• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 PENYIAPAN KONDISI PEMUNGKIN IMPLEMENTASI REDD+

Pendahuluan

Indonesia telah sepakat untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Terbentuknya 120 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di seluruh Indonesia pada periode 2010 sampai 2014 di seluruh provinsi di Indonesia merupakan sasaran yang harus dicapai Kementerian Kehutanan Republik Indonesia guna menurunkan emisi GRK sebesar 31.25 juta ton CO2e18.

Konsep emisi gas rumah kaca terdiri dari kata ”emisi” dan frase ”gas rumah kaca” atau GRK. Emisi merupakan zat, energi dan / atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/ atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/ atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. GRK, dalam definisi IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), merupakan gas-gas di atmosfer, baik berupa gas alami maupun yang dihasilkan oleh manusia, yang menyerap dan memancarkan radiasi pada panjang gelombang tertentu di dalam spektrum radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi, oleh atmosfer itu sendiri maupun oleh awan (Muhajir 2010).

Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation in

developing countries-REDD) merupakan istilah yang diperkenalkan oleh

Indonesia pada konferensi para pihak ke-13 (Conference of the Parties ke 13 -

COP13), Desember 2007, di Bali. Definisi resmi Indonesia tentang REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan lahan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan (Muhajir 2010).

REDD dalam pelaksanaannya merujuk pada dua hal. Pertama, proses pembentukan mekanisme pembayaran kepada negara berkembang yang telah mengurangi emisinya lewat pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan. Kedua, ia merujuk pada aktivitas persiapan bagi negara agar terlibat dalam mekanisme REDD, yang setidaknya akan melakukan pengujian dan pengembangan metodologi, teknologi dan institusi pengelolaan hutan secara

berkelanjutan yang berupaya untuk mengurangi emisi karbon. Di Indonesa, rujukan kedua itu dikenal dengan istilah Demonstration Activities (DA).

Kompensasi terhadap pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan secara hukum dimulai dalam COP13 di Bali, 200719. Dalam Bali Action Plan (BAP) disebutkan bahwa : ”Tindakan mitigasi internasional/nasional

mencakup deforestasi dan degradasi tapi juga menyangkut konservasi, sustainable

management of forest (SMF), perluasan stok karbon di negara-negara

berkembang”. Berdasarkan BAP ini cakupan REDD adalah deforestasi, degradasi, perluasan stok karbon, konservasi, dan SMF.

REDD+ adalah tindakan mitigasi internasional/nasional perubahan iklim mencakup deforestasi dan degradasi tapi juga menyangkut konservasi, sustainable forest management (SFM)20 / sustainable management of forest (SMF),

aforestasi21 dan reforestasi22 (Steni 2010).

Dalam pelaksanaan kegiatan REDD+ penting diperhatikan adanya kegiatan pengaman (safeguards) yang memperhatikan pada masalah sosial dan lingkungan, dan dari konservasi keanekaragaman hayati hingga ke hak-hak masyarakat atas hutan, guna mengantisipasi pengalihan kegiatan yang mengakibatkan peningkatan emisi di tempat lain (Sikor dan Tan 2011).

Kejelasan hak atas atas lahan (Purchasing Land Use Right-PLR), hak atas hutan, dan hak atas karbon perlu didefinisikan dengan baik. Hak-hak tersebut perlu didaftarkan pada jenis hak atas tanah (land title) dan idealnya harus diterapkan secara terus-menerus atau dibentuk dalam jangka waktu yang lama untuk memastikan kelanggengan bagi pembeli karbon (Cotula dan Mayers 2010).

Australia adalah salah satu negara pertama yang membentuk hak atas karbon, yang merupakan adaptasi dari hak „profit a prendre’ yang tradisional (didefinnisikan sebagai hak untuk mengambil keuntungan dari sesuatu dari lahan orang lain) (Cotula dan Mayers 2010). Di New Zealand tahun 2002 menahan kepemilikan kredit atau debit karbon yang berasal dari perkebunan di atas lahan publik dan pribadi, kemudian dicatat sebagai penyumbang penurunan emisi yang signifikan dalam wilayah produksi hutan, diprotes oleh industri hutan, sehingga tahun 2007 kebijakan ini pada akhirnya dibalikkan, dengan kredit dan pertanggungjawaban hukum terkait (associated liabilities) dipindahkan kepada

19

Perjuangan ini diperjuangkan Papua Nugini sebelum COP 11 di Montreal tahun 2005 dengan menggandeng Kosta Rika yang kemudian didukung enam Negara pihak lain yakni : Bolivia, Republik Afrika Tengah, Chili, Kongo, Republik Dominika dan Nikaragua

20

Sustainable forest management adalah praktek yang sistemik untuk menjaga dan menggunakan tanah berhutan yang bertujuan memenuhi fungsi sosial, ekonomi dan ekologi hutan yang televan (termasuk keanekaragaman hayati) melalui cara yang berkelanjutan.

21

Aforestasi dimaksudkan sebagai : (1) konversi akibat tindakan langsung manusia, (2) tidak berhutan selama paling tidak 50 tahun, dan (3) dihutankan kembali lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah.

22

Reforestasi adalah berkaitan dengan : (1) konversi akibat tindakan langsung manusia dari tidak berhutan menjadi berhutan, (2) metodenya lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah di daerah yang dulunya berhutan tapi telah dikonversi menjadi daerah yang tidak berhutan, dan (3) untuk komitmen pertama (2008-2012) tindakan reforestasi dibatasi pada reforestasi yang akan dilakukan pada wilayah-wilayah yang tidak berhutan pada 31 Desember 1989.

para pemilik hutan (Peskett dan Harkin 2007). Bagaimana dengan konstuksi hak atas lahan, hak atas pohon, hak atas hasil hutan, dan hak atas karbon di Indonesia?

Kerangka pengaman (safeguards) merupakan sebuah kriteria dan indikator yang tercakup di dalam kebijakan nasional untuk memastikan bahwa pelaksanaan REDD+ tidak menyimpang dari tujuan awalnya. Pada dasarnya sistem pengaman diterapkan dengan tujuan untuk mengidentifikasi resiko-resiko yang terkait dengan isu sosial, isu tata kelola keuangan dan isu dampak terhadap lingkungan hidup (Satgas REDD+ 2012).

Kegiatan pengaman (safeguards) yang dipersyaratkan oleh Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Perubahan Iklim (United

Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC):

1. Koherensi dan konsistensi kebijakan nasional dengan tujuan dari konvensi dan perjanjian internasional yang relevan (National policy coherence and consistency with the objectives of relevant international conventions and agreements).

2. Struktur pengaturan hutan nasional yang transparan dan efektif (Transparent and effective national forest governance structures).

3. Menghormati pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan anggota masyarakat setempat (Respect for the knowledge and rights of indigenous peoples and members of local communities).

4. Partisipasi yang penuh dan efektif dari pemangku kepentingan yang relevan, khususnya, masyarakat adat dan masyarakat lokal (Full and effective participation of relevant stakeholders, in particular, indigenous peoples and local communities).

5. Konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati (Conservation of natural forests and biological diversity).

6. Tindakan untuk mengatasi risiko pembalikan (Actions to address the risks of reversals).

7. Tindakan untuk mengurangi perpindahan emisi (Actions to reduce displacement of emissions).

Indonesia merencanakan strategi pengaman kegiatan REDD+ dalam Stranas REDD+ yang diantaranya menyangkut prinsip: 1) jaminan bahwa proyek atau program REDD+ melindungi dan mengakui hak masyarakat adat/lokal atas sumber daya alam yang tidak hanya berbasis pada bukti formal tetapi juga penguasaan dan klaim secara historis, 2) indikator yang menjamin pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat dan lokal untuk menyatakan keputusannya atas sebuah kegiatan REDD+ di wilayah mereka. Indikator ini dikembangkan dari prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), yang merupakan penjabaran dari prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC), dan 3) indikator untuk memastikan bahwa sebelum kegiatan REDD+ dilaksanakan, terdapat suatu mekanisme penyelesaian konflik apabila terdapat konflik dan untuk mengatasi apabila terjadi konflik di masa yang akan datang.

Di Indonesia prinsip, kriteria dan indikator safeguards ini disebut dengan PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguard Indonesia) (Steni 2013). PRISAI mencakup empat kategori safeguard, yakni safeguards sosial, lingkungan, tata

kelola dan keuangan. Kriteria dan indikator yang sudah dikembangkan adalah tiga safeguards pertama. Sementara safeguards keuangan sudah mempunyai sejumlah prinsip namun kriteria dan indikatornya dikembangkan secara terpisah dengan mempertimbangkan manajemen dan pihak yang terlibat dalam pengelolaan dana. Ada 10 prinsip PRISAI yang menyangkut Tata Kelola Sosial Lingkungan (Steni 2013). PRISAI tata kelola mencakup tiga prinsip (Prinsip 1-3) yang umumnya berkaitan dengan kebijakan: 1) melengkapi atau konsisten dengan target pengurangan emisi, hukum nasional, konvensi dan kesepakatan internasional terkait; 2) memperbaiki tata kelola kehutanan; 3) informasi yang transparan, terlembagakan dan akuntabel. PRISAI Sosial berhubungan dengan kebijakan dan implementasi lapangan, terdiri dari empat prinsip (Prinsip 4-7): 4) memastikan status hak atas tanah dan wilayah; 5) menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; 6) partisipasi penuh, efektif dan berkeadilan gender dari semua pemangku kepentingan; dan 7) manfaat REDD+ dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan. PRISAI Lingkungan terdiri dari tiga prinsip (Prinsip 8-10): 8) mendukung keanekaragaman hayati, perlindungan hutan alam dan jasa lingkungan; 9) aksi untuk menangani resiko balik; dan 10) aksi untuk mengurangi pengalihan emisi.

Isu penyelesaian konflik tenurial akan memastikan pemegang hak atas karbon pada tataran berikutnya. Oleh karenanya kerangka pengaman kegiatan REDD+ (safeguards) perlu dilaksanakan ketika REDD+ diimplementasikan. Pembentukan KPH merupakan salah satu sasaran kegiatan penurunan emisi GRK adalah amanat Perpres 61/2012 tentang RAN GRK. Selanjutnya KPH diharapkan memiliki peran dalam penyelesaian konflik yang diatur dalam Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah, yakni mencegah wilayah yang dikuasai masyarakat masuk dalam KPH atau memberikan kesempatan kepada mereka untuk masuk dalam skema-skema pengelolaan hutan oleh masyarakat. UU No.7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial mengamanatkan bahwa daerah dimandatkan melakukan pencegahan dan penanganan konflik sosial, dimana KPH adalah sebagai kelembagaan daerah yang menangani kehutanan, yang dimaknai memiliki tanggungjawab untuk mengimplementasikannya.

Dari 10 peran atau fungsi dari KPH (Firdaus 2012) ada empat peran yang menurut penulis berkaitan dengan kegiatan REDD+, yakni: a) menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan, tepat pendanaan, b) menjembatani optimalisasi pemanfaatan potensi pendanaan dari sumber yang tidak mengikat (al: bantuan negara donor, perdagangan karbon) untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat, c) untuk mendukung fungsi MRV (measurement, reporting, verification) dalam proses penanganan perubahan iklim, dan d) untuk meningkatkan keberhasilan penanganan rehabilitasi hutan dan reklamasi, karena KPH akan menjalankan penanaman, pemeliharaan, pendataan, perlindungan, serta monitoring dan evaluasi.

Bagaimana implementasi REDD+ di lapangan? Bagaimana KPH mengimplementasikan Prisai Sosial? Bagaimana KPH mengimplementasikan

Prisai Lingkungan? Apakah hak atas lahan, hak atas pohon, hak atas hasil hutan termasuk karbon memungkinkan REDD+ diimplementasikan?

Metode Data yang Diperlukan dan Pengumpulan Data

Untuk dapat memperoleh kejelasan masalah yang diteliti dalam penelitian ini diperlukan berbagai jenis data baik primer maupun sekunder. Data sekunder berupa data penetapan kawasan hutan (KPH), peraturan-peraturan terkait GRK. REDD+, penetapan kawasan hutan, data penggunaan lahan, data penutupan lahan, data administratif dan data keadaan umum wilayah sekitar kawasan lokasi penelitian, serta data penunjang lain yang dikumpulkan melalui penelaahan pustaka, laporan. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian melalui wawancara, diskusi terfokus (focus group discussion- FGD) maupun data hasil observasi peneliti. Data tersebut berkaitan dengan PRISAI Sosial yang berhubungan dengan kebijakan dan implementasi lapangan, terdiri dari empat prinsip (Prinsip 4-7): 4) memastikan status hak atas tanah dan wilayah; 5) menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; 6) partisipasi penuh, efektif dan berkeadilan gender dari semua pemangku kepentingan; dan 7) manfaat REDD+ dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan. PRISAI Lingkungan terdiri dari tiga prinsip (Prinsip 8-10): 8) mendukung keanekaragaman hayati, perlindungan hutan alam dan jasa lingkungan; 9) aksi untuk menangani resiko balik; dan 10) aksi untuk mengurangi pengalihan emisi. Analisis Informasi

Penelitian ini menggunakan kerangka kerja RaTA (Galudra et al. 2010) dimana pada bab ini fokus pada tahap kelima, yakni analisis kebijakan. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil Pemerintah Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan (Winarto 2006).

Analisis kebijakan memerlukan pemahaman dari apa yang nyata dan apa yang laten. Kebijakan nyata dapat mendukung keadilan, kesejahteraan masyarakat, sementara kebijakan laten melibatkan hukum tersembunyi dalam kebijakan tertentu. Dunn (2003) menyatakan bahwa analis kebijakan perlu meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Untuk meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan peran KPH dalam implementasi REDD+ di KPHPL peneliti menggunakan perangkat analisis kebijakan dari Baginski dan Soussan (tanpa tahun) yang melibatkan :1) review peraturan, 2) wawancara dengan aktor kunci, dan 3)verifikasi lapangan (Baginski dan Soussan. tanpa tahun), khususnya mengenai isi kebijakan dan implementasinya untuk meramalkan masa depan kebijakan (Dunn 2003). Review peraturan dilakukan dengan menganalisis isi dokumen (content analysis)

peraturan yang berkaitan dengan KPH dan implementasi REDD+. Wawancara terhadap aktor kunci akan dilakukan terhadap aktor-aktor yang berkaitan dengan implementasi kebijakan REDD+ dari element pemerintah (Kepala KPH, Kepala Dinas Kehutanan¸ Kepala Dinas Perkebunan, Kepala Dinas Pertanian Tanaman

Pangan dan Hortikultura, Sekretaris BAPPEDA, Kepala BPKH, dan instansi terkait lainnya), masyarakat sipil, akademisi, lembaga donor, serta lembaga non pemerintah. Verifikasi lapangan dilakukan dengan melihat aktifitas-aktifitas yang telah dilakukan KPHPL dalam implementasi REDD+.

Data dan informasi yang dikumpulkan dalam analisis studi kebijakan ini menyangkut analisis implementasi kebijakan yang merupakan satu dari empat cara analisis kebijakan yang disarankan Galudra et al. (2010). Analisis implementasi kebijakan memokuskan analisis pada implementasi kebijakan yang berlaku saat ini, kesulitan-kesulitan di lapangan yang dihadapi bila kebijakan dilaksanakan, dan mencatat alternatif yang dapat dilaksanakan di lapangan.

Hasil dan Pembahasan

Skema REDD+, pada 2012 saat penelitian ini dilakukan, masih dalam tahap akhir persiapan (readiness) dan belum benar-benar dilaksanakan, oleh karena itu implementasi REDD+ di lapangan tentunya baru dapat dilihat pada tataran persiapan. Implementasi tersebut dapat ditinjau dari persiapan pelaksanaan prisai sosial dan lingkungan. Sedang prisai tata kelola belum dapat tinjau persiapannya karena REDD+ belum dilaksanakan. Pendefinisian pemegang hak atas lahan, hak atas pohon, hak atas hasil hutan termasuk karbon saat ini dapat digunakan untuk memprediksi keamanan tenurial (tenure security) terhadap kelestrian hutan maupun kompensasi REDD+.

Sumatera Selatan adalah provinsi yang termasuk kategori memiliki respon yang baik terhadap isu REDD+ meskipun bukan merupakan provinsi percontohan REDD+. Demikian juga kabupaten Musi Rawas di Sumatera Selatan merskipun tidak memiliki kegiatan percontohan (Demonstration Activity-DA) REDD+ namun memiliki respon yang tinggi terhadap REDD+. Hal yang dapat dilaporkan dari impelementasi REDD+ di daerah adalah aksi-aksi pengurangan emisi (RAD GRK) yang dilakukan, penempatan peran KPH ditempatkan di daerah dan persiapan-persiapan yang dilakukan para pihak khususnya KPH dalam menjalankan prisai sosial dan lingkungan.

RAD-GRK di Sumatera Selatan

Menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), Provinsi Sumatera Selatan membentuk Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Perubahan Iklim. Pembentukan tim ini dituangkan dalam Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 465/KPTS/Bappeda/2011 tentang Pembentukkan Tim koordinasi dan Kelompok Kerja Perubahan Iklim Provinsi Sumatera Sekatan. Tim ini diketuai oleh Kepala Bappeda Sumsel yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur. Wakil ketua tim koordinasi Kepala BLH Provinsi Sumsel dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel. Dalam Tim ini ada beberapa kelompok kerja. Adapun pokja dalam keputusan tersebut adalah Pokja Adaptasi, Pokja Mitigasi, dan Pokja REDD+.

REDD+ di Sumatera Selatan

Sebagai salah satu anggota Pokja Perubahan Iklim, Pokja REDD+ Sumsel mengemban tugas antara lain meliputi (1) perumusan arah kebijakan konservasi karbon, (2) identifikasi dan inventarisasi penggunaan lahan, ancaman kerusakan lahan akibat pembangunan, (3) identifikasi dan inventarisasi keanekaragaman hayati dan vegetasi, (4) menyiapkan hukum dan peraturan terkait konservasi karbon dan (5) pengumpulan data pemantauan lapangan terkait kegiatan konservasi karbon.

Pokja REDD+ diketuai oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel dengan wakil Kepala Bidang Penataan Ruang Bappeda Provinsi dan sekretaris pokja REDD+ adalah Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel. Anggota Pokja REDD+ terdiri dari Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan BLH Provinsi Sumsel, Sekretaris Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel, Kasi Pengolahan Data dan Informasi Bappeda, dan Kasubid Pengedalian Pencemaran BLH Sumsel dan anggota tidak tetap.

Pokja REDD+ ini telah melakukan banyak aktivitas terkait dengan REDD+ sejak tahun 2011. Banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh Pokja REDD+ Sumsel diantaranya melakukan konsolidasi di tingkat provinsi dalam rangka mempersiapkan Sumsel untuk menjadi propinsi percontohan implementasi REDD+, workshop-workshop untuk sosialisasi REDD+, pelatihan pengukuran karbon, penyusunan RAD GRK bidang kehutanan dan perkebunan, dan SRAP REDD+. Dalam menjalankan semua aktivitas ini Pokja REDD+ menggandeng donor dari lembaga-lembaga dari dalam dan luar negeri. Meski demikian Pokja REDD+ juga pernah melakukan aktivitas pelatihan pengukuran karbon dengan sumber dana APBD.

Sebelum terbentuk Pokja REDD+, Propinsi Sumsel mengajukan proposal kepada UNDP untuk mendapatkan biaya dari Satgas REDD+ untuk pilot propinsi percontohan REDD+ dengan dana dana dari LoI. Namun usaha tersebut belum berhasil.

Persiapan Sumsel untuk implementasi REDD+ juga terdapat dalam proyek Provision Baseline Data and Cadastral Maps for South Sumatra (PBDCMSS) di bawah Satgas REDD/UKP4 yang didanai UNDP. Fokus proyek ini diarahkan dalam penyediakan data dasar REDD+ yang dihimpun dan akan dikelola melalui Jaringan Data Spasial Provinsi (JDSP). Dalam pelaksanaan dilapangan proyek ini berkoordinasi dengan Pokja REDD+ dan Bappeda Provinsi Sumatera Selatan. JDSP adalah jaringan data yang perlu dikembangkan di provinsi sesuai dengan Perpres No. 85 tahun 2007.

Proyek PBDCMSS memiliki luaran berupa data dasar dan peta kadastral dalam rangka pengembangan dan implementasi REDD + di Provinsi Sumatera Selatan. Data dan peta tersebut disusun bersama, dikelola bersama dan dipakai bersama oleh para pemangku kepentingan berdasarkan kesepakatan bersama.

Perkembangan terkini dari proyek tersebut antara lain telah mengumpulkan berbagai data terkait status dan penggunaan lahan untuk keperluan REDD+ di tingkat provinsi. Informasi tersebut disajikan dalam atlas yang telah dikonsultasikan dengan stakeholder dan pada Januari 2013, kemudian dilakukan

perbaikan dan didistribusikan kepada stakeholder. Secara umum bahwa Propinsi Sumsel terlihat responsif terhadap kebijakan REDD+.

REDD+ di Musi Rawas

Kabupaten Musi Rawas telah membentuk Lembaga REDD+ melalui Keputusan Bupati No228/KPTS/Bappeda/2010 tentang Pembentukkan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program REDD+ Kabupaten Musi Rawas. Keputusan Bupati ini diperbaharui dengan SK No 277/KPTS/Bappeda/2011 terkait adanya penggantian ketua pokja REDD+ karena alasan mutasi.

Ketua Tim Koordinasi adalah Kepala Bappeda dengan wakil ketua Kepala Dinas Kehutanan dan sekretaris Kepala Badan Lingkungan Hidup. Keanggotaan Tim Koordinasi ini terdiri Kadis Perkebunan, Kadis Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kadis Pekerjaan Umum, Kadis Koperasi, Kabadan Penyuluhan, Kadis Pemberdayaan, Kadis Perindustrian, Kadis Pertanahan, Ketua KADIN, serta unsur perbankan. Ditinjau dari keanggotaan tim koordinasi nampaknya bukan hanya terdiri dari SKPD yang terkait dengan penggunaan lahan, namun sudah memasukkan dari sektor lain yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat, bisnis dan unsur perbankan.

Tugas Tim Koordinasi adalah (1) menyusun strategi dan program REDD+ sejalan dengan program yang sedang dan akan direncanakan pemda terkait dengan pemanfatan lahan dan pengelolaan sumberdaya hutan, (2)mengembangkan kegiatan pilot REDD+ berbasis masyarakat, (3) menyusun kerangka kerja pelaksanaan kegiatan pemantauan, pelaporan dan verifikasi kegiatan REDD+, (4) menyusun strategi pemasaran program REDD+ dan menggali potensi pendanaan daerah/nasional dan internasional untuk mendukung pelaksanaannya. Tugas ini dalam prakteknya akan dijalankan oleh Pokja REDD+.

Ketua Pokja REDD+ adalah Kabid Perlindungan Hutan dengan sekretaris Kasi Perencanaan yang keduanya berada dalam institusi Dinas Kehutanan Kabupaten Mura. Anggota dari Pokja REDD+ terdiri atas perwakilan Bappeda, sektor perkebunan, pertanian, pekerjaan umum, akademisi, LSM dan unsur masyarakat. Dilihat dari struktur organisasi Pokja REDD+ Mura tampak bahwa Dinas Kehutanan menjadi leading sektor untuk REDD+.

Upaya kabupaten Musi Rawas dalam merespon REDD+ diantaranya adalah Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dicadangkan seluas 20.375 ha. Proses pengajuan ijin HTR oleh kemompok masyarakat sedang dalam proses. Upaya lain adalah dengan melakukan pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang dilaksanakan tahun 2010 sebanyak 25 Unit dengan produksi 50.000 batang per unit dan ditanam sebanyak 1 250 000 bibit pada tahun 2011 (Retiyanto 2012). Kegiatan KBR tahun 2011 sebanyak 72 unit dengan produksi total sebanyak 3 600 000 batang. Jenis bibit yang diproduksi terdiri jenis karet (Hevea

spp) , bambang lanang (Michelia champaka), mahoni (Swietenia spp), meranti (Shorea spp), sengon (Paraserianthes sp), duku (Lansium spp), petai (Parkia

spp), tanjung (Mimusops elengi), gaharu (Aquilaria spp), cempedak (Artocarpus

spp), rambutan (Nephelium spp), medang (Litsea spp), afrika (Maesopsis spp), aren (Arenga spp). Penanaman bibit hasil KBR ini dilakukan oleh kelompok tani.

WG REDD+ Mura telah bekerjasama dengan pihak lain diantaranya dengan CERIndo, CCAP, FORDA-MoF dalam tema Establishing Integrated Forest Policies to Reduce Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation at the District Level pada tahun 2010 dan 2011. Dari hasil studi kerjasama ini diperoleh angka rata-rata deforestasi dan degradasi serta emisi rata-rata periode 2003-2006 di kabupaten Musi Rawas. Hasil kegiatan tahun 2010 dengan kerjasama ini adalah: 1) terbentuknya Working Group (WG) REDD23, 2) diterbitkannya SK Bupati Mura Nomor 228/Kpts/Bappeda/2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program REDD Kabupaten Musi Rawas, 3) peningkatan pemahaman tentang REDD di Mura terutama oleh WG REDD, dan dibuatnya Dokumen Demonstration Activity (DA) di empat lokasi