• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA DATA

B. Saran

Dari hasilpenelitian yang telahdiperoleh, penelitimemberikan saran terkaitperan Imeum Mukim yang diuraikansebagaiberikut :

1. Dengan adanya Imeum Mukim sebagai pembina dan pengembang adat dan penegak syariat Islam hal tersebut diharapkan mampu menumbuhkan rasa kepedulian dan kebersamaan serta dapat membangun komunikasi yang baik antar sesama dengan tujuan kerukunan bermasyarakat . Imeum Mukim juga harus lebih aktif dalam menjalankan fungsinya terhadap kute yang dibawahinya serta menjalin komunikasi dan koordinasi yang lebih baik lagi.

2. Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah terhadap masyarakat mengenai keberadaan mukim beserta peran dan fungsinya karena keberadaan Imeum

Mukim sekarang sudah mulai ditinggalkankarena kurangnya dukungan dan kampaye tentang keberadaan mukim.

3. Melakukan penyeleksian Imeum Mukim dengan ketat agar yang memimpin Kemukiman adalah orang-orang yang benar-benar mengerti dan paham tentang agama dan adat istiadat penjelasan yang lebih mendalam kepada Mukim terkait fungsinya dan perannya.

4. Perlu dilakukannya peninjauan kembali dan revitalisasi terhadap penempatan kedudukan Mukim didalam struktur pemerintahan daerah karena secara tidak langsung mengkaburkan tugas dan fungsi masing-masing struktur pemerintahan di tingkat Kecamatan serta menghambat mekanisme pemerintahan formal pada umumnya.

BAB II

METODE PENELITIAN

A. Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Zuriah (2006:47) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat/mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling berhubungan dan menguji hipotesis.

Berdasarkan pengertian diatas, maka penelitian ini adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat populasi serta menganalisis kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.

B. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di Kemukiman Ladang Lemisik Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara.

C. Informan Peneliti

Suryanto (2005:172) menjelaskan bahwa ada tiga jenis informan dalam penelitian deskriptif kualitatif antara lain informan kunci yaitu informan yang

mengetahui pokok yang diperlukan dalam penelitian, informan utama yaitu informan yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti dan informan tambahan yaitu informan yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti.

Berdasarkan pengertian diatas, maka penulis membagi informan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Informan adalah Camat, Sekretaris Camat.

2. Informan utama adalah Imeum Mukim dan perangkat Mukim

3. Informan tambahan adalah Ketua Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Tenggara dan Masyarakat.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data, informasi, atau keterangan-keterangan yang diperlukan penulis menggunakan metode atau teknik sebagai berikut:

1. Teknik pengumpulan data primer

Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan instrumen wawancara (interview) yaitu, teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan kepada orang yang berhubungan dengan objek penelitian.

Teknik pengumpulan data skunder adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang perlu untuk mendukung data primer. Pengumpulan data skunder dapat dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library research). Yaitu, pengumpulan data yang dilakukan dari buku-buku, karya ilmia, mendapat ahli yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.

b. Studi Dokumentasi (documentary) yaitu, pengumpulan data yang diperoleh dengan catatan-catatan tertulis yang ada di likasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut maslah diteliti dengan instansi terkait.

E. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif.Analisis data kualitatif adalah analisis terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar penelitian dalam menghubungkan fakta, data informasi. Jadi, teknik analisis data kualitatif dilakukan dengan mengorganisir data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan menyusun kesimpulannya dapat diceritakan kepada orang lain (Sugiyono,2008:246).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Makin berkembangnya situasi yang dinamis dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia juga akan mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah, tanpa disadari keberadaan hukum adat lama-lama akan pudar dan justru lebih menimbulkan problematik serta akan mengancam disintegrasi bangsa. Pemerintah dalam menyikapi fenomena yang ada terkadang juga di benturkan oleh problem yuridis dan sosiologi jika akan memberikan kebijakan terkait pemberlakuan hukum adat di daerah.

Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan Hindia Belanda dalam melancarkan imperialismenya melalui kebijakan hukum adat.Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, dan juga akhir-akhir ini kecuali Era Orde Baru di gampong-gampong dan juga dikemukiman memiliki sistem musyawarah penyelesaian sengketa.

Pada masa Sultan Iskandar Muda, perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh keuciek (kepala desa) dengan tengku meunasah (kiai yang memimpin Masjid di desa) yang dibantu oleh tuha peut.Tanpa vonis, maksudnya, tanpa kalah menang persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut denganhukum peujroh (hukum kebaikan) sehingga dari aspek historis, sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara kecil, pencurian kecil, perkelahian, perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang nilai perkaranya tidaklebih

Meskipun dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim dan gampong/kute (desa) tersebut di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh masih tetap memegang peran dalam kehidupan masyarakat.Beberapa Undang-Undang yang lahir pasca reformasi, semakin membuka peluang bagi otonomi yang lebih besar bagi daerah, antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, khusus bagi aceh terdapat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Aceh dengan nama Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

Setelah reformasi terjadi amandemen terhadap UUD 1945, salah satu pengaturan penting yang mendapat tempat dalam perubahan tersebut adalah mengenai pemerintahan di daerah. Dalam Undang-UndangNomor 18 Tahun 2001 Pasal 18 N disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi,kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah (Pemda). Pemda mengatur sendiri urusan rumah tangga menurut azaz otonomi dan perbantuan.Pemda menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

DalamUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 18 Bdisebutkan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang.

Berbagai Undang-Undang tersebut telah memberikan kebebasan dan kewenangan yang besar kepada Aceh dalam melakukan pengelolaan kekayaan alam dan juga kebebasan menjalankan sistem pemerintahannya menurut karakteristiknya.Khusus mengenai sistem pemerintahan yang demikian sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana pengelolaannya. Harus diingat bahwa aturan yang bagus jika tidak dilaksanakan tidak akan berarti apa-apa.

Setelah bergulirnya reformasi di Indonesia, melahirkan pola pemerintahan yang tidak lagi tersentralisasi.Setiap daerah memiliki kebijakan tersendiri untuk mengatur daerahnya yang sering disebut desentralisasi. Dalam pemerintahan masyarakat di Aceh salah satu kebijakan yang diatur oleh daerahnya sendiri adalah tentang kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri dari beberapa kute yang mempunyai batas wilayah tertentu dipimpin oleh Imeum Mukim yang berkedudukan langsung di kecamatan atau lain sesuai daerahnya.Dalam Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2016 pasal 98 juga dituliskan bahwa ada beberapa lembaga adat dan Imeum Mukim menduduki urutan kedua setelah Majelis Adat Aceh dan diperkuat dengan dibuatnya Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008.

Dalam masyarakat Aceh pada umumnya, mukim sudah mendarah daging, turun temurun dan mengakar dalam sosial budaya pada masyarakat sepanjang abad lamanya.Keberadaan mukim dalam sepanjang sejarahnya telah memberikan

sumbangan yang berharga terhadap keberlangsungan masyarakat Aceh dalam berbagai perkembangan dan kemajuan.

Masyarakat Aceh sebagian besar mencari dan mendapatkan keadilan melaluipemecahan masalah secara tradisional (adat).Namun dari banyak penelitian yang telahdilakukan termasuk penelitian dari UNDP menunjukkan bahwa anggota masyarakatseringkali tidak menyadari bagaimana pertikaian itu diselesaikan menurut adat.

Berdasarkan catatan sejarah, Mukim telah ada di dalam tata pemerintahan Kerajaan Aceh pada zaman kekuasaan Iskandar Muda tahun 1607-1636.Lombard (2006: 115-116) menguraikan bahwa terdapat pembagian wilayah di negeri Aceh yang dinamakan “Groot Atjeh” yang terdiri dari empat kaum, tiga sagi yang kemudian dibagi lagi atas mukim dan sebagainya.Pada prinsipnya, Sultan Iskandar Muda menggabungkan kampung-kampung yang diatur sebagai sebuah federasi hingga istilah penggabungan kampung tersebut dikenal sebagai mukim dan

sagi.Namun, sistem pemerintahan yang ada belum diatur secara rigid dan tertib

karena Sultan Iskandar Muda lebih mengandalkan para pengawas dan gubernurnya yang setia untuk mengawal dan mengelola pemanfaatan sumber daya alam oleh rakyat Aceh.

Sifat-sifatdasar adat yaitu: mengalir, lisan dan tidak terstruktur dikaitkandengan perkembangan hukum di Aceh dan berlakuknya sistem hukum formal(pengadilan negeri dab mahkamah syariah) menyebabkan timbulnya berbagaipengertian baik mengenai lembaga adat maupun prosedur umum dari

prosespenyelesaian perselisihan secara adat. Kondisi ini diperparah oleh terjadinya bergeseran,kevakuman dan hilangnya kepemimpinan adat yang disebabkan oleh konflik panjangyang terjadi di Aceh.

Dalam setiap permasalahan yang ada di Aceh diselesaikan terlebih dahulu secara adat sebelum penyelesaian secara hukum, karena menurut kepercayaan masyarakat Aceh yang tidak tertulis bahwa adat merupakan landasan dasar dalam setiap hal dan dipercaya mampu menyelesaikan setiap permasalahan. Penyelesaian masalah dengan adat tidak menghentikan proses hukum apabila hal itu terkait tindak pidana namun dapat mengurangi beban hukum yang diterima oleh pelaku tindak pidana.

Tidak jarang terjadi konflik masyarakat dikemukiman ladang lemisik Kecamatan Lawe Alas Aceh Tenggara dan merupakan tanggung jawab Imeum Mukim untuk menyelesaiaknnya.Oleh sebab itu seluruh desa membutuhkan seseorang yang adil dalam penyelesaian hukum.Di Aceh sendiri penyelesaian masalah antar desa diserahkan kepada Imeum Mukim.Imeum Mukim bertanggungjawab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.Karena Imeum Mukim adalah masyarakat adat yang bertugas untuk mengawasi, menjaga dan menjalankan segala hal yang berhubungan dengan adat yang melalui tahapan pemilihan.

Dalam hal penyelesaian masalah antar kute ini dihadiri oleh kedua belah pihak Kepala Kute (kepala desa), Badan Permusyawaratan Kute (BPK) dan mukim itu sendiri sebagai pemimpin tertinggi dalam permusyawarah atau mufakat

kesepakatan yang ditanda tangani oleh kepala kute dari kedua belah pihak, BPK dan Mukim.

Musyawarah dan mufakat dijadikan wadah dalam menyelesaiakan masalah didaerah Aceh karena dipercaya dapat memperbaiki hubungan yang renggang akibat permasalahan yang timbul serta dapat mengurangi perpecahan karena musyawarah ini merujuk pada kesepakatan kedua belah pihak dan dijembatani oleh mukim, kepala kutedari kedua belah pihak serta BPK tiap-tiap kutetersebut.

Mukim tidak hanya berfungsi sebagai pemecah masalah dalam musyawarah,tetapijuga sebagai Lembaga adat yang bertugas langsung di bawah kecamatan untuk melindungi Kute. Keberadaan mukim sangatlah diperlukan didalam masyarakat dikarenakan Imeum Mukim telah dipercaya sejak kerajaan Sultan Iskandar Muda yang memangku adat dan mengelola beberapa kute serta berperan sebagai yang mengimplementasikan setiap kebijakan dan peraturan adat agar tetap berjalan dan terjaga demi keberlangsungan adat Aceh itu sendiri.

Dengan dijadikannya Imeum Mukim sebagai seseorang yang dipercaya untuk menangani permasalahan antar kutemembuat penulis tertarik untuk meneliti hal tersebut, karena hanya di Aceh yang terdapat Imeum Mukim yang membawahi beberapa kuteuntuk ditangani sebagai penyelenggara pemerintah yang juga berada di bawah kecamatan. Juga konflik yang terjadi pada antar kute menjadi tanggung jawab Imeum Mukim dan harus diselesaikan melalui adat terlebihdahulu, sehingga penulis meneliti dengan judul “Peran Imam Mukim Dalam Menyelesaikan Konflik

Masyarakat di Kemukiman Ladang Lemisik Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana peran Imeum Mukim dalam menyelesaikan konflik masyarakat pada kemukiman Ladang Lemisik Kecamatan Lawe Alas Kabupaten Aceh Tenggara “.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kedudukan Mukim dalam administrasi pemerintahan.

2. Untuk mengetahuibagaimana peran Imeum Mukim dalam menyelesaikan konflik masyarakat.

3. Untuk mengetahui tingkat efektivitas penyelesaian konflik masyarakat yang ditangani oleh Mukim.

4. Untuk mengetahui respon masyarakat dengan adanya Imeum Mukim.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dan manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Secara subjektif, sebagai suatu sarana melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah dan kemampuan untuk menuliskannya dalam

bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian teori dan aplikasinya yang di peroleh dari Ilmu Administrasi Negara.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik secara umum dan Ilmu Administrasi Negara secara khusus dalam dalam menambah bahan kajian perbandingan bagi yang menggunakannya.

3. Secara praktis, bagi Mukim Ladang Lemisik, penelitian ini diharapkan mampu member sumbangsih pemikiran informasi dan saran.

E. Kerangka Teori

Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep (Singarimbun,1989:37).

Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variable pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto,2000:92).

Teori dapat digunakan sebagai landasan atau dasar berpikir dalam memecahkan atau menyelesaikan suatu masalah dimana teori dapan membantu peneliti sebagai bahan referensi atau pendukung, oleh karena itu kerangka teori diharapkan dapat memberikan dukungan pemahaman untuk peneliti dalam memahami masalah yang sedang di teliti.

1. Pengertian Peran

Peran merupakan kemampuan seseorang dalam memposisikan diri sesuai ruang dan waktu serta dapat memahami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Oleh sebab itu seorang Kepala Desa harus tahu dan mampu memainkan perannya sebagai seorang pemimpin didesanya. Seperti kutipan dari defenisi Peran merupakan perilaku yang di tuntut untuk memenuhi harapan dari apa yang di perankannya. Konsep tentang peran (role) menurut Komaruddin (1994:768) dalam buku “Ensiklopedia manajemen”mengungkapkan sebagai berikut:

a. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen. b. Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status. c. Bagian dari suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata. d. Fungsi yang diharapkan atau menjadi karakteristik yang ada padanya. e. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa peranan merupakan penilaian sejauhmana fungsi seseorang atau bagian dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai hubungan 2 (dua) variabel yang mempunyai hubungan sebab akibat.

Adapun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara.Pertama, suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga drama atau teater yang hidup subur pada jaman yunani

kuno (Romawi).Dalam arti ini, peran menunjukkan pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama.

Kedua, suatu penjelasan yang menunjukkan pada konotasi ilmu sosial,

yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam struktur sosial.

Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional menyebutkan

bahwa peran seseorang aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/unjuk peran (role performance)”.Pada dasarnya ada dua paham yang dipergunakan dalam mengkaji teori peran yakni paham strukturisasi dan paham interaksionis.Paham strukturisasi lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit kultural, serta mengacu ke perangkat hak dan kewajiban yang secara normatif telah direncanakan oleh sistem budaya.

Menurut Beck,William dan Rawlin (1986: 293), pengertian peran adalah cara individu memandang dirinya secara utuh meliputi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Sementara itu menurut Alvin L.Bertrand seperti dikutip oleh Soleman B. Taneko menyebutkan bahwayang dimaksud dengan peran adalah “pola tingkah laku yang diharapkan dari seseorang yang memangku status atau kedudukan tertentu” (Soleman B. Taneko,1986:23).

Pendapat tersebut senada dengan yang dikatakan Margono Slamet (1985:15) yang mendefinisikan peranan sebagai “sesuatu perilaku yang dilaksanakan oleh seorang yang menempati suatu posisi dalam

masyarakat.Sedangkan Astrid S. Susanto (1979:94) menyatakan bahwa peranan adalah dinamisasi dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan kewajiban atau disebut subyektif. Dalam kamus bahasa Inggris, peranan (role) dimaknai sebagai tugas atau pemberian tugas kepada seseorang atau sekumpulan orang. Peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi-fungsi oleh struktur-struktur tertentu, peranan ini tergantung juga pada posisi dan kedudukan struktur itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tersebut.Peranan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari aktor tersebut” (Banyu dan Yani, 2005:31).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang yang berdasarkan posisinya dimasyarakat.Sementara posisi tersebut merupakan identifikasi dari status atau tempat seseorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan perwujudan dan aktualisasi diri.Peranan juga diartikan serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam kelompok sosial.

2. Imeum Mukim

a. Pengertian Imeum Mukim

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat 13, yang dimaksud dengan Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan

beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain.

Melanjutkan Undang di atas maka dikeluarkan Undang-Undang yang secara khusus membahas tentang Pemerintahan Aceh pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Berdasarkan Undang-Undang diatas, maka dikeluarkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 yang mencantumkan kembali Mukim didalam struktur pemerintahan kemudian diteruskan dengan Qanun Aceh Tenggara Nomor 02 Tahun 2014. Pada Qanun Aceh Tenggara No. 2 Tahun 2014 Pasal 1 menjelaskan bahwa pengertian Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dibawah Kecamatan yang terdiri atas beberapa kute yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan berkedudukan langsung di Kecamatan. Imeum Mukim adalah kepala pemerintahan Mukim berkedudukan sebagai institusi Pemerintahan adat dibawah Kecamatan yang membawahi gabungan atau federasi dari beberapa kute dalam struktur kemukiman setempat untuk menyelenggarakan pemerintahan mukim dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kehidupan berdemokrasi dalam wilayah kemukiman, melestarikan adat serta adat istiadat setempat yang sesuai dengan syariat Islam, melindungi fungsi ekologi dan sumber daya alam sesuai dengan kesadaran, aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam desa yang tergabung dalam struktur kemukiman.

Berdasarkan Qanun diatas, Pemerintahan Mukim dilaksanakan oleh tiga unsur. Pertama, unsur adat yang diwakili oleh Imeum Mukim. Kedua, unsur agama yang diwakili oleh Imeum Masjid, ketiga, unsur dewan yang diwakili oleh Tuha Lapan. Meskipun ketiga unsur itu dipilah kewenangannya, namun dalam pengambilan keputusan diperlukan adanya persetujuan bersama.

Pelaksanaan putusan dipresentasikan Imeum Mukim sehingga putusan yang diambil merupakan keputusan yang kuat karena merupakan keputusan semua unsur pimpinan yang mewakili masyarakat. Sebab itu pula dapat diperkirakan didukung oleh semua unsur yang ada dalam masyarakat. Imeum Mukim adalah orang yang dipercaya untuk memimpin suatu Mukim

yang membawahibeberapakutemelaluitahappemilihan yang menghadirkankepalakute sertatokohadat dan orang yang dituakan.

b. Kedudukan Mukim

Di dalam lembaga adat sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 98 tentang Pemerintah Aceh mempunyai susunan sebagai berikut :

1) Majelis Adat Aceh

Majelis Adat Aceh (MAA) mempunyai tugas pokok dan fungsi yaitu membina dan mengembangkan lembaga-lembaga Adat Aceh, melestarikan nilai-nilai adat yang berlandaskan Syariat Islam

Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi federasi dari beberapa gampong.

3) Imeum Chik atau nama lain

Imeum Chik atau nama lain adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam.

4) Keuchik atau nama lain

Keuchik atau nama lainmerupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.

5) Tuha Peut Gampong atau nama lain

Tuha Peut Mukim atau nama lain adalah alat kelengkapan mukim yang berfungsi memberi pertimbangan kepada imeum muk.

6) Tuha Lapan atau nama lain

Tuha Lapan memiliki fungsi dan tugas menginventarisir semua potensi gampong berupa berupa sumber daya alam (SDA) yang dapat dimanfaatkan baik sebagai subjek maupun sebagai objek pembangunan masyarakat gampong

Dokumen terkait