• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Perairan Laut Sumatera Selatan

Secara geografis, perairan laut Provinsi Sumatera Selatan termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Natuna memiliki arti strategis baik ditinjau dari sumberdaya yang dikandung maupun dari segi lalu lintas pelayaran serta memiliki wilayah perbatasan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perbatasan melalui berbagai usaha perikanan selain dapat meningkatkan aspek kesejahteraan juga keamanan. Dengan aspek kesejahteraan, dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya alam untuk meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan, sedangkan aspek keamanan adalah meningkatkan upaya pengamanan wilayah perairan perbatasan tersebut.

Menurut Cholik et al. 1995, perairan Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dengan rata-rata kedalaman perairan 70 m, pada dasar relatif rata dan produktivitas perairan sangat dipengaruhi oleh musim. Sekitar sepertiga luas perairan termasuk ke dalam perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Luas perairan Laut Cina Selatan yang masuk wilayah Indonesia diestimasi sekitar 595.000 km2

Kondisi obyektif menunjukkan tingginya tingkat eksploitasi di perairan Laut Cina Selatan baik oleh armada Indonesia maupun asing membawa konsekwensi turunnya sediaan ikan disertai penurunan hasil tangkapan dan perubahan struktur populasi. Oleh karena itu, pengkajian stok ikan melalui estimasi tentang jumlah atau kelimpahan (abundance) sumberdaya, estimasi laju pengurangan stok yang disebabkan oleh penangkapan dan sebab-sebab lain, serta indikator perubahan stok ikan sangat penting diketahui. Di pihak lain, informasi tentang status sumberdaya ini digunakan oleh para penentu kebijakan dan para pengelola perikanan untuk menentukan sejumlah tindakan yang diperlukan dalam meningkatkan pemanfaatan yang terbaik atas sumberdaya ikan.

dengan iklim tropis dan curah hujan yang tinggi, maka perairan ini memiliki ekosistem dengan keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Sumberdaya ikan yang melimpah terutama kelompok ikan pelagis kecil, demersal, dan udang penaeid.

(1) Sumberdaya perikanan pelagis kecil

Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan berkembang sejak tahun 1970-an, di mana penangkapan ikan banyak menggunakan gill net dengan trip harian (one day fishing) terutama oleh nelayan di Kalimantan

Barat. Penggunaan pukat cincin (purse seine) berkembang sejak tahun 1986 oleh nelayan yang berpangkalan di Pontianak dan Pemangkat. Dalam perkembangan, banyak kapal pukat cincin dari Pekalongan (Jawa Tengah) yang menangkap ikan pelagis kecil di perairan Laut Cina Selatan bahkan sampai dengan di daerah Natuna terutama pada musim Tenggara (Sadhotomo and Potier, 1995).

Penghitungan nilai potensi lestari (maximum sustainable yield) berdasarkan pada data terbaru (tahun 2002 sampai dengan 2004) belum dapat ditentukan. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2001) perairan Laut Cina Selatan yang memiliki luas perairan sekitar 550.000 km2

(2) Sumberdaya ikan demersal

mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis kecil 621.500 ton dengan tingkat pemanfaatan sekitar 33% dari potensi lestari.

Hasil tangkapan ikan pelagis kecil neritik dan kostal dengan alat tangkap bagan di perairan Bangka-Belitung didominasi oleh ikan teri (Stolephorus

spp.) dan cumi-cumi (Loligo spp.). Sementara itu, hasil tangkapan payang didominasi oleh ikan siro (Amblygaster sirm) dan tembang (Sardinella

gibbosa). Hasil tangkapan pancing di sekitar Tanjung Pandan, Belitung

didominasi oleh selar (Selar spp. dan Atule mate) dan banyar (Rastrelliger

kanagurta).

Daerah penyebaran ikan pelagis kecil oseanik di perairan Laut Cina Selatan meliputi perairan Selat Karimata, perairan Barat Pemangkat dan sekitar Kepulauan Natuna. Perikanan bagan di Bangka terdapat di sepanjang pantai Utara seperti di Sungai Liat, Koba dan Pangkal Pinang, serta sebelah Barat Belitung. Daerah penangkapan ikan dengan payang terdapat di perairan Utara Bangka (kira-kira 5 sampai dengan 10 mil dari pantai), Pulau Tujuh dan Pulau Kelasa di sebelah Timur pada kedalaman 25 m.

Secara geografis, dimaksud dengan perairan Laut Cina Selatan dalam konteks sumberdaya ikan demersal terletak pada posisi geografis antara 01°40’00” LU–03°00’00” LS dan 104°30’00”–110°00’00” BT. Data dan informasi tentang sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan pada periode kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Republik Federasi Jerman (GTZ) antara tahun 1975 sampai dengan 1978 dapat

dikatakan merupakan data awal (benchmark) yang dapat digunakan sebagai salah satu pembanding bagi hasil-hasil penelitian periode sesudah. Setelah diberlakukan Keppres.39/80 tentang pelarangan trawl, penelitian sumberdaya ikan demersal dilakukan secara parsial dan tidak berkesinambungan. Pelaksanaan lebih dititikberatkan di tempat-tempat pendaratan ikan terpilih di Laut Cina Selatan.

Tingginya tingkat pemanfaaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan tampak dari kecenderungan menurunnya angka kepadatan stok sebagai hasil dari survei trawl di Laut Cina Selatan selama beberapa tahun. Survei pada bulan Agustus sampai dengan September 1975 diperoleh kepadatan stok 2,36 ton km-2 diikuti dengan penurunan pada tahun 1978 menjadi 1,8 ton km-2 dan seterusnya pada bulan Agustus 2001 diperoleh nilai 1,04 ton km-2. Survei trawl dengan tipe standar (high opening trawl/Thailand

trawl) pada bulan Juni sampai dengan Juli 2005 diperoleh nilai kepadatan

stok 1,70 ton km-2 dengan standing stock or biomass 487.000 ton. Mengacu pada luas daerah penangkapan ikan demersal di Laut Cina Selatan seluas 558.000 km2

Perubahan tersebut diduga sebagai akibat ada perubahan kondisi oseanografis perairan yang secara langsung mempengaruhi perilaku pengelompokkan ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan. Perubahan musim tersebut berlangsung secara reguler mengikuti pola pergerakkan matahari yang selanjutnya menyebabkan timbul 2 puncak musim (monsoon) yaitu musim Timur dan Barat. Kegiatan survei pada tahun 1975 dilakukan pada bulan Agustus atau September, sedangkan tahun 1978 dan 2005 dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Juli.

(Widodo et al. 1998), maka diperoleh nilai potensi lestari 474.300 ton. Dibandingkan dengan potensi tahun 2001 yang besar 334.800 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2001), maka mengalami peningkatan sekitar 41,6%.

(3) Sumberdaya perikanan udang

Penghapusan trawl di Laut Cina Selatan tampak tidak banyak memberikan dampak penurunan produksi udang, sebaliknya malah cenderung meningkat terutama sejak tahun 1997 sebagaimana tampak di perairan Barat Kalimantan. Peningkatan tersebut terutama untuk jenis udang krosok (dalam statistik perikanan dimasukan kategori udang lain).

Peningkatan catch per unit of effort didominasi oleh udang yang berukuran kecil atau krosok (dalam statistik perikanan termasuk kategori udang lain) dan sebagian udang jerbung dan dogol. Peningkatan udang krosok diikuti oleh menurunnya jumlah unit alat tangkap, antara lain jermal, sero, serok, dan perangkap lain yang sebagian besar dioperasikan secara pasif dan mengandalkan proses pasang surut. Sementara itu, jumlah unit gill net,

trammel net, dan pukat pantai tahun 1991 sampai dengan 2000 cenderung

mendatar atau relatif tetap dari tahun ke tahun.

Dokumen terkait