 sedangkan pada data aktivitas serum AST menunjukkan bahwa data yang normal dengan p > 0,05. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas untuk data aktivitas serum ALT dan AST. Berdasarkan Levene’s test hasil yang didapat baik data aktivitas serum ALT dan AST terdistribusi tidak normal dengan p < 0,05. Berdasarkan hasil uji Shapiro Wilk dan Levene’s test, maka untuk data aktivitas serum ALT dianalisis dengan menggunakan Kruskal-Wallis test. Sedangkan untuk data aktivitas serum AST dianalisis menggunakan Post-Hoc test Games Howell. Hasil uji Kruskal-Wallis test dan Post-Hoc test Games Howell tersaji dalam tabel VIII dan tabel IX.

Tabel VIII. Hasil uji Kruskal-Wallis Mann-Whitney kadar ALT praperlakuan ekstrak etanol 70% Stachytarpheta indica (L.) Vahl. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Kontrol Olive Oil Kontrol CCl4 Kontrol ekstrak Dosis 100 mg/kgBB Dosis 200 mg/kgBB Dosis 400 mg/kgBB

Kontrol Olive Oil BB BTB BB BB BTB

Kontrol CCl4 BB BB BB BB BB

Kontrol ekstrak BTB BB BB BB BTB

Dosis 100 mg/kgBB BB BB BB BTB BB

Dosis 200 mg/kgBB BB BB BB BTB BB

Dosis 400 mg/kgBB BB BB BTB BB BB

Keterangan : BB : Berbeda bermakna BTB: Berbeda tidak bermakna

Tabel IX. Hasil uji Post-Hoc Games-Howell kadar AST praperlakuan ekstrak etanol 70% Stachytarpheta indica (L.) Vahl. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Kontrol Olive Oil Kontrol CCl4 Kontrol ekstrak Dosis 100 mg/kgBB Dosis 200 mg/kgBB Dosis 400 mg/kgBB

Kontrol Olive Oil BB BTB BB BB BTB

Kontrol CCl4 BB BB BTB BTB BB

Kontrol ekstrak BTB BB BB BB BTB

Dosis 100 mg/kgBB BB BTB BB BTB BB

Dosis 200 mg/kgBB BB BTB BB BTB BB

Dosis 400 mg/kgBB BTB BB BTB BB BB

Keterangan : BB : Berbeda bermakna BTB: Berbeda tidak bermakna 1. Kontrol negatif olive oil 2 mL/KgBB

Kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah olive oil (minyak zaitun). Kontrol negatif ini dilakukan untuk memastikan bahwa pelarut hepatotoksin yang digunakan tidak mempengaruhi aktivitas kadar serum ALT dan AST, sehingga diharapkan hanya CCl4 saja yang memberikan kadar hepatotoksin. Pengukuran dilakukan pada jam ke-0 atau sebelum penginjekan olive oil dan pada jam ke-24 setelah penginduksian CCl4. Dosis olive oil yang diberikan 2 mL/KgBB.

Dosis tersebut disamakan dengan dosis hepatotoksin yang akan diinjeksikan karena olive oil merupakan pelarut dari CCl4. Purata aktivitas kadar serum ALT dan AST pada saat sebelum dan setelah pemberian olive oil 24 jam ditunjukkan pada tabel X Tabel X.Purata kadar ALT dan AST tikus setelah pemberian olive oil 2 mL/kgBB

pada jam ke-0 dan 24 Waktu pencuplikan

(jam ke-)

Purata kadar ALT ± SE (U/L)

Purata kadar AST ± SE (U/L)

Jam ke-0 47,80 ± 2,75 129,00 ± 2,49

Jam ke-24 49,20 ± 1,07 127,00 ± 2,30

Berdasarkan hasil pengukuran aktivitas kadar serum ALT dan AST (tabel X), dapat dinyatakan bahwa hasil tersebut berbeda tidak bermakna. Selanjutnya dilakukan analisa Paired-Sample T Test untuk memastikan perbedaan. Hasil dari analisa Paired-Sample T Test untuk pengukuran ALT menunjukkan bahwa p = 0,716 pada jam ke-0 dan p 0,345 pada jam ke-24. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengukuran tersebut berbeda tidak bemakna dengan p>0,05, yang dapat diartikan bahwa tidak ada kenaikan/penurunan kadar ALT maupun AST yang signifikan antara jam ke-0 dan jam ke-24. Hasil analisa Paired-Samples T Test ditampilkan lewat tabel XI, tabel XII, gambar 11, dan gambar 12.

Tabel XI. Hasil Paired-Samples T Test kadar ALT tikus setelah pemberian olive oil 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24

Waktu pencuplikan (jam ke-) Kadar ALT jam ke-0 Kadar ALT jam ke-24

Jam ke-0 BTB

Jam ke-24 BTB

Keterangan tabel: BTB = Berbeda Tidak Bermakna

Tabel XII. Hasil Paired-Samples T Test kadar AST tikus setelah pemberian olive oil 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24

Waktu pencuplikan (jam ke-) Kadar AST jam ke-0 Kadar AST jam ke-24

Jam ke-0 BTB

Jam ke-24 BTB

Gambar 12. Diagram batang purata kadar AST tikus jantan galur Wistar setelah pemberian olive oil 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24

Berdasarkan anlisa statistika diatas, dapat dinyatakan bahwa olive oil sebagai kontrol negatif tidak memberikan efek hepatotoksi.

2. Kotrol hepatotoksin CCl4 dosis 2 mL/KgBB

Kontrol hepatotoksin bertujuan untuk melihat pengaruh dari pemberian CCl4 terhadap kerusakan organ hati yang dilihat dari kenaikan kadar aktivitas serum ALT dan AST pada tikus percobaan. Pengukuran dilakukan setelah 24 jam Gambar 11. Diagram batang purata kadar ALT tikus jantan galur Wistar setelah

penginjekan hepatotoksin dengan dosis 2 mL/KgBB. Organ hati dinyatakan rusak jika kadar ALT dan AST menunjukkan hasil yang tinggi. Kemudian hasil yang didapat dibandingkan dengan kontrol negatif untuk melihat efek yang ditimbulkan dari hepatotoksin.

Data kadar ALT yang didapatkan 178,80 ± 7,47 U/L dan kadar AST yang didapatkan 451,00 ± 32,21 U/L. Pada penelitian ini peyakit hati yang diinginkan adalah steatosis (perlemakan hati). Penyakit hati dinyatakan steatosis jika kenaikan kadar ALT dan AST sebesar 3 atau 4 kali lipat dari kadar normal (Paschos dan Paketas, 2009). Berdasarkan hasil perbandingan antara kontrol negatif dengan kontrol CCl4 didapatkan kenaikan kadar ALT sebesar 3,6 kali lipat sedangkan untuk kadar AST terjadi kenaikan sebesar 3,55. Kenaikan tersebut mendekati 4 kali lipat sehingga dapat dinyatakan bahwa tikus yang terinduksi CCl4 mengalami steatosis seperti yang diharapkan.

Berdasarkan uji statistika yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kontrol hepatotoksin dengan kontrol olive oil dimana teradi peningkatan kadar pada yang cukup signifikan pada perlakukan CCl4 jika dbandingkan dengan kontrol olive oil, hal ini dapat dilihat dari nilai siginifikansi dari kadar aktivitas serum ALT p = 0,00 dan kadar aktivitas serum AST p = 0,003. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pemberian hepatotoksin CCl4 dapat menyebabkan hepatotoksik pada hewan uji.

3. Kontrol perlakuan ekstrak etanol 70% daun jarong 400 mg/KgBB

Tujuan dari dilakukan kontrol perlakuan ekstrak etanol 70% daun Jarong dengan dosis 400 mg/KgBB selama enam jam untuk melihat pengaruh pemberian

ekstrak terhadap kadar aktivitas serum ALT dan AST tanpa diberikan karbon tetraklorida. Dengan pengujian perlakuan pada dosis tertinggi dari ketiga peringkat dosis diharapkan dosis tertinggi ini memiliki efek sehingga dosis yang lebih rendah diperkirakan juga memiliki efek.

Hasil yang didapat pada kontrol perlakuan ini untuk kadar aktivitas serum ALT 51,20 ± 0,86 U/L sedangkan kadar kativitas serum AST sebesar 127,80 ± 2,65 U/L. Berdasarkan hasil uji statistika, kadar aktivitas serum ALT dan AST berbeda tidak bermakna dengan kontrol olive oil dengan nilai p = 1,000 (ALT) dan p = 151 (AST). Sehingga dapat dinyatakan bahwa pemberian ekstrak tidak mempengaruhi kadar aktivitas serum ALT maupun AST.

4. Kelompok perlakuan esktrak etanol 70% daun jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl.) pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida

Pengujian kelompok perlakuan ini bertujuan untuk melihat efek hepatoprotektif ekstrak etanol daun jarong (S. indica) pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida dengan melihat ada atau tidaknya penurunan kadar aktivitas serum ALT maupun AST. Dosis yang digunakan dalam pengukuran ini merupakan dosis bertingkat, yaitu 100, 200, dan 400 mg/KgBB.

Hasil uji statistika perlakuan ekstrak etanol 70% S. indica dengan dosis 100 mg/KgBB menunjukkan kadar aktivitas serum ALT sebesar 129,40 ± 4,36 U/L berbeda bermakna (p = 0,008) terhadap kontrol CCl4 (178,80 ± 7,47) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar ALT, sedangkan pada perbandingan kelompok dosis 100 mg/KgBB dengan kontrol olive oil (ALT = 49,20 ± 1,07 U/L)

menunjukkan perbedaan yang bermakna (p = 0,008), sehingga dapat diartikan bahwa terjadi penurunan kadar ALT tetapi belum mencapai kadar normal. Kadar aktivitas serum AST sebesar 363,80 ± 10,92 U/L menunjukkan adanya perbedaan tidak bermakna (p = 0,261) terhadap kontrol CCl4 (178,80 ± 7,47), hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya penurunan kadar AST, sedangkan perbandingan kadar AST kelompok dosis 100 mg/KgBB dengan kontrol olive oil (127,00 ± 2,30 U/L) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p = 0,000) yang menunjukkan bahwa kadar AST belum dapat mencapai kadar normal. Hasil statistika yang diperoleh efek pemberian ekstrak etanol 70% daun jarong dengan dosis 100 mg/KgBB tidak mempunyai efek hepatoprotektif karena tidak dapat menurunkan kedua kadar, yaitu ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi CCl4.

Kelompok perlakuan ekstrak etanol 70 % daun S. indica dengan dosis 200 mg/KgBB menunjukkan hasil kadar aktivitas serum ALT (139,20 ± 5,63 U/L) dibandingkan dengan kontrol CCl4 (178,80 ± 1,07 U/L) menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p = 0,008) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar ALT, sedangkan jika dosis 100 mg/KgBB dibandingkan dengan kontrol olive oil (49,20 ± 1,07 U/L) menunjukkan perbedaan yang bermakna (p = 0,008) yang menunjukkan bahwa terjadinya penurunan kadar ALT tetapi belum mencapai kadar normal. Pada kadar AST, perbandingan dosis 100 mg/KgBB menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna (p = 0,416) terhadap kontrol CCl4 (451,00 ± 32,21 U/L) yang berarti tidak ada penurunan kadar AST, sedangkan jika dibandingkan dengan kontrol olive oil (127,00 ± 2,30 U/L) menunjukkan adanya perbedaan yang

Dokumen terkait