• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.6 Peran Leukosit pada Luaran Stroke Hemoragik

Pengertian leukosit adalah kelompok sel-sel darah putih berinti yang terdiri dari granulosit dan non granulosit (limfosit dan monosit). Sedangkan granulsit dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil. Fungsi leukosit dalam garis besarnya dibagi menjadi dua, yaitu fungsi defensif dan reparatif. Fungsi defensif adalah fungsi mempertahankan tubuh terhadap benda-benda asing termasuk kuman-kuman penyebab penyakit infeksi. Leukosit yang memegang peranan dalam hal ini adalah monosit yang memfagosit benda- benda asing yang berukuran besar (makrofag), neutrofil yang memfagosit benda- benda asing yang berukuran kecil (mikrofag), limfosit yang membentuk antibodi, disamping plasma sel. Sedangkan fungsi reparatif adalah fungsi yang memperbaiki atau mencegah terjadinya kerusakan, terutama kerusakan vaskuler. Leukosit yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah basofil yang menghasilkan heparin. Adanya heparin ini, pembentukan trombus pembuluh darah dapat dicegah. Adapun fungsi eosinofil belum diketahui secara pasti dan jumlahnya akan meningkat pada keadaan alergi dan infeksi parasit seperti cacing (Baratawidjaja, 2006).

Sel-sel polimorfonuklear dan monosit dalam keadaan normal hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Sebaliknya sel-sel limfosit dan sel-sel plasma diproduksi dalam bermacam-macam organ limfoid termasuk kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan sel-sel limfoid yang lain didalam sumsum tulang, usus dan sebagainya. Sel-sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, terutama granulosit akan disimpan didalam sistem sirkulasi. Kemudian bila

kebutuhannya meningkat, maka granulosit akan dilepas. Keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi didalam seluruh aliran darah kira-kira tiga kali daripada jumlah granulosit yang disimpan dalam sumsum tulang. Jumlah ini sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari (Guyton dan Hall, 1997).

Leukosit berperan baik pada proses inflamasi akut maupun kronik. Jenis leukosit yang berperan dalam hal ini adalah neutrofil sehingga jumlahnya meningkat pada fase akut. Neutrofil yang sudah dikerahkan di jaringan akan diaktifkan dan melepas produk-produk yang toksik. Proses inflamasi akan berjalan sampai antigen dapat disingkirkan. Hal tersebut pada umumnya terjadi cepat berupa inflamasi akut yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi kronik yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik (Baratawidjaja, 2006).

Stroke hemoragik merupakan penyakit serius yang memberikan angka sebesar 45% dalam 30 hari. Duapuluh persen dari penderita dapat kembali ke fungsi independen dalam 6 bulan. Peranan inflamasi pada patofisiologi stroke hemoragik telah banyak dikenal. Beberapa studi klinis telah mendemonstrasikan hubungan antara petanda inflamasi dan luaran setelah stroke hemoragik. Aktivasi dari respon inflamasi yang diukur sebagai perubahan jumlah leukosit perifer telah

dapat dianalisis dan penilaian mortalitas dan luaran fungsional setelah stroke hemoragik telah dapat ditentukan (Agnihotri et al., 2011).

Volume perdarahan merupakan prediktor terkuat dari luaran stroke hemoragik dan mengatasi ekspansi perdarahan telah menjadi tujuan primer padari penelitian klinis terkini. Penyebab dari kerusakan sekunder setelah perdarahan inisial yaitu ekspansi perdarahan dan edema serebri. Identifikasi biopetanda dalam darah berhubungan dengan perburukan neurologis dan/atau prognosis setelah stoke hemoragik merupakan langkah kritis untuk mengembangkan terapi terbaru. Biopetanda ini berhubungan dengan kegagalan hemostasis atau edema serebri yang akan mengarahkan atau mengeksplorasi target terapi, dan mengidentifikasi penderita yang membutuhkan terapi hemostasis atau anti inflamasi. Hitung leukosit darah perifer berhubungan dengan volume perdarahan dan luaran fungsional setelah stroke hemoragik. Walaupun demikian, hingga saat ini belum diketahui bahwa peningkatan jumlah leukosit mewakili respon fase akut atau peranan patofisiologi dari leukosit perifer pada stroke hemoragik. Neutrofil dan monosit merupakan jenis leukosit yang predominan dan infiltrasi neutrofil dan monosit perifer telah ditemukan berkontribusi terhadap kerusakan sekunder otak yang mengalami stroke perdarahan. Monosit bersirkulasi dikenal dapat mengekspresikan jumlah yang signifikan dari faktor jaringan, berinteraksi dengan platelet dan memodulasi inflamasi seperti pada proses trombosis dan hemostasis. Haynes et al. pada tahun 2012 telah melakukan studi pertama kali pada manusia dengan mengeksplorasi jumlah monosit absolut dalam hubungannya dengan stroke hemoragik. Mereka menemukan bahwa jumlah monosit perifer secara

independen berhubungan dengan kasus fatalitas dalam 30 hari pada penderita yang dirawat di ruang gawat darurat dalam 12 jam setelah onset gejala. Jumlah monosit absolut dapat digunakan sebagai biopetanda pada stroke hemoragik, dan dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prognosis.

Leukosit darah perifer dapat digunakan sebagai petanda dalam menilai respon imun dan menggambarkan aktivasi kaskade inflamasi yang menyertai perdarahan otak. Biopetanda ini mudah dan sering digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Agnihotri et al. pada tahun 2011 yang menilai perubahan leukosit dalam 72 jam lebih baik untuk menggambarkan jumlah respon inflamasi pada respon terjadinya perdarahan otak dibandingkan hanya sekali pengukuran. Tingginya hitung leukosit merupakan prediktor independen dari perburukan neurologis awal setelah terjadi stroke hemoragik (Wang dan Doré, 2007; Aronowski dan Zhao, 2011).

Tabel 2.1. Beberapa Penelitian yang Menghubungkan Leukosit Darah Perifer dengan Luaran Penderita dengan Stroke Hemoragik.

No. Peneliti Judul Tahun Hasil

1. Liera R, Davalos A, Silva Y, Gil-Peralta A, Tejada J, Garcia M, Castillo J. Neurologic deterioration in intracerebral hemorrhage: Predictors and associated factors 2004 Higher peripheral leukocyte counts are associated with early neurologic deterioration but were not independently associated with functional outcomes as measured by modified rankin scale at 30 days. A high peripheral leukocyte count is considered to be an independent predictor of early clinical worsening in primary ICH

2. Kuznik BI, Morozova IIu, Rodnina OS, Strambovskaia NN, Shirshov

Leukocytosis and outcomes of acute stroke

2010 The higher was the number of leukocytes, the higher was the probability of fatal outcome in the first month of stroke.

3. Di Napoli M, Godoy DA, Campi V, Del Valle M C-reactive protein level measurement improves mortality prediction when added to the spontaneous intracerebral hemorrhage score 2011 A higher white blood cell count was associated with increased mortality in ICH patients, but this did not increase the risk of

death

other indicators of ICH severity

4. Shruti Agnihotri, Alexandra Czap, Ilene Staff,Gil Fortunato, Louise D McCullough Peripheral leukocyte counts and outcomes after Intracerebral hemorrhage 2011 Greater changes in leukocyte count over the first 72 hours after admission predicted both worse

short term and long term functional outcomes after ICH.

5. Erin Nicole Haynes, PhD Arthur Pancioli, MD George Shaw, PhD Daniel Woo, MD Peripheral Leukocytes and Intracerebral Hemorrhage 2012 Baseline peripheral monocyte count was independently associated with 30-day case- fatality in ICH patients who presented to the emergency department within 12 hours of symptom onset.

6. Shuichi Suzuki, Roger E. Kelley,

Bhuvaneswari K. Dandapani, Yolanda Reyes-Iglesias, W. Dalton Dietrich, Robert C. Duncan Acute Leukocyte and Temperature Response in Hypertensive Intracerebral Hemorrhage 2013 There is a relationship between the size of the perdarahan and the degree of leukocytosis in hypertensive intracerebral hemorrhage. This relationship appears to most likely represent a stress-induced reaction of the white blood cell count.

Menurut Tresca pada tahun 2014, rentang jumlah normal leukosit pada darah perifer sebesar 4,3 sampai 10,8 x 103/µ L. Sedangkan leukositosis apabila peningkatan jumlah leukosit melebihi 11 x 103/µL. Apabila jumlah leukosit di bawah 4 x 103/µ L dikatakan lekopenia. Leukositosis merupakan indikator adanya infeksi dan/atau inflamasi. Leukositosis juga dapat terjadi pada kondisi klinis lain seperti trauma, ketoasidosis diabetikum, psikosis, efek samping kemoterapi, keracunan, keganasan, terapi menggunakan steroid atau lithium. Leukositosis dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas penderita stroke. Efeknya berhubungan dengan penyakit jantung koroner dan penyakit serebrovaskuler, selain itu juga berkaitan dengan hipertensi, intoleransi glukosa dan risiko mortalitas secara umum. Leukositosis adalah sebuah reaksi non spesifik terhadap sejumlah kondisi atau penyakit, dan mungkin merupakan penanda fase akut seperti halnya laju endap darah atau c-reactive protein (CRP). Peningkatan kadar katekolamin dalam sirkulasi dilaporkan juga dapat menyebabkan leukositosis, hal ini kemungkinan menunjukkan adanya respon stres umum (Asadollahi et al., 2010; Tresca, 2014). Kondisi lekopenia dapat disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang akibat anemia aplastik, mielodisplasia, leukemia akut, infeksi, tumor atau jaringan ikat abnormal, pasca infeksi, defisiensi nutrisi (vitamin B12, asam folat), obat-obatan untuk pengobatan keganasan atau obat- obatan lain seperti antibiotika, antikonvulsan, anti tiroid, arsen, kaptopril, klorpromazin, klozapin, diuretik, anti histamin-2, sulfonamid, kuinidin, terbinafin, tiklopidin. Penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE), penyakit hepar dan limpa, terapi radiasi untuk keganasan, infeksi virus, infeksi

bakteri yang berat juga dapat sebagai penyebab lekopenia. Sedangkan leukositosis dapat disebabkan oleh suatu kondisi seperti anemia, merokok, infeksi khususnya oleh bakteri baik akut maupun kronis, penyakit inflamasi seperti artritis rematoid atau alergi, leukemia, stres mental atau psikis, keganasan, hiperstimulasi sumsum tulang (hemolisis kronik, penyembuhan dari supresi sumsum tulang), pasca

slenectomy, kerusakan jaringan seperti pada luka bakar serta obat-obatan seperti

agonis beta adrenergik, kortikosteroid, epinefrin, granulocyte colony stimulating

factor, heparin, litium (Rose dan Berliner, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Hatta dkk. pada tahun 2010 menunjukkan bahwa rerata hitung leukosit pada stroke hemoragik lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik. Volume perdarahan juga dikaitkan dengan derajat leukositosis pada perdarahan intraserebral hipertensif. Semakin tinggi volume lesi maka semakin tinggi pula jumlah leukosit. Leukositosis pada penderita perdarahan intraserebral hipertensif ini selain disebabkan karena respon inflamasi lokal dalam otak juga karena respon stres tubuh (Hatta dkk., 2010).

Luaran penderita stroke hemoragik dapat dinilai dengan beberapa skala atau skor klinis seperti NIHSS, modified Rankin Scale, Barthel index, ICH score, GOS (Glasgow Outcome Scale). Skala NIHSS sering digunakan dalam pemeriksaan penderita dengan stroke akut. Skala ini memiliki 15 poin yang harus diperiksa diantaranya derajat kesadaran, respon penderita dalam menjawab pertanyaan, mengikuti perintah, gerakan mata konjugat horizontal, lapang pandang pada tes konfrontasi, paresis wajah, motorik lengan kanan, lengan kiri, tungkai kanan, tungkai kiri, ataksia anggota gerak, fungsi sensorik, bahasa terbaik,

disartria, dan neglek/tidak ada atensi. Nilai total adalah 42. Skor NIHSS terbagi menjadi lima kelompok yaitu nilai 0 pada normal, nilai 1-4 pada stroke ringan, nilai 5-15 pada stroke sedang, 16-20 pada stroke sedang-berat, nilai 21-42 pada stroke berat. Luaran baikapabila didapatkan penurunan nilai NIHSS antara awal dan akhir sebesar lebih dari dan sama dengan dua poin. Skala NIHSS memiliki angka sensitivitas 81% dan spesifisitas 90% untuk menilai mortalitas penderita stroke hemoragik dalam 30 hari. Selain itu juga dapat memprediksi mortalitas dalam jangka waktu yang panjang yaitu 5 tahun. Pengukuran skala ini sangat mudah dilakukan dengan poin penilaian klinis yang baik. Nilai NIHSS yang melebihi angka 20 merupakan prediktor yang kuat untuk menilai kematian atau luaran fungsional yang buruk. Informasi tambahan mengenai usia, lokasi dan ukuran perdarahan, adanya perdarahan intraventrikular atau subaraknoid, suhu tubuh, tekanan darah dapat memberikan penilaian prognosis penderita yang lebih akurat. Akan tetapi skala NIHSS cukup bagi para klinisi untuk memberikan penilaian klinis terhadap penderita, penentuan tatalaksana klinis dan konseling (Jensen dan Lyden, 2006; Cheung et al., 2008; DeGraba et al., 2010; Boone et al., 2012).

Dokumen terkait