• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Kerangka Teori

5. Peradilan Adat Aceh

Dalam aturan daerah (qanun) yang berlaku di Aceh, telah mengatur tentang mekanisme penyelesaian yang dianggap dapat membawa keadilan bagi masyarakat melalui peran serta masyarakat, seperti Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang

Pemerintahan Gampong dan Qanun No.3 tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh, serta Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, dimana memposisikan Geuchik, Tuha Peut, Imuem Meunasah, dan Mukim sebagai penyelenggara Peradilan Adat.

Lebih detail lagi bentuk aturan (qanun) di Aceh juga mengatur secara eksplisit tentang mekanisme Peradilan Adat di Provinsi Aceh. Di dalam Qanun 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat, dalam Pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dilimpahkan penyelesaiannya melalui Peradilan Adat di Aceh, meliputi :

a) Perselisihan dalam rumah tangga

b) Sengketa antara keluarga terkait dengan Faraidh c) Perselisihan antar warga

d) Khawat/Meuseum

e) Perselisihan tentang Hak Milik f) Pencurian dalam keluarga g) Perselisihan harta sehareukat h) Pencurian ringan

i) Pencurian ternak peliharaan

j) Pelanggaran Adat tentang ternak, pertanian, dan hutan k) Persengketaan di laut

n) Pembakaran hutan dalam skala kecil

o) Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik p) Pencemaran likungan

q) Ancam mengancam

r) Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istidat.

Tahapan dalam mekanisme penyelesaian terbagi menjadi; pertama melalui tingkat gampong di pimpin Geuchik Gampong, Kedua; melalui tingkatan mukim dimana putusan di tingkat mukim merupakan putusan bersifat akhir dan mengikat. Dalam hal penyelesaian ini institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus serius serta tidak mengintervensi selama proses penyelesaian melalui hukum adat dan pengadilan adat berlangsung.

Praktek menerapkan Peradilan Adat berlandaskan kekuatan hukum.Dalam beberapa Undang-Undang resmi ditegaskan, bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari gampong dan mukim. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 :

No Regulasi/Peraturan Isi/Subtansi

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (1) dan (2)

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesai yang diatur dalam Undang-Undang.

2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

Pasal 3 ayat (1) dan (2) menegaskan: Keistimewaan merupakan pengakuan dan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang diperlihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral dan kemanusiaan.

Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:

Penyelenggaraan kehidupan beragama; Penyelenggaraan kehidupan adat; Penyelenggaraan pendidikan; dan Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Pasal 6 menegaskan:

Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayah yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006 tentang pemerintah Aceh , Bab XIII

tentang lembaga adat

Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat (Pasal 98, Ayat(2))

4. Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintah Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Memberikan wewenang kepada mukim untuk:

1. Memutuskan dan atau menetapkan hukum

2. Memelihara dan mengembangkan adat

keputusankeputusan adat terhadap

perselisihanperselisihan dan pelanggaran adat

5. Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat

1. Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan istiadat

5. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat

Dalam Qanun ini diatur beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Peradilan Adat, antara lain:

1. Aparat penegak hukum memberikan

kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan

terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lainnya.

2. Penyelesaian secara adat meliputi penyelesaian secara adat di gampong atau nama lainnya, penyelesaian secara adat di mukim dan penyelesaian adat di laut

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Dalam qanun ini disebutkan bahwa lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat

dan penyelesaian masalahmasalah sosial kemasyarakatan. Dalam menjalankan fungsinya tersebut maka lembaga adat berwenang:

1. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukuanan dan ketertiban masyarakat.

2. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;

3. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;

dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam; 5. Menerapkan ketentuan adat;

6. Menyelesaikan masalah sosial masyarakat;

7. Mendamaikan sengketan yang timbul dalam masyarakat; dan

8. Menegakkan hukum adat.

6. Kesepakatan bersama Kesepakatan bersama tentang Penitipan Peran Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) ke dalam Tuha Peuet Gampong/Sarak Opat/Majelis Duduk Setikar Kampong atau nama lain, yaitu antara Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Aceh dan Gubernur Aceh,Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Ketua Mejelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Ketua Mejelis Adat Aceh (MAA), Rektor IAIN Ar-Raniri, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ketua KomiteNasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh, tertanggal 2 Maret 2010.

7. Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh tentang Peneyelenggaraan Peradilan Adat dan Mukim atau nama lain di Aceh tertanggal 20 Desember 2011

Butir Satu : Sengketa/perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14, dan pasal 15 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang

Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

memberi kesempatan agar setiap sengketa/perselisihan sebagaimana dimaksud dicantum dalam KESATU untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

Butir Ketiga : Semua pihak wajib menghormati penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

Butir Keempat : Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh dalam memberikan keputusan dilarang menjatuhkan sanksi badan, seperti pidana penjara, memandikan

dengan air kotor, mencukur rambut, menggunting pakaian dan bentuk-bentuk lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami

Asas – Asas Dalam Peradilan Adat

Tanggung jawab/Akuntabilitas Non Diskriminasi

Terpercaya/Amanah

Kesetaraan di Depan Hukum

Mufakat dan Terbukaan Untuk Umum Jujur dan Kompetensi

Ikhlas dan Sukarela Praduga Tidak Bersalah Keberagaman dan Keadilan

Penyelesaian Damai dan Kerukunan Cepat dan Terjangkau

Tabel 1.1

a. Badan Penyelenggara Peradilan Adat Di Aceh

Pada umumnya penyelenggaraan Peradilan Adat dilakukan oleh Lembaga Kute dan Mukim. Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh. Hanya saja, dibeberapa daerah tertentu mereka menggunakan istilah lain. Namun, fungsinya tetap sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.

Kita dapat melihat bagaimana struktur peran penyelenggaraan peradilan adat tersebut pada Tingkat Mukim dapat digambarkan sebagai berikut pada Gambar 1.3 :

Gambar 1.3

Struktur Peradilan Adat Tingkat Mukim SEKRETARIS MUKIM sebagai Panitera IMEUM MUKIM SEBAGAI KETUA SIDANG PENGULU KUTE SEBAGAI ANGGOTA MAJELIS ADAT MUKIM SEBAGAI ANGGOTA TUHA PEUT/BPK SEBAGAI ANGGOTA SIMETUWE,ULA MA,CENDIKIAW AN,TOKOH ADAT LAINNYA SEBAGAI ANNGOTA

Badan perlengkapan peradilan adat ditingkat Mukim dan mekanisme kerjanya hampir sama dengan tingkat Kute.

Kasus yang diselesaikan pada peradilan adat tingkat Mukim :

1. Kasus yang terjadi antar kute yang berada dalam juridiksi mukim 2. Kasus yang tidak bisa diselesaikan ditingkat kute

kewenangan mukim untuk penyelenggarakan peradilan adat juga diperintahkan oleh Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Aceh, yang menegaskan bahwa :

1. Lembaga mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat (pasal 4, E) ;

2. Majelis adat mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat [pasal 12, ayat (2)].

Khususnya yang menyangkut dengan kasus yang diteruskan ketingkat mukim, Qanun 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Aceh menegaskan bahwa :

Pihak-pihak yang keberatan terhadap keputusan perdamaian sebagai mana dimaksud pada pasal 12, ayat (2) dapat meneruskannya kepada Imeum mukim

dalam keputusan Imeum mukim bersifat akhir dan meningkat (pasal 12 ayat 3)

Peradilan Adat Tingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan dalam jurisdiksi adat. Perkara-perkara atau sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat mukim, akan diselesaikan oleh lembaga peradilan Negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku seperti gambar skema di bawah ini Gambar 1.2:

Gambar 1.4

Tingkatan Penyelesaian Perkara

Maka dari gambar skema di atas itu terlihatlah bagaimana tingkatan yang dilakukan untuk proses penyelesaian sengketa yang terjadi setelah perkara di serahkan dari gampong ke tingkat mukim dan di bawa ke tingkat selanjutnya apabila tidak dapat diselesaikan dimukim.

Maka tata letak sidang peradilan adat gampong penetapan tempat duduknya dapat terlihat dari gambar yang dibuat seperti di bawah ini Gambar 1.5 :

Lembaga Peradilan Negara Tiada penyelesaian dan/atau perkara pidana berat

Peradilan Adat Mukim

Gambar 1.5 Posisi Perangkat dalam Persidangan Gampong Keterangan Bagan:

Bagan 1 warna Merah alur Penyelesaian Perkara Pertama

Bagan II Warna Biru alur Penyelesaian Perkara Kedua (tidak Selesai ) Bagan II Warna Orenge alur Penyelesaian Perkara Ketiga (banding) Keterangan : Diolah dari data LSM People Crisis Center

Dokumen terkait