• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Spermisidal Dan Evaluasi Pengaruh Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Konsentrasi Hormon Testosteron Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Aktivitas Spermisidal Dan Evaluasi Pengaruh Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Konsentrasi Hormon Testosteron Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS SPERMISIDAL DAN EVALUASI

PENGARUH EKSTRAK ETANOL 70% BIJI JARAK

PAGAR (

Jatropha curcas

L.) TERHADAP

KONSENTRASI HORMON TESTOSTERON PADA

TIKUS JANTAN GALUR

Sprague-Dawley

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

SUCHINDA FER HARTI

1110102000023

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)
(3)
(4)
(5)

Nama : Suchinda Fer Harti

Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Aktivitas Spermisidal Dan Evaluasi Pengaruh Ekstrak

Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap

Konsentrasi Hormon Testosteron Pada Tikus Jantan Galur

Sprague-Dawley

Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas spermisidal dan evaluasi

pengaruh ekstrak etanol 70% biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap

konsentrasi testosteron pada tikus jantan. Ekstrak diberikan secara oral sekali

sehari selama 48 hari. Sampel terdiri dari 25 ekor tikus jantan galur

Sprague-Dawley yang terbagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol (Na CMC 1%),

kelompok perlakuan I (5mg/kgBB), II (25mg/kgBB), III (50mg/kgBB) dan IV

(tidak diberi perlakuan). Kemudian hasil dianalisis dengan menggunakan analisis

One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisons. Konsentrasi

testosteron diukur dengan menggunakan metode ELISA. Hasil menunjukkan

bahwa pemberian ekstrak biji jarak pagar pada kelompok perlakuan dosis

25mg/kgBB dan dosis 50mg/kgBB mengalami peningkatan konsentrasi

testosteron tapi tidak berbeda bermakna secara statistik. Aktivitas spermisidal

secara in vitro dievaluasi menggunakan berbagai seri konsentrasi ekstrak biji jarak

pagar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MEC dari ekstrak biji jarak pagar

dapat melumpuhkan 100% sperma yang berada pada konsentrasi 3.5mg/mL.

Kata Kunci : Antifertilitas, Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.), konsentrasi

(6)

Name : Suchinda Fer Harti

Program Study : Pharmacy

Title : Spermicidal Activity and Evaluation of Effect of 70%

Ethanolic Extract of Jatropha curcas Seeds of Testosterone

Concentration in Male Sprague-Dawley Rats

The present study is conducted to find out the spermicidal activity and evaluation

of effect of 70% ethanolic extract of Jatropha curcas seeds of testosterone

concentration in Male Sprague-Dawley Rats. The extract was given orally once a

day for 48 days. The sample consisted of 25 Sprague-Dawley male rats that were

divided five groups; control group (NaCMC 1%), treatment I (5mg/kgBW), II

(25mg/kgBW), III (50mg/kgBW) and IV (no trreatment). The result of experiment

was analyzed by using One Way ANOVA and by Multiple Comparisons test.

Testosterone concentration was measured with ELISA method. The results

showed that 70% ethanolic extract of Jatropha curcas seeds in dosage

25mg/kgBW dan dosis 50mg/kgBW resulted increased to testosterone

concentration but no significant differences. Spermicidal efficacy was evaluated in

vitro test using different concentrations extract of Jatropha curcas seeds. The

minimum effective concentration (MEC) of Jatropha curcas seed extract for 100

% immobilization of sperm in 20 secs was around 3.50 mg/mL.

Key Words: Anitfertility, Jatropha curcas seeds, testosterone concentration,

(7)

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur yang tidak terhingga kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan

kepada penulis sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “UJI AKTIVITAS SPERMISIDAL DAN EVALUASI PENGARUH EKSTRAK ETANOL 70% BIJI JARAK PAGAR (Jatropha

curcas L.) TERHADAP KONSENTRASI HORMON TESTOSTERON

PADA TIKUS JANTAN GALUR Sprague-Dawleyyang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah

memperoleh bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa meluangkan waktu

dalam memberikan bimbingan, petunjuk, saran serta dorongan kepada penulis

dalam penyusunan skripsi ini. Selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari

bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini perkenanlah penulis

menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus dan

sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. DR. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Umar Mansur M.Sc, Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Azrifitria M.Si, Apt., selaku pembimbing yang dengan sabar telah

memberikan ilmu, pengarahan, bimbingan dan bantuannya dalam

penyusunan skripsi ini.

4. Puteri Amelia M.Farm, Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan

arahan, bimbingan dan bantuannya dalam membimbing penulis selama ini.

5. Bapak dan Ibu dosen Program Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis selama

(8)

dukungan baik moril maupun materi serta doa yang tak terhingga di setiap

langkah penulis. Tidak ada apapun di dunia ini yang dapat membalas

semua kebaikan, kasih sayang yang telah kalian berikan kepada anakmu,

semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan, perlindungan,

keberkahan kepada kedua orangtua hamba tercinta.

7. Kakakku tersayang Adnes Sandi Ahmad dan Adikku tersayang Shindy

Nurjannah yang dengan sabar dan ikhlas telah meluangkan waktu dan

tenaganya untuk membantu penulis.

8. Teman temanku tersayang, Yeyet Durotul Yatimah, Mayta Ravika, Annisa

Nur Fitriani, Auva Marwah Murod, Salsabiela Dwi dan Myra Kharisma

atas kebersamaan, semangat dan dukungannya yang telah banyak

membantu dan memotivasi penulis.

9. Teman seperjuangan sepenelitian Jaga Paramudita dan Julia Anggraini,

terimakasih atas bantuan, motivasi dan kebersamaannya selama penelitian.

10.Teman-teman seperjuangan Farmasi Angkatan 2010, Andalusia yang telah

saling mendukung, mengisi keceriaan dan memberi semangat selama

proses perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi ini.

11.Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian

skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua

bantuan, dan dukungan yang diberikan. Dengan segala kerendahan hati, penulis

menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan

skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik yang sangat

membangun dari pembaca guna memperbaiki kemampuan penulis.

Ciputat, 2 Juli 2014

(9)
(10)

HALAMAN JUDUL... 2.1.5 Kandungan Kimia Biji Jarak... 2.1.6 Kegunaan... 2.5. Sistem Reproduksi Hewan Jantan...

2.5.1. Spermatozoa... 2.5.2. Spermatogenesis ... 2.5.3. Perah Hormon pada Spermatogenesis... 2.6. ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay)...

(11)

3.2.4.Alat... 3.4.4.Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik... 3.4.4.1. Parameter Spesifik...

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...

4.1.Hasil Penelitian... 4.1.6. Pengukuran Konsentrasi Hormon Testosteron... 4.1.7.Pengujian Aktivitas Spermisidal... 4.2.Pembahasan...

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN...

(12)

2.1. Komposisi kimia inti biji dan cangkang biji jarak pagar... 9

2.2. Data Biologis tikus... 15

3.1. Perlakuan terhadap kelompok tikus... 29

3.2. Pengenceran yang dilakukan dan kotak yang dihitung... 34

3.3. Cara Pengenceran... 34

3.4. Rumus Konsentrasi Spermatozoa... 34

4.1. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Biji Jarak Pagar... 37

4.2. Parameter Standar ekstrak etanol biji jarak pagar... 38

4.3. Rerata Konsentrasi Spermatozoa tikus... 39

4.4. Konsentrasi Testosteron... 40

4.5. Aktivitas Spermisidal Ekstrak Etanol Biji Jarak Pagar... 41

(13)

1. Tanaman, daun, bunga, buah dan biji Jatropha curcas... 7

2. Sistem reproduksi hewan jantan, ventral view... 16

3. Spermatozoa tikus... 18

4. Tahapan pembentukan spermatogenesis... 19

5. Tahapan siklus sel dalam spermatogenesis tikus... 21

6. Mekanisme pengaturan hormon pada spermtogenesis... 23

7. Prinsip ELISA secara langsung... 25

8. Prinsip ELISA secara tidak langsung... 26

9. Grafik hasil rerata konsentrasi spermatozoa... 39

10.Diagram Konsentrasi Testosteron... 40

11.Grafik Aktivitas Spermisidal Ekstrak Biji Jarak Pagar... 42

12.Vacuum Rotary Evaporator (Eyela)... 65

13.Tanur (Thermo Scientific)... 65

14.Botol Maserasi... 65

15.Serbuk Biji Jarak Pagar... 65

16.Freezer (Sanyo) ... 65

17.Oven (Memmert) ... 65

18.Botol Timbang (Pyrex)... 65

19.Kandang tikus, tempat makan dan botol minum... 65

20.Plat Tetes... 65

21.Kurs Silikat... 65

22.Tabung Reaksi (Pyrex)... 65

23.Mikropipet (Wiggen Houser)... 65

24.Tempat Pembiusan... 66

25.Sentrifuge (Eppendrof)... 66

26.Vortex (Wiggenhouser)... 66

27.Mikroskop (Motic)... 66

28.Hemasitometer (Nesco)... 66

29.Kit Elisa (Drg.)... 66

30.Elisa Reader (Biotek)... 66

31.Alat Bedah Minor... 66

32.Papan Bedah...66

33.Tube... 66

34.NaCl Fisiologis ... 66

35.Mikropipet (Eppendrof)...,... 66

36.Larutan George ... 67

37.Larutan Beker’s Buffer... 67

38.Biji Jarak Pagar... 68

39.Serbuk biji jarak pagar... 68

40.Proses maserasi... 68

41.Proses penyaringan maserat... 68

42.Filtrat yang dihasilkan... 68

43.Pemekatan ekstrak dengan vacuum rotary evaporator... 68

44.Ekstrak kental biji jarak pagar... 68

(14)

48.Pemberian makan dan minum hewan coba secara ad libitum... 69

49.Pemberian ekstrak secara oral dengan alat sonde oral... 69

50.Pengambilan darah melalui ekor tikus (lateral vein)... 69

51.Darah tikus untuk pengujian konsentrasi testosteron... 69

52.Darah didiamkan selama 24jam agar terbentuk serum... 69

53.Tikus dikorbankan dengan bius eter... 69

54.Pembedahan Tikus ... 69

55.Kauda epididimis tikus... 69

56.Perhitungan konsentrasi spermatozoa di hemasitometer... 69

57.Pengamatan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x... 69

58.Cairan Spermatozoa ditambahkan dengan 1 ml NaCl untuk pengujian aktivitas spermisidal... 69

59.Larutan ekstrak dengan berbagai seri konsentrasi ... 70

60.Pengujian aktifitas spermisidal di hemasitometer... 70

61.Penambahan Larutan Baker’s Buffer pada spermatozoa &ekstrak.. 70

62.Inkubasi spermatozoa... 70

63.Kit ELISA (Drg) Testosteron, plat, standar dan reagennya... 70

64.Sampel serum... 70

65.Standar dimasukkan ke dalam sumuran /well.... 70

66.Sampel dimasukkan ke sumuran... 70

67.Penambahan Substrat Solution ke dalam masing-masing sumuran... 70

68.Inkubasi plat dalam suhu ruang selama 60 menit... 70

69.Setelah diinkubasi, dengan cepat buang seluruh isi sumuran…..…. 70

70.Penambahan Wash Solution (Dilakukan 3kali pengulangan)... 70

71.Penambahan Substrat Solution...... 71

72.Inkubasi plat dalam suhu ruang & ruang tertutup selama 15 menit. 71 73.Penambahan Stop Solution..... 71

74.Plat didiamkan selama 10 menit... 71

(15)

1. Hasil Determinasi Tanaman... 62

2. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar... 63

3. Gambar Bahan dan Alat Penelitian ... 65

4. Kegiatan Penelitian... 68

5. Pemerikasaan Parameter Standar Ekstrak... 72

6. Alur Penelitian... 73

7. Perhitungan Dosis Ekstrak Biji Jarak Pagar... 75

8. Berat Badan Tikus Jantan... 77

9. Hasil Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa... 79

10.Hasil Pengujian Konsentrasi Testosteron Serum... 80

11.Hasil Pengujian Aktivitas Spermisidal... 83

12.Analisis Data Konsentrasi Spermatozoa... 85

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepadatan penduduk di Indonesia merupakan salah satu

permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah yang sampai saat ini belum

dapat diatasi, hal ini disebabkan terus meningkatnya jumlah penduduk

setiap tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk semakin lama semakin

mengkhawatirkan karena tidak diimbangi dengan peningkatan

kesejahteraan. Bertambahnya jumlah penduduk tidak saja akan

mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat

dibidang pangan, tetapi juga lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan

dan perumahan (Ari Nur Kristanti, 2010). Oleh karena itu pemerintah

menjadikan program Keluarga Berencana (KB) sebagai bagian dari

pembangunan nasional.

Kebijakan pembangunan keluarga berencana masih didominasi oleh

perempuan, karena terbukti baru sekitar 1,1 persen peserta KB pria di

Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa meskipun program KB telah

berhasil menurunkan pertumbuhan penduduk, namun belum mampu

meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan perempuan.

Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2012 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mengalami kenaikan dari

228 kasus kematian per seratus ribu kelahiran hidup pada 2007, menjadi

359 per seratus ribu kelahiran hidup pada 2012. Sesuai dengan target MDG’s (Millenium Development Goals), hasil tersebut masih jauh dari target AKI tahun 2015, yaitu 102 kelahiran per seratus ribu kelahiran

hidup.

Keberhasilan KB sangat terkait dengan penggunaan kontrasepsi.

Kurangnya keterlibatan pria dalam kontrasepsi dapat menyebabkan KB

menjadi kurang efektif. Hal ini terjadi karena masih banyak keraguan

mengenai potensi kontrasepsi pria dan saat ini belum ada produk

(17)

reversible, murah dan dapat diterima. Berbagai upaya penelitian telah

dilakukan para peneliti untuk mendapatkan pilihan kontrasepsi pria yang

memenuhi persyaratan (Nuraini, Tuti., Dadang Kusmana dan Efy Afifah,

2012). Menurut Soehadi, K. dan K.M. Arsyad (1983) metode kontrasepsi

pria yang digunakan saat ini, adalah kondom, vasektomi, dan senggama

terputus. Akan tetapi, hasilnya masih belum sepenuhnya diterima

masyarakat, karena memberikan efek samping dan belum 100% dapat

mencegah kehamilan

Usaha untuk memperoleh bahan kontrasepsi pria yang berasal dari

tanaman telah banyak diteliti, tetapi hasilnya belum memuaskan, sehingga

penerapannya ke manusia masih diragukan. Oleh sebab itu pemanfaatan

bahan tanaman masih merupakan prioritas untuk diteliti mengingat bahan

obat-obatan yang berasal dari tanaman mempunyai keuntungan antara lain

toksisitasnya rendah, mudah diperoleh, murah harganya dan kurang

menimbulkan efek samping (Arsyad, K.M. 1986). Berbagai jenis tanaman

sudah diteliti memiliki pengaruh terhadap sistem reproduksi hewan jantan,

sehingga dapat digunakan sebagai bahan kontrasepsi pria.

Tanaman jarak (Jatropha curcas) merupakan tanaman yang

termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini memiliki nilai ekonomis

tinggi karena biji yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk bahan baku obat

dan penghasil minyak. Menurut Sharma, Shivani., Hitesh K.D. dan Bharat

P. (2012) tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) memiliki berbagai

aktivitas farmakologi diantaranya biji tanaman jarak digunakan untuk

pengobatan arthritis, asam urat dan sebagai kontrasepsi. Hasil eksplorasi

etnomedikal juga telah mendokumentasikan bahwa biji jarak pagar

memiliki efek sebagai antifertilitas (Kamal, Sachdeva., Singhal Manmohan

dan Srivastava Birendra. 2011; Abdulhamid, A et al. 2013)

Secara empiris dilaporkan bahwa beberapa negara seperti Kamboja,

Vietnam dan India telah menggunakan biji jarak sebagai bahan yang dapat

menyebabkan aborsi, sedangkan di Sudan biji jarak digunakan sebagai

bahan kontrasepsi. Senyawa yang terdapat pada biji jarak yang berpotensi

(18)

Brewis, 1999 yang dikutip dari Sinthia, P dan Sunarno. 2007). Penelitian

dari Sinthia, P dan Sunarno (2007) menyatakan bahwa pemberian serbuk

biji jarak secara peroral dengan dosis 0,2 g/ekor/hari pada mencit dengan

lama perlakuan 14 hari menunjukkan bahwa efek antifertilitas pada biji

jarak belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan

profil uterus, baik berat uterus maupun tebal endometrium. Buah dari

tanaman jarak pagar juga mampu menurunkan motilitas dan jumlah

sperma serta memiliki aktivitas sebagai abortivum (Shweta, Gediya.,

Ribadiya Chetna, Soni Jinkal, Shah Nancy dan Jain Hitesh. 2012).

Kandungan kimia yang terkandung dalam biji jarak pagar adalah

asam lemak, sterol, campesterol, stigmasterol, beta-sitosterol,

delta5-avenasterol. Beta-sitosterol merupakan komponen terbesar yang

terkandung dalam biji jarak pagar (Debnath, Mousumi dan P.S.

Bisen,2008). Senyawa beta-sitosterol termasuk dalam golongan senyawa

sterol pada tumbuhan/fitosterol. Senyawa sterol merupakan turunan dari

senyawa steroid.

Penelitian tentang tanaman jarak yang berpotensi sebagai

antifertilitas ini dilakukan sebagai lanjutan dari penelitian yang telah

dilakukan oleh Widya Dwi Arini (2012) untuk melihat efek antifertilitas

dari ekstrak etanol 70% biji jarak pagar (Jatropha curcas) secara in vivo.

Pemberian ekstrak etanol biji jarak pagar dengan dosis 5mg/kg BB,

25mg/kg BB, dan 50mg/kgBB selama 48 hari pada tikus jantan dapat

menurunkan spermatozoa, bobot testis dan diameter tubulus seminiferus

secara bermakna secara statistik jika dibandingkan dengan hewan kontrol.

Selain itu juga pemberian ekstrak dengan dosis 5mg/kg BB, 25mg/kg BB,

dan 50mg/kgBB selama 48 hari pada tikus jantan dapat mempengaruhi

proses spermatogenesis yang diindikasikan dengan penurunan jumlah

spermatosit dan jumlah sel sertoli.

Uraian diatas kemudian melatarbelakangi penulis untuk melanjutkan

pengujian antifertilitas yang belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Pengujian dilakukan untuk melihat pengaruh ekstrak etanol 70% biji jarak

(19)

pada tikus jantan galur Sprague-Dawley secara in vivo dan pengujian

aktivitas spermisidal pada tikus jantan galur Sprague-Dawley secara in

vitro. Dilakukan juga pengujian konsentrasi spermatozoa untuk

memastikan bahwa penelitian yang dilakukan dengan menggunakan

tanaman dan dosis yang sama akan sama hasilnya dengan penelitian yang

dilakukan oleh Widya Dwi Arini (2012).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka dapat

diambil rumusan masalah sebagai berikut :

 Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% dari biji jarak pagar (Jatropha curcas) terhadap konsentrasi testosteron pada tikus

jantan galur Sprague-Dawley secara in vivo ?

 Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% dari biji jarak

pagar (Jatropha curcas) terhadap aktivitas spermisidal pada tikus

jantan galur Sprague-Dawley secara in vitro ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian uji antifertilitas ekstrak etanol 70% biji jarak pagar

(Jatropha curcas) pada tikus jantan galur Sprague-Dawley, bertujuan

untuk :

 Menguji aktivitas ekstrak etanol 70% dari biji jarak pagar (Jatropha

curcas) terhadap konsentrasi testosteron pada tikus jantan galur

Sprague-Dawley secara in vivo.

 Menguji aktivitas ekstrak etanol 70% dari biji jarak pagar (Jatropha

curcas) terhadap aktivitas spermisidal pada tikus jantan galur

Sprague-Dawley secara in vitro.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian uji antifertilitas ekstrak etanol 70 % biji

jarak pagar (Jatropha curcas) pada tikus jantan galur Sprague-Dawley

(20)

 Pemberian ekstrak etanol 70% dari biji jarak pagar (Jatropha curcas)

dapat menurunkan kadar testosteron pada tikus jantan galur

Sprague-Dawley secara in vivo.

 Pemberian ekstrak etanol 70% dari biji jarak pagar (Jatropha curcas) dapat mempengaruhi aktivitas spermisidal pada tikus jantan galur

Sprague-Dawley secara in vitro.

1.4.1. Manfaat Penelitian

Memberikan informasi kepada masyarakat, tentang manfaat biji

jarak pagar (Jatropha curcas) sebagai agen antifertilitas yang telah

dibuktikan dengan pemberian pada tikus jantan galur Sprague-Dawley,

yang diharapkan dapat menjadi landasan ilmiah untuk dikembangkan

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jarak Pagar

2.1.1 Klasifikasi

Menurut National Plant Data Centre, Natural Research

Concervation Service, United State Department of Agriculture klasifikasi

tanaman jarak pagar berdasarkan ilmu taksonomi adalah,

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivision : Spermatophyta

Division : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Subclass : Rosidae

Order : Euphorbiales

Family : Euphorbiaceae

Genus : Jatropha L.

Species : Jatropha curcas L.

2.1.2 Nama Lokal

Nama daerah: nawaih nawas (Nangroe Aceh Darussalam), jirak

(Sumatra Barat), jarak kosta, jarak kusta, jarak budeg, dan kalake pagar

(Sunda), jarak gundul dan jarak pager (Jawa), kalekhe paghar (Madura),

jarak pageh (Bali), paku luba dan jarak pageh (Nusa Tenggara), paku kase

(Timor), jarak kosta, jarak wolanda, dan bindalo (Sulawesi), bintalo

(Gorontalo), balacai (Manado), tangang kali atau

tangang-tangang kanjoli (Makassar), muun mav, ai hua kamaalo, jai huakamalo,

balacai, dan kadoto (Maluku), malate dan makamale (Seram), balacai

(Halmahera)(Prihandana dan Hendroko, 2006).

2.1.3 Morfologi

Tanaman jarak pagar merupakan tanaman dengan tinggi 1-7 m,

bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka

(22)

Bagian-bagian jarak pagar (Hambali et al. 2007) antara lain :

a) Daun. Daun tanaman jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk dan

bersudut 3 atau 5. Daun tersebar di sepanjang batang. Permukaan atas

dan bawah daun berwarna hijau dengan bagian bawah lebih pucat

dibanding permukaan atas. Daunnya lebar dan berbentuk jantung atau

bulat telur melebar dengan panjang 5- 15 cm.

b) Bunga. Bunga tanaman jarak pagar adalah bunga majemuk, berwarna

kuning kehijauan. Bunganya mempunyai 5 kelopak berbentuk bulat

telur dengan panjang kurang lebih 4 mm. Setiap tandan terdapat lebih

dari 15 bunga.

c) Buah. Buah tanaman jarak pagar berbentuk bulat telur dengan diameter

2 – 4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah berwarna hijau ketika muda serta abu – abu kecoklatan atau kehitaman ketika masak. Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing – masing ruang berisi 1 biji sehingga dalam setiap buah terdapat 3 biji.

Gambar 1. Tanaman, daun, bunga, buah dan biji Jatropha curcas L

(23)

2.1.4 Ekologi dan Penyebaran

Tanaman jarak pagar merupakan tanaman dikotil yang berasal dari

Amerika Tengah dan saat ini telah tersebar di berbagai tempat di Afrika

dan Asia. Tanaman ini dapat tumbuh di berbagai daerah dengan cuaca

yang beragam, dari daerah tropis yang sangat kering sampai subtropis

lembab maupun daerah hutan basah (Nurcholis, M. dan Sumarsih. S.

2007).

Genus Jatropha dari famili Euphorbiaceae ini memiliki kira-kira

175 spesies di dunia. Tanaman dari famili Euphorbiaceae ini banyak

ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan India.

Awalnya tanaman ini penyebarannya kemungkinan dilakukan oleh pelaut

Portugis dari Karibia melalui pulau Cape Verde dan Guinea Bissau ke

negara lain di Afrika dan Asia (Syah, A.N.A. 2006)

Tanaman jarak pagar mudah beradaptasi terhadap lingkungan

tempat tumbuhnya, lingkungan tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan

tanaman jarak pagar, yaitu pada ketinggian 0 – 2000 m di atas permukaan laut, suhu berkisar antara 18o–30oC. Jarak pagar dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tetapi memiliki sistem pengairan yang baik, tidak

tergenang, dan pH tanah 5.0 – 6.5 (Hambali et al. 2007).

2.1.5 Kandungan Kimia Biji Jarak

Biji jarak pagar rata-rata berukuran 18 x 11 x 9 mm, berat 0,62

gram, dan terdiri atas 58,1 % biji inti berupa daging (kernel) dan 41,9 %

kulit. Kadar minyak trigliseriddalam inti biji sama dengan 55% atau 33%

dari berat total biji. Asam lemak penyusun minyak jarak pagar terdiri atas

22,7% asam jenuh dan 77,3% asam tak jenuh. Kadar asam lemak minyak

terdiri dari 17,0% asam palmiat, 5,6 % asam stearat, 37,1 % asam oleat,

dan 40,2 % asam linoleat (Brodjonegoro, Rekksowardjojo, Soerawidjaja,

2006 yang dikutip dalam Nugroho, Adi. 2008).

Kandungan kimia yang terkandung dalam biji jarak pagar adalah

asam lemak, sterol, campesterol, stigmasterol, beta-sitosterol,

delta5-avenasterol. Beta-sitosterol merupakan komponen terbesar yang

(24)

Bisen,2008). Senyawa beta-sitosterol termasuk dalam golongan senyawa

sterol pada tumbuhan/fitosterol. Senyawa sterol merupakan turunan dari

senyawa steroid.

Biji jarak pagar dapat dipisahkan bagian daging dan cangkang.

Bagian daging mencapai 60-62,7% dari bagian biji. Komposisi kimia inti

biji dan cangkang biji jarak pagar disajikan pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1. Komposisi kimia inti biji dan cangkang biji jarak pagar

Keterangan Inti biji jarak Cangkang biji jarak

Kandungan bahan kering (bk, %) 96.6 90.3

Protein kasar (bk, %) 22.2 4.3

Lemak (bk, %) 57.8 0.7

Abu (bk, %) 3.6 6.0

Neutral detergent fiber (bk, %) 3.8* 83.9

Acid detergent fiber (bk, %) 3.0* 74.6

Acid detergent lignin (bk, %) 0.2* 45.1

* Dihitung dari nilai yang diperoleh dari sampel bebas lemak [Sumber : Makkar, H.P.S., A.O. Aderibigbe, dan K.Becker. 1998]

Bagian biji jarak merupakan bagian yang paling banyak dikaji yang

mengandung banyak senyawa aktif. Biji jarak (physic nut, purging nut)

memiliki bobot 0,75 g dan daging buah mengandung protein 27-32% dan

minyak 58-60%. Pada bagian cangkang biji jarak pagar ditemukan adanya

aktivitas penghambat tripsin, lektin, saponin, sedangkan ester forbol

ditemukan pada bagian daging biji jarak. Senyawa curcin dan ester forbol

yang merupakan senyawa racun dan antinutrisi paling banyak ditemukan

pada bagian biji.

2.1.6. Kegunaan

Olahan dari semua bagian tanaman jarak pagar (Jatropha curcas)

termasuk biji, daun dan kulit kayu segar atau sebagai rebusan digunakan

dalam pengobatan tradisional. Minyak dari biji memiliki aktivitas sebagai

pencahar yang kuat dan juga banyak digunakan untuk penyakit kulit serta

untuk meredakan rasa sakit seperti yang disebabkan oleh rematik. Getah

(25)

luka. Rebusan dari daun digunakan untuk pengobatan batuk dan sebagai

antiseptik setelah kelahiran (Heller,J. 1996).

Tanaman ini memiliki nilai ekonomis tinggi karena biji yang

dihasilkan dapat bermanfaat untuk bahan baku obat dan penghasil minyak.

Menurut Sharma, Shivani., Hitesh K.D., Bharat P. (2012) tanaman jarak

pagar (Jatropha curcas) memiliki berbagai aktivitas farmakologi

diantaranya biji tanaman jarak digunakan untuk pengobatan arthritis, asam

urat dan sebagai kontrasepsi. Sedangkan bagian akar dari tanaman jarak

yang mengandung japodargin dan japodagrone menunjukkan aktivitas

antibakteri dengan menghambat secara aktif bakteri Bacillus subtilis dan

Shapylococcus aureus. Selain itu secara ilmiah dilaporkan bahwa ekstrak

etanol 50% dari daun tanaman jarak mempunyai aktivitas antidiabetes

pada tikus diabetes yang diinduksi aloksan. Ekstrak metanol dari jarak

pagar juga menunjukkan aktivitas antiinflamasi yang diinduksi oleh

karaginan pada tikus dan aktivitas anti diare pada mencit albino. Secara

empiris dilaporkan bahwa beberapa negara seperti, Kamboja, Vietnam dan

India telah menggunakan biji jarak sebagai bahan yang dapat

menyebabkan aborsi, sedangkan di Sudan telah menggunakan biji jarak

sebagai bahan kontrasepsi. Senyawa yang terdapat pada biji jarak yang

berpotensi sebagai agensia antifertilitas dikenal dengan nama jatrophone

(Cambie and Brewis, 1999 yang dikutip dari Sinthia, P dan Sunarno.

2007).

2.2 Simplisia dan Ekstrak

2.2.1 Simplisia

Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku pada proses

pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat ataupun produk. Dalam buku

Materia Medika Indonesia (MMI) ditetapkan definisi bahwa simplisia

adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa

bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia

(26)

adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau

eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan

keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan

dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni

(Depkes RI,2000).

2.2.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan

mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati ataupun hewani dengan

menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan

sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI,

2000).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan penarikan kandugan kimia yang terdapat

dalam simplisia. Karena di dalam simplisia mengandung senyawa aktif

berbeda-beda dan mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda, sehingga

metode di dalam penarikan senyawa aktif dalam simplisia harus

memperhatikan faktor seperti: udara, suhu, cahaya, logam berat. Pada

proses ekstraksi dapat melalui tahap-tahap yaitu: pembuatan serbuk,

pembasahan, penyarian, dan pemekatan (Depkes RI 2000).

2.3.1 Cara Dingin

a) Maserasi

Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan menggunakan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk

ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang

kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama,

(27)

b) Perkolasi

Perkolasi merupakan proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan

pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan

pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan

bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenanya (penetesan

atau penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak

(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).

2.3.2. Cara Panas

a) Refluks

Refluks merupakan ekstraksi simplisia menggunakan pelarut

berdasarkan titik didihnya, selama waktu tertentu yang jumlah pelarut

terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai

3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes

RI, 2000).

b) Sokletasi

Sokletasi merupakan ekstraksi simplisia menggunakan pelarut yang

selalu baru yang umumnya dilakukan menggunakan alat khusus

sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif

konstan dengan adanya pendinginan balik (Depkes RI, 2000).

c) Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik pada temperatur yang lebih tinggi

dari temperatur ruangan (kamar), biasanya dilakukan pada temperatur

40-50⁰C. (Depkes RI, 2000). d) Infus

Infus merupakan ekstraksi simplisia menggunakan pelarut air pada

temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air

mendidih, temperatur terukur (96-98⁰C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).

e) Dekok

(28)

2.3.3. Destilasi Uap

Destilasi uap merupakan ekstraksi senyawa kandungan menguap

atau minyak atsiri dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air

berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap

dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu sampai sempurna yang di

akhiri dengan kondensasi fasa uap campuran (senyawa kandungan

menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa

kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian.

Destilasi uap, bahan (simplisia) benar-benar tidak tercelup ke

dalam air yang mendidih, namun dilewati uap air sehingga senyawa

kandungan menguap ikut terdestilasi. Destilasi uap dan air, bahan

(simplisia) bercampur sempurna atau sebagian dengan air mendidih,

senyawa kandungan menguap tetap kontinyu ikut terdestilasi (Depkes RI,

2000).

2.3.4. Cara Ekstraksi Lainnya

a) Ekstraksi berkesinambungan

Ekstraksi berkesinambungan merupakan proses ekstraksi yang

dilakukan berulang kali dengan pelarut yang berbeda atau resirkulasi

cairan pelarut dan prosesnya tersusun berurutan beberapa kali. Proses

ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan

dirancang dalam jumlah besar dan terbagi dalam beberapa bejana

ekstraksi (Depkes RI, 2000).

b) Super kritikal karbondioksia

Penggunaan super kritik untuk ekstraksi serbuk simplisia, dan

umumnya digunakan gas karbondioksida dengan variabel tekanan dan

temperatur akan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang

sesuai untuk melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu.

Penghilangan cairan pelarut dengan mudah dilakukan karena

karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga hampir langsung

(29)

c) Ekstraksi ultrasonik

Getaran ultrasonik (> 20000 Hz) memberikan efek pada proses

ekstraksi dengan prinsip meningkatkan permeabilitas dinding sel,

menimbulkan gelembung spontan (cavitation) sebagai stres dinamik

serta menimbulkan ekstrak interfase. Hasil ekstraksi tergantung pada

frekuensi getaran, kapastas alat dan lama proses ultrasonikasi (Depkes

RI, 2000).

d) Ekstraksi energi listrik

Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta “elektik-dischagres” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelembung spontan

dan menyebarkan gelombang ultrasonik (Depkes RI, 2000).

2.4 Karakteristik Tikus

2.4.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Menurut Krinke, G.J. (2000), klasifikasi tikus putih (Rattus

norvegicus) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Veterbrata

Class : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Subfamily : Murinae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

2.4.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tikus digolongkan ke dalam ordo rodentia (hewan pengerat),

famili Muridae dari kelompok mamalia. Ordo rodentia merupakan ordo

dari kelas mamalia yang terbesar yaitu 40% dari 5000 spesies mamalia.

(30)

lingkungannya, baik saat cuaca dingin maupun panas. Tiga galur atau

varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur

Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan

ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar memiliki telinga yang

panjang, kepala yang lebar, dan ekor yang tidak sama panjang seperti

tubuhnya. Galur Long Evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki

warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Smith,

Mangkoewidjojo, S. 1987).

Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan pada berbagai

macam penelitian karena tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang

tinggi, murah serta mudah untuk mendapatkannya. Ada dua sifat yang

membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat

muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat esofagus

bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kantung empedu.

Kelompok tikus putih pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat

antara tahun 1887-1897. Keunggulan tikus putih dibandingkan dengan

tikus liar antara lain lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya

sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat

ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain

dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan (Smith,

Mangkoewidjojo, S. 1987). Adapun data biologis tikus sebagai berikut :

(31)

2.5. Sistem Reproduksi Hewan Jantan

Sistem reproduksi hewan jantan terdiri atas testis, epididimis,

duktus deferens, kelenjar aksesori (kelenjar vesikulosa, prostat dan

bulbouretralis), uretra dan penis. Testis dari tikus jantan terdapat pada dua

kantung skrotum yang dipisahkan oleh membran tipis yang terletak antara

anus dan preputium. Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang panjang

dan berkelok-kelok, yang pada epitelnya merupakan tempat

berlangsungnya spermatogenesis. Ujung dari tubulus seminiferus ini

kemudian bermuara menuju epididimis. Epididimis terdiri dari tiga bagian

yaitu kapus epididimis yang membesar di ujung proksimal pada testis,

yang hampir seluruhnya terbenam ke dalam lemak; korpus epididimis

yang terdapat di sekitar dorsomedial testis serta kauda epididimis pada

ujung distal testis, merupakan tempat pematangan spermatozoa yang

kemudian bermuara ke vas deferens (Suckow, 2006).

Gambar 2. Sistem reproduksi hewan jantan, ventral view

(32)

Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ

reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu

organ yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke

betina. Peranan hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah

memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk

memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim. (William, O. R.

2005).

Tikus memiliki lima pasang kelenjar seks aksesori yang terletak

didalam panggul dan yang mengelilingi kandung kemih (Gambar 2) yaitu

kelenjar dari duktus deferens; dua pasang kelenjar prostat, yang berada

pada bagian dorsal dan ventral dari duktus deferens; sepasang kelenjar

vesikular yang berbentuk sabit besar dan berbentuk convulted, serta satu

pasang kelenjar koagulasi yang terdapat dalam kelenjar vesikular.

Sepasang kelenjar bolbourethralis yang berada pada otot bolboglandular

(Suckow, 2006).

Testis memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat spermatogenesis

dan produksi androgen. Oleh sebab itu, testis dapat juga dikatakan sebagai

kelenjar ganda karena secara fungsional bersifat endokrin dan juga

eksokrin. Fungsi endokrin terletak pada sel Leydig yang menghasilkan

androgen, terutama testosteron. Fungsi eksokrin terletak pada epitelium

seminiferus yang menghasilkan spermatozoa (Fawcett, D.W. 2002).

Spermatogenesis terjadi dalam suatu struktur yang disebut tubulus

seminiferus. Tubulus ini berlekuk-lekuk dalam lobus yang semuanya

duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam epididimis.

Produksi androgen terjadi dalam kantung dari sel khusus yang terdapat di

daerah interstitial antara tubulus. Tubulus seminiferus dilapisi oleh

epitelium yang dilapisi oleh epitelium bertingkat yang sangat kompleks

yang mengadung sel spermatogenik dan sel-sel yang menunjang. Sel-sel

penunjang berjenis tunggal disebut sel sertoli (Heffner, L.J. dan Schust,

D.J. 2005).

Tubulus seminiferus dikelilingi oleh membran basal. Didekat

(33)

Epitel yang mengandung spermatozoa yang sedang berkembang

disepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada

potongan melintang testis, spermatosit dalam tubulus berada dalam

berbagai tahap pematangan. Diantara spermatosit terdapat sel sertoli. Sel

ini secara metabolik dan struktural berguna untuk menjaga spermatozoa

yang sedang berkembang. Sel sertoli memiliki jari-jari sitoplasma yang

besar dan kompleks yang dapat mengelilingi banyak spermatozoa dalam

suatu waktu. Sel ini juga berfungsi pada proses merubah prekusor

androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan

umpan balik lokal pada sel leydig yang memproduksi androgen. Selain itu,

sel sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen (Heffner, L.J. dan

Schust, D.J. 2005).

2.5.1 Spermatozoa

Proses produksi spermatozoa di dalam testis disebut

spermatogenesis. Spermatozoa pada hewan pengerat lebih panjang dari

spesies mamalia lain, termasuk mamalia dan hewan domestik pada

umumnya (Krinke,G.J. 2000). Kepala sperma pada tikus berbentuk seperti

kait (Gambar 3).

Keterangan : a) Kepala (berbentuk kait), b) bagian tengah, c) ekor Gambar 3. Spermatozoa tikus

(Sumber: RR Alvira Wijaya, 2012). 2.5.2 Spermatogenesis

Dasar pengetahuan yang cukup telah dibangun tentang

spermatogenesis pada tikus. Sel primodial germinal yang telah berhenti

bermigrasi diliputi oleh sel Sertoli dan membran basal yang menonjol

(34)

jantan tetap tidak aktif sampai sebelum masa pubertas, yaitu sekitar 50 hari

setelah kelahiran. Pada tahap itu mereka mulai membelah dan menjadi

spermatogonium, dan kemudian terus membelah sampai hewan kehilangan

kemampuan untuk memproduksi spermatozoa (Krinke,G.J. 2000).

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa.

Proses ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada

saat terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami

mitosis, dan menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel-sel ini dapat

terus membelah sebagai sel induk, yang disebut spermatogonium tipe A,

atau dapat berdeferensiasi selama siklus mitosis yang progresif menjadi

spermatogonium B. Spermatogonium B merupakan sel progenitor yang

akan berdeferensiasi menjadi spermatosit primer. Segera setelah

terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari pembelahan meiosis

pertama. Spermatosit primer merupakan sel terbesar dalam garis

keturunan spermatogenik ini dan ditandai dengan adanya kromosom

dalam berbagai tahap proses penggelungan di dalam intinya (Fawcett,

(35)

Gambar 4. Tahapan pembentukan spermatogenesis (Sumber: Junqueira, L. C., Jose Carneiro dan Robert O. K, 2007).

Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran lebih

kecil yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit

diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan

berada dalam tahap interfase yang sangat singkat dan dengan cepat

memasuki pembelahan meiosis kedua. Pembelahan spermatosit

sekunder menghasilkan spermatid. Karena tidak ada fase-S (sintesis DNA)

yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua pada

spermatosit, jumlah DNA per sel berkurang setengah selama pembelahan

kedua ini, yang menghasilkan sel haploid (n). Oleh karena itu, proses

meiosis menghasilkan sel dengan jumlah kromosom haploid. Dengan

adanya pembuahan, sel memperoleh kembali jumlah diploid yang normal

(Junqueira, L. C., Jose Carneiro dan Robert O. K. 2007).

Spermatogonium secara kasar diklasifikasikan menjadi tiga jenis:

Jenis A, intermediate dan B (Gambar 5). Pada tikus, spermatogonium

kemudian mengalami enam kali mitosis, dan kemudian menjadi

sermatosit preleptotene. Spermatosit kemudian berada dalam fase

meiosis menjadi spermatosit sekunder leptotene, zygotene dan pakiten.

Setiap spermatosit akan membelah menjadi empat spermatid haploid,

yang mengalami spermiogenesis menjadi: spermatid fase golgi (1-3),

terdapatnya granul kromosom; fase cap (4-7), adanya head cap pada

granul akrosom yang membesar dan menutupi 1/3 bagian nukleus; fase

akrosom (8-14), nukleus dan head cap memanjang; fase maturasi (15-18)

nukleusnya menjadi lebih pendek dan sitoplasma terkondensasi di

sepanjang ekor yang telah mulai memanjang; hingga dihasilkan

spermatozoa (19) yang dilepaskan ke lumen dengan ekor menghadap ke

(36)

Keterangan:

Dimulai searah jarum jam dari kiri ke bawah. A, spermatogonium tipe A; In, spermatogonium tipe intermediate; B, spermatogonium tipe B; R, resting spermatosit primer; L, leptotene spermatodit; Z, zygotene spermatosit; P(I), P(VII), P(XII, awal, pertengahan, dan akhir spermatosit pakiten. Angka romawi menunjukkan tahap siklus dimana mereka ditemukan; Di, diplotene, II, spermatosit sekunder; 1-19, langkah-langkah spermiogenesis. Tabel ditengah memberikan komposisi celular tahapan siklus epitel seminiferus (I-XIV). M. Superscript mengindikasikan terjadinya mitosis.

Gambar 5. Tahapan siklus sel dalam spermatogenesis tikus.

(Sumber: Krinke,G.J. 2000)

Pada tikus, 14 tahap siklus spermatogenesis terjadi didalam

tubulus seminifeus. Tubulus memiliki pengaturan bertahap dan setiap

bagian dari tubulus menunjukkan tahapan yang melibatkan empat atau

lima generasi dari sel germinal yang selaras (Gambar 5). Pada tikus,

dibutuhkan waktu selama 12 hari untuk menyelesaikan satu siklus yang

terdiri dari 14 tahapan. Sebuah spermatogonium tikus membutuhkan

(37)

diperlukan waktu 48 hari untuk menyelesaikan langkah spermatogenesis

secara keseluruhan (Krinke,G.J. 2000).

2.5.3 Peran Hormon pada Spermatogenesis

Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang

dihasilkan oleh organ hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Pengaturan

pembentukan spermatogenesis dimulai dengan sekresi gonadotropin

releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya

merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon

lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin, yaitu Follicle Stimulating

Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Guyton C.A. 1995).

Luteinizing Hormone disekresikan oleh kelenjar hipofisis bagian

anterior. Berperan dalam stimulasi sel-sel Leydig untuk memproduksi

testosteron, juga berperan dihasilkannya estradiol. Follicle Stimulating

Hormone merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi

protein pengikat androgen (ABP) oleh sel Sertoli. Peningkatan ABP ini

menyebabkan tingginya konsentrasi testosteron yang penting bagi

pembentukan dan pematangan spermatozoa pada proses spermatogenesis.

(Junqueira, L. C., Jose Carneiro dan Robert O. K. 2007).

Gambar 6. Mekanisme pengaturan hormon pada spermtogenesis

(38)

Sistem pengaturan umpan balik negatif beroperasi terus menerus

untuk mengatur dengan tepat kecepatan sekresi testosteron. Hipotalamus

mensekresi GnRH yang merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk

mensekresi LH. Sebaliknya LH merangsang hyperplasia sel-sel leydig

testis dan memproduksi testosteron. Testosteron memberikan umpan balik

negatif ke hipotalamus, untuk menghambat produksi GnRH sehingga

membatasi kecepatan pembentukan testosteron (Grohol J.M. 2006).

Testosteron dihasilkan oleh sel interstitial leydig bila testis

dirangsang oleh LH dari kelenjar hipofisis, dan jumlah testosteron yang

disekresi kira-kira sebanding dengan jumlah LH yang tersedia, sedangkan

FSH berfungsi untuk merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi

produksi protein pengikat androgen oleh sel sertoli, yang merupakan

komponen tubulus testis yang berguna menyokong pematangan sel

spermatozoa dalam proses spermatogenesis (Sherwood L. 2001). LH dan

FSH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior terutama akibat aktivitas

saraf pada hipotalamus.

Testosteron merupakan hormon yang mengontrol perkembangan

organ reproduksi pria dan tanda seks sekunder pada pria berupa

pembesaran laring, perubahan suara, pertumbuhan rambut ketiak, pubis,

dada, kumis dan jenggot serta untuk pertumbuhan otot dan tulang.

Testosteron merupakan hormon kelamin pria yang disekresikan oleh testis

bersama beberapa hormon seks lain yang dinamakan androgen.

Testosteron merupakan hormon yang paling banyak dan paling kuat

daripada hormon androgen lain, sehingga dianggap yang paling

bertanggungjawab akan efek hormonal pria. Testosteron dibentuk oleh sel

interstitial leydig yang terletak pada interstitial antara tubulus seminiferus

dan membentuk sekitar 20% massa testis dewasa. Semua androgen

merupakan senyawa steroid. (Guyton C.A. 1995).

2.6. ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay)

ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay) adalah suatu teknik

deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik

(39)

tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. ELISA adalah suatu

teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk

mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA

telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi

tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri.

Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan

antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan

menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim

ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang

timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau

kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader.

Dilakukan pembuatan kurva kalibrasi, plot antara nilai absorbansi dan

konsentrasi standar dan kemudian digunakan untuk menghitung kadar

pada sampel.

Teknik pengujian dengan metoda ELISA dapat dilakukan dengan

beberapa metode, pemilihan tergantung dari besar molekul yang akan

dideteksi, serta tingkat sensitifitas dan spesifitas yang dikehendaki.

Beberapa metode tersebut diantaranya (Walker, John.M and Ralph Rapley.

2008):

1. Direct ELISA

ELISA secara langsung adalah bentuk paling sederhana dari

ELISA. Teknik ini seringkali digunakan untuk mendeteksi dan

mengukur konsentrasi antigen pada sampel. ELISA ini

menggunakan suatu antibodi spesifik (monoklonal) untuk

mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel yang

diuji. Dimana antigen pasif melekat pada fase padat pada periode

inkubasi. Fase padat yang paling umum digunakan adalah sumuran

plat mikrotiter. Setelah dilakukan pencucian, antigen terdeteksi

oleh penambahan antibodi yang berikatan kovalen dengan enzim.

Kemudian diinkubasi dan ditambahkan kromogen/substrat dimana

(40)

jumlah enzim maka semakin cepat perubahan warna. Kemudian

intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer.

Gambar 7. Prinsip ELISA secara langsung

(Sumber: Walker, John.M and Ralph Rapley. 2008)

2. Indirect ELISA

Pada metoda ini menunjukan bahwa warna yang ditimbulkan tidak

langsung disebabkan oleh antigen dan antibodi yang bereaksi.

Dibutuhkan suatu antibodi antispesies yang dilabel dengan enzim.

Antigen secara pasif melekat pada sumuran kemudian di inkubasi.

Setelah melakukan pencucian, antibodi spesifik diinkubasi dengan

antigen. Kemudian sumuran dicuci dan setiap antibodi yang terikat

akan terdeteksi dengan penambahan antibodi antispesies yang

berikatan secara kovalen dengan enzim. Antibodi tersebut adalah

antibodi yang spesifik untuk spesies tertentu.

Antigen melapisi sumuran dengan

absorbsi pasif kemudian inkubasi

Sumuran dicuci untuk mendapatkan antigen bebas

Antibodi terkonjugasi dengan enzim ditambahkan dan kemudian diinkubasi

Sumuran dicuci

Tambahkan substrat atau kromofor

Hentikan reaksi dan baca dengan

(41)

Gambar 8. Prinsip ELISA secara tidak langsung

(Sumber: Walker, John.M and Ralph Rapley. 2008)

3. Sandwich ELISA

Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik

untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi sekunder

tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antigen yang

diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich

mirip dengan ELISA direct. Namun, karena antigen yang

diinginkan tersebut harus dapat berinteraksi dengan antibodi

primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal,

maka teknik ELISA ini cenderung dikhususkan pada antigen

memiliki minimal 2 sisi antigenik (sisi interaksi dengan antibodi)

atau antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau

protein.

Lapisi sumuran dengan antigen terinkubasi

Cuci sumuran untuk memperoleh Ag (Antigen) bebas

Tambahkan antibodi Ag yang berlawanan

Cuci bersih antibodi yang tidak bereaksi

Tambahkan anti spesies konjugat

Cuci sumuran

Tambahkan substrat/kromofor

(42)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung dalam waktu 5 bulan, terhitung dari

bulan Januari 2014 sampai Juni 2014. Penelitian dilakukan di

Laboratoritum Kimia Obat, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium

Research, Laboratorium Multiguna, Laboraturium Hewan (Animal House)

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus albino

jantan galur Sprague Dawley yang sehat, fertil, berumur 10 minggu

dengan berat 200 sampai 250 gram yang diperoleh dari Animal Facility

and Modeling Provider IPB (Institut Pertanian Bogor) sebanyak 25 tikus.

3.2.2. Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji tanaman

jarak pagar (Jatropha curcas L) yang diperoleh dari BALITTAS (Badan

Penelitian Tanaman Manis dan Serat) Malang, Jawa Timur. Tanaman yang

digunakan sebelumnya dideterminasi terlebih dahulu di Herbarium

Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia) Bogor.

3.2.3. Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol

70%, Na CMC, pereaksi untuk penapisan fitokimia (ammoniak 25% dan

10%, etil asetat, HCl pekat 10% dan 1%, pereaksi Dragendorff; pereaksi

Mayer; Aquadest; lempeng magnesium, butanol eter, pereaksi Liebermann

– Buchard, FeCl3 1%, NaOH 1 N, petroleum eter, kloroform). Penyiapan

sperma (normal saline water), larutan George, NaCl, larutan Eosin-Y 1%,

buffer Baker’s (asam pikrat, formaldehid 4%, asam asetat) dan NaCl

(43)

3.2.4. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan

analitik (AND GH-202), vacuum rotary evaporator (EYELA), labu

erlenmeyer, gelas ukur, batang pengaduk, spatula, kertas saring, kapas,

corong gelas, tabung reaksi, pipet tetes, oven (Memmert), tanur (Thermo

Scientific), alumunium foil, timbangan hewan (Ohauss), kandang tikus

beserta tempat makanan dan minum, sonde oral, wadah pembiusan, alat

bedah minor, kaca objek dan cover glass, cawan penguap, mikropipet

(Eppendorf Reasearch plus), tube, centrifuge (Eppendorf), vortex (Wiggen

houser), mikroskop cahaya (Motic BA 310 dan Epson), Hemasitometer

Improved Neubauer (NESCO), Kit ELISA (Biozatix) dan ELISA reader

(Biotek).

3.3. Rancangan Penelitian

3.3.1. Hewan Uji

Penelitian ini bersifat eksperimental yang terdiri atas 5 kelompok

perlakuan dengan masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus jantan (Rattus

novergicus L.) galur Sprague Dawley. Jumlah tikus yang digunakan pada

setiap kelompok penelitian disesuaikan dengan Research Guidelines for

Evaluating The Safety and Efficacy of Herbal Medicines (WHO, 2000)

yaitu untuk pengujian pada hewan pengerat masing-masing kelompok

terdiri dari setidaknya lima ekor.

3.3.2. Dosis Perlakuan

Acuan dosis yang digunakan berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Widia Dwi Arini (2012) dengan dosis 5mg/kgBB, 25

mg/kgBB dan 50 mg/kgBB. Untuk perhitungan dosis dapat dilihat pada

lampiran 7. Pemberian ekstrak etanol biji jarak pagar dilakukan selama 48

hari sesuai dengan siklus spermatogenesis tikus. Perlakuan yang dilakukan

(44)

Tabel 3.1 Perlakuan terhadap kelompok tikus

Keterangan: [ ] T adalah konsentrasi testosteron serum [ ] Spermatozoa adalah konsentrasi spermatozoa

3.4. Kegiatan Penelitian

3.4.1. Penyiapan Simplisia

Biji jarak yang telah dikeringkan dengan kadar air 8,15% diperoleh

dari BALITTAS (Badan Penelitian Tanaman Manis dan Serat) Malang,

Jawa Timur. Sebanyak 2 kg biji jarak pagar yang telah kering kemudian

dihaluskan menggunakan seed grinder di Balai Penelitian Obat dan

Tanaman (Balitro) Bogor hingga menjadi serbuk. Serbuk simplisia yang

dihasilkan sebanyak 1,78 kg. Serbuk simplisia kemudian disimpan dalam

wadah yang kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.

3.4.2. Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak biji jarak pagar menggunakan metode ekstraksi

cara dingin yaitu dengan remaserasi . Serbuk simplisia di maserasi dengan

pelarut etanol 70% dalam wadah gelap hingga terendam. Pergantian

pelarut dilakukan setiap 2 sampai 3 hari sekali. Proses maserasi ini diulang

hingga menghasilkan maserat yang berwarna pucat (mendekati tak

berwarna). Maserat yang telah didapat kemudian difiltrasi menggunakan

Kelompok Pelakuan

Diberi suspensi ekstrak biji jarak pagar (Jatropha curcas) dengan dosis sedang yaitu 25mg/kgBB

Diberi suspensi ekstrak biji jarak pagar (Jatropha

Kelompok pegujian aktivitas spermisidal tidak diberi perlakuan

- Kauda epididimis

(45)

kapas dan kertas saring hingga didapatkan filtrat. Selanjutnya filtrat

dipekatkan menggunakan vacuumrotary evaporator dan freeze dry sampai

diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang dihasilkan selanjutnya

disimpan di dalam lemari es.

3.4.3. Penapisan Fitokimia

Pada penapisan fitokimia dilakukan pemeriksaan terhadap

kandungan golongan senyawa kimia dari ekstrak etanol 70% biji jarak

pagar, meliputi pemeriksaan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid,

dan terpenoid.

1. Identifikasi Golongan Alkaloid

Sejumlah 0,5 gram ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi

kemudian tambahkan 2mL etanol 70% lalu aduk sampai rata.

Tambahkan 5 mL asam klorida 2 N, dipanaskan di penangas air selama

2 menit, dan didinginkan. Kemudian disaring dan ditampung filtratnya.

Filtrat ditambahkan beberapa tetes reagen Mayer. Sampel kemudian

diamati hingga keruh atau ada terbentuk endapan (Mojab, Kamalinejad,

Ghaderi & Vahidipour, 2003).

2. Identifikasi Golongan Flavonoid

Sejumlah 0,5 gram ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi

kemudian tambahkan 2mL etanol 70% lalu aduk sampai rata.

Tambahkan serbuk magnesium 0,5 gram dan 3 tetes HCl pekat.

Terbentuknya warna jingga sampai merah menunjukkan adanya flavon,

merah sampai merah padam menunjukkan flavanon, merah padam

sampai merah keunguan menunjukkan flavanon (Mojab, Kamalinejad,

Ghaderi & Vahidipour, 2003).

3. Identifikasi Golongan Saponin

Sejumlah 0,5 gram ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi

kemudian tambahkan 2mL etanol 70% lalu aduk sampai rata.

Tambahkan 20mL aquabides dan dikocok kemudian didiamkan selama

15-20menit. Jika tidak ada busa = negatif; busa lebih dari 1cm = positif

(46)

dari 2cm = positif kuat (Mojab, Kamalinejad, Ghaderi & Vahidipour,

2003).

4. Identifikasi Golongan Tanin

Sejumlah 0,5 gram ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi

kemudian tambahkan 2mL etanol 70% lalu aduk sampai rata.

Kemudian masukkan ke dalam plat tetes lalu tambahkan FeCl3

sebanyak 3 tetes, jika menghasilkan biru karakteristik, biru-hitam, hijau

atau biru-hijau dan endapan (Mojab, Kamalinejad, Ghaderi &

Vahidipour, 2003; Sarma & Babu, 2011).

5. Identifikasi Golongan Steroid

Sejumlah 0,5 gram ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi

kemudian tambahkan 2mL etanol 70% lalu aduk sampai rata.

Tambahkan 2mL kloroform, kemudian ditambahkan 2 mL asam sulfat

pekat dengan cara diteteskan perlahan dari sisi dinding tabung reaksi.

Pembentukan cincin warna merah menunjukkan adanya steroid (Mojab,

Kamalinejad, Ghaderi & Vahidipour, 2003).

6. Identifikasi Golongan Terpenoid

Sejumlah 0,5 gram ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi

kemudian tambahkan 2mL etanol 70% lalu aduk sampai rata.

Tambahkan 2mL kloroform dan 1mL asetat anhidrida lalu dinginkan.

Setelah dingin tambahkan asam sulfat pekat. Jika terjadi warna

kemerahan menunjukkan adanya terpenoid (Mojab, Kamalinejad,

Ghaderi & Vahidipour, 2003).

3.4.4. Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik

3.4.4.1.Parameter Spesifik

Parameter spesifik yang diamati meliputi :

1. Identitas Ekstrak. Deskripsi tata nama meliputi :

- Nama ekstrak (generik, dagang, paten)

- Nama latin tumbuhan (sistematika botani)

- Bagian tumbuhan yang digunakan

(47)

2. Organoleptik. Penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk,

warna, bau, rasa sebagai berikut :

- Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair

- Warna : kuning, coklat, dll

- Bau : aromatik, tidak berbau, dll

- Rasa : pahit, manis, kelat, dll (Depkes RI, 2000).

3.4.4.2.Parameter Non Spesifik

1. Susut Pengeringan

Ekstrak ditimbang secara seksama sabanyak 1 g sampai 2 g dan

dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya

telah dipanaskan pada suhu 1050C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak ditarakan dalam botol timbang dengan

menggoyangkan botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang

5mm sampai 10mm. Jika ekstrak diuji berupa ektrak kental, ratakan

dengan batang pengaduk, kemudian dimasukkan ke dalam ruang

pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup

mendingin dalam desikator hingga suhu kamar. Jika ekstrak sulit kering

dan mencair pada pemanasan, ditambahkan 1g silika pengering yang telah

ditimbang secara seksama setelah dikeringkan dan disimpan dalam

desikator pada suhu kamar. Silika tersebut dicampur secara merata dengan

ekstrak pada saat panas, kemudian keringkan kembali pada suhu

penetapan hingga bobot tetap (Depkes RI, 2000).

2. Kadar Abu

Lebih kurang 2g sampai 3g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang

secara seksama dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan

dan ditara, ratakan. Perlahan dipijarkan hingga arang habis, dinginkan,

timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas,

saring melalui kertas saring bebas abu. Sisa kertas dan kertas saring dalam

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 1. Tanaman, daun, bunga, buah dan biji Jatropha curcas L
Tabel 2.1.  Komposisi kimia inti biji dan cangkang biji jarak pagar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Uji Validitas Kuesioner Model Kano pada Sisi Dysfunctional Answer dengan Data dari Responden Warga Negara

Temuan ini sekaligus menjelaskan adanya permasalahan yang terjadi di perusahaan terkait dengan adanya indikasi rendahnya perilaku OCB dari karyawannya yang sejalan

Gramedia Pustaka Utama sebagai Perusahaan penerbit dan percetakan buku terbesar di Indonesia sehingga sangat cocok dengan perkuliahan yang sedang praktikan

Kesadaran akan arti penting daerah dalam perjuangan kemerdekaan memiliki makna bagi pelaksanaan otonomi daerah yang bertanggung jawab dalam kerangka Negara Kesatuan

Menentukan jarak dua garis sejajar adalah dengan membuat garis yang tegak lurus dengan keduanya. Jarak kedua titik potong merupakan jarak kedua garis tersebut. 5) Jarak Garis

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh berita pernikahan Syekh Puji dan Lutfiana Ulfa di Televisi terhadap persepsi remaja khususnya siswa siswi SMP Al-Kautsar

Penelitian ini metode yang digunakan adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis normatif, dengan data primer didapatkan berdasarkan hasil dari wawancara kepala