• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PERAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DALAM RESOLUSI KONFLIK KAWASAN HUTAN

Pendahuluan

Perkembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang terjadi hingga saat ini tidaklah terlepas dari sejarah perkembangan peran hutan terhadap peradaban manusia dan perkembangan interaksi manusia dengan hutan. Pada

tahap selanjutnya manusia mulai mengelola hingga mempertahankan keberadaan hutan dengan mengelola secara lestari.

Ketiadaan pengelola kawasan hutan di tingkat tapak akan mengakibatkan sulitnya menegakkan hak-hak atas kawasan hutan negara dari okupasi dan pemanfaatan tanpa ijin yang sah atau disebut ill define property right

(Chichilnisky 2005). Kawasan hutan yang ill define property right meskipun secara de jure merupakan milik negara (state property) namun secara de facto

dalam kondisi open access (Yustika 2006)8. Kondisi sumberdaya alam yang dalam kondisi ill define property right, menurut Chichilnisky (2005), hal tersebut akan mengakibatkan ekstraksi sumberdaya alam (hutan) yang berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan. Bila dibiarkan berkepanjangan hal ini dapat menimbulkan terjadinya ”tragedy of the common”9 (Hardin 1968), yakni hutan makin rusak dan tidak ada pihak yang peduli untuk berupaya memperbaikinya (Nurrochmat 2005). Untuk mengantisipasi hal tersebut, dibangunnya institusi10 yang tepat sebagai pengelola di tingkat tapak penting untuk dipertimbangkan (Wollenberg et al. 2006, Kant dan Berry 2005, Kartodihardjo 1998, Kartodihardjo

et al. 2011, Nugroho 2003, CERIndo et al. 2010; CERIndo dan CCAP 2010; 2011).

Dibangunnya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)11 di Indonesia dipandang sebagai solusi strategis untuk melakukan kegiatan yang berorientasi perencanaan spasial dengan memperhatikan situasi sosial ekonomi lokal serta menyatukan arah pelaksanaan kegiatan Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Kartodihardjo 1998, Kartodihardjo et al. 2011, Baplan 2006a). Menurut PP 61 tahun 201112 menyatakan bahwa pembentukan 120 unit KPH pada 2010-2014 dipandang dapat menurunkan emisi GRK sebesar 31.15 juta ton CO2e. Dengan adanya KPH (Kartodihardjo et al. 2011), integrasi instrumen dan sumberdaya yang ada untuk mewujudkan transformasi dan desentralisasi kepemerintahan dan kelembagaan pengelolaan hutan dapat disinergikan.

Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, menurut PP 6/2007 jo PP 3/2008, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Konsep KPH yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda (Suhendang 2002) sebenarnya mulai di wacanakan kembali dalam hukum pengelolaan hutan Indonesia sejak diberlakukannya UU No 5/1967. Pada masa Orde Baru ini KPH diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan, sebagaimana diterapkan dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa. Dalam UU 41/1999 tentang kehutanan,

8 Istilah Open Access menurut Yustika AE (2006) dalam bukunya Ekonomi Kelembagaan Definisi, Teori dan Strategi

bahwa rejin akses terbuka (open access regime) adalah suatu hak suatu sumber daya dimana hak kepemilikan dan aturan-aturan yang tidak ditetapkan (non assigned) oleh siapapun.

9Tragedy of the Common adalah dilema yang timbul dari situasi di mana beberapa individu, bertindak secara independen

dan berpikir menurut kepentingan dirinya sendiri, pada akhirnya akan menguras sumber daya bersama terbatas yang, bahkan ketika mengetahui secara jelas bahwa manfaat tersebut dalam jangka panjang tidak akan ada lagi. Dilema ini digambarkan dalam sebuah artikel yang berpengaruh berjudul "The Tragedi of The Commons", yang ditulis oleh ahli ekologi Garrett Hardin dan pertama kali diterbitkan pada jurnal Science pada tahun 1968.

10 Institusi merupakan aturan main, norma, larangan, dan aturan yang mengatur dan mengontrol perilaku individu di

masyarakat atau organisasi (North 1990).

11 Penjelasan tentang konsep KPH dapat disimak pada Pasal 17 ayat 1 UU 41/1999 tentang Kehutanan 12 Tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)

konsep ini kembali dimunculkan yang kemudian diikuti dengan aturan pedoman pembentukannya seperti tertuang pada beberapa peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundangan yang secara umum mengatur tentang KPH guna mendukung UU 41/1999 diantaranya adalah 1) PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004), 2) PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kab/Kota (PP 38/2007), dan 3) PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (PP 41/2007). Peraturan perundangan yang secara khusus mengatur tentang KPH ini adalah (PP 6/2007) jo PP 3/2008 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

KPH diatur secara teknis dalam peraturan perundangan setingkat Menteri maupun tingkatan di bawahnya, diantaranya adalah :

1) Permenhut No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH 2) Permenhut No. P.6/Menhut-II/2010 tentang NSPK (Norma, Standar, Prosedur,

dan Kriteria) Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP

3) Permendagri No. 61 tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP

4) Permenhut No. P.41/Menhut-II/2011 jo Permenhut No. P.54/2011 tentang Standar Fasilitasi Sarana dan Prasarana pada KPHL dan KPHP Model 5) Permenhut No. P.42/Menhut-II/2011 tentang Kompetensi Teknis Bidang

Kehutanan Pada KPHL dan KPHP

6) Permenhut No. P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat setempat Melalui Kemitraan Kehutanan

7) Permenhut No. P.46/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL dan KPHP

8) Permenhut No. P.47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPHL dan KPHP

9) Perdirjen No. P.5/VII-WP3H/2012 tentang Petunjuk Teknis Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP

10)Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpts-II/2003 tentang Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)

11)Keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK.14/VII-PW/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan KPHP

12)Peraturan Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK.80/VII-PW/2006 tentang Pembangunan KPH Model.

Pembentukan KPH telah dan sedang dalam proses pelaksanaan. Prosedur pembentukan KPH, berdasarkan peraturan perundang-undangan meliputi tahapan (a) penyusunan rancang bangun KPH, dilaksanakan oleh gubernur; (b) arahan pencadangan, diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan rancang bangun yang diajukan oleh gubernur; (c) pembentukan, disusun oleh bupati berdasarkan arahan dari Menteri Kehutanan yang selanjutnya gubernur mengusulkan penetapannya kepada Menteri Kehutanan; (d) penetapan, menteri menetapkan KPH berdasarkan usulan pembentukan dari gubernur. Tahap berikutnya setelah proses penetapan KPH adalah pembentukan kelembagaan pengelola unit KPH, sehingga akan terbangun wujud riil KPH di tingkat tapak yang antara lain meliputi

penetapan wilayah pengelolaan dan kelembagaan pengelola serta jenis aktivitasnya.

Pembentukan KPH telah dilaksanakan sejak 2009. Sampai dengan bulan Januari 2013, kementrian Kehutanan telah mengeluarkan 25 Keputusan Menteri tentang penetapan wilayah KPH Provinsi, 38 Keputusan Menteri tentang penetapan wilayah KPH Konservasi dan 68 Keputusan tentang penetapan wilayah KPH Model. Penetapan Wilayah KPH Provinsi tersebut terdiri atas 481 unit KPH (dari 600 unit target 2014) dengan luas 78 982 671 ha. Dari 481 unit KPH Provinsi tersebut, 170 unit adalah KPHL dengan luas 21 555 089 ha dan 311 unit adalah KPHP dengan luas 57 427 582 hektar. Penetapan Wilayah KPH Konservasi mencakup luas 8 373 062.7 ha yang terdiri dari 38 Taman Nasional (Kemenhut 2013).

Hingga Januari 2014 telah ditetapkan wilayah 120 KPH Model yang meliputi luas 16 358 456 ha yang terdiri atas 42 KPHL meliputi luas 3 990 456 ha dan 78 KPHP dengan luas 12 367 820 ha (Tabel 2). Dari 120 KPH Model yang ditetapkan, 102 KPH Model telah memiliki organisasi berbentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan 13 KPH Model berbentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), 3 unit KPH Model belum terbentuk organisasinya dan terdapat 3 (tiga) KPH Non Model sudah berlembaga (Kemenhut 2014).

Tabel 2 Progress Pembangunan KPH Model sampai Januari 2014. Kriteria Indikator/Sub

Indikator Keluaran Hasil Keterangan

Wilayah Penetapan Wilayah SK Menhut KPH Model 120 SK 42 KPHL: 3.990.456 Ha 78 KPHP: 12.367.820 Ha Jumlah : 16.358.276 Kelembaga an

Organisasi Perda /Pergub/ Perbup/ Perwakot 9 Perda (6 SKPD, 2 UPTD, 1 Seksi pada Dinas) 103 Pergub / Perbup / Perwakot

8 Unit sementara proses (KPH: Malinau,

Memberamo, Minas Tahura, Lintas Sumut, Bukit Barisan, Wae Tina, Flores Timur, Barsel )

Kantor Bangunan 74 bangunan 2 Unit Gagal : KPHL Sungai Beram Hitam dan KPHP Kayan :lanjut 2014 Kendaraan

Roda 4

Mobil setiap KPH 89 mobil KPHL Maria ((2014)

Kendaraan Roda 2

Beberapa Motor (Unit KPH)

88 Unit KPH KPHL Maria dan KPHL Sorong Selatan (2014 Alat Kantor/

Survey

Peralatan (Unit KPH) 90 Unit KPH

SDM Tenaga Terlatih a. Diklat Calon KKPH b. Diklat Perencanaan KPH

c. Lokalatih Tata Hutan d. SDM Lulusan SMKK 4 Angkatan 1 Angkatan 2 kali 215 orang SDM Lulusan SMKK: lulus tes CPNS Kemenhut, dan pindah antar KPH. 120 Basarhut dalam proses kontrak

Rencana Tata Hutan Buku dan Peta 87 Draf Rencana

Pengelolaan

Buku dan Peta 82 Draf 17 Dokumen disyahkan

Pada pembangunan bidang SDM, staf sebagian KPH di Indonesia telah dilatih untuk pemetaan konflik. Diklat Penggunaan Perangkat Analisis Land Tenure untuk staf KPH secara bertahap telah diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah yakni WG-Tenure (Working Group on Forest Land Tenure). Saat ini diklat Penggunaan Perangkat Analisis Land Tenure telah dikembangkan dan disahkan kurikulumnya oleh Pusdiklat Kehutanan menjadi Diklat Pemetaan Konflik.

Dukungan terhadap Rencana Pengelolaan, sebagian KPH telah difasilitasi WG-Tenure dalam assesment land tenure-nya. KPH-KPH yang telah difasilitasi kegiatan assesment land tenure-nya diantaranya: 1) KPHP Register 47-Way Terusan-Lampung, 2) KPHL Rinjai Barat-NTB, 3) KPHP Banjar-Kalsel, 4) KPHP Gularayara-Sulta, 5) KPHP Seruyan-Kalteng, 6) KPHL Kapuas-Kalteng, 7) KPHP Berau Barat-Kaltim, 7) KPH Rote Ndau-NTT.

Untuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), hingga Desember 2011 pemerintah telah menetapkan 20 KPHK yang keseluruhan wilayahnya merupakan taman nasional (Suwarno et al. 2011). Keduapuluh taman nasional (TN) yang telah ditetapkan sebagai KPHK tersebut adalah : TN Berbak, TN Ujung Kulon, TN Halimun Salak, TN Tanjung Puting, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Alas Purwo, TN Bali Barat, TN Gunung Rinjani, TN Bunaken (ditetapkan tahun 2010), TN Way Kambas, TN Gunung Merapi, TN Laiwangi Wanggameti, TN Danau Sentarum, TN Bogani Nani Wartabone, TN Bukit Dua Belas, dan TN Gunung Palung.

Keberadaan KPH memiliki tiga tujuan utama, yakni (Firdaus 2012) terkait aspek kawasan, aspek kelembagaan, dan aspek rencana. Dari aspek kawasan, KPH ditujukan untuk menjaga dan mempertahankan kualitas dan kuantitas sumber daya hutan yang semakin menurun, dimana terdapat begitu luas kawasan hutan yang pada situasi open access, tidak terkelola dan tidak tertangani. Pada sisi kelembagaan, KPH ditujukan untuk memperbaiki profesionalisme kehutanan yang rendah, mengefektifkan organisasi kehutanan di daerah yang tidak dimaksudkan untuk mengelola hutan di tingkat tapak, dan menjadi alternatif terhadap kegagalan dalam membangun satuan terkecil (unit) dalam pengelolaan hutan. Pada aspek rencana, KPH diharapkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan yang masih rendah, dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak terhadap hutan dan kawasan hutan yang semakin meningkat.

Dalam melaksanaan fungsi perwilayahan, menurut PP 6 tahun 2007, organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi (1) menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam; (2) menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, propinsi dan kab/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan; (3) melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; (4) melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayahnya; (5) membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

KPH di Indonesia dipandang sebagai solusi strategis untuk melakukan kegiatan yang berorientasi perencanaan spasial dengan memperhatikan situasi sosial ekonomi lokal serta menyatukan arah pelaksanaan kegiatan Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Kartodihardjo 1998, Kartodihardjo et al. 2011, Baplan 2006a). Dengan adanya KPH (Kartodihardjo et al. 2011), integrasi instrumen dan sumberdaya yang ada untuk mewujudkan transformasi dan desentralisasi kepemerintahan dan kelembagaan pengelolaan hutan dapat disinergikan. Pembentukan KPH bisa dijadikan sebagai peluang resolusi konflik (Srijono dan Djajono 2010, Syukur 2012). Pembangunan KPH juga dapat menjembatani pengelolaan hutan dan penyelesaian konflik tenurial pada tingkat tapak melalui penataan ruang kelola dan hak kelola masyarakat terhadap SDA, termasuk kemitraan masyarakat dengan pemegang ijin (Putro 2013). Kebenaran KPH sebagai salah satu konsep/skema penyelesaian konflik masih perlu diuji (Firdaus 2012).

Apakah benar KPH dapat menjadi salah satu jalan/konsep/skema resolusi konflik? Pertanyaan tersebut dapat diperinci lebih detil menjadi : apa peran KPH dalam resolusi konflik yang diatur dalam peraturan, bagaimana peran KPH dalam resolusi konflik dilaksanakan di lapangan, peran apa yang diharapkan masyarakat dari KPH, serta hambatan apa yang dihadapi KPH dalam melaksanakan peran untuk resolusi konflik.

Metode

Penelitian ini menggunakan kerangka kerja RaTA (Galudra et al. 2010) dimana bab ini fokus pada tahap kelima, yakni analisis kebijakan. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil Pemerintah Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan (Winarto 2006).

Analisis kebijakan memerlukan pemahaman dari apa yang nyata dan apa yang laten. Kebijakan nyata dapat mendukung keadilan, kesejahteraan masyarakat, sementara kebijakan laten melibatkan hukum tersembunyi dalam kebijakan tertentu. Dunn (2003) menyatakan bahwa analis kebijakan perlu meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Untuk meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan peran KPH dalam resolusi konflik lahan di KPHPL peneliti akan menggunakan perangkat analisis kebijakan dari Baginski dan Soussan (tanpa tahun) yang melibatkan :1) review peraturan, 2) wawancara dengan aktor kunci, dan 3)verifikasi lapangan (Baginski dan Soussan. tanpa tahun), khususnya mengenai isi kebijakan dan implementasinya untuk meramalkan masa depan kebijakan (Dunn 2003). Review peraturan dilakukan dengan menganalisis isi dokumen (content analysis)

peraturan yang berkaitan dengan KPH dan konflik penggunaan lahan. Wawancara terhadap aktor kunci akan dilakukan terhadap aktor-aktor yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan khususnya penetapan KPHPL dan implementasi kebijakannya yakni dari element pemerintah (politikus, pegawai pemerintah, Dirjen Planologi, Kepala Dinas Kehutanan¸ Kepala BPKH, dan instansi terkait lainnya), masyarakat sipil, akademisi, lembaga donor, serta lembaga non

pemerintah. Verifikasi lapangan dilakukan dengan melihat aktifitas-aktifitas yang telah dilakukan KPHPL dalam resolusi konflik.

Data dan informasi yang dikumpulkan dalam analisis studi kebijakan ini menyangkut analisis isi dan implementasi kebijakan yang merupakan dua dari empat cara analisis kebijakan yang disarankan Galudra et al. (2010). Analisis isi memokuskan analisis pada deskripsi isi dari kebijakan yang ada, kebijakan- kebijakan yang berlaku, dan mencari konsistensi hubungan dengan peraturan- peraturan resmi yang ada. Implementasi kebijakan memokuskan analisis pada implementasi kebijakan yang berlaku saat ini, kesulitan-kesulitan di lapangan yang dihadapi bila kebijakan dilaksanakan, dan mencatat alternatif yang dapat dilaksanakan di lapangan.

Hasil

Kapasitas dan Kewenangan Resolusi Konflik Tenurial Kehutanan

Seiring berjalannya waktu, Kementerian Kehutanan memandang bahwa persoalan tenurial memiliki peranan penting dalam menuju kelestarian hutan. Hal ini diwujudkan dengan menstrukturkan tugas penanangan konflik tenurial dalam tugas pokok dan fungsi bagi Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan (psl 147 Permenhut 33/2012)13 untuk melakukan kajian dan langkah-langkah preventif bagi konflik tenurial. Permenhut tersebut juga menugaskan Pusat Pengendalian (Pusdal) Pembangunan Kehutanan untuk melakukan fasilitasi dan mediasi penyelesaian masalah tenurial kawasan hutan (pasal 842 huruf f) pada wilayah regionalnya masing-masing. Menurut Firdaus (2012) kedua lembaga tersebut dalam melaksanakan tugasnya akan berhubungan dengan KPH sebagai pengelola wilayah.

Sebagai lembaga daerah yang dimandatkan UU 7/201214 untuk melakukan pencegahan dan penanganan konflik sosial, dan sejalan dengan peran KPH untuk mengoptimalkan akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik, maka KPH harus memiliki dua hal (Firdaus 2012): 1) kesiapan SDM KPH untuk menangani masalah tenurial kehutanan di wilayahnya dalam tahapan perencanaan maupun penanganan kasus, dan 2) kewenangan untuk mengambil keputusan yang dibutuhkan untuk memberikan kepastian serta kepuasan bagi pihak berkonflik demi kesejahteraan rakyat dan kelestarian SDH.

Terkait persiapan SDM KPH untuk menangani konflik tenurial, WG Tenure bekerjasama dengan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kehutanan telah dan sedang melakukan peningkatan kapasitas SDM dimaksud. Kerjasama yang dilakukan pada dua tahun terakhir ini berwujud pelaksanaan pelatihan dan penyedian informasi terkait penyelesaian konflik tenure di KPH.

Kewenangan untuk mengambil keputusan bagi KPH selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dikuatkan oleh UU 7/2012 peryataan pasal 47 ayat 2

13

Permenhut Nomor P.33/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/MENHUT-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Kehutanan

14

huruf c dan pasal 48 ayat 2 huruf c. Amanat tersebut untuk menangani konflik terkait dengan alokasi sumberdaya alam (pasal 5 ayat d dan e, serta pasal 8). Kewenangan untuk mengambil keputusan mengenai penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan juga dimiliki oleh dua lembaga di Kementrian Kehutanan sebagaimana disebutkan terdahulu, yakni Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan, dan Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional. Kedua lembaga ini memiliki kewenangan berdasarkan P 33/2012. Peran KPH Dalam Resolusi Konflik pada Teks dan Peraturan

Firdaus (2012) menyatakan ada 10 peran atau fungsi dari KPH, yakni: 1) untuk membenahi tata kelola kehutanan (good forestry governance), 2) mendorong terwujudnya desentralisasi nyata di bidang kehutanan, 3) mengoptimalkan akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik, 4) menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan, tepat pendanaan, 5) untuk menangani wilayah-wilayah open access yang hingga saat ini tidak tertangani, 6) menjembatani optimalisasi pemanfaatan potensi pendanaan dari sumber yang tidak mengikat (al: bantuan negara donor, perdagangan karbon) untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat, 7) untuk mendukung fungsi MRV (measurement, reporting, verification) dalam proses penanganan perubahan iklim, 8) memudahkan investasi sektor kehutanan, karena ketersediaan data / informasi detail tingkat lapangan, 9) untuk meningkatkan keberhasilan penanganan rehabilitasi hutan dan reklamasi, karena KPH akan menjalankan penanaman, pemeliharaan, pendataan, perlindungan, monitoring dan evaluasi, 10) untuk meningkatkan keberhasilan kegiatan konservasi dan perlindungan hutan.

Dari 10 peran atau fungsi KPH (Firdaus 2012) tersebut ada tiga peran yang berkaitan dengan resolusi konflik yakni peran 3, 4 dan 5.

“... Peran ketiga adalah mengoptimalkan akses masyarakat terhadap hutan serta

merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik. Pada peran keempat, KPH menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan, tepat pendanaan. Sedangkan peran kelima KPH adalah untuk menangani wilayah-wilayah open access yang hingga saat ini tidak tertangani....”

Peran KPH dalam bidang konflik yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 (Permendagri No.61/201015) adalah mencegah wilayah yang dikuasai masyarakat masuk dalam KPH atau memberikan kesempatan kepada mereka untuk masuk dalam skema-skema pengelolaan hutan oleh masyarakat. Teks lain dalam UU No.7/2012 mengamanatkan bahwa daerah dimandatkan melakukan pencegahan dan penanganan konflik sosial, dimana KPH adalah sebagai kelembagaan daerah yang menangani kehutanan, dan tentunya memiliki tanggungjawab untuk menjalankannya. Kementrian Kehutanan memrioritaskan KPH nasional dalam RPJM dan Renstra 2010-2014, dengan harapan diantaranya: sebagai salah satu jalan resolusi konflik (Kartodihardjo et al.

2011).

15

Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah.

Status Hukum dan Kedudukan KPHP Lakitan

Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Lakitan (KPHPL) di Kabupaten Musi Rawas ditetapkan Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.790/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Lakitan Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Penetapan wilayah oleh Menteri Kehutanan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan organisasi oleh Bupati Musi Rawas melalui Peraturan Bupati Nomor 27 Tahun 2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas yang memuat KPHP Lakitan sebagai salah satu UPT dari Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas. Kepala UPT KPHP Lakitan menduduki jabatan struktural eselon IV a dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha KPHP Lakitan adalah jabatan struktural eselon IV b. Perbub ini mempertimbangkan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Penetapan organisasi KPHP sebagai UPTD ini tidak sejalan dengan amanat Permendagri No 61 tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah yang keluar belakangan yakni tanggal 23 Desember 2010. Permendagri 61/2010 mengamanatkan bahwa KPHL dan KPHP yang dibentuk Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (pasal 2 ayat 1).

Implementasi Peran KPHP Lakitan Dalam Resolusi Konflik

Peran KPHP Lakitan yang telah dilaksanakan berkaitan dengan penanganan konflik yang dicatat dalam studi ini dilihat dalam 5 (lima) hal menurut peran, kapasitas dan kewenangannya (Firdaus 2012). Tiga peran KPHP Lakitan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik adalah 1) mengoptimalkan akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik, 2) peran KPH dalam menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan, tepat pendanaan, dan 3) peran KPH untuk menangani wilayah-wilayah open access yang hingga saat ini tidak tertangani. Berkaitan dengan kapasitas KPH adalah 4) kesiapan SDM KPH untuk menangani masalah tenurial kehutanan di wilayahnya dalam tahapan perencanaan maupun penanganan kasus. Implementasi yang berikutnya adalah terkait 5) kewenangan KPH untuk mengambil keputusan yang dibutuhkan untuk memberikan kepastian serta kepuasan bagi pihak berkonflik demi kesejahteraan rakyat dan kelestarian SDH.

Pertama, mengoptimalkan akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik.

Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan sebagai suatu jalan resolusi konflik telah dilakukan KPHP Lakitan dengan memasilitasi kegiatan sosialisasi HD, pembentukan kelompok HD, pengusulan HD, dan fasilitasi inventarisasi sosial ekonomi masyarakat.

Fasilitasi sosialisasi HD dilakukan KPHP Lakitan dengan menginformasikan lima desa yang bergaya konflik kompromi hasil penelitian

pada studi ini kepada Dinas Kehutanan dan BPDAS Musi. Selanjutnya BPDAS Musi melakukan kegiatan sosialisasi tentang HD kepada lima desa tersebut pada tanggal 17, 18, dan 27 Juli 2012.

Fasilitasi KPHP Lakitan dalam pembentukan kelompok HD. Pembentukan kelompok HD di masyarakat desa Campursari, Jajaran Baru I, Muara Megang-1 dilakukan setelah kegiatan sosialisasi tanggal 17 dan 18 Juli 2012 tersebut, namun tetap dibantu dan diarahkan oleh KPHP Lakitan bersama dengan Tim Pendamping HD16. Pembentukan kelompok dan pengurus HD di desa Bamasco dilakukan saat sosialisasi tanggal 27 Juli 2012 dengan didampingi oleh BPDAS Musi, KPHP