• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peradilan Islam dalam Lintasan Sejarah

A. Peradilan Islam dalam Teori dan Realitas

2. Peradilan Islam dalam Lintasan Sejarah

Sejak Nabi Muhammad membentuk negara kota di Madinah (11 H),35 beliau memegang peran dalam penyelesaian sengketa perdata antara warga masyarakatnya, atau untuk memberi hukuman terhadap orang yang melakukan pelanggaran tindak pidana. Bentuk peradilan pada masa Nabi, khususnya dalam penyelesaian sengketa perdata, masih sangat sederhana. Tidak ada gedung khusus untuk melaksanakan penyelesaian sengketa. Proses penyelesaian sengketa pada umumnya dilakukan di mesjid atau di tempat tinggal Nabi.36 Pengajuan gugatan tidak diatur dengan hukum acara tersendiri, demikian proses persidangannya. Akan tetapi asas-asas pokok dalam peradilan diterapkan dengan baik, seperti memperlakukan para pihak berdasarkan prinsip kesetaraan. Para pihak didudukkan dalam tempat yang sama dan diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat masing-masing serta mengajukan alat bukti.

Setelah Nabi Muhammad wafat, kepala pemerintah dipegang oleh

Abu> Bakar. Sebagai kepala pemerintahan, Khalifah Abu> Bakar

mendelegasikan jabatan hakim kepada ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b karena saat itu banyak problem kenegaraan yang harus diselesaikan seperti pembangkangan atas kewajiban membayar zakat.37 Lain halnya pada masa pemerintahan ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, perluasan pemerintahan sangat berpengaruh terhadap struktur kekuasaan pemerintahan. Pada saat itu,

‘Umar memegang jabatan hakim di samping kekuasaan eksekutif. Beliau

dibantu oleh Abu> Darda>’, hakim di Madinah sebagai pusat pemerintahan. Untuk daerah provinsi lainnya, ‘Umar mengangkat Shurayh sebagai hakim di Kufah, Abu> Mu>sa> al-Ash‘ari> sebagai hakim di Basrah, Qays ibn Abi>

al-‘As} sebagai hakim di Mesir. Jabatan hakim pada masa ‘Umar bukan hanya

untuk memutus perkara, akan tetapi juga melaksanakan urusan pemerintah atau sebagai pejabat eksekutif (gubernur) di wilayah di mana ia ditugaskan.38 Sedangkan di ibu kota pemerintahan, ‘Umar masih memegang kekuasaan eksekutif dan yudikatif dibantu oleh Abu> Darda>’ dalam bidang yudikatif. Posisi keempat hakim ini berlanjut sampai masa Khalifah ‘Ali> ibn

Baltaji, Manhaj ‘Umar ibn al-Khat}t}a<>b fi> al-Tashri>‘, terj. Masturi Irham (Jakarta: Khalifa, 2005), 276.

35

Wael B. Hallaq, Nash’at al-Fiqh al-Isla>mi> wa Tat}awwuruh, 32.

36Al-Bukha>ri>, S{ah}i>ḥ al-Bukha>ri>, 1738.

37

Lihat Ibn al-Athi>r, Ta>ri>kh Ibn al-Athi>r, vol. 1, 305; al-T{abari>, Ta>ri>kh al-T{abari>,

vol. I, 972; dan al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>, vol. 1, 337.

38

Lihat George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 243-244; dan

47

PENGAD ILA N AGAMA

Abi> T{a>lib, kecuali Abu> Darda>’ yang meninggal pada masa Khalifah

‘Utsma>n ibn ‘Affa>n.39

Pada masa Bani Umayyah, jabatan hakim dipisahkan dari jabatan eksekutif. Jabatan eksekutif di luar wilayah ibu kota pemerintahan dipegang oleh seorang gubernur, sedangkan jabatan yudikatif dipegang oleh hakim yang diangkat oleh gubernur.40 Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, untuk konsolidasi pemerintahan, pengangkatan hakim dilakukan oleh khalifah. Hakim pertama yang diangkat langsung oleh khalifah adalah ‘Abd Alla>h ibn Luhay‘ah al-Had}rami> yang diangkat oleh Abu> Ja‘far al-Mans}u>r pada tahun 155 H. Demikian pula selanjutnya, pengangkatan hakim di Mesir dilakukan oleh khalifah.41 Pada masa pemerintahan Ha>ru>n al-Rashi>d, Abu> Yu>suf diangkat sebagai Hakim Agung (qa>d}i> al-qud}a>t) yang diberi wewenang untuk mengangkat hakim di tingkat provinsi di seluruh wilayah pemerintahan Abbasiyah – sebelumnya pengangkatan hakim dilakukan oleh khalifah. Demikian halnya kekhalifahan di Andalusia mengikuti tata cara pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah, mengangkat hakim agung yang berwenang untuk mengangkat hakim di tingkat provinsi.42

Tugas hakim pada masa khalifah empat tidak terbatas menjalankan kekusaan yudikatif, akan tetapi juga menjalani kekuasaan eksekutif sebagai gubernur. Sejak masa bani Umayyah, hakim hanya ditugasi kekuasaan yudikatif, tugas eksekutif dipegang oleh gubernur. Lain halnya pada masa pemerintahan Abbasiyah, hakim ditugasi sebagian tugas eksekutif yang meliputi pengawasan harta kekayaan orang yang dalam pengawasan kuratel, mengawasi harta kekayaan anak yatim yang di bawah pemeliharaan wali, menjadi wali nikah perempuan yang tidak mempunyai wali, mengawasi pembangunan jalan dan gedung (tata kota), mengawasi timbangan (jawatan terra), mengawasi ketertiban masyarakat, dan sebagai panglima perang.43 Beberapa hakim yang ditugaskan memimpin pasukan perang adalah Yah}ya>

ibn Aktham pada masa pemerintahan al-Ma’mu>n. Beliau memimpin

pasukan perang ke Romawi. Hakim lainnya yang ditugasi sebagai panglima

39

Al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>, vol. 2, 1662.

40Najdah Khamma>s, Khali>fah Bani> Umayyah fi> al-Mi>za>n, 147.

41

Lihat Abu> Zayd S{albi>, Ta>ri>kh al-H{ad}a>ri> al-Isla>mi>yah (Kairo: Maktabah

al-Nahd}ah al-Mis}ri>yah, 1974), 116; George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1,

243-243; dan Najdah Khamma>s, Khali>fah Bani> Umayyah fi> al-Mi>za>n, 147.

42

George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 245; H{asan Ibra>hi>m

H{asan, Ta>ri>kh al-Isla>mi> III (Kairo: Maktabah al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1979), 308.

43

Lihat George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 245; Najdah

Khamma>s, Khali>fah Bani> Umayyah fi> al-Mi>za>n, 148; dan H{asan Ibra>hi>m H{asan, Ta>ri>kh

48 DINAM IKA PUTU SAN MA

DALAM BIDA NG

P

ERD ATA

ISL AM

perang adalah Mundhir ibn Sa‘i>d, hakim di Andalusia pada masa pemerintahan ‘Abd al-Rah}ma>n al-Na>s}ir al-‘Amawi>, dan ‘Ali> ibn Nu‘ma>n,

hakim di Mesir pada masa al-‘Azi>z bi Alla>h al-Fa>t}imi>. Bahkan terdapat hakim yang ditugasi jabatan menteri, yaitu Abu> Muh}ammad al-Bazu>ri> (441 H). Demikian pula sesudahnya, banyak hakim yang menjabat sebagai menteri.44

Pada masa pemerintahan ‘Abd al-Ma>lik ibn Marwa>n dibentuk peradilan militer. Namun demikian, peradilan militer tidak ditangani oleh hakim. Beliau membentuk dewan maz}a>lim sebagai lembaga peradilan militer. Dewan maz}a>lim tersebut dijabat langsung oleh ‘Abd al-Ma>lik ibn

Marwa>n. Namun jika terdapat kasus yang sangat sulit, biasanya ‘Abd

al-Ma>lik ibn Marwa>n menyerahkan perkara tersebut kepada hakim yang

diangkatnya, yaitu Ibn Idri>s al-Azdi>. Khalifah lainnya yang memegang kekuasaan maz}a>lim adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z. Dari Daulah Abbasiyah tercatat beberapa khalifah yang memegang jabatan maz}a>lim,

antara lain al-Mahdi>, al-Ha>di>, al-Rushd, al-Ma’mu>n, al-Muhtadi> bi Alla>h

Muh}ammad al-Watsi>q.45

Selanjutnya Khalifah al-Muhtadi> tidak memegang lagi jabatan

maz}a>lim, jabatan tersebut diserahkan kepada perdana menteri (wazi>r)

seperti yang dilakukan oleh al-Ma’mu>n kepada Yah}ya> ibn Aktham,

al-Mu‘tas}im kepada Ah}mad ibn Aktham Ubay al-Du’adi>. Setelah Daulah

Abbasiyah runtuh, para sultan (gubernur) memegang jabatan maz}a>lim.

Ah}mad ibn T{ulu>n (257 H) adalah seorang gubernur yang pertama kali

mendirikan dewan maz}a>lim di Mesir. Ia menyediakan waktu untuk bersidang dua hari dalam seminggu. Pada masa Daulah Fatimiyah, jabatan

maz}a>lim di Mesir dipegang oleh Jawhar al-Fa>tih}. Khalifah sesudahnya

menyerahkan jabatan maz}a>lim kepada Hakim Agung atau ulama pemerintah. Pada saat Daulah Fatimiyah melemah, jabatan maz}a>lim

dipegang oleh wazir. Wazir yang terkenal yang memegang jabatan maz}a>lim

adalah al-Afd}al ibn Sha’min Shah.46 Pada masa Kesultanan Ayubiyah di Mesir, didirikan da>r al-‘adl untuk menggantikan lembaga maz}a>lim. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Kesultanan Mamluk.

Para sultan dalam persidangan di lembaga maz}a>lim dibantu oleh hakim dari mazhab empat, yang duduk di sebelah kanan Sultan. Pejabat tinggi kesultanan duduk di depannya di antara mereka, bertugas membacakan tuntutan di hadapan sultan. Kemudian sultan meminta pertimbangan hakim dan memutus berdasarkan pertimbangannya. Para

44

George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 245.

45

George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 248.

46

49

PENGAD ILA N AGAMA

sultan sangat menghormati dan bersungguh-sungguh melaksanakan lembaga

maz}a>lim walaupun yang menjadi pelaku perbuatan melanggar hukum

adalah keluarga sultan atau pejabat di lingkungan sultan. Biasanya sultan atau khalifah menentukan hari-hari tertentu untuk bersidang. Sebagian khalifah membagi lembaga maz}a>lim ke dalam tiga kategori: Pertama, lembaga maz}a>lim yang menyidangkan kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh angggota tentara; Kedua, pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai kerajaan; dan Ketiga, kasus pelanggaran yang dilakukan oleh yang lainnya.47

Kebijakan penggajian hakim mulai dilakukan pada masa Khalifah

‘Umar ibn al-Khat}t}a>b. Beliau menggaji hakim Shurayh sebesar 100 dirham

per bulan. Kebijakan tersebut diteruskan oleh khalifah lainnya. Pada masa Abbasiyah, hakim digaji sebesar 30 dirham. Sedangkan pada masa

al-Ma’mu>n, hakim Mesir yang bernama ‘At}a’ ‘I<sa> ibn al-Munkadir digaji

sebesar 4000 dirham (270 dinar). Ah}mad ibn T{ulu>n (245 H), seorang gubernur pada masa Daulah Fatimiyah memberi gaji Hakim Agung sebesar 1200 dinar per tahun, ditambah uang makan.48 Pada masa pemerintahan al-Mu‘tadil di Baghdad, Hakim Agung digaji sebesar 500 dinar per bulan. Hakim agung Baghdad pertama, yakni ‘Abd Alla>h ibn H{asan ibn Abi>

al-S{uwa>rib (230 H) digaji sebesar 200 dirham per tahun oleh Khalifah Ma’zi

al-Daulah ibn Buwayh.49

Lembaga yudikatif lainnya adalah h}isbah, yakni lembaga peradilan yang bertugas menertibkan tindak pidana pelanggaran, seperti menggangu ketertiban jalan, kendaraan yang bermuatan melebihi batas maksimum tonase, mengawasi ukuran dan timbangan. Tugas ini pada masa Fatimiyah di Mesir dan Umayah di Andalusia dipegang oleh hakim. Namun kemudian dilimpahkan kepada pejabat h}isbah agar hakim tidak dibebani penyelidikan dan penyidikan. Ketika tugas-tugas sultan terpisah dari khalifah, kekuasaan politik sultan lebih luas sehingga dewan h}isbah masuk kekuasaan sultan. Dewan h}isbah dijabat oleh orang yang berwibawa di tengah masyakatnya. Di Mesir, dewan h}isbah dibantu oleh stafnya yang berkeliling mengawasi distribusi daging dan makanan di pasar, mengawasi muatan hewan agar tidak melampaui batas yang menyakiti hewan, mengawasi kebersihan air yang dijual di pasar – air harus tertutup dan ukurannya harus cukup tidak

47

George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 250.

48

Lihat Najdah Khamma>s, Khali>fah Bani> Umayyah fi> al-Mi>za>n, 150; dan George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 247.

49

50 DINAM IKA PUTU SAN MA

DALAM BIDA NG

P

ERD ATA

ISL AM

boleh kurang, mengawasi guru agar tidak melakukan kekerasan kepada muridnya dan mengawasi tata urusan timbangan.50

Di Andalusia, dewan h}isbah dinamakan “khit}t}ah al-iktisa>b” yang

dijabat oleh hakim. Berbeda dengan di Mesir, pejabat h}isbah di Andalusia langsung melakukan pengawasan bersama stafnya mengelilingi pasar membawa timbangan standar, demikian halnya makanan seperti daging sudah memiliki daftar harga, penjual dilarang menurunkan atau menaikkan harga di luar harga yang sudah ditetapkan. Bahkan muh}tasib memata-matai pedagang dengan menugaskan anak-anak atau pembantu rumah tangga untuk membeli sesuatu, kemudian meneliti barang yang dibeli anak-anak atau pembantu rumah tangga tersebut. Jika takarannya kurang, maka si penjual akan didatangi dan dilakukan terra di depan khalayak ramai.51

Lembaga yudikatif lainnya adalah shurt}ah, yang bertugas melakukan penuntutan kasus tindak pidana dan melaksanakan eksekusi putusan pidana yang telah dijatuhkan pengadilan serta melakukan pembinaan residivis. Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, Umawiyah, dan Fatimiyah, pelaksana putusan pidana h}udu>d dipisahkan dari tugas hakim dan dilimpahkan kepada pejabat tinggi dan kepercayaan khalifah. Di Andalusia, jabatan shurt}ah dibagi dalam dua bagian: Pertama, shurt}ah kubra>, yang menangani kasus pelanggaran pejabat tinggi pemerintah, sultan dan kaum kerabatnya; dan Kedua, shurt}ah s}ughra>, yang bertugas melakukan eksekusi putusan pidana yang dilakukan oleh masyarakat umum. Pada masa pemerintahan para sultan, shurt}ah disebut “s}a>h}ib al-s}urt}ah al-wa>li>”.

Sedangkan di Afrika dipegang oleh hakim. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, kewenangan shurt}ah dipisah dari kewenangan hakim.52

Kewibawaan hakim di masa Abbasiyah sangat menonjol. Para hakim dihormati sehingga badan eksekutif tidak dapat mempengaruhi keputusan hakim. Dalam suatu kasus, pernah terjadi pemeriksaan saksi apakah memiliki sifat adil atau tidak untuk dapat diterima kesaksiannya. Seorang pejabat tinggi militer menghadap hakim tanpa diminta, pejabat tersebut memberikan keterangan bahwa saksi yang sedang diteliti memiliki sikap adil. Hakim tersebut menolak dengan memberikan penjelasan “bahwa tugas

ini bukan kewajiban anda, persoalan penilaian saksi diterima atau tidaknya merupakan kewenangan hakim.”53 Dalam peristiwa lain, Khalifah

Mu‘tad}adi> (279-289 H) mengirim surat kepada hakim Abu> H{a>zim yang

berisi: “Bahwa aku (khalifah) punya piutang/tagihan dari seseorang, sedang

50

George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 250.

51

George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 251.

52

George Zaydan, Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 251.

51

PENGAD ILA N AGAMA

aku mendapat berita beberapa orang melakukan tuntutan piutang kepada orang itu dan engkau (sebagai hakim) telah membayarkan kepada mereka dari hartanya, aku mohon dijadikan seperti mereka mendapat bagian dari hartanya.” Hakim Abu> H{a>zim menjawab dengan surat yang berisi: “Wahai Amir al-Mukminin, Allah telah menetapkan aku sebagai hakim, aku mengingatkan saat engkau mengangkat aku sebagai hakim, bahwa engkau melepaskan beban dari pundakmu dan meletakkannya di atas pundakku, aku tidak akan memutuskan suatu harta untuk penggugat kecuali ada bukti.”

Kurir khalifah pulang dan meyampaikan surat jawaban Abu> H{a>zim. Khalifah mengutus dua orang saksi, namun setelah diperiksa saksi tersebut tidak memenuhi syarat, maka kesaksiannya di tolak sehingga Khalifah

Mu‘tad}adi> tidak mendapat apa-apa.54

Di Mesir pada masa Abbasiyah, hakimsangat berwibawa dan sangat dicintai masyarakat, sehingga jika seorang wali (gubernur) memendam rasa tidak suka kepada seorang hakim karena masalah pribadi, ia tidak berani memberhentikan hakim tersebutkarena takut akan dibenci masyarakat. Oleh karenanya, pengangkatan dan pemberhentian hakim hanya dilakukan oleh khalifah. Demikian halnya pada masa pemerintahan Thoulun dan Ikhshidiyyin, hakim memiliki akhlak mulia, berpendirian teguh dan tidak memihak (adil). Hakim yang paling terkenal kesalihannya dan sangat luas kefakihannya pada masa Thoulun adalah Bakka>r ibn Qutaybah. Di Andalusia, para hakim memiliki pengetahuan luas dalam di bidang fikih, jujur, bersih, dan teguh pendirian.55 Namun demikian, tidak seluruh hakim berperilaku bersih. Menurut suatu riwayat, pada masa Khalifah His}a>m

terdapat panitera dan hakim Yah}ya> ibn Maymu>n, yang menjabat hakimpada tahun 105 H, tidak mau membuat salinan putusan kecuali diberi sogokan. Akhirnya Khalifah His}a>m memecatnya dari jabatan hakim.56

Pada masa Bani Umayah, hakim memutus perkara berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadis. Jika tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, hakim

berijtihad sendiri. Sedangkan pada masa Abbasiyah, hakim mengalami kemunduran ijtihad disebabkan pengaruh hasil ijtihad para mujtahid empat

(H{anafi>, Ma>liki>, Sha>fi‘i>, dan H{anbali>). Hal tersebut berpengaruh kepada

hakim dalam memutus perkara sesuai dengan mazhab yang dianutnya. Hakim di Irak pada masa itu memutus perkara dengan hukum mazhab

H{anafi>, di Mesir dengan hukum mazhab Sha>fi‘i>, dan di Syam serta wilayah

Magribi dengan hukum mazhab Ma>liki>.57 Di Andalusia, para hakim

54H{asan Ibra>hi>m H{asan, Ta>ri>kh al-Isla>mi> III, 310.

55H{asan Ibra>hi>m H{asan, Ta>ri>kh al-Isla>mi> III, 312.

56Najdah Khamma>s, Khali>fah Bani> Umayyah fi> al-Mi>za>n, 149.

52 DINAM IKA PUTU SAN MA

DALAM BIDA NG

P

ERD ATA

ISL AM

memutus perkara berdasarkan pada Al-Qur’an, Hadis, dan fikih mazhab

Ma>liki>.58 Sebelum masa kemunduran ijtihad, di setiap wilayah pemerintahan

Islam hanya diangkat seorang hakim. Namun seiring dengan mobilitas penganut mazhab yang tinggi akibat urbanisasi dan imigrasi, maka pada masa pemerintahan Abbasiyah di setiap wilayah diangkat empat orang hakim dari mazhab empat, yakni H{anafi>, Ma>liki>, Sha>fi‘i>, dan H{anbali>.59 Kebijakan pengangkatan empat mazhab di Mesir berlanjut sampai masa pemerintahan Daulah Thoulun (245-292 H) dan masa Ikhshidiyyin (323-358 H). Walaupun pada masa Fatimiyah di Mesir ada keinginan untuk mengangkat hakim hanya dari kalangan ulama Syi’i, akan tetapi sebagian masyarakat Sunni tidak mau mematuhi keputusan hakim Syi’i. Pada akhirnya, al-H{a>kim (khalifah atau jabatan gubernur) mengangkat Abu>

al-‘Abba>s ibn al-‘Awwa>m sebagai hakim dari kalangan Sunni sampai ia

meninggal dunia pada masa pemerintahan Khalifah Z{a>hir.60

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pada awal pemerintahan Islam (masa Nabi Muhammad dan Khulafa al-Rashidin), hakim tidak memiliki gedung pengadilan khusus untuk bersidang, hakim bersidang di rumah, mesjid, pasar dan tempat lainnya. Demikian halnya pada masa pemerintahan bani Umayyah, Abassiyah, Fatimiyah, dan Thoulun, hakim tidak memiliki tempat bersidang. Mereka bersidang di mesjid, di rumah, di madrasah, di kantor pos, dan di ba>b al-sa>‘ah.61 Pada masa pemerintahan Khalifah al-Mu‘tad}adi>, untuk menghormati rumah Allah, hakim dilarang bersidang di dalam mesjid, sehingga sebagian hakim bersidang di rumah masing-masing.62 Persidangan hakim dibantu oleh ka>tib (panitera) yang bertugas mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam persidangan.63