• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran dan Fungsi Lembaga Penunjang

Dalam dokumen SISTEM USAHA AGRIBISNIS IKAN PATIN SEKOL (Halaman 97-105)

III. SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS

3.4 Subsistem Penunjang

3.4.1 Peran dan Fungsi Lembaga Penunjang

Keberdaan kelembagaan pendukung pengembangan agribisnis nasional sangat penting untuk menciptakan agribisnis Indonesia yang tangguh dan kompetitif. Lembaga-lembaga pendukung tersebut sangat menentukan dalam upaya menjamin terciptanya integrasi agribisnis dalam mewujudkan tujuan pengembangan agribisnis. Beberapa lembaga pendukung pengembangan agribisnis adalah:

Pemerintah

Lembaga pemerintah mulai tingkat pusat sampai tingkat daerah, memiliki wewenang, regulasi dalam menciptakan lingkungan agribinis yang kompetitif dan adil. Peranan pemerintah yaitu memberikan bantuan benih, mengadakan penyuluhan ikan patin, membuat rancangan pengembangan basis ikan patin.

Lembaga pembiayaan

lembaga ini segera dilakukan, terutama dalam membuka akses yang seluas-luasnya bagi pelaku agribisnis kecil dan menengah yang tidak memilki aset yang cukup untuk digunkan guna memperoleh pembiayaan usaha. Bank telah memberikan pembiayaan untuk usaha di berbagai bidang usaha perikanan air tawar dan laut, seperti usaha- usaha budidaya pembenihan dan pembesaran serta usaha perdagangan ikan dan pakannya dengan sumber dana dari pembiayaan sendiri dan dari lembaga internasional (Asian Development Bank= ADB clan International Fund for Agricultural Development =lFAD).

Skim pembiayaan yang disediakan untuk pembudidayaan ikan patin antara lain skim pembiayaan Usaha Kecil (KUK), Pembiayaan Umum Pedesaan (KUPEDES), Pembiayaan Ketahanan Pangan (KKP) dan Pembiayaan Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-nelayan Kecil (P4K) yang dananya berasal dari IFAD/ADB. Jumlah pembiayaan yang disediakan melalui bank dinilai pembudidaya belum mencukupi untuk menutup biaya investasi dan operasional.

Lembaga pemasaran dan distribusi

Peranan lembaga ini sebagai ujung tombak keberhasilan pengembangan agribinis, karena fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan antara deficit unit (konsumen pengguna yang membutuhkan produk) dan surplus unit ( produsen yang menghasilkan produk.

Koperasi

Peranan lembaga ini dapat dilihat dari fungsinya sebagai penyalur input-input dan hasil pertanian. Namun di Indonesia perkembangan KUD terhambat karena KUD dibentuk hanya untuk memenuhi keinginan pemerintah, modal terbatas, pengurus dan pegawai KUD kurang professional.

Lembaga pendidikan formal dan informal

Tertinggalnya Indonesia dibandingkan dengan negara lain, misalnya Malaysia, lemabaga ini sangat berperan sangat besar dalam pengembagan agribisnis dampaknya Malaysia sebagai raja komoditas sawit. Demikian juga Universitas Kasetsart di Thailand telah berhasil melahirkan tenaga-tenaga terdidik di bidang

agribisnis, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya agribisnis buah-buhan dan hortikultura yang sangat pesat. Oleh karena itu, ke depan pemerintah hanyalah sebagai fasilitator bukan sebagai pengatur dan penentu meknisme sistem pendidikan. Dengan demikian diharapkan lembaga pendidikan tinggi akan mampu menata diri dan memiliki ruang gerak yang luas tanpa terbelenggu oleh aturan main yang berbelit-belit.

Lembaga penyuluhan

Sebagai suatu Sistem, Penyuluhan Perikanan merupakan suatu totalitas dari adanya keterkaitan antara Kelembagaan Penyuluhan, Ketenagaan Penyuluhan, Penyelenggaraan Penyuluhan, Sarana Penyuluhan, serta dukungan Pembiayaan Penyuluhan. Komponen atau unsur-unsur penyuluhan tersebut haruslah saling mengisi dan mendukung satu sama lain, dalam suatu sinergi yang mantap, sehingga tercipta kegiatan Penyuluhan Perikanan yang utuh, tidak timpang pada satu atau lebih dari unsur-unsur Penyuluhan Perikanan tersebut. Hal ini terutama terkait dengan Pasal 1 Undang-undang No. 16/2006 yang menyatakan bahwa “Sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan”. Dengan demikian pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan penyuluhan haruslah menjadikan prinsip dasar tersebut sebagai landasan berpikir dan bertindak.

Pemikiran tentang sistem Penyuluhan Perikanan secara langsung maupun tidak langsung juga perlu diintegrasikan dalam hubungannya dengan struktur organisasi yang ada dalam lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan, khususnya yang terkait dengan organisasi Direktorat Jenderal sebagai institusi operasional. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan seyogyanya juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pada Direktorat-direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, P2HP, PSDKP, dan KP3K. Dalam hal-hal tertentu, kegiatan penyuluhan dapat pula diperlukan dalam kegiatan di lingkup Eselon I KKP lainnya. Untuk

tentang pentingnya aktivitas perkarantinaan dan jaminan mutu kepada para stakeholders. Dalam hal Badan Litbang KP, keterkaitan dengan kegiatan penyuluhan menjadi penting saat hasil penelitian harus didesiminasikan kepada masyarakat, atau saat para penyuluh memerlukan masukan tentang teknologi terbaru apa saja yang dapat dijadikan sebagai materi penyuluhan.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, para Penyuluh Perikanan menghadapi kondisi yang berbeda-beda, baik dari sisi geografis wilayah binaan, kondisi sosial- ekonomi masyarakat yang dibina, serta variasi dari komoditas maupun jenis usaha perikanan yang dilakukan masyarakat. Kondisi tersebut memerlukan kesiapan penuh para penyuluh untuk mampu menyesuaikan kegiatan Penyuluhan Perikanan yang dilakukan dengan kondisi yang ada, sehingga kegiatan dapat memberikan hasil yang efektif dan efisien.

Dalam pada itu harus juga disadari bahwa pelaksanaan kegiatan Penyuluhan Perikanan tidaklah berada di ruang hampa; keberadaan dan peran sistem pemerintahan setempat akan pula menjadi faktor yang perlu diperhitungkan dalam menyusun strategi pelaksanaan Penyuluhan Perikanan pada masing-masing wilayah kerja para penyuluh. Hal ini terutama terkait dengan kebijakan Otonomi Daerah, baik yang terkait dengan struktur organisasi pemerintahan daerah pada masing-masing wilayah kabupaten/kota, maupun dalam kaitannya dengan kebijakan bahwa kegiatan Penyuluhan Perikanan adalah kegiatan yang pelaksanaan dan tanggungjawabnya telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota (peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007). Terkait dengan hal ini, pandangan secara sistem mencakup juga adanya kelancaran alur kebijakan Penyuluhan Perikanan sejak dari kebijakan di tingkat pusat, propinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota.

Sejumlah strategi yang akan diterapkan dalam melaksanakan kebijakan KKP tentang Industrialisasi Kelautan dan Perikanan ini adalah: (a) pengembangan komoditas dan produk unggulan berorientasi pasar; (b) penataan dan pengembangan kawasan dan sentra produksi secara berkelanjutan; (c) pengembangan konektivitas dan infrastruktur; (d) pengembangan usaha dan investasi; (e) pengembangan ilmu

keamanan produk; dan (g) penguatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.

Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, Pengembangan industrialisasi kelautan dan perikanan harus selaras dengan rencana Kebijakan Industri Nasional sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 (Rumusan Seminar Nasional Industrialisasi Perikanan Tangkap, DJPT, 2012). Kebijakan Industri Nasional tersebut menetapkan Industri Hasil Perikanan dan Laut sebagai Industri Prioritas yang mengupayakan peningkatan pasokan bahan baku (kualitas dan kuantitas), peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk, nilai tambah, utilitas industri, kemitraan dan integrasi industri.

Komisi Penyuluhan Perikanan Nasional (KPPN) dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 42/2011 tanggal 26 Juli 2011. Dalam selang waktu 2011-2013 KPPN telah melakukan berbagai kegiatan, sejak dari Audiensi dengan MKP dan seluruh Jajaran Eselon I lingkup KKP, menjadi nara sumber pertemuan yang terkait dengan Penyuluhan perikanan, melakukan koordinasi kegiatan dengan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional dan Komisi Penyuluhan Kehutanan Nasional, pembahasan tentang berbagai aspek penyuluhan Perikanan, sampai dengan kunjungan ke beberapa propinsi dan kabupaten/kota untuk mendalami pelaksanaan penyuluhan Perikanan di lapangan.

Permasalahan yang teridentifikasi oleh Komisi Penyuluhan Perikanan Nasional (KPPN) dari pengamatan dan kunjungan ke berbagai daerah, antara lain:

1. Rendahnya keberpihakan dan perbedaan persepsi pemegang kebijakan (terutama di Daerah) terhadap sistempenyuluhan perikanan;

2. Keterbatasan jumlah dan kualitas tenaga penyuluh perikanan PNS;

3. Belum selesainya pembuatan peraturan tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyuluhan perikanan;

4. Terbatasnya sarana dan prasarana bagi pelaksanaan tugas penyuluh perikanan di lapangan; Belum optimalnya peran penyuluh perikanan, terutama penyuluh perikanan swadaya dan penyuluh perikanan swasta dalam mendukung

5. Belum optimalnya peran penyuluh perikanan, terutama penyuluh perikanan swadaya dan penyuluh perikanan swasta dalam mendukung pengembangan sistem penyuluhan perikanan.

6. Terdapat indikasi yang kuat bahwa baik di tingkat Propinsi, dan terutama di tingkat Kabupaten/Kota, koordinasi antara Dinas yang menangani Kelautan dan Perikanan dengan Badan/lembaga yang menangani kegiatan Penyuluhan kurang berjalan dengan baik.

7. Polivalensi Penyuluh; pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada Kabupaten/Kota yang penanganan kegiatan penyuluhannya dikoordinasikan oleh Badan Penyuluhan, kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan cenderung berada dalam 1 (satu) koordinasi kegiatan. Hal ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan utama adanya kebijakan Polivalensi Penyuluh, yaitu setiap individu penyuluh menangani kegiatan penyuluhan bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan dalam kegiatan penyuluhannya sehari-hari.

8. Terbatasnya kegiatan Diklat bagi para penyuluh, sehingga mereka mengalami hambatan dalam mengembangkan up-date materi penyuluhan maupu dalam mengembangkan metoda dan media penyuluhan.

Keberhasilan industrialisasi perikanan membutuhkan Sistem Penyuluhan Perikanan Nasional (SPPN) sebagai landasan dan prioritas dalam pelaksanaan setiap program kerja di lingkup KKP. Implementasi SPPN membutuhkan koordinasi dan kontribusi dari seluruh jajaran eselon I lingkup KKP dalam pemanfaatan unit kerja serta sumberdayanya. Dengan demikian KKP sebagai motor penggerak SPPN harus bersinergi dengan sistem industri nasional yang melibatkanpara pemangku kepentingan dan Kementerian/Lembaga terkait melalui joint program.

Dengan pemikiran bahwa penyuluh perikanan memiliki peran penting dalam mewujudkan industrialisasi perikanan, maka diperlukan langkah mengatasi masalah yang ada, yaitu:

1. KKP sebagai leading sector, hendaknya mengambil peran utama atau bertindak sebagai koordinator bagi seluruhpemangku kepentingan yang

dengan Eselon I dalam lingkup KKP menjadi salah satu kunci keberhasilan upaya ini;

2. KKP mengusulkan secara formal kepada KemenPAN & Reformasi Birokrasi dan BKN, agar jabatan penyuluh perikanan dimasukkan sebagai jabatan fungsional khusus yang tidak terkena moratorium dan pelaksanaannya didukung oleh KemenDagri dan KemenKeu;

3. Peningkatan Kualitas/Kapasitas dan Pembinaan secara kongkrit mengenai tugas/fungsi penyuluh perikanan yang ada sekarang dengan memanfaatkan kelembagaan yang ada dan melalui sertifikasi kompentensi di lingkup KKP;

4. Percepatan penyelesaian peraturan perundang-undangan yang mencakup sistem penyuluhan perikanan terutama tentang pembinaan dan pengawasan penyuluh perikanan;

5. Pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana dan

penyelenggaraan penyuluhan perikanan melalui optimalisasi anggaran yang ada baik di lingkup KKP maupun di lingkup pemerintah daerah.

6. Pengangkatan tenaga penyuluh oleh pihak Pemerintah Kabupaten/kota untuk memenuhi kebutuhan penyuluh perikanan serta mengganti penyuluh yang memasuki usia pensiun. Pada saat yang sama dilakukan upaya peningkatan peran penyuluh perikanan swadaya dan penyuluh perikanan swasta dalam sistem penyuluhan perikanan terutama pada sentra produksi dan industrialisasi perikanan; 7. Diperlukan keterlibatan langsung dari pihak Pemerintah Kabupaten/Kota untuk

dapat mengatasi masalah koordinasi kegiatan penyuluhan antara Dinas dengan Bapeluh dalam melakukan sinkronisasi pelaksanaan kegiatannya, sinkronisasi anggaran pendukung kegiatan pada masing-masing instansi, maupun keterbatasan personil yang ada pada masing-masing instansi. Fungsi Koordinasi yang ada pada Sekretariat Daerah dapat menjadi solusi penanganan masalah ini.

8. Seyogyanya kebijakan Polivalensi tidak melekat pada individu penyuluh, melainkan melekat pada institusi Balai Penyuluhan di tingkat Kecamatan; berbagai aspek yang terkait dengan bidang-bidang penyuluhan

Penyuluhan Kecamatan, dan kemudian para penyuluh, sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi di lapangan, menyampaikannya kepada kelompok sasaran dengan bekal yang telah dibahas bersama di Balai Penyuluhan tersebut.

9. Perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan para penyuluh untuk langsung akses dengan sumber-sumber ilmu pengetahuan. Namun demikian tetap dirasakan kebutuhan untuk secara reguler menyelenggarakan kegiatan DIKLAT bagi para Penyuluh Perikanan. Diharapkan bahwa dengan kegiatan tersebut para penyuluh dapat terus mengembangkan kemampuan dan rasa percaya diri dalam melakukan kegiatan Penyuluhan Perikanan.

10. Perlu diupayakan pemenuhan sarana dan prasarana penyuluhan yang memadai, terutama terkait dengan perkembangan transportasi dan teknologi komunikasi saat ini: fasilitas telephone/HP/Telp. satelit, komputer/laptop dan internet, fax, alat rekam; Sarana Pendukung Penyuluhan: Alat ukur kualitas air (DO meter, pH meter), Salino meter, Bohme meter, dan GPS; basis lokasi penyuluhan Perikanan: Balai atau Kantor Penyuluhan; kelengkapan sarana transformasi teknis perikanan seperti dalam bentuk Dempond, Demplot, Dem Area, Brosur, leaflet.

Pentingnya lembaga penunjang dalam sistem agribisnis

Peran kelembagaan sangat penting dalam kegiatan budidaya pada skala menengah dan kecil. Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan formal (memiliki badan hukum) dan kelembagaan informal (berupa kelompok masyarakat). Kelembagaan formal yang sudah terbentuk dan berfungsi baik yaitu lembaga penguatan modal yaitu Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) bidang perikanan. Lembaga ini bertujuan untuk mengelola bantuan hibah dari pemerintah pusat agar dapat bergulir kepada pelaku usaha perikanan. UPP ini bersifat dinamis dan terbuka pada inovasi yang diharapkan dapat berfungsi sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Minabisnis (SPPM).

Dalam dokumen SISTEM USAHA AGRIBISNIS IKAN PATIN SEKOL (Halaman 97-105)

Dokumen terkait