• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Sistem Reproduksi Hewan Jantan

2.5.3 Peran Hormon pada Spermatogenesis

Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh organ hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Pengaturan pembentukan spermatogenesis dimulai dengan sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin, yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Guyton C.A. 1995).

Luteinizing Hormone disekresikan oleh kelenjar hipofisis bagian anterior. Berperan dalam stimulasi sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron, juga berperan dihasilkannya estradiol. Follicle Stimulating Hormone merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi protein pengikat androgen (ABP) oleh sel Sertoli. Peningkatan ABP ini menyebabkan tingginya konsentrasi testosteron yang penting bagi pembentukan dan pematangan spermatozoa pada proses spermatogenesis. (Junqueira, L. C., Jose Carneiro dan Robert O. K. 2007).

Gambar 6. Mekanisme pengaturan hormon pada spermtogenesis (Sumber: Sutrisno, Landung Hari. 2010)

Sistem pengaturan umpan balik negatif beroperasi terus menerus untuk mengatur dengan tepat kecepatan sekresi testosteron. Hipotalamus mensekresi GnRH yang merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk mensekresi LH. Sebaliknya LH merangsang hyperplasia sel-sel leydig testis dan memproduksi testosteron. Testosteron memberikan umpan balik negatif ke hipotalamus, untuk menghambat produksi GnRH sehingga membatasi kecepatan pembentukan testosteron (Grohol J.M. 2006).

Testosteron dihasilkan oleh sel interstitial leydig bila testis dirangsang oleh LH dari kelenjar hipofisis, dan jumlah testosteron yang disekresi kira-kira sebanding dengan jumlah LH yang tersedia, sedangkan FSH berfungsi untuk merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi protein pengikat androgen oleh sel sertoli, yang merupakan komponen tubulus testis yang berguna menyokong pematangan sel spermatozoa dalam proses spermatogenesis (Sherwood L. 2001). LH dan FSH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior terutama akibat aktivitas saraf pada hipotalamus.

Testosteron merupakan hormon yang mengontrol perkembangan organ reproduksi pria dan tanda seks sekunder pada pria berupa pembesaran laring, perubahan suara, pertumbuhan rambut ketiak, pubis, dada, kumis dan jenggot serta untuk pertumbuhan otot dan tulang. Testosteron merupakan hormon kelamin pria yang disekresikan oleh testis bersama beberapa hormon seks lain yang dinamakan androgen. Testosteron merupakan hormon yang paling banyak dan paling kuat daripada hormon androgen lain, sehingga dianggap yang paling bertanggungjawab akan efek hormonal pria. Testosteron dibentuk oleh sel interstitial leydig yang terletak pada interstitial antara tubulus seminiferus dan membentuk sekitar 20% massa testis dewasa. Semua androgen merupakan senyawa steroid. (Guyton C.A. 1995).

2.6. ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay)

ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay) adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang

tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri.

Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader. Dilakukan pembuatan kurva kalibrasi, plot antara nilai absorbansi dan konsentrasi standar dan kemudian digunakan untuk menghitung kadar pada sampel.

Teknik pengujian dengan metoda ELISA dapat dilakukan dengan beberapa metode, pemilihan tergantung dari besar molekul yang akan dideteksi, serta tingkat sensitifitas dan spesifitas yang dikehendaki.

Beberapa metode tersebut diantaranya (Walker, John.M and Ralph Rapley. 2008):

1. Direct ELISA

ELISA secara langsung adalah bentuk paling sederhana dari ELISA. Teknik ini seringkali digunakan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi antigen pada sampel. ELISA ini menggunakan suatu antibodi spesifik (monoklonal) untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel yang diuji. Dimana antigen pasif melekat pada fase padat pada periode inkubasi. Fase padat yang paling umum digunakan adalah sumuran plat mikrotiter. Setelah dilakukan pencucian, antigen terdeteksi oleh penambahan antibodi yang berikatan kovalen dengan enzim. Kemudian diinkubasi dan ditambahkan kromogen/substrat dimana adanya aktifitas enzim akan menghasilkan warna. Semakin besar

jumlah enzim maka semakin cepat perubahan warna. Kemudian intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer.

Gambar 7. Prinsip ELISA secara langsung (Sumber: Walker, John.M and Ralph Rapley. 2008)

2. Indirect ELISA

Pada metoda ini menunjukan bahwa warna yang ditimbulkan tidak langsung disebabkan oleh antigen dan antibodi yang bereaksi. Dibutuhkan suatu antibodi antispesies yang dilabel dengan enzim. Antigen secara pasif melekat pada sumuran kemudian di inkubasi. Setelah melakukan pencucian, antibodi spesifik diinkubasi dengan antigen. Kemudian sumuran dicuci dan setiap antibodi yang terikat akan terdeteksi dengan penambahan antibodi antispesies yang berikatan secara kovalen dengan enzim. Antibodi tersebut adalah antibodi yang spesifik untuk spesies tertentu.

Antigen melapisi sumuran dengan absorbsi pasif kemudian inkubasi

Sumuran dicuci untuk mendapatkan antigen bebas

Antibodi terkonjugasi dengan enzim ditambahkan dan kemudian diinkubasi

Sumuran dicuci

Tambahkan substrat atau kromofor

Hentikan reaksi dan baca dengan Spektrofotometer

Gambar 8. Prinsip ELISA secara tidak langsung (Sumber: Walker, John.M and Ralph Rapley. 2008)

3. Sandwich ELISA

Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich

mirip dengan ELISA direct. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik ELISA ini cenderung dikhususkan pada antigen memiliki minimal 2 sisi antigenik (sisi interaksi dengan antibodi) atau antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau protein.

Lapisi sumuran dengan antigen terinkubasi Cuci sumuran untuk memperoleh Ag (Antigen) bebas

Tambahkan antibodi Ag yang berlawanan

Cuci bersih antibodi yang tidak bereaksi Tambahkan anti spesies konjugat

Cuci sumuran

Tambahkan substrat/kromofor

BAB 3

Dokumen terkait