• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 STRATEGI RESOLUSI KONFLIK PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN

Penyelesaian konflik berdasarkan kontestasi kekuatan klaim sebagaimana dibahas pada Bab 2 dan berdasarkan gaya sengketa sebagaimana dibahas pada Bab 3 menghasilkan tiga pilihan penyelesaian yakni: 1) kompromi, 2) penegakan hukum, dan 3) pelepasan areal dari kawasan hutan. Penyelesaian melalui kompromi dalam penelitian ini telah difasilitasi KPH bersama mitra terkait melalui skema-skema pengelolaan hutan bersama masyarakat. Penyelesaian melalui skema pengelolaan hutan bersama masyarakat ini, meskipun belum tuntas yakni belum diterbitkannya Hak Pengelolaan Hutan Desa, tetapi hampir dapat mewujudkan legalitas dan legitimasi baik kawasan hutan maupun wilayah kelola

masyarakat. Penyelesaian melalui jalur hukum tidak ditemukan kasus penyelesaian dalam penelitian ini, meskipun penyelesaian melalui pelepasan berdasarkan peraturan tata batas dan pengukuhan kawasan hutan sejatinya masih berupa penyelesaian administratif berdasarkan bukti hukum semata yang tidak legitimate.

Penyelesaian melalui pilihan pelepasan kawasan hutan, yang memiliki karakteristik sumberdaya bersama (CPRs), perlu dilakukan melalui jalur luar pengadilan (out of court) yang perlu difasilitasi dan dimediasi oleh suatu lembaga penyelesaian konflik yang dapat dijangkau para pihak termasuk masyarakat di lapangan. Kelembagaan merupakan aturan main, norma, larangan, dan aturan yang mengatur dan mengontrol perilaku individu di masyarakat atau organisasi (North 1990). Mengingat KPH tidak memiliki kewenangan dalam mengakomodasi tuntutan para pihak dalam penyelesaian konflik tenurial, sebagaimana didiskusikan pada Bab 3, maka perlu diwujudkan lembaga lain untuk hal tersebut. Strategi kelembagaan penyelesaian konflik tersebut dapat dilakukan secara internal (Kementerian Kehutanan) maupun secara eksternal (melibatkan pihak di luar kementerian kehutanan) (Gambar 16).

Gambar 16 Skema Penguatan Organisasi Penyelesaian Konflik Tenurial

Secara internal kelembagaan penyelesaian konflik tenurial kehutanan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 33 tahun 2013 telah ditangani

tugasnya oleh dua institusi pada Kementerian Kehutanan yakni Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Pusat Pendalian Pembangunan Kehutanan. Pada Ditjen Planlogi Kehutanan terdapat Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan, dan Tenurial Kawasan Hutan dan pada Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan terdapat tugas dan fungsi Fasilitasi dan Mediasi Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan. Perumusan kebijakan penyelesaian konflik tenurial berada pada Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan, dan Tenurial Kawasan Hutan Ditjen Planologi sementara fasilitasi dan mediasi penyelesaian masalah tenurial dikoordinasikan oleh Pusdalbang Kementerian Kehutanan. Kedua lembaga ini terdapat di Pusat dan belum dapat menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia dalam waktu yang relatif cepat. Untuk itu diperlukan adanya organisasi sayap yang dapat menjangkau tingkat kabupaten atau provinsi. Organisasi tersebut dapat melekat pada Unit Pelaksana Teknis Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).

Merujuk kepada Peraturan Menteri Kehutanan terbaru Nomor P25 tahun 2014 peran fasilitasi dan mediasi konflik dapat dilakukan BPKH selaku Ketua Panitia Tata Batas. KPH dapat mendukung menyediakan informasi dan alternatif pilihan penyelesaian. Panitia Tata Batas merupakan institusi yang legitimate untuk menyelesaikan konflik kawasan hutan menurut P25/2014. Berdasarkan temuan penelitian ini PTB akan lebih baik bila dilengkapi dengan unsur fasilitasi dan mediasi konflik dari pihak ketiga. Pihak ketiga dimaksud dapat berasal dari organisasi non pemerintah (LSM) maupun dari kalangan akademisi.

Sesuai dengan temuan bahwa fasilitator dan mediator untuk penyelesaian konflik tenurial ini sebaiknnya adalah pihak yang bukan bagian dari konflik, maka sebaiknya organisasi ini bukanlah merupakan bagian dari Kementerian Kehutanan. Satuan tugas penyelesaian konflik tenurial dapat menjadi alternatif (eksternal) dengan mengkaitkan kepada amanat UU7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang penyebabnya adalah perasaan ketidakadilan distribusi alokasi sumberdaya alam (lahan). Organisasi ini juga merupakan pelimpahan urusan penyelesaian sengketa kawasan hutan. Namun pengembangan organisasi berdasarkan undang-undang ini masih memiliki kelemahan yakni bahwa konsentrasi pada penyelesaian konflik sosial ketika telah terjadi konflik terbuka sedangkan masalah tuntutan hak atas lahan tidak terjawab melalui mekanisme ini. Penyesuaian beberapa bagian undang-undang ini merupakan langkah yang dapat ditempuh untuk mewujudkan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.

Peraturan lain yang mendukung resolusi konflik tenurial kawasan hutan melalui jalur luar pengadilan adalah UU30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang Pedoman Mediasi di Pengadilan. Kesepakatan hasil mediasi penyelesaian konflik tenurial selanjutnya dapat didaftarkan status tenurial kawasan hutan. Pendaftaran tanah ini merujuk kepada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 8 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Bila langkah-langkah baik internal maupun eksternal dalam penyelesaian konflik pengelolaan kawasan hutan tersebut ditempuh, diharapkan kemantapan

kawasan hutan yang ditargetkan 80% kawasan pada tahun 2014 semakin mudah terwujud. Percepatan pemantapan kawasan hutan penting segera direalisasikan untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan lahan dimasa mendatang.

Perkembangan pedesaan kedepan dengan terbitnya Undang-Undang No6/2014 tentang Desa, desa akan berpotensi didukung anggaran rata-rata hingga Rp1.4 milliar pertahun (Suara Pembaharuan 2014) perlu diantisipasi oleh KPH selaku pengelola kawasan hutan. Dengan dilepaskannya pemukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial suatu desa dari kawasan hutan, dan desa dilindungi dengan undang-undang dan didukung pendanaan pembangunannya, maka desa akan terus bergeliat memperkuat pembangungan infrastrukturnya pula. Kawasan hutan disekitarnya kemungkinan menjadi ruang tumbuh pembangunan seiring dengan perkembangan penduduk desa. Untuk itu pemilihan lokasi pembangunan infrastruktur tersebut bila terpaksa harus di dalam kawasan hutan menjadi tugas penting KPH yang harus diantisipasi. Oleh karena itu perencanaan pengelolaan kawasan KPH yang cermat harus segera dilakukan, sehingga ketika terjadi tekanan pihak lain untuk penggunaan kawasan hutan, KPH telah memiliki berapa pilihan alternatif (Nurrochmat et al. 2012).

Penguatan hak-hak tenurial kawasan hutan, sebagaimana didiskusikan pada Bab 6, merupakan syarat penting yang diperlukan untuk mengukung implementasi skema REDD+. Skema REDD+ merupakan salah satu cara untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari (sustainable forest management-SFM), namun kriteria skema REDD+ yang ada lebih cenderung bertujuan menyelamatkan investasi negara pengemisi daripada kriteria kelestarian hutan (SFM). Kebijakan pemerintah Indonesia yang selama ini mengakomodasi, berdasarkan gaya sengketa, sudah selayaknya perlu mengajukan persyaratan ukuran kelestarian hutan dalam skema REDD+. Persyaratan kelestarian pengelolaan hutan tersebut salah satunya kepastian hak tenurial yang dapat dicapai melalui penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan.

8 SIMPULAN

Simpulan

Berdasarkan kontestasi kekuatan klaim penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan masih meninggalkan rasa ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya lahan dalam perspektif masyarakat. Melalui pendekatan gaya bersengketa diperoleh catatan perlunya kesesuaian gaya pihak yang berkonflik agar dapat ditempuh langkah penyelesaian dan perlunya intervensi pihak ketiga yang tidak terkait konflik. Terdapat empat catatan kritis atas peraturan yang tersedia untuk mengakomodasi permasalahan konflik tenurial yakni : absennya unsur tim yang dapat memfasilitasi dan memediasi penyelesaian konflik dalam Panitia Tata Batas, perbedaan persepsi istilah pemetaan partisipatif, ketidaksepakatan jenis dan komposisi jenis dalam skema pengelolaan lahan bersama masyarakat, dan belum kuatnya hak-hak tenurial termasuk kawasan hutan negara. KPH bukanlah institusi yang dapat menyelesaikan konflik tenurial kawasan hutan akan tetapi KPH memiliki peran penting dalam mengidentifikasi, memfasilitasi dan menentukan

pilihan penyelesaian konflik. Penataan hak-hak tenurial terhadap penggunaan kawasan hutan oleh berbagai pihak merupakan langkah penting yang harus ditempuh untuk menyiapkan kondisi pemungkin guna mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan termasuk diantaranya implementasi skema REDD+.

Mewujudkan kelembagaan penyelesaian konflik hingga dapat dijangkau para pihak termasuk masyarakat merupakan pilihan yang layak dipertimbangkan. Strategi kelembagaan penyelesaian konflik tersebut dapat dilakukan secara internal di Kementerian Kehutanan maupun secara eksternal. Memperkuat peran Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan hingga Unit Pelaksana Teknis Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) merupakan langkah internal. Memperkuat institusi Panitia Tata Batas dengan tambahan unsur fasilitator dan mediator penyelesaian konflik merupakan langkah praktis terdekat. Selain itu mewujudkan suatu lembaga seperti Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial merupakan alternatif eksternal.

Sebagai institusi di tingkat tapak, KPH memiliki peran penting pada semua strategi penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan. Peran KPH tersebut terkait identifikasi konflik, fasilitasi tindak lanjut pilihan, maupun rekomendasi arah penyelesaian konflik. Terlaksananya strategi kelembagaan penyelesaian konflik diharapkan membantu percepatan pemantapan kawasan hutan yang berkontribusi terhadap kepastian tenurial menghadapi tekanan kebutuhan lahan yang makin tinggi pada masa mendatang.

Implikasi Hasil Penelitian

Berdasarkan temuan penelitian ini masyarakat memiliki klaim sosial di lapangan sementara negara memiliki klaim hukum. Penyelesaian berdasarkan peraturan negara yakni peraturan Menteri Kehutanan mensyaratkan syarat-syarat legalitas kepemilikan tanah yang sejatinya merupakan klaim hukum. Oleh karena itu secara teoritis penelitian ini berimplikasi bahwa tidak tepat untuk membenturkan klaim hukum dengan klaim sosial. Klaim hukum menuntut legalitas sedangkan klaim sosial menuntut legitimasi.

Mengingat penyelesaian melalui jalur hukum dan administratif ternyata tidak mendapatkan penyelesaian yang berkeadilan maka secara kebijakan berimplikasi untuk mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan (out of court) atau alternative dispute resolution (ADR) dalam resolusi konflik tenurial kawasan hutan. Penyelesaian di luar pengadilan memerlukan fasilitator dan mediator yang dapat menjangkau semua pihak. Untuk wujudkan organisasi yang menjangkau semua pihak, maka implikasi kebijakan berikutnya adalah perlunya pemerintah membentuk organisasi penyelesaian konflik tenurial di daerah. Implikasi kebijakan yang lain adalah perlunya pemerintah mensyaratkan kriteria kelestarian hutan dalam setiap skema operasional seperti skema REDD+.

Analisis gaya bersengketa (AGATA) yang digunakan dalam penelitian ini tidak mengeksplorasi detil preferensi para pihak dalam menentukan gaya bersengketa. Oleh karena itu secara metodologis penggunaan AGATA akan lebih lengkap bila memperhatikan kekuatan politik, sosiologi politik dan politik hukum yang melandasi para pihak dalam menentukan gaya berkonflik.***