• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peralihan harta bersama orang yang tidak berada di tempat (Afwezeig)

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA BERSAMA ORANG YANG TIDAK BERADA DI TEMPAT (AFWEZIG)

C. Perlindungan Hukum Terhadap Harta Bersama Orang Yang Tidak Berada Di Tempat (Afwezig) Tempat (Afwezig)

1. Peralihan harta bersama orang yang tidak berada di tempat (Afwezeig)

Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(selanjutnya disebut UUD 1945) hasil amandemen kedua memberi definisi tentang penduduk dalam dua kategori yaitu warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan

111 Pasal 484 KUH Perdata

112 Pasal 471 KUH Perdata

113J.Satrio, Op. Cit.

114 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta, Intermasa, 2001, h. 58

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminduk) juga memberi definisi yang sama, penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Kedua ketentuan di atas memberi definisi yang berbeda terhadap penggolongan penduduk yang sebelumnya diatur dalam Pasal 163 Indische Staatregeling (Is), ketentuan ini membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Pribumi/Bumiputera.

Amanat ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Adminduk yaitu menghapus penggolongan penduduk dalam hal pelayanan administrasi kependudukan. Kaitannya dalam penelitian ini bahwa kedua ketentuan tersebut di atas, tidak serta merta menghapus ketentuan berlakunya hukum waris barat. Hukum waris barat merupakan bagian dari isi Kitab Undang- undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) diterapkan dalam mengatur dan menyelesaikan urusan waris di Indonesia. Hal ini juga berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 hasil amandemen keempat yang dengan tegas mengatur bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru. Satu komunitas yang sama, dimungkinkan di dalamnya ada beberapa sistem hukum berlaku secara bersamaan, keberlangsungan pluralitas sistem hukum dapat memicu berbagai masalah dan ketegangan, namun ketegangan tersebut menjadikan Hukum Barat berkembang seiringan dengan penerapannya dan menjadi acuan hukum yang mampu memecahkan beberapa konflik hukum.

Dasar hukum berlakunya BW di Indonesia adalah Azas Konkordansi dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Sudikno Mertokusumo menambahkan, bahwa para ahli tidak mempersoalkan secara mendalam mengapa hukum Belanda masih berlaku di Indonesia dan sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 serta masih dibutuhkan.115 Masalah warisan di Indonesia dapat diselesaikan menurut hukum waris barat,

115 Mas Anienda Tien, Hukum Perdata Dalam Sistim Hukum Nasional, http://elearning.upnjatim.ac.iddiakses terakhir pada tanggal 10 Oktober 2017, pulul 13.00 WIB.

hukum waris Islam dan hukum waris adat. Hukum waris barat bersumber dari KUHPerdata terjemahan dari BW peninggalan Belanda.

Effendi Perangin dalam bukunya menggambarkan keberlakuan dari ketiga acuan hukum tersebut sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan hukum waris dalam KUHPerdata hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada KUHPerdata itu, mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, khususnya mengenai hukum waris ialah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa, sebagian besar rakyat Indonesia tunduk kepada hukum adat, di berbagai daerah ketentuan-ketentuan mengenai pewarisan yang diatur dalam hukum Islam telah meresap ke dalam hukum adat.116

Amanat yang terkadung dalam Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen kedua dan Pasal 1 angka 2 UU Adminduk, jika dilihat dari definisi penduduk maka seharusnya ketentuan hukum waris dalam KUHPerdata berlaku bagi setiap penduduk di Indonesia tanpa penggolongan.

Hal ini menjadi alasan logis yang menjadi spirit dalam melakukan penelitian ini, karena secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dipedomani oleh semua penduduk di Indonesia tanpa penggolongan dalam menerapkan norma dan ketentuan pewarisan.

Pewarisan merupakan salah satu pranata peralihan hak yang sering menjadi pemicu perselisihan dalam keluarga yang diatur dalam hukum perdata. Semua cabang hukum yang termasuk dalam bidang hukum perdata memiliki kesamaan sifat dasar antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan, sifat inilah yang ditengarai menjadi penyebab bahwa ketentuan hukum waris tidak dapat diterapkan secara efektif untuk melindungi hak-hak tiap individu dalam suatu pewarisan. Selain karena sifatnya, adanya keragu-raguan dan kekeliruan dalam penerapan norma hukum waris juga dapat menciderai rasa keadilan dan tidak dapat melindungi hak-hak tiap individu dalam suatu pewarisan.

Pasal 830 KUHPerdata, mengatur bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian, tidak ada pewarisan tanpa kematian. Tan Thong Kie menambahkan bahwa salah satu syarat pewarisan

116 Effendi Perangin, Hukum Waris, Cet. X, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, h.. 2.

adalah meninggalnya pewaris, termasuk “ada dugaan hukum sudah meninggal”.117 Pendapat ini berupaya menjelaskan adanya kaitan antara ketentuan Pasal 830 KUHPerdata tentang syarat suatu pewarisan dengan Pasal 463 KUHPerdata tentang ketentuan ketidakhadiran (afwezigheid).

Ketidakhadiran (afwezigheid) dalam KUHPerdata mengenal 3 masa, yaitu:

a. Pengambilan tindakan sementara;

b. Masa ada dugaan hukum mungkin telah meninggal;

c. Masa pewarisan definitif.118

Masa pewarisan definitif memiliki beberapa akibat hukum, di antaranya adalah para ahli waris atau orang yang memperoleh hak berhak menuntut pembagian warisan atas harta kekayaan orang yang tak hadir itu.119

Pasal 484 KUHPerdata mengatur tentang masa ketiga dalam ketidakhadiran (afwezigheid), yaitu masa pewarisan definitif dengan ketentuan yang tertulis sebagai berikut:

Apabila waktu selama tiga puluh tahun telah lewat, setelah hari pernyataan barangkali meninggal tercantum dalam putusan atau, apabila sebelum itu, waktu selama seratus tahun telah lewat, semenjak hari lahir si tak hadir, maka terbebaslah sekalian penanggung, sedangkan pembagian harta kekayaan yang ditinggalkan, sekadar ini telah berlangsung, tetap berlaku, atau, jika belum berlangsung, para barangkali ahli waris boleh mengadakan pembagian yang tetap, seperti pun hak-hak lainnya atas harta peninggalan, boleh dinikmati pula. Demikianlah hak istimewa akan pendaftaran berakhir, sehingga para barangkali ahli waris harus diwajibkan menerima atau menolak, menurut peraturan yang ada tentang itu.120

Secara ringkas Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia” menjelaskan: Jika tidak ada kabar kepastian meninggal dunia orang yang tak hadir itu, maka keadaan definitif terjadi apabila lampau tenggang waktu 30 tahun sejak hari pernyataan

117 Tan Thong Kie, Opcit, h.228.

118 Ibid, h.. 44.

119Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 57.

120R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata-Burgerlijk Wetboek, Cetakan ke-39, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, h. 150.

barang kali meninggal dunia yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri; atau apabila tenggang waktu 30 tahun belum lampau tetapi sudah lewat 100 tahun sejak hari lahir orang yang tak hadir itu.121

Ketentuan dan pendapat di atas memperjelas bahwa peralihan harta yang dimiliki oleh pewaris yang disangka mati (afwezig) dan tidak ada kabar kepastian meninggalnya baru dapat dilakukan setelah masa pewarisan definitif, yaitu telah mencapai waktu 30 (tiga puluh) tahun sejak disangka mati atau jika yang disangka mati (afwezig) telah berusia 100 (seratus) tahun.

Pasal 481 KUHPerdata, memberi pengecualian terhadap barang tidak bergerak milik orang yang dalam keadaan tak hadir (afwezig), bahwa boleh dialihkan atau dibebani haknya di luar masa pewarisan definitif dengan ketentuan yang tertulis sebagai berikut: Barang-barang tak bergerak kepunyaan si yang tak hadir yang jatuh dalam bagian atau pengurusan salah seorang barangkali ahli waris, tidak boleh setelah itu dipindahtangankan atau dibebani, sebelum lewat waktu seperti nanti ditentukan dalam Pasal 484 KUHPerdata, kecuali bilamana ada alasan- alasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri.122

Ketentuan Pasal 481 KUHPerdata menjadi kabur/tidak jelas (vague van normen) karena tidak memberikan kepastian dan menimbulkan multitafsir terhadap kalimat “kecuali bilamana ada alasan-alasan yang penting dan dengan izin Pengadilan Negeri”. Barang-barang tidak bergerak dalam ketentuan tersebut tidak boleh dialihkan atau dibebani haknya sebelum lewat waktu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 484 KUHPerdata. Pengecualian terhadap alasan-alasan yang penting untuk dapat dialihkan atau dibebani tidak jelas ditentukan, dan kepentingan tersebut bisa saja direkayasa untuk kepentingan sebagian pihak yang ingin memperoleh keuntungan dan mengesampingkan hak seorang yang disangka mati (afwezig) atau hak-hak ahli waris lainnya.

Perlindungan hukum terhadap harta bersama orang yang tidak berada ditempat (Afwezig) dapat kita lihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

121Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 56.

122 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, h. 149.

pasal 37 dimana disebutkan setiap peralihan hak atas tanah melalui jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, sementara syarat untuk peralihan hak atas tanah di BPN apabila pengalihan hak atas tanah karena pewarisan / meninggal seperti diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 pasal 111 harus adanya bukti penetapan daripada pengadilan.