• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Indonesia Dalam Krisis

Dalam dokumen Majalah Kiblat edisi Rajab 1437/ April 2016 (Halaman 41-50)

P

ergolakan di Suriah masih terus berlangsung hingga hari ini, lima tahun sejak kali pertama revolusi meletus di jantung tanah Syam itu. Tragedi kemanusiaan tak ayal menyertai perjalanan rakyat Suriah dalam upaya mereka menentang ke-diktatoran rezim. Patut disimak sikap Indonesia dalam konlik yang menurut PBB telah menye-babkan bencana kemanusiaan terbesar itu.

Kedekatan hubungan Indonesia dengan Suriah telah terjalin sejak masa perjuangan kemerdekaan. Suriah yang 85% penduduknya Sunni, sama sep-erti Indonesia yang mayoritas warganya adalah Ahli Sunah, ter-masuk negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indo-nesia. Tak sampai setahun pasca proklamasi, hampir bersamaan dengan Mesir, Irak dan Lebanon, Damaskus menyatakan penga-kuan atas Negara Indonesia.

Suriah juga menjadi salah satu tujuan utama bagi para pe-lajar Indonesia untuk menim-ba ilmu. Sejak dulu Damaskus dikenal sebagai penghasil ula-ma-ulama Islam terkemuka. Jauh sebelum masa-masa perjuangan kemerdekaan telah banyak san-tri yang berguru ke negeri yang diberkahi itu.

Situasi di Suriah kemudian berubah sejak Maret 2011. Rezim

Syiah Alawiyah Nushairiyah dik-tator pimpinan Bashar Assad yang berkuasa sejak tahun 2000, mendapatkan perlawanan dari rakyatnya sendiri setelah sekian lama melakukan kezaliman. Core-tan graity belasan remaja “As-Shaab yoreed eskaat el nizam/ Rakyat ingin menjatuhkan rezim!” menjadi bukti kemarahan rakyat Suriah terhadap penguasa telah memuncak.

Tindakan membabi buta yang dilakukan tentara rezim ter-hadap remaja pembuat graity ternyata menjadi pemicu revolusi Suriah, mengiringi “Musim Semi Arab (Arab Spring)” yang kala itu menggejala di Timur Tengah. Aksi perlawanan meluas. Yang terjadi kemudian, di bulan Maret saja ratusan rakyat Suriah

menja-di tumbal pasukan rezim. Tangan besi Hafez Assad, sang pendahulu yang berkuasa sejak 1970an den-gan partai Ba’ath-nya, dilanjutkan sang anak bahkan dengan wajah yang jauh lebih menyeramkan.

Krisis kemanusiaan di Su-riah tak bisa dielakkan, ketika rakyat menghadapi rezim dengan segala kekuatannya. Aksi protes yang terjadi di banyak tempat be-rujung pada pembantaian. Data PBB menyebutkan, di akhir tahun 2011 jumlah warga yang terbunuh di tangan pasukan rezim menca-pai 5.000 orang. Sebanyak 300 di antaranya merupakan anak-anak. Komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Navi Pillay, kala itu menyatakan “Situasi ini tak dapat ditoleransi.”

skala pelanggaran mengindi-kasikan bahwa pasukan Suriah tampaknya melakukan keja-hatan terhadap kemanusiaan. “Laporan independen dan kred-ibel telah menunjukkan bahwa pelanggaran telah terjadi secara luas dan sistematis terhadap penduduk sipil.”

Dia menambahkan bah-wa pemerintah Suriah pasti menyetujui atau setidakn-ya tahu tentang pelanggaran tersebut. “Sejumlah pembelot militer dan pasukan keamanan

telah mengatakan, mereka menerima perintah un-tuk menembak pengunjuk rasa yang tidak bersenja-ta bersenja-tanpa peringabersenja-tan terlebih dahulu.”

Memasuki tahun kedua, kutukan dan ke-caman dunia mengarah kepada rezim Bashar As-sad. Dengan dukungan Rusia yang terang-terangan melakukan pembelaan, pembantaian rakyat oleh rezim berlanjut.

Di saat yang sama aksi perlawanan rakyat

pun tak menunjukkan tanda-tanda mengendur. Up-aya penghentian kediktatoran rezim meningkat den-gan perjuanden-gan bersenjata.

Peluru-peluru senjata rakyat Suriah dibalas dengan rudal-rudal jet tempur dan hantaman birmil. Nama kedua adalah jenis senjata berupa drum besar berisi bubuk bahan peledak, penggunaannya dengan cara djatuhkan dari helikopter. Bangunan-bangunan bertingkat yang ditumbuknya dapat hancur

seketi-Jauh panggang dari api, upaya diplomasi yang dilakukan rupan-ya tak segera diikuti pemerintah Indonesia dengan peran di bidang

kemanusiaan.

Sementara, warga Suriah yang menjadi korban konflik terus meningkat drastis seiring

bertam-bahnya masa konflik.

Dua anak yang selamat dari serangan rudal oleh pasukan yang loyal terhadap Presiden Bashar al-Assad bergandengan tangan di distrik Bab al-Hadeed, Aleppo, Suriah, Se-lasa (7/4/15). ANTARA FOTO/REUTERS ka.

Angka kematian di Suriah pada akhir 2012 makin berlipat ganda. Saat itu komisaris tinggi PBB merilis angka korban konlik yang telah mencapai 60.000 jiwa. “Mengingat belum ada penghitungan lagi sejak akhir Novem-ber, kita bisa berasumsi bahwa lebih dari 60 ribu orang telah tewas pada awal 2013,” kata Pillay dalam sebuah pernyataan. “Jumlah korban jauh lebih tinggi dari yang kami duga dan ini be-nar-benar mengejutkan,” imbuhnya.

Saat krisis kemanu-siaan semakin meningkat, tak ada aksi nyata dari dunia untuk menghentikan keke-jaman rezim. Desakan untuk menghentikan konlik men-galir dari banyak pihak. Juga tak ada titik terang dari lo-bi-lobi diplomatik yang diwa-canakan.

Begitu pula dengan yang dilakukan Indonesia, yang seolah ikut tercekat melihat situasi di Suriah. Per-mintaan penyelesaian konlik hanya berakhir di tataran seruan kepada Dewan Keamanan PBB. Tak terlihat adanya upaya dari Organisasi Kerjasa-ma Islam (OKI), yang Indonesia dise-but-sebut memiliki peran besar di

da-lamnya.

Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Komisi HAM OKI pernah menggelar pertemuan di Jakarta. Isu HAM, termasuk konlik Suriah menjadi pembahasan dalam pertemuan pada Februari 2012. Men-teri Luar Negeri, Marty Natalegawa, menyebut bahwa komisi tersebut bisa menjadi bagian dari solusi. Entah mengapa, solusi yang ditawarkan saat itu pun tak pernah muncul ke permu-kaan.

Sikap pemerintahan SBY baru terlihat dalam KTT G-20 yang digelar di St. Petersburg, Rusia, September 2013. Setidaknya ada tiga usulan yang disampaikan pemerintah Indonesia terkait konlik Suriah kala itu. “Presi-den menawarkan tiga langkah kebi-jakan, (yaitu) melakukan gencatan senjata, memberikan akses bantuan kemanusian dan penyelesaian proses politik. Indonesia berharap, di tengah semakin meningkatnya ketegangan, ada semacam harapan bahwa upaya diplomasi masih dapat dikedepank-an,” kata Juru bicara Kepresidenan SBY bidang luar negeri Teuku Faizasyah.

Jauh panggang dari api upaya diplomasi yang dilakukan rupanya tak segera diikuti pemerintah Indonesia

Setidaknya ada tiga lembaga nonpe-merintah yang termasuk paling awal melakukan misi kemanusiaan Suriah. Sahabat Suriah, Komite Indonesia un-tuk Solidaritas Palestina (KISPA) dan Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) menyampaikan bantuan kemanusiaan

bagi pengungsi Suriah di bulan Juli 2012. Langkah itu mereka ambil saat belum ada informasi terkait bantuan

resmi dari negara.

dengan peran di bidang kemanusiaan. Sementara, warga Suriah yang menjadi korban konlik terus meningkat drastis seiring bertambahnya masa konlik.

Jumlah pengungsi yang melar-ikan diri keluar dari Suriah pun segera menembus angka yang mencemaskan. Catatan PBB menyebutkan di akhir 2011 saja lebih dari 540 ribu warga Suriah tel-ah berada di negara-negara tetangga. Angka itu merupakan yang tercatat oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Irak, Yordania, Lebanon, Turki dan Mesir.

Sementara, lonjakan pengung-si secara pengung-signiikan terjadi pada ta-hun berikutnya. Di akhir 2013 tercatat ada sekitar 2,2 juta warga Suriah yang meninggalkan negara asalnya. Artinya, jumlah tersebut hampir empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Saat sepi upaya bantuan kema-nusiaan resmi dari pemerintah Indone-sia, inisiatif justru datang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)/nongovern-ment organization (NGO). Melalui peng-galangan bantuan dari masyarakat, mer-eka kemudian mengirimkan tim untuk menyampaikan bantuan tersebut seka-ligus melihat langsung kondisi warga korban konlik Suriah.

Setidaknya ada tiga lembaga nonpemerintah yang termasuk paling awal melakukan misi kemanusiaan Su-riah. Sahabat Suriah, Komite Indonesia

untuk Solidaritas Palestina (KISPA) dan Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) menyampaikan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Suriah di bulan Juli 2012. Langkah itu mereka ambil saat belum ada informasi terkait bantuan resmi dari negara.

Sahabat Suriah memulai misi kemanusiaannya membantu rakyat Suriah dengan mengirimkan bantuan pendidikan bagi anak-anak Suriah yang mengungsi di kawasan

perbatasan Turki. Se-lanjutnya secara ber-kala mereka mengirim-kan relawannya untuk mendistribusikan ban-tuan pangan maupun pendidikan ke beberapa wilayah di Suriah seper-ti Idlib, Aleppo, Homs, hingga sampai ke Dam-askus.

Sementara KIS- PA mengawa-li aksi kemanusiaan untuk rakyat Suri-ah pada 3 Juli 2012. Ketua KISPA Ustaz Ferry Nur memimpin langsung delegasi. Sejumlah wilayah di Suriah seperti Alep-po, Idlib dan Homs menjadi sasaran misi kemanusiaan KISPA selanjutnya. Hing-ga kini KISPA masih aktif mengirimkan bantuan, khususnya kepada pengungsi Palestina yang bermukim di Suriah yang juga menjadi sasaran serangan rezim.

Tepat pada 31 Juli 2012, HASI memberangkat-kan tim kemanusiaan pertama, berdasarmemberangkat-kan laporan di situs resminya. Tim yang terdiri atas dua dokter, satu apoteker dan satu penerjemah itu membawa bantuan dari rakyat Indonesia bagi warga Suriah. Tujuan perjalanan yang dilakukan pada bulan Ra-madhan itu adalah wilayah pengungsian di Turki.

Turki merupakan salah satu negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Suriah. Negara yang tergabung dalam Uni Eropa itu dinilai paling mudah untuk djangkau. Kebjakan politik Turki yang membuka tangan kepada para pengungsi Suriah menjadi alasan utamanya.

Perjalanan tim pertama HASI membawa dua misi utama. Selain menyampaikan amanat bantuan yang sebelumnya dihimpun dari umat Islam Indo-nesia, mereka juga ingin melihat dari dekat kondisi pengungsi Suriah di Turki untuk mengetahui hal-hal yang paling dibutuhkan. “Ini penting, sebagai infor-masi bagi umat Islam di Indonesia agar bantuan dan distribusi yang diberikan tepat sasaran,” kata An-gga Dimas P., sekretaris HASI yang juga termasuk dalam tim, sesaat sebelum pemberangkatan.

Pengiriman tim kemanusiaan dari Indonesia

itu dilakukan jauh sebelum Angelina Jolie mengun-jungi pengungsi Suriah. Aktris Hollywood itu mer-upakan utusan khusus PBB untuk masalah pengung-si (UNHCR). Dia baru datang untuk pertama kalinya ke kamp pengungsian warga Suriah pada 13 Septem-ber 2012 di Bekaa Valley, Lebanon.

Langkah yang diambil HASI itu menjadi titik awal bangkitnya kepedulian masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, terhadap krisis kemanu-siaan di Suriah. Persamaan latar belakang sebagai Ahli Sunah yang sama-sama menjadi mayoritas di negara masing-masing menjadi pendorong kuatnya kepedulian itu. Nasib tragis yang dialami pengungsi Suriah mengetuk empati umat Islam Indonesia da-lam aksi-aksi penggalangan dana kemanusiaan yang kemudian marak digelar di berbagai penjuru Nusan-tara.

Sejumlah NGO yang fokus terhadap nasib Su-riah pun segera terbentuk. Forum Indonesia Peduli Suriah (FIPS), yang belakangan berganti nama men-jadi Forum Indonesia Peduli Syam, Misi Medis Suri-ah (MMS), Syam Organizer aktif dalam kepedulian ini. Selain itu NGO yang sudah lebih dulu eksis sep-erti Aksi Cepat Tanggap (ACT), Dompet Duafa,

Bu-Krisis Suriah (Aktual/Ilst.Nlsn)

lan Sabit Merah Indonesia (BSMI) dan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) juga turut memberikan fokus pada misi kemanusiaan di Suriah.

Di medan konlik, eskala-si yang terjadi di Suriah ternyata menimbulkan perubahan besar. Setelah menguasai sejumlah be-sar wilayah di Suriah, Daulah Is-lamiyah (ISIS) mendeklarasikan secara sepihak kekhilafahan di bawah pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi pada 29 Juni 2014. ISIS pun mendesak faksi-faksi pejuang lain berbaiat kepada Al Baghdadi. Tetapi kelompok pejuang lain me-nolak deklarasi sepihak itu.

Deklarasi Khilafah Al-Baghdadi oleh ISIS berdampak luas kepada lanskap konlik Suri-ah. Barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat segera menem-patkan Daulah Islamiyah sebagai buruan nomor wahid, termasuk juga para pengikutnya di berbagai

belahan dunia. Tak terkecuali fak-si-faksi pejuang lain yang berada di medan pertempuran Suriah.

Koalisi Internasional un-tuk memerangi ISIS pun diben-tuk, dan dipimpin langsung oleh Amerika Serikat. Di awal, seban-yak 32 negara bergabung da-lam koalisi itu, terdiri atas neg-ara-negara barat juga sejumlah negara Timur Tengah dan Austra-lia. Serangan udara koalisi perta-ma kali dilancarkan oleh koalisi pada akhir September 2014, yang menargetkan posisi ISIS di Irak. Misi militer mereka terus berjalan dan melebar sampai ke Suriah.

Tak hanya menargetkan kelompok pejuang bersenjata, serangan udara koalisi juga men-yasar wilayah warga sipil. Kondisi itu semakin memperparah krisis kemanusiaan di Suriah. Menurut lembaga hak asasi manusia inter-nasional, pada akhir 2014 jumlah korban tewas di Suriah telah

men-capai lebih dari 200 ribu jiwa. Hegemoni anti ISIS juga terasa di Indonesia. Status Dau-lah Islamiyah sebagai kelompok teroris global menjadi dasar pen-angkapan para pendukungnya. Sejumlah penangkapan orang-orang yang disebut-sebut sebagai teroris pun segera mewarnai halaman utama media massa di Indonesia. Salah satu barang buk-ti yang kerap menyertai penang-kapan itu adalah bendera hitam, bertuliskan laa ilaaha illallah.

Ternyata gerakan perang melawan ISIS juga berimbas pada media-media Islam. Atas per-mintaan Badan Nasional Pem-berantasan Terorisme (BNPT), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mem-blokir 19 situs-situs Islam pada 30 Maret 2015. Ironisnya, selain menargetkan situs-situs yang tak jelas statusnya, pemblokiran itu juga menyasar situs-situs yang telah dikenal menyebarkan syiar Islam.

Sontak, tindakan pem-blokiran itu mendapatkan penen-tangan keras dari masyarakat. Tagar #kembalikanmediaislam

sempat menjadi trending topic di jejaring sosial. Kecaman pun ber-datangan dari berbagai kalangan, terkait pemblokiran yang melang-gar hak kebebasan berpendapat setiap warga negara.

BNPT menuding situs-si-tus yang masuk dalam daftar pemblokiran telah menyebarkan paham radikal. Para pimpinan si-tus yang diblokir pun melakukan perlawanan dan minta penjelasan kepada pihak Kemkominfo. Me-dia-media Islam yang melayang-kan protes antara lain arrahmah. com, salam-online.com, Hidayat-ullah,com, Kiblat.net, Gemaislam. com, Panjimas.com, voa-islam. com, dakwatuna.com, muslimdai-ly.net, aqlislamiccenter.com, dan an-najah.net.

Pihak Kemkominfo pun tak dapat menjelaskan bagian si-tus-situs tersebut yang mereka anggap radikal. Kritikan keras ter-us berdatangan menyikapi lang-kah pemblokiran media-media Islam tersebut. Akhirnya, setelah melakukan dialog intensif Kem-kominfo kembali membuka si-tus-situs Islam itu.

Tak hanya menyasar kebe-basan bersuara dan berpendapat seperti adanya pemblokiran

me-dia Islam, isu radikalisme juga menyasar misi kemanusiaan. Pen-giriman bantuan bagi pengungsi Suriah juga terkena imbas kampa-nye antiterorisme yang digaung-kan Barat dan dipantuldigaung-kan oleh seluruh dunia.

Contoh riil dampak itu dirasakan langsung oleh misi kemanusiaan Forum Indonesia Peduli Syam (FIPS). Tim kemanu-siaan FIPS yang hendak menyam-paikan bantuan ke Turki dilepas oleh wakil ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah pada 28 Mei 2015 di Gedung DPR RI. Ustaz Fahmi Salim (Anggota MUI), Ach-mad Michdan (TPM), Mustofa B Nahrawardaya (Muhammadiyah), Abu Harits (Sekjen FIPS), dan se-jumlah jurnalis tergabung dalam tim tersebut.

Selain memberikan ban-tuan kemanusiaan bagi pengung-si Suriah, tim FIPS tersebut juga membawa misi mengumpulkan fakta sebenarnya terkait kondisi di Suriah. Selain itu mereka juga akan menghadiri peringatan ins-iden Mavi Marmara, Pertemuan dengan tokoh Robithoh Ulama Suriah (Syeikh Usamah Rivai), dan silaturahim dengan NGO kema-nusiaan Turki IHH.

Namun tim FIPS yang terdiri atas 10 orang WNI itu di-paksa turun dan ditahan selama 4 jam di Bandara Ataturk, Istan-bul. Kejadian itu terjadi saat pe-sawat Turkish Airlines akan lepas landas ke Hatay pada Senin (1/5) sore.

Penahanan dilakukan atas dasar laporan seorang pen-umpang di dalam pesawat yang mengaku mendengar di antara 10 WNI itu yang hendak ke Hatay membicarakan ISIS. Penumpang dimaksud seorang perempuan yang duduk di bangku 20A Nec-miye Ozbek. Menurut NecNec-miye dirinya fasih bahasa Arab dan mendengar WNI di dalam pe-sawat akan masuk ISIS. Perem-puan itu lalu melaporkan ke kru pesawat, diteruskan ke pilot dan pilot melapor ke kepolisian.

Atas laporan itu, kepoli-sian kontra terorisme datang

dan meminta 10 WNI turun dari pesawat. Mereka lalu dibawa ke kantor kepolisian kontra teror-isme di bandara. Di kantor ke-polisian itu turut diundang jaksa Turki.Padahal agenda ke Hatay adalah untuk pemberian donasi kemanusiaan untuk rumah sakit darurat yang berdiri di Latakia, Suriah dan untuk melihat pen-gungsian warga Suriah di Hatay yang difasilitasi organisasi kema-nusiaan terbesar di Turki, IHH.

“Kami membawa war-tawan tujuannya untuk melihat bahwa bantuan kemanusiaan djamin akan sampai kepada rakyat yang alami krisis dan ti-dak ada sangkut pautnya dengan isu ISIS. Justru kita bantu pemer-intah clear-kan isu ISIS,” kata Fahmy Salim.

Achmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim (TMP) memprotes tindakan penahan-an itu. Pihaknya meminta KJRI melayangkan nota protes karena rombongan dalam misi

kemanu-siaan itu dikaitkan dengan ISIS dan diperlakukan seperti terduga ISIS.

“Kami dirugikan secara hukum dan secara isu. Kalau didu-ga dari awal (terkait ISIS) ngdidu-gak usah naik pesawat. Ini sesuatu yang amat janggal, ada hak yang dilanggar baik dari perlakuan dan dokumen (yang dihapus),” ucap Michdan.

Konlik Suriah terus ber-gulir, dan upaya diplomatik tak kunjung membuahkan hasil. Hal itu terlihat dengan gagaln-ya sejumlah pembicaraan damai antara kubu oposisi dan rezim Bashar Assad, termasuk pembic-araan Jenewa yang melibatkan kubu Amerika Serikat serta Rusia yang menjadi pendukung rezim.

Sementara, di sisi lain kri-sis kemanusiaan yang menimpa warga Suriah semakin parah. Di antaranya, pengepungan rezim di wilayah Madaya berdampak mengerikan, manusia terbujur kaku karena kelaparan. Dunia luar pun butuh upaya ekstra keras un-tuk menembus blokade, hingga bantuan kemanusiaan tersalur-kan.

Pada akhirnya, posisi Indo-nesia terhadap Suriah di masa pe-merintahan presiden Joko Wido-do pun terlihat jelas. Duta besar Indonesia untuk Suriah Djoko Harjanto menegaskan bahwa dia ditugaskan untuk bekerja sama rezim Bashar Assad. “Saya kan di-tugaskan untuk pemerintah yang

berkuasa, jadi saya harus bekerja sama dengan Asad. Kalau tidak saya bisa dibunuh,” kata Djoko.

Djoko pun membantah pembantaian yang dilakukan pa-sukan rezim terhadap rakyat Su-riah. Dia menyebut bahwa ber-ita pembunuhan rakyat Suriah adalah bohong. “Di sana (Suriah) tidak ada presiden membunuh rakyatnya, saya kan di sana dan saya tidak melihat.”

“Informasi yang menya-takan pemerintah Assad mem-bunuhi rakyatnya. Itu tidak benar. Bagaimana mungkin, wong pe-merintah solid didukung rakyat-nya. Jadi jika memang ada yang meninggal, itu karena perang dua kubu, namanya perang.” ujar Djoko.

“Kita tidak memihak, ya karena memang pemerintah In-donesia mengakreditasikan saya ke Assad, jika saya tidak beker-ja sama dengan Assad, ya tidak bisa lindungi TKI dan ke ma-na-mana, malah bisa ditangkap. Lalu bagaimana ke depan? Kita bersikap praktis. Siapa pun yang berkuasa, maka akan kita dukung. Jangan dianggap kita di sana saat ini, langsung Pak Jokowi dituding Syiah lah, orangnya Assad lah. Jangan begitu,” paparnya.

Dubes Djoko pun yatakan bahwa Indonesia men-dorong solusi perundingan damai untuk Suriah. Namun, pernyataan itu jadi ironis jika justru yang ter-jadi di dalam negeri adalah

adan-ya stigmatisasi terhadap pihak-pi-hak yang menaruh kepedulian terhadap Suriah. Penangkapan WNI saat hendak memberikan bantuan bagi pengungsi Suriah tak boleh terulang kembali.

Pun halnya dengan tabu-han gendang isu terorisme oleh Barat yang menyertai konlik Suriah. Mestinya, Indonesia tak terlarut dalam irama itu sehing-ga muncul draf revisi undang-un-dang antiterorisme. Ada salah satu poin dalam revisi undang-un-dang no 15 tahun 2003 yang menyebutkan bakal memberikan sanksi kepada orang-orang yang terkait latihan perang di wilayah konlik. Poin ini bisa jadi pintu masuk untuk mengarahkan tudin-gan kepada aktiis yang datang ke arena peperangan membawa misi kemanusiaan.

Ini menjadi preseden bu-ruk bagi misi kemanusiaan, ter-masuk di Suriah. Khususnya, yang dilakukan oleh pihak NGO, yang menjadi penyelamat muka Indo-nesia di mata rakyat Suriah. Besar kemungkinan misi kemanusiaan akan dicurigai dan ditindak se-bagai pengikut latihan militer. Pa-dahal, pengungsi Suriah yang ber-jumlah 7.600.000 masih menanti uluran tangan rakyat Indonesia. [Imam]

Delegasi Forum Indonesia Peduli Syam (FIPS) berkunjung ke Lembaga kemanu-siaan Internasional IHH di Istanbul,Turki.

Dalam dokumen Majalah Kiblat edisi Rajab 1437/ April 2016 (Halaman 41-50)

Dokumen terkait