Format Laporan Rencana Pengelolaan DAS dengan Menggunakan Model SWAT Buku 1. Laporan
Buku 2. Peta-peta Buku 3. Lampiran Data Buku 1. Laporan Bab 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Bab 2. Bahan dan Metode
2.1 Waktu dan Tempat Kegiatan 2.2 Bahan dan Alat
2.3 Metode
Bab 3. Keadaan Umum Daerah Aliran Sungai 3.1.Karakteristik Biofisik
3.1.1. Kondisi Morfolmetri DAS
3.1.2. Kondisi Toografi Geomorfologi DAS 3.1.3. Kondisi Iklim
3.1.4. Tanah dan Degradasi Lahan
3.1.5. Penggunaan dan Penutupan Lahan 3.1.6. Iklim
3.1.7. Kondisi Hidrologi DAS 3.2 Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Unit Respon Hidrologi dan Sub DAS Terbentuk
(Uraian jumlah unit respon hidrologi (HRU) dan sub DAS yang terbentuk, nantinya akan digunakan untuk identifikasi HRU dan sub DAS yang terdegradasi)
4.2 Karakteristik Hidrologi DAS
4.3 Debit dan Kalibrasi Model
(Uraian tentang nilai debit pada DAS yang dikaji dan hasil kalibrasi model. Apabila diperlukan dapat menambahkan proses validasi dan hasilnya).
4.4 Simulasi skenario
(Simulasi yang dilakukan ditujukan untuk memperbaiki Sub DAS dan HRU yang terdegradasi, dengan demikian akan ada perbandingan nilai karakteristik hidrologi untuk keadaan eksisting dan simulasi skenario dan pembahasannya. Uraikan pula setiap skenario yang disusun secara detil misalnya apakah skenario penggunaan lahan, skenario teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan, misalnya teknik konservasi apa diterapkan dimana).
4.5 Rekomendasi tindakan untuk perencanaan pengelolaan DAS.
(Uraian tentang rekomendasi perencanaan pengelolaan DAS berdasarkan hasil simulasi pada poin 4.4).
Bab 5. Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan
5.2 Saran Bab 6. Penutup Buku 2. Peta-Peta
(Layout peta disesuaikan dengan kaidah kartografi, begitu pula ukuran kertas yang digunakan harus mengikuti kaidah yang benar terkait dengan skala peta asal).
1. Peta Topografi
2. Peta Distribusi Curah Hujan
3. Peta Penggunaan/Tutupan Lahan 4. Peta Tanah
5. Peta Batas DAS, Sub DAS, dan Jaringan Sungai 6. Peta HRU
7. Peta Sebaran Sub DAS Terdegradasi 8. Peta Sebaran HRU Terdegradasi
9. Peta Skenario 1 (misal skenario penggunaan lahan)
10.Peta Skenario 2 (missal skenario penerapan teknik konservasi tanah dan air)
11.Peta skenario 3, 4, dan 5(jika skenario yang disimulasikan banyak) 12.Peta Rekomendasi Perencanaan Pengelolaan DAS.
BAB V. PENUTUP
Model SWAT adalah model pendugaan aliran permukaan, muatan sedimen, konsentrasi unsur hara dan pestisida dalam air sungai yang sangat rinci dan termasuk model kotak putih (white box ) karena hampir semua proses hidrologi yang terkait di dalam DAS dikuantifikasikan secara jelas. Dengan demikian, model SWAT yang sudah mengintegrasikan aspek keruangan melalui perakat lunak Sistim Informasi Geografi (SIG) berdaya guna sangat tinggi khusus dalam perencanaan pengelolaan dan penggunaan lahan DAS. Setelah model SWAT baik dan benar bisa dijalankan melalui kalibrasi dan validasi, maka pembaruan (updating ) data bisa sekaligus dilakukan dalam kegiatan monitoring dan evaluasi.
Keterbatasan pemanfaatan model SWAT juga terkait dengan input data yang dibutuhkan oleh model. Kebutuhan akan data sekunder yang hanya bisa didapatkan dari instansi lain, terkadang sulit untuk diperoleh karena terbentur masalah administrasi. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi yang baik antara seluruh instansi yang terkait dengan pengelolaan DAS, apalagi adanya peraturan mengenai penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan berbagai stakeholder. Dengan demikian diharapkan kedepannya bahwa kendala ketersediaan data sekunder dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu juga perlu adanya perbaikan pada fasilitas monitoring kinerja DAS baik keterwakilan stasiun hujan maupun kondisi SPAS sehingga data yang digunakan mamadai dan benar.
DIREKTUR JENDERAL,
Dr. Ir. HILMAN NUGROHO, M.P. NIP. 19590615 198603 1 004
IREK U J NDERAL,
Dr. Ir. ILMAN NU O , M.P.
Lampiran 1. KONSEP MODEL SWAT DALAM RENCANA PENGELOLAAN DAS TERPADU
SWAT merupakan model hidrologi skala DAS yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA pada awal tahun 1990-an. SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah dan pengelolaannya yang bermacam-macam sepanjang waktu yang lama. Model SWAT dikembangkan berdasarkan konsep dari beberapa model hidrologi lainnya seperti SWRRB ( Simulator for Water Resources in Rural Basins ), CREAMS (Chemical, Runofff, and Erosion from Agricultural Managament System , GLEAMS (Groundwater Loading Effects on Agricultural Management Systems) dan EPIC (Erosion Productivity Impact
Calculator ) (Neitsch et a l., 2011).
SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika ( physically based ) yang membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. Time step dalam model SWAT adalah harian karena model ini merupakan model kejadian kontinyu untuk skala DAS yang dibangun agar dapat beroperasi secara harian, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu yang panjang. SWAT dapat memodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara dan lain sebagainya (Neitsch et al ., 2011). Proses-proses tersebut didasarkan pada konsep neraca air. Komponen utama model adalah iklim, hidrologi, suhu dan karakteristik tanah, pertumbuhan tanaman, unsur hara, pestisida, patogen dan bakteri, dan pengelolaan lahan.
Pada model SWAT, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub Basin yang didasarkan pada kesamaan penggunaan tanah dan lahan atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi. Kemudian Sub DAS dibagi lagi ke dalam unit respon hidrologi (HRU). Secara praktis HRU diperoleh dengan menumpang-tindihkan karakteristik penggunaan lahan, pengelolaannya, topografi, dan tanah sehingga diperoleh unit yang homogen.
Simulasi hidrologi DAS pada model SWAT dipisahkan menjadi dua bagian utama yaitu fase lahan dan fase air dari siklus hidrologi. Fase lahan dari siklus hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang bergerak menuju saluran atau sungai utama pada masing-masing Sub DAS. Sedangkan fase
2.1. Fase Lahan dari Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi yang disimulasikan model SWAT (Gambar 1.5) didasarkan pada perhitungan neraca air berikut ini:
dimana SWt adalah kadar air tanah akhir (mm H2O), SWo adalah kadar air tanah awal pada hari ke-i (mm H2O), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah hujan pada hari ke-i (mm H2O), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari ke-i (mm H2O), Ea adalah jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm H2O), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke zona vadose dari profil tanah (seepage ) pada hari ke-i (mm H2O), Qgw adalah jumlah aliran air bawah tanah (baseflow/groundwaterflow/returnflow ) pada
hari ke-i (mm H2O).
Pembagian DAS ke dalam Sub DAS dapat menggambarkan perbedaan evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang beragam atau berbeda. Aliran permukaan (surface runoff ) diprediksi secara terpisah untuk masing-masing HRU dan dapat ditelusuri untuk memperoleh aliran permukaan total (total runoff ) pada suatu Sub DAS dan DAS. Dengan demikian keakuratan model akan meningkat dan memberikan gambaran fisik yang lebih baik untuk neraca air.
Sumber: Neitsch et al ., 2011
Gambar 1.1. Siklus Hidrologi dalam Model SWAT 2.1.1. Iklim
iklim yang dibutuhkan model SWAT terdiri dari data curah hujan, suhu udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban relatif harian.
a. Pembangkit Iklim (Weather Generator )
Model SWAT mampu membangkitkan satu set data iklim untuk masing Sub DAS. Data iklim tersebut untuk masing-masing Sub DAS akan dihasilkan secara terpisah dan tidak ada korelasi spasial dari nilai-nilai tersebut antara Sub DAS yang berbeda.
Pembangkitan Data Hujan. Apabila tidak tersedia data harian, maka SWAT menggunakan model yang dikembangkan oleh Nicks (1974) untuk membangun data hujan harian simulasi dan memprediksi data hujan yang hilang. Model Markov Chain orde-1 digunakan untuk membangkitkan data hujan melalui identifikasi hari hujan atau hari kering (dengan membandingkan angka acak (0.0 - 1.0) yang dibangun oleh model sehingga diketahui probabilitas bulan hujan dan bulan kering. Jika hari diklasifikasikan sebagai hari hujan, maka jumlah hujan dihitung berdasarkan distribusi skewed atau distribusi eksponensial termodifikasi.
Pola Hujan Sub-Harian. Apabila nilai hujan sub-harian dibutuhkan, maka model menggunakan fungsi eksponensial ganda untuk menggambarkan pola intensitas hujan. Dengan distribusi eksponensial ganda, intensitas hujan meningkat secara eksponensial seiring waktu hingga mencapai nilai intensitas maksimum. Ketika nilai intensitas maksimum tercapai, maka intensitas hujan akan berkurang secara eksponensial seiring waktu hingga akhir hujan.
Pembangkitan Data Suhu Udara dan Radiasi Matahari . Suhu udara maksimum dan minimum dan radiasi matahari dihasilkan dari fungsi distribusi normal. Variasi suhu dan radiasi yang disebabkan oleh keadaan hujan dan kering dihitung secara kontinyu. Suhu udara maksimum dan radiasi matahari yang dihasilkan akan rendah ketika simulasi dilakukan pada kondisi hujan dan akan tinggi ketika simulasi pada saat kering.
Pembangkitan Data Kelembaban Relatif. Perhitungan kelembaban relatif menggunakan distribusi triangular untuk mensimulasi kelembaban relatif rata-rata harian dari rata-rata bulanannya.
b. Salju (Snow )
SWAT mengelompokkan presipitasi sebagai hujan atau salju berdasarkan data suhu harian rata-rata.
Tutupan Salju. Komponen tersebut telah dimodifikasi dari model tutupan salju yang sederhana dan seragam menjadi model yang lebih kompleks karena mempertimbangkan pengaruh bayangan, topografi dan tutupan lahan.
Salju yang mencair. Komponen ini dikontrol oleh udara dan suhu salju, level leleh, dan area yang tertutup salju.
Band Elevasi. Pada model SWAT, suatu sub DAS dapat dipisahkan berdasarkan band elevasi mulai dari band 1 sampai 10. Tutupan salju dan salju yang mencair disimulasikan secara terpisah pada masing-masing band elevasi. Dengan demikian model mampu untuk menilai perbedaan yang terjadi pada tutuan salju dan salju yang mencair yang disebabkan oleh variasi orografik pada hujan dan suhu.
Suhu Tanah mempengaruhi pergerakan air dan tingkat peluruhan residu dalam tanah. Suhu tanah rata-rata harian dihitung pada permukaan tanah dan di bagian tengah pada masing-masing lapisan tanah. Suhu pada permukaan tanah merupakan fungsi dari tutupan salju, tutupan lahan, dan residu di permukaan. Suhu pada lapisan tanah merupakan fungsi dari suhu permukaan, suhu udara tahunan rata-rata dan kedalaman tanah.
2.1.2. Hidrologi
Hujan yang turun akan terintersepsi dan tertahan pada kanopi/tajuk tanaman atau jatuh ke permukaan tanah. Air yang jatuh pada permukaan tanah akan terinfiltrasi ke dalam profil tanah hingga tanah jenuh air dan mengalir di permukaan sebagai aliran permukaan (surface runoff ). Aliran permukaan bergerak relatif cepat mencapai saluran sungai dan memberikan kontribusi terhadap respon sungai untuk jangka pendek. Air yang terinfiltrasi akan
a. Simpanan kanopi/tajuk (Intersepsi)
Simpanan kanopi atau intersepsi adalah air yang ditahan oleh permukaan vegetatif (kanopi) dimana kanopi akan menahannya sehingga menjadi input untuk proses evapotranspirasi. Ketika menggunakan metode bilangan kurva ( curve number /CN) untuk menghitung aliran permukaan, simpanan kanopi akan diperhitungkan dalam perhitungan aliran permukaan. Apabila metode Green & Ampt yang digunakan untuk model infiltrasi dan aliran permukaan, maka simpanan kanopi harus dimodelkan secara terpisah. SWAT memungkinkan pengguna untuk memasukkan jumlah maksimum air yang dapat ditahan oleh kanopi pada indeks luas daun maksimum suatu tutupan lahan. b. Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses masuknya air secara vertikal ke dalam profil tanah melalui permukaan tanah. Ketika infiltrasi berlanjut, tanah menjadi semakin basah, sehingga laju infiltrasi terus berkurang seiring dengan waktu hingga mencapai nilai infiltrasi konstan. Laju infiltrasi awal tergantung pada kandungan kelembaban tanah awal yang tergantung kepada air yang ada di permukaan tanah. Laju infiltrasi akhir sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh dari tanah. Dalam model SWAT, metode bilangan kurva (CN) digunakan untuk menghitung aliran permukaan harian, sehingga infiltrasi tidak bisa dimodelkan secara langsung. Metode Infiltrasi Green and Ampt mampu memodelkan infiltrasi secara langsung, tetapi membutuhkan data hujan dengan periode waktu yang kecil.
c. Redistribusi
Redistribusi merupakan pergerakan lanjutan dari air infiltrasi hingga mencapai profil tanah setelah input air (hujan atau irigasi) berhenti di permukaan tanah. Redistribusi disebabkan oleh perbedaan kandungan air di dalam tanah. Apabila kadar air tanah yang masuk ke dalam profil tanah seragam, maka redistribusi akan berhenti. Komponen redistribusi dalam SWAT menggunakan teknik penelusuran simpanan untuk memprediksi aliran yang mencapai masing-masing lapisan tanah pada zona perakaran. d. Evapotranspirasi Potensial
oleh proses iklim mikro seperti adveksi atau pengaruh simpanan panas. Evapotranspirasi potensial pada model SWAT dapat diperkirakan dengan metode Hargreaves (Hargreaves et al ., 1985), Priestley-Taylor (Priestley and Taylor, 1972), atau Penman-Monteith (Monteith, 1965).
e. Aliran bawah permukaan (Interflow /Subsurface )
Aliran bawah permukaan (interflow/subsurface flow ) merupakan bagian aliran sungai yang dihasilkan dari lapisan bawah permukaan tetapi diatas zona dimana batuan jenuh oleh air. Aliran bawah permukaan pada profil tanah (0 – 2 m) dihitung secara bersamaan dengan redistribusi. Model simpanan kinematik digunakan untuk memprediksi aliran bawah permukaan pada masing-masing lapisan tanah dan memperhitungkan variasi konduktivitas, lereng dan kadar air (kelembaban) tanah.
f. Aliran permukaan (Overland flow /Surface Runoff )
Aliran permukaan (overland flow/surface runoff ) merupakan aliran yang terjadi di sepanjang permukaan suatu lereng. Dengan menggunakan jumlah hujan harian atau sub-harian, SWAT mensimulasi volume aliran permukaan dan puncak aliran permukaan untuk masing-masing HRU.
Volume Surface Runoff dihitung dengan persamaan metode Bilangan Kurva SCS modifikasi (USDA Soil Conservation Service, 1972) atau metode infiltrasi Green & Ampt (Green dan Ampt, 1911). Pada metode bilangan kurva, bilangan kurva bervariasi tetapi tidak linier dengan kadar kelembaban tanah. Bilangan kurva akan rendah ketika tanah mendekati titik layu permanen dan meningkat mendekati 100 ketika tanah mencapai keadaan jenuh. Metode Green & Ampt membutuhkan data hujan sub-harian dan menghitung infiltrasi sebagai fungsi dari pembasahan terhadap potensial matrik dan konduktivitas hidrolik efektif. Air yang tidak terinfiltrasi akan menjadi aliran permukaan.
Persamaan SCS (Soil Conservation Service ) merupakan sebuah model empiris yang mulai digunakan secara umum pada tahun 1950-an. Persamaan tersebut merupakan hasil kajian selama lebih dari 20 tahun yang melibatkan hubungan hujan-limpasan dari DAS kecil di pedalaman di seluruh Amerika Serikat. Model tersebut dikembangkan untuk memberikan suatu dasar yang konsisten untuk memperkirakan jumlah limpasan pada berbagai
Persamaan SCS curver number adalah (SCS, 1972):
dimana:
Parameter retensi bervariasi secara spasial akibat perubahan jenis tanah, tata guna lahan, pengelolaan dan kemiringan serta bervariasi secara temporal akibat perubahan kadar air dalam tanah. Parameter retensi didefinisikan sebagai:
dimana:
CN = bilangan kurva untuk hari tersebut.
Pengambilan (abstraksi) awal, I a , umumnya didekati sebagai 0,2 S sehingga persamaan menjadi:
Limpasan hanya akan terjadi apabila R day >I a .
Debit Puncak Runoff diprediksi dengan persamaan metode Rasional modifikasi. Metode rasional didasarkan pada intensitas hujan i yang terjadi seketika itu juga dan berlanjut secara tak terbatas, sehingga laju aliran permukaan akan meningkat hingga waktu konsentrasi (time of concentration = tc), ketika semua Sub
Q surf =
Akumulasi limpasan atau kelebihan curah hujan (mm H2O)
R day = Tinggi curah hujan pada hari tersebut (mm H2O) I a
=
Pengambilan awal yang meliputi tampungan permukaan, intersepsi dan
infiltrasi sebelum terjadi limpasan (mm H2O) S = Parameter retensi (mm H2O)
DAS. Waktu konsentrasi Sub DAS dapat diperkirakan dengan rumus Manning atau Kirpich.
g. Waduk
Waduk merupakan bangunan simpanan air yang terletak di dalam Sub DAS yang berfungsi untuk menangkap aliran permukaan (overland flow ). Waduk diasumsikan terletak di luar saluran utama dalam Sub DAS dan tidak akan pernah menerima air dari hulu Sub DAS. Simpanan air pada waduk merupakan fungsi dari kapasitas waduk, aliran masuk dan keluar harian, aliran samping (seepage ) dan evaporasi.
h. Saluran Anak Sungai
Ada dua tipe saluran di dalam Sub DAS yaitu saluran utama dan saluran anak sungai. Saluran anak sungai merupakan cabang saluran dengan orde rendah yang terdapat di luar saluran utama di dalam Sub DAS. Masing-masing saluran anak sungai di dalam Sub DAS hanya membasahi sebagian Sub DAS dan tidak menerima sumbangan dari air bawah tanah terhadap alirannya. Semua aliran pada saluran anak sungai dilepaskan dan ditelusuri hingga ke saluran utama di dalam Sub DAS. SWAT menggunakan karakteristik saluran anak sungai untuk menentukan waktu konsentrasi (tc) Sub DAS.
Transmission Loss atau kehilangan transmisi merupakan kehilangan aliran permukaan melalui pencucian sepanjang badan sungai. Jenis kehilangan seperti ini terjadi pada sungai ephemeral atau intermitten dimana kontribusi air bawah tanah hanya terjadi pada waktu tertentu dalam satu tahun, atau tidak sama sekali. SWAT menggunakan metode Lane seperti yang dijelaskan pada Bab 19 pada SCS Hydrology Handbook (USDA Soil Conservation Service, 1983) untuk menghitung kehilangan transmisi.
i. Aliran dasar/Aliran bawah tanah (Baseflow )
Aliran air bawah tanah atau aliran dasar (baseflow ) adalah volume aliran sungai yang berasal dari air bawah tanah. SWAT membagi air bawah tanah ke dalam dua sistem akuifer: 1) akuifer dangkal, akuifer tidak tertekan yang memberikan kontribusi aliran dasar ke sungai di dalam DAS, 2) akuifer dalam, akuifer tertekan yang memberikan kontribusi aliran dasar ke
masing akuifer. Sebagai tambahan untuk aliran dasar, air yang tersimpan pada akuifer dangkal akan menambah kelembaban profil tanah pada kondisi sangat kering atau dipindahkan secara langsung oleh tanaman.
2.1.3. Tutupan Lahan
SWAT memanfaatkan model pertumbuhan tanaman tunggal untuk mensimulasi semua jenis tutupan lahan. Tanaman tahunan tumbuh mulai dari penanaman hingga panen atau sampai unit panas terakumulasi sama dengan unit panas potensial tanaman. Tanaman abadi mempertahankan sistem akarnya sepanjang tahun, menjadi dorman pada saat musim dingin. Pertumbuhan tanaman tersebut berlanjut ketika suhu udara harian rata-rata melebihi suhu minimum. Model pertumbuhan tanaman digunakan untuk menilai perpindahan air dan unsur hara dari zona akar, transpirasi dan biomasa/produksi.
a. Pertumbuhan Potensial
Peningkatan potensi biomasa tanaman pada hari tertentu didefinisikan sebagai peningkatan biomasa di bawah kondisi pertumbuhan ideal dan merupakan fungsi dari penerimaan energi dan efesiensi tanaman dalam mengkonversi energi menjadi biomasa. Penyerapan energi diperkirakan sebagai fungsi dari radiasi matahari dan indeks luas daun tanaman.
b. Transpirasi Aktual dan Potensial
Proses yang digunakan untuk menghitung transpirasi potensial dijelaskan pada bab evapotrasnpirasi. Transpirasi aktual merupakan fungsi dari transpirasi potensial dan ketersediaan air tanah.
c. Pengambilan Unsur Hara
Unsur Nitrogen (N) dan Fosfor (P) tanaman diperkirakan dengan pendekatan ketersediaan dan permintaan dimana permintaan nitrogen dan fosfor tanaman harian dihitung sebagai perbedaan antara konsentrasi aktual dari elemen tanaman dan konsentrasi optimalnya. Konsentrasi optimal dari elemen tanaman bervariasi menurut tahap pertumbuhan seperti yang dijelaskan oleh Jones (1983).
2.1.4. Erosi
Erosi dan sedimen diperkirakan untuk masing-masing HRU dengan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE) (Williams, 1975). USLE menggunakan hujan sebagai indikator energi yang menyebabkan erosi, sedangkan MUSLE menggunakan jumlah aliran permukaan untuk memprediksi erosi dan sedimen. Kelebihannya yaitu akurasi prediksi model menjadi meningkat, rasio transportasi tidak dibutuhkan lagi, dan perkiraan hujan tunggal yang menghasilkan sedimen dapat dihitung. Model ini memberikan perkiraan volume aliran permukaan dan laju puncak aliran permukaan, dengan daerah Sub DAS, yang digunakan untuk menghitung variabel energi aliran permukaan yang erosif. Faktor pengelolaan tanaman dihitung kembali setiap hari pada saat aliran permukaan terjadi. Hal tersebut merupakan fungsi dari biomasa di atas tanah, dan faktor C minimum untuk tanaman. Faktor-faktor lain dari persamaan erosi dievaluasi seperti yang dijelaskan oleh Wischmeier dan Smith (1978).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Sed = 11.8.(Q surf .Q peak . Area HRU ) 0.56 . K USLE . C USLE . P USLE LS USLE . CFRG
dimana:
Sed : sediment yield harian (metrik tons) Q surf : surface runoff volume (mm H2O/ha) Q peak : peak runoff rate (m3 /s)
Area HRU : luas dari HRU (ha)
K USLE : USLE factor erodibilitas tanah (0.013 metrik ton m2 hr/(m3 -metrikton cm))
C USLE : USLE faktor tutupan lahan. P USLE : USLE faktor pengelolaan LS USLE : USLE faktor topografi CFRG : faktor kekasaran fragmen.
Erodibilitas tanah (K) adalah suatu faktor yang menunjukkan kepekaan tanah terhadap erosi. Nilai tersebut didefinisikan sebagai erosi per satuan indek erosi hujan R yang diperoleh dari petak standar (panjang 22 m, kemiringan 9 %, tanpa tanaman). Kepekaan erosi tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Oleh karena itu nilai kepekaan erosi tanah dapat dihitung dilapangan atau dihitung dengan menggunakan nomograf Wischmeier dan Smith (Ward and
Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Faktor panjang lereng merupakan nisbah antara besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan dengan panjang lereng tertentu terhadap erosi dalam petak standar (panjang lereng 22 m) dibawah kondisi tanpa tanaman. Sedangkan faktor kemiringan lereng adalah nisbah besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan dengan kemiringan lereng tertentu terhadap erosi yang terjadi pada petak standar (kemiringan lereng 9%) dibawah kondisi tanpa tanaman. Bila faktor L dan S digabungkan, maka faktor LS didefinisikan sebagai nisbah antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng dan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari sebidang tanah yang terletak pada lereng dengan panjang lereng 22 meter dan kecuraman 9%.
2.1.5. Unsur Hara
SWAT melacak perpindahan dan perubahan beberapa bentuk nitrogen dan fosfor di dalam DAS. Pada tanah, perubahan nitrogen dari satu bentuk ke bentuk lainnya diatur oleh siklus nitrogen seperti