• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

E. Tata Cara Penelitian

Tanaman jarong yang diperoleh dari kebun obat kampus III Universitas Sanata Dharma, Paingan, Maguwoharjo. Tanaman jarong dideterminasi dengan mencocokkan morfologi tanaman jarong dengan buku acuan (van Steenis, 1992). Determinasi dilakukan dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji dipetik dari Kebun Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Daun dipilih yang ideal, yaitu dipetik dengan batas tiga daun dari bawah maupun dari atas dan dilakukan pada bulan Juli-Agustus saat pagi hari. Daun yang telah didapat disortasi dan dicuci bersih dengan air mengalir. Setelah bersih, daun diangin-anginkan dengan ditutup kain hitam hingga tidak tampak basah kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 40oC selama 48 jam. Penetapan suhu berdasarkan aturan Direktorat Jenderal Obat dan Makanan Republik Indonesia (1985) dimana disebutkan bahwa pengeringan dilakukan pada suhu antara 30-90oC.

3. Pembuatan serbuk

Daun yang telah benar-benar kering (mudah dihancurkan dengan cara diremas), daun kering diserbuk dan diayak menggunakan ayakan nomor mesh 40 supaya kandungan fitokimia dalam daun S. indica (L.) Vahl. lebih mudah terekstrak karena luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut semakin besar.

4. Penetapan kadar air serbuk daun S. indica

Serbuk daun S. indica (L.) Vahl. dimasukkan ke dalam alat moisture balance sebanyak 5 gram, lalu diratakan. Bobot serbuk tersebut ditetapkan sebagai bobot sebelum pemanasan, setelah itu dipanaskan pada suhu 105oC selama 15 menit. Serbuk yang telah dipanaskan ditimbang kembali lalu dihitung sebagai bobot setelah pemanasan. Kadar air serbuk simplisia yang baik tidak adalah <10%. Perhitungan kadar air serbuk diperoleh menggunakan rumus:

� � � � � − � � � � ℎ �

5. Uji tabung kandungan polifenol serbuk daun jarong

Uji kandugan polifenol dilakukan dengan menambahkan 10 mL aquadest pada sebuah tabung berisi 2 g serbuk daun jarong dan 10 mL etanol 70% pada tabung lain yang juga berisi 2 g serbuk daun jarong. Kedua tabung didihkan di atas penangan air, kemudian dilakukan penyaringan. Setelah dingin, filtrat diteteskan FeCl3 sebanyak 3 tetes. Hasil positif adanya polifenol ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau-biru (Wulandari dan Hartini, 2015).

6. Pembuatan pelarut etanol 70%

Etanol 96% diencerkan dengan menggunakan rumus V1.C1 = V2.C2, dimana etanol 96% diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasinya menjadi 70%

7. Pembuatan ekstrak kental daun S. indica

Serbuk daun jarong sebanyak 30 g diekstraksi dengan etanol 70% sebanyak 300 mL dengan metode maserasi menggunakan shaker selama 24 jam (Gunawan, Soegihardjo, Mulyani, Wahyuningsih, dan Sudarto, 1993). Kemudian dilakukan remaserasi satu kali dengan perlakuan sama dengan maserasi awal. Ekstrak cair yang diperoleh dari maserasi dan remaserasi diuapkan pelarutnya dengan vacuum rotary evaporator. Hasil evaporasi yang didapat kemudian dituangkan dalam cawan porselin yang telah ditibang terlebih dahulu beratnya untuk menghitung rendemen ekstrak kental kemudian diuapkan dengan waterbath sampai menjadi ekstrak kental dan bobot tetap. Menurut Farmakope Herbal Indonesia, ekstrak kental dicapai ketika tercapai bobot tetap, yakni apabila perbedaan dua kali penimbangan berturut-turut setelah dikeringkan selama 1 jam tidak melebihi 0,5

mg pada penimbangan dengan timbangan analitik. Rendemen ekstrak kental didapat dari persamaan berikut:

� � × %

8. Pembuatan CMC-Na 1%

CMC-Na ditimbang kurang lebih 1,0 g. Kemudian dilarutkan dengan cara disebarkan didalam erlenmeyer yang berisi aquadest 40 mL selanjutnya ditambhakan lagi 60 mL aquadest.

9. Penetapan dosis ekstrak etanol 70% daun S. indica (L.) Vahl.

Penentuan dosis ekstrak etanol 70% mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Joshi et al. (2010) yang menyebutkan bahwa dosis efektif ekstrak etanol daun jarong adalah 200 mg/kgBB. Dosis ini dijadikan sebagai dosis tengah. Penelitian ini menggunakan tiga peringkat dosis dengan faktor kelipatan 2 sehingga dosis rendah sebesar 100 mg/kgBB, dosis tengah sebesar 200 mg/kgBB, dan dosis tinggi 400 mg/kgBB.

10.Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis hepatoksin

Penetapan dosis hepatotoksin dilakukan melalui studi literatur yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) yang menyebutkan bahwa dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati tikus jantan galur Wistar adalah 2 mL/kgBB dimana volume CCl4 sama dengan volume minyak zaitun (1:1). Pemilihan dosis hepatoksin ini karena pada dosis tersebut, terjadi kerusakan sel-sel hati dari tikus jantan galur Wistar yang terdeksi

dari kenaikan serum ALT dan AST, namun tidak sampai menyebabkan kematian pada tikus jantan sebagai subjek penelitian tersebut (Janakat & Al-Merie, 2002). b. Penetapan waktu pencuplikan darah

Waktu pencuplikan darah diperoleh dengan cara melakukan orientasi dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yakni pada waktu ke- 0, 24, dan 48 jam. Kemudian diukur kenaikan aktivitas AST-ALT. Penelitian terdapat sebelumnya yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas ALT pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida yang dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan (1:1), yakni dengan dosis 2 mL/kgBB. Peningkatan aktivitas maksimal terjadi pada jam ke-18 dan jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida secara injeksi dan kemudian berangsur menurun pada jam ke-48 dan terjadi perbaikan sel hati setelah 3 hari pemberian hepatotoksin (Janakat, Al- Merie, 2002).

11.Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Tikus jantan galur Wistar yang diperlukan sebagai hewan uji adalah sebanyak 36 ekor yang kemudian akan dibagi kedalam 6 kelompok secara acak sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol negatif diberi minyak zaitun dosis 2 mL/kgBB secara i.p., kemudian setelah 24 jam dilakukan pengambilan darah. Kelompok II (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi larutan karbon tetraklorida dalam minyak zaitun (1:1) dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitonium (i.p.), setelah 24 jam dilakukan pengambilan darah. Kelompok III (kelompok kontrol ekstrak) yakni diberi ekstrak etanol daun Stachytarpheta indica (L.) Vahl. dengan dosis tertinggi (400 mg/kg BB) secara peroral, kemudian setelah enam jam

dilakukan pengambilan darah. Kelompok V-VI (kelompok perlakuan uji yang diberikan ekstrak etanol daun Stachytarpheta indica (L.) Vahl. dengan dosis bertingkat yakni 100 mg/KgBB; 200 mg/KgBB; dan 400 mg/KgBB kemudian enam jam setelah pemberian ekstrak etanol 70% daun jarong dilakukan induksi dengan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal (Alkreathy, Khan, Khan, & Sahreen, 2014). Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata sebanyak 1 mL untuk penetapan aktivitas ALT dan AST pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida.

12.Pembuatan serum

Darah yang diambil melalui sinus orbitalis mata menggunakan pipa kapiler ditampung dalam tabung Eppendorf sebanyak 1 mL (Office of Animal Care and Use, 2015). Kemudian darah yang diambil didiamkan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 15 menit (Egbung, Atangwho, Itam, & Essien, 2012).

13.Pengukuran aktivitas ALT-AST

Pengukuran aktivitas serum ALT-AST dilakukan menggunakan Microlab-200 Merck® di Laboratorium Biokimia Fisiologi Manusia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Aktivitas serum ALT-AST diukur pada panjang gelombang 340 nm, dan dinyatakan dengan satuan U/L. Kisaran nilai ALT serum kontrol DiaSys Trulab N series yakni 29,8-77,0 U/L. Tahap analisis ALT dilakukan dengan mengambil sejumlah 100 µL serum dicampurkan dengan 1000 µL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 µL reagen II dan divortex selama 5 detik.

Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II (DiaSys, 2012).

Tahap analisis ALT dilakukan dengan mengambil sejumlah 100 µL serum dicampurkan dengan 1000 µL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 µL reagen II dan divortex selama 5 detik. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II. Tahap analisis AST dilakukan dengan cara yang sama, yakni dengan mengambil sejumlah 100 µL serum dicampurkan dengan 1000 µL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 µL reagen II dan divortex selama 5 detik. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II (DiaSys, 2012).

Dokumen terkait