• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik

2.5.1 Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak

Bekuan darah yang terjadi ketika stroke perdarahan akan menimbulkan kerusakan struktural pada jaringan saraf. Proses kerusakan jaringan oleh karena stroke hemoragik akan bergantung kepada dinamika yang terjadi pada bekuan darah tersebut misalnya perluasan, dimana kerusakan secara primer akan terjadi pada menit sampai jam dari awal mula pecahnya pembuluh darah yang dihubungkan dengan kerusakan secara mekanik oleh karena adanya efek masa. Kerusakan secara sekunder lebih banyak disebabkan oleh adanya bekuan darah pada parenkim otak dan akan bergantung kepada volume awal bekuan darah,

umur, dan volume ventrikel, proses yang lain yang berkembang yang menyebabkan kerusakan sekunder seperti efek sitotoksik dari bekuan darah, hipermetabolisme, proses eksitotoksik, spreading depression, dan stres oksidatif serta inflamasi. Kelima proses ini akan menyebabkan kerusakan yang ireversibel pada jaringan neurovaskuler, jaringan substansia alba dan grisea otak yang akan diikuti oleh kerusakan sawar darah otak dan diakhiri oleh pembengkakan otak dengan makin banyaknya jaringan otak yang mati. Adanya proses inflamasi itu sendiri dapat memberikan efek buruk ataupun baik, dimana pelepasan sejumlah mediator inflamasi sebagai respon terhadap kerusakan sel akan menyebabkan kerusakan sekunder bagi jaringan saraf disekitarnya, selain itu keterlibatan beberapa sel inflamasi seperti mikroglia dan makrofag akan memiliki peran vital pada proses pembersihan jaringan yang rusak serta bekuan darah itu sendiri yang juga merupakan sumber dari proses inflamasi (Loftspring et al., 2009; Aronowski dan Zhao, 2011).

Peranan dari inflamasi pada patofisiologi stroke hemoragik telah banyak dikenal. Proses inflamasi pada stroke hemoragik termasuk jenis aseptik. Respon inflamasi teraktivasi akibat adanya darah yang masuk dalam parenkim otak dengan infiltrasi leukosit perifer, aktivasi mikroglia dan pelepasan sitokin (Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012). Secara garis besar mekanisme ini melibatkan komponen seluler dan berbagai komponen darah seperti leukosit, eritrosit, mikroglia/makrofag, astrosit, sel mast, protein plasma dan komponen molekuler seperti sitokin, kemokin, prostaglandin, aktivasi komplemen, reactive

erythroid 2-related factor 2, heme oxygenase, besi, cyclo-oxygenase-2 (COX-2)

dan protease (Wang dan Doré, 2007; Wang, 2010; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013). Menurut Wang dan Doré pada tahun 2007 dan Yabluchanskiy pada tahun 2012, studi dengan menggunakan analisis microarray terhadap deoxyribo nucleic acid (DNA) menunjukkan bahwa setelah perdarahan, beberapa kadar gen proinflamasi akan meningkat seperti faktor transkripsi, heat

shock protein, sitokin, kemokin, protease ekstraseluler, dan adhesion molecules. Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells (NF-KB) akan

melakukan regulasi terhadap tumor necrosis factor-α (TNF-α), Interleukin-1β (IL-1β), nitrit oxide synthase (NOS), dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).

Perdarahan dalam otak membuat infiltrasi yang cepat pada komponen darah termasuk eritrosit, leukosit, makrofag, protein plasma (trombin, plasmin dan sebagainya) ke tempat terjadinya perdarahan. Respon inflamasi yang mengikuti infiltrasi ini termasuk pelepasan mediator inflamasi, migrasi sel-sel inflamasi, aktivasi protease, aktivasi mikroglia dan astrosit, sehingga dapat menginduksi kerusakan jaringan otak atau kemudian terjadi perbaikan jaringan otak itu sendiri (Van Rossum dan Hanisch, 2004; Wang, 2010). Saat teraktivasi secara penuh, mikroglia fagositik tidak mungkin untuk berdiferensiasi dari makrofag yang menginfiltrasi. Sel leukosit, makrofag, mikroglia teraktivasi dan astrosit merupakan mediator seluler mayor dari kerusakan otak sekunder setelah terjadi stroke perdarahan (Aronowski dan Hall, 2005; Wang dan Doré, 2007). Leukosit memiliki peran sebagai sel pertahanan tubuh secara umum, terutama neutrofil

yang diduga menjadi mediator pada kerusakan sekunder pasca perdarahan. Mikroglia yang merupakan kurang lebih 12% dari sel pada parenkim otak adalah sel pertahanan otak alamiah yang pertama kali teraktivasi, kemudian setelah teraktivasi sel ini akan berubah bentuk menjadi fagositik yang menandakan sel ini telah aktif dan sel berikutnya adalah makrofag. Ketiga sel ini selanjutnya akan melepaskan beberapa sitokin, kemokin, dan molekul sistim imun lainnya (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012).

Efek sitotoksik bekuan darah dan stres oksidatif merupakan mediator dari kematian sel setelah perdarahan otak. Setelah proses stroke hemoragik, beberapa komponen bekuan darah akan keluar dari pembuluh darah yang pecah (terutama pada awalnya adalah eritrosit dan protein plasma) dan kerusakan yang ditimbulkan berhubungan dengan kelainan pada tingkat molekuler, seperti asam nukleat, komponen matriks ekstraseluler, protein, mediator lemak, adenosine

triphosphat (ATP) dan asam urat akan dilepaskan oleh jaringan nekrotik, dan

komponen ini akan menginduksi proses sitotoksik, pro-oksidatif serta inflamasi yang akan mengancam jaringan sekitarnya. Pada fase awal bekuan darah yang keluar akan menimbulkan efek toksik dengan melepaskan beberapa faktor koagulasi, komplemen, immunoglobulin dan beberapa molekul bioaktif lainnya. Eritrosit akan mulai mengalami proses lisis pada 24 jam pertama dan berlanjut sampai beberapa hari dan melepaskan hemoglobin sitotoksik. Hemoglobin (Hb) dan produk degradasi seperti heme dan besi akan berada pada jaringan. Hemoglobin dan heme termasuk zat kimia yang memiliki sifat sitotoksik yang menyebabkan kematian sel, dimana proses ini akan terjadi melalui terbentuknya

radikal bebas dari Hb yang dikenal dengan mekanisme Fenton-type (Aronowski dan Zhao, 2011).

Salah satu yang berperan dalam proses inflamasi setelah terjadi perdarahan otak adalah sitokin. Sitokin adalah glikoprotein utama yang memiliki peran penting pada proses sinyal antar sel dan juga memiliki hubungan dengan inflamasi, aktivasi imun serta diferensiasi dan kematian sel. Sitokin timbul sebagai reaksi primer terhadap stimulasi dari luar dan tidak ada pada hemostasis yang normal. Sebagai konsekuensi langsung ketidakseimbangan ion dan akumulasi kalsium bebas yang timbul akibat lesi perdarahan otak, maka dilepaskan asam amino bebas dan proinflamasi lain hasil metabolism lemak. Hal ini dipercaya akan meningkatkan, menimbulkan dan melepaskan kaskade sitokin proinflamasi. Sitokin diproduksi oleh banyak tipe sel seperti mikroglia, astrosit, neuron, endotel, leukosit dan sumber utama terutama dari sel mikroglia atau makrofag. Bukti-bukti dari penelitian juga mengatakan adanya peningkatan dari sitokin pada darah perifer setelah perdarahan otak. Setelah proses ini, permeabilitas sawar darah otak akan meningkat termasuk terhadap sitokin. Hal ini disebabkan sitokin merupakan protein dengan berat molekul kecil yang mempunyai berbagai aktifitas biologis dan aktif pada konsentrasi kecil. Fagositik perifer mononuklear, limfosit T, natural killer cell, sel leukosit

polymorphonuclear (PMN) yaitu neutrofil, dapat menghasilkan dan mensekresikan sitokin yang menembus sawar darah otak dan berkontribusi pada proses inflamasi pada jaringan otak. Sitokin akan dibagi menjadi mediator pro dan anti inflamasi. Sitokin pro inflamasi dapat menginduksi dan mempotensiasi

produksi dari sitokin yang lain, namun pada kenyataannya diantara sitokin juga mampu menginduksi diantara mereka sendiri seperti antara IL-1β dan TNFα.

Tumor Necrosis Factor-α adalah sitokin pleotrofik yang akan dilepas oleh beberapa sel seperti sel neuron, sel astrosit, mikroglia teraktivasi atau makrofag serta leukosit. Pada kaskade pro inflamasi yang pertama kali dikeluarkan adalah IL-1 dan TNFα, dimana sitokin ini yang kemudian merangsang dikeluarkannya sitokin proinflamasi yang lainnya seperti IL-6 dan IL-8, aktivasi dan infiltrasi dari leukosit dan memproduksi sitokin anti inflamasi termasuk IL-4 dan IL-10 yang mungkin merupakan negatif feedback dari kaskade ini. Tumor Necrosis Factor-α juga akan menimbulkan aktivitas biologi lainnya seperti produksi protein fase akut dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Interleukin-1 terdapat pada 2 bentuk yaitu IL-1α dan IL-1β yang akan bekerja pada 2 reseptor tipe 1 dan 2 dan akan diregulasi oleh antagonis reseptor IL-1 endogen. Sitokin ini menyebabkan apoptosis sel SSP (Sistem Saraf Pusat), diferensiasi dan proliferasi seperti pengaruh akibat infiltrasi oleh leukosit. Melalui studi dengan menggunakan teknik

Affymetrix microarrays didapatkan peningkatan kadar IL-1, TNF-α, IL-6, IL-8,

macrophage inflammatory protein-1a (MIP-1a) dan ekspresi reseptor TNF terjadi

setelah perdarahan otak. Ekspresi dari IL-1β, MIP-1a dan ekspresi reseptor TNF akan meningkat dalam 24 jam setelah perdarahan otak. Hasil yang sama pula didapatkan pada penelitian lain yang menyebutkan dalam 16 jam pertama. Sitokin IL-1 dan TNF-α dikatakan akan membuka pintu yang terbentuk oleh sawar darah otak dan akan mengakibatkan edema vasogenik. Ekspresi TNF-α meningkat pada neutrofil setelah 2 - 4 jam dan pada mikroglia/makrofag setelah 8 jam.

Konsentrasi IL-1β mulai muncul setelah 1 -3 jam dan maksimal pada 12 jam, akan tetap ada sampai 5 hari. Konsentrasi TNF-α mulai muncul setelah 3- 6 jam dan maksimal pada 12 jam, akan tetap ada sampai 5 hari. Pada beberapa studi juga ditemukan bahwa TNF-α dan IL-6 yang terdeteksi pada 12 – 24 jam setelah perdarahan berkontribusi pada pembentukan edema dan perluasan dari perdarahan itu sendiri. Konsentrasi IL-6 meningkat secara signifikan pada hari pertama dan cenderung akan menurun setelahnya. Peningkatan IL-6 sampai hari ketujuh berhubungan dengan volume perdarahan, efek masa yang ditimbulkan dan derajat keparahan dari kerusakan otak yang terjadi dimana adanya penurunan kesadaran yang dihitung dengan menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan peningkatan angka kematian (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012). Bukti lain juga menunjukkan bahwa sitokin merupakan komponen kunci pada aktivasi dan pengerahan leukosit di SSP. Sitokin IL-1, TNF-α, IL-6 dan IL-8 telah diketahui mengaktivasi leukosit dan meningkatkan adhesi pada leukosit Cluster of Differentiation-18 (CD-18), sel endotel dan astrosit melalui ICAM-1 (Caplan, 2009; Nai-Wen Tsai et al., 2010).

Mikroglia berperan sangat penting dalam proses inflamasi setelah perdarahan otak. Mikroglia tampak pada daerah perdarahan mencapai puncaknya pada hari ketiga setelah terjadi perdarahan otak. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan tubuh untuk proses destruksi dan eliminasi jaringan otak yang rusak akibat perdarahan otak. Kemudian sel mikroglia atau makrofag ini juga akan mengalami apoptosis dan persiapan ke proses inflamasi selanjutnya. Makrofag yang akan mengalami apoptosis mengubah profil produksi sitokin yaitu

dengan downregulation dari sitokin proinflamasi, dan upregulation dari sitokin anti-inflamasi. Selain memproduksi sitokin, makrofag juga menghasilkan protease seperti cathepsin yang berkontribusi terhadap perbaikan jaringan (Yabluchanskiy, 2012). Mikroglia didapatkan kurang lebih sekitar 5 – 20% dari jumlah sel glia yang ada pada parenkim otak. Setelah terjadi kerusakan otak, mikroglia akan teraktivasi dan berubah bentuk seperti pembesaran badan sel, perubahan bentuk menjadi batang, sferis atau ameboid, penonjolan prosesus, upregulation dari beberapa enzim dan protein serta perubahan sifat menjadi lebih fagositik, lebih mudah bermigrasi dan respon proliferasi. Fungsi utama dari mikroglia adalah untuk membersihkan perdarahan yang terjadi, namun selain itu mikroglia juga melepaskan faktor toksik seperti sitokin, kemokin, ROS, protease, COX-2, prostaglandin, Nitric Oxide (NO) dan Heme Oxidase-1 (HO-1) dan metabolitnya serta MMPs sehingga mikroglia/makrofag juga turut berperan pada kerusakan seluler pasca perdarahan. Selain itu, mikroglia juga memproduksi TNF-α. Kondisi

downregulation dari ekspresi TNF-α berhubungan dengan pengurangan volume perdarahan sehingga dapat memperbaiki luaran klinis penderita stroke hemoragik. Peneliti yang lain mencoba melakukan pengamatan terhadap perdarahan yang terjadi dimana didapatkan bahwa volume perdarahan tidak akan berubah pada tiga hari pertama dan sebagian akan mulai terabsorbsi pada hari ketujuh, namun pada penelitian yang lain lagi mendapatkan volume perdarahan tidak akan berubah pada tujuh hari dan akan mulai penyerapan pada empat belas hari. Sesuai dengan penemuan ini disimpulkan aktivasi mikroglia setelah perdarahan tergantung pada waktu (time dependent) dan juga ukuran perdarahan (size dependent). Aktivasi

mikroglia terjadi dalam beberapa menit setelah perdarahan akan berkembang dalam 1 – 2 jam setelah perdarahan otak dan tetap dominan pada hari pertama, mencapai puncak pada hari ketiga sampai tujuh dan akan bertahan hingga tiga sampai empat minggu (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013). Aktivasi mikroglia akan melepaskan sitokin proinflamasi dan faktor kemotaktik yang akan melakukan proses recrutiment sel inflamasi yang lain menuju lokasi perdarahan. Infiltrasi dari neutrofil terjadi pada 18 jam sampai 4 hari dari awitan dan kemudian dilanjutkan dengan makrofag yang dapat dijumpai pada hari pertama sampai bulan pertama. Sinyal inflamasi akan banyak dijumpai dan akan pula ditemukan berbagai macam sel inflamasi yang terlibat, namun secara garis besar hal ini dikoordinasikan menjadi satu faktor transkripsi yaitu NF-KB. Gen yang dikode oleh NF-KB ini mampu menyandikan pembentukan beberapa molekul adhesi seperti ICAM-1, sitokin, dan kemokin seperti IL-1 dan TNF-α, metalloproteinase seperti MMP-9, protein fase akut dan enzim inflamasi seperti NOS, COX-2, fosfolipase-A2. Kesemuanya ini mampu dihasilkan oleh NF-KB sehingga menunjukkan peranan penting NF-KB pada proses inflamasi dan NF-KB juga diinduksi oleh radikal bebas. NF-KB ditemukan pada onset 15 menit pertama dan mencapai maksimum pada 1-3 hari dan akan tetap tinggi sampai 1 minggu. Imunoreaktivitas dari kemokin MIP-2 juga tampak dua jam setelah terjadi perdarahan otak dan mencapai puncaknya pada dua hari. Perubahan pada level MIP-2 berkaitan dengan aktivasi NF-KB dan kandungan cairan otak (Wang dan Doré, 2007; Aronowski dan Zhao, 2011).

Gambar 2.1 Mekanisme Eliminasi Bekuan Darah pada Stroke Hemoragik (Aronowski dan Zhao, 2011)

Mekanisme eliminase bekuan darah pada stroke hemoragik dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pada perdarahan intraserebral, bekuan darah akan dilepaskan pada parenkim otak. Eritrosit akan dibersihkan dari parenkim otak oleh makrofag atau mikroglia dengan perantaraan reseptor CD-36 yang memediasi proses fagositosis. Bekuan darah yang terdapat pada parenkim harus segera dihilangkan sebelum terjadi lisis yang mengeluarkan bahan toksik lainnya ke parenkim otak yang memiliki efek sitotoksik. Mekanisme lainnya adalah melalui haptoglobin (Hp) yang dibentuk oleh oligodendrosit yang akan berikatan kuat dengan hemoglobin dan akan mengaktifkan reseptor CD-163 sehingga akan juga menginisiasi proses fagositosis. Bentuk radikal bebas yang lain adalah heme, dimana efek ini akan ditangkal oleh hemopexin (Hx) dengan perantaraan resepetor CD-91. Proses fagositosis akan dilanjutkan dengan bantuan enzim HO-1

dalam melakukan proses oksidasi kemudian dipecah menjadi hemosiderin, biliverdin, dan karbon monoksida. Hal terpenting selanjutnya adalah pembentukan

peroxisome proliferator-activated receptors (PPARγ) dan nuclear factor erythroid 2–related factor (Nrf2) karena selain meningkatkan ekspresi reseptor

CD-36 dan CD-163 juga akan meningkatkan produksi protein antioksidan katalase atau super oxide dismutase (SOD) yang akan menekan proses stres oksidatif pada makrofag (Aronowski dan Zhao, 2011 ).

Astrosit adalah sel glia yang paling banyak ditemukan pada jaringan otak dan memiliki fungsi untuk menjaga hemostasis dari elektrolit, metabolisme toksin, regulasi dari pencegahan pembentukan jaringan parut otak, prevensi terbentuknya neovaskularisasi dan mendukung pada fungsi sinaptogenesis dan neurogenesis. Astrosit juga memiliki efek anti oksidan yang kuat pada otak dibanding sel neuron. Selain itu, astrosit juga mempunyai resistensi yang tinggi terhadap ROS dan kerusakan otak dibanding neuron. Selama proses kerusakan otak, astrosit dapat secara langsung memodulasi atau mengatur kelangsungan hidup sel neuron dengan menghasilkan faktor angiogenik dan neutrotropik. Astrosit dapat melindungi neuron dengan mensekresi faktor neurotropik. Astrosit juga mampu melakukan regulasi terhadap ekspresi dari reseptor subunit N- Methyl-D-Aspartate (NMDA) dan transporter glutamat yang akan berhubungan dengan sensitivitas neuron terhadap efek toksik dari glutamat, dan efek yang lainnya adalah sel neuron menjadi lebih tahan atau resisten terhadap radikal bebas, serta astrosit juga mampu menurunkan mediator inflamasi dan radikal bebas yang diproduksi oleh mikroglia. Selain itu, astrosit juga berperan dalam proses

inflamasi dengan mengekspresikan MMPs setelah terjadi perdarahan otak. Influks kalsium dapat mengaktifkan astrosit sehingga menginduksi pelepasan gliotransmiter seperti glutamat, ATP, TNF-α dan D-serin yang dapat memodulasi eksitabilitas neuronal, aktivitas sinaps dan plastisitas. Astrosit juga dapat menginduksi proses inflamasi dengan memodulasi ekspresi mediator-mediator inflamasi dan produksi ROS oleh mikroglia (Wang dan Doré, 2007; Agnihotri et

al., 2011; Yabluchanskiy, 2012; Ziai, 2013).

Matrix metalloproteinases adalah termasuk kelompok zinc-dependent endopeptidase yang dapat melakukan degradasi pada berbagai komponen

termasuk matriks ekstraseluler. Pada vertebrata ditemukan sekitar 24 jenis subtipe dari MMPs dan yang teridentifikasi pada manusia saat ini sekitar 23 jenis. Matrix

metalloproteinases ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok enzim antara lain kolagenase, stromelisin, gelatinase dan membran type metalloproteinase. Matrix metalloproteinases secara normal berlokasi dalam sitosol pada kondisi sel aktif

maupun inaktif. Matrix metalloproteinases akan dihancurkan oleh protease pada kondisi patologis. Ekspresi MMPs pada otak yang normal sangat rendah, tetapi banyak yang akan diproduksi dan teraktivasi terhadap respon kerusakan otak.

Matrix metalloproteinases memiliki peran penting pada keadaan jaringan yang

normal yaitu untuk neurogenesis, pembentukan mielin, dan pertumbuhan aksonal, namun memiliki efek yang buruk pada awal perdarahan. Aktivitas dari MMPs akan dikontrol oleh radikal bebas, mulai dari aktivasi bentuk tak aktif melalui jalur mRNA (messenger Ribonucleic Acid) untuk memberikan sinyal melalui NF- KB dan sebagai hasilnya MMPs dapat meningkatkan permeabilitas vaskular yang

akan menyebabkan edema serebri pada perdarahan otak. Pada perdarahan sering didapatkan peningkatan MMPs 2,3,9 dan 12. Aktivasi dari MMPs 2 dan 9 didapatkan setelah 16 - 24 jam paska perdarahan. Matrix metalloproteinase (MMP) 9 dapat teraktivasi lebih awal yaitu 12 jam. Matrix metalloproteinase 12 akan dapat ditemukan sampai hari ketujuh dan puncaknya sekitar 80 kali lipat dari normal. Matrix metalloproteinase 12 berlokasi dalam mikroglia/makrofag yang teraktivasi di sekitar perdarahan. Setelah MMP 9 teraktivasi pada sel neuron akan mengaktivasi astrosit di sekeliling perdarahan. Level ekspresi MMP 9, subunit NF-KB dan MIP-2 akan meningkat 2 – 5 hari setelah perdarahan. Fakta yang menarik lainnya adalah ekspresi MMPs 2 dan 9 yang distimulasi oleh peptide Aβ- amyloid dan merupakan penyebab perdarahan spontan oleh karena terbentuknya

angiopati amyloid. Peningkatan MMP 9 memiliki peran penting pada pembentukan edema di sekitar perdarahan, perluasan perdarahan, nekrosis, kerusakan sawar darah otak dan penurunan fungsi neurologis pada fase akut dan berkaitan dengan mortalitas (Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012).

Pada patogenesis stroke hemoragik juga melibatkan proses stress oksidatif, dimana hal ini dibuktikan melalui serangkaian percobaan dengan menggunakan anti radikal bebas seperti dimetiltiourea, α-phenyl-N-tertiary-butyl nitrone,

sulfonyl derivative of α-phenyl-N-tertiary-butyl nitrone (NXY-059) atau

deferoxamine, dan selain itu melalui percobaan juga dibuktikan keterlibatan

nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase yang

merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan radikal bebas yaitu superoksid dari oksigen (Aronowski dan Zhao, 2011). Setelah kerusakan otak,

ROS akan dilepaskan oleh neutrofil, endotelium vaskular, dan mikroglia yang teraktivasi serta makrofag. Pembentukan ROS pada proses normal metabolisme oksidatif tidak dapat dihindari, namun bila terbentuk dalam jumlah banyak akan memiliki fungsi yang letal. Reactive Oxygent Species dengan kadar yang cukup banyak berkontribusi pada perburukan perdarahan. Segera setelah perdarahan, jaringan ekstraseluler akan terpapar oleh hemoglobin dan produk turunannya. Zat besi dan bahan yang mengandung zat besi seperti hemoglobin akan mengkatalisis produksi hidroksil radikal dan peroksidase lipid yang akan membuat sel neuron terpapar oleh banyak stres oksidatif. Kadar stres oksidatif yang tinggi dapat terdeteksi oleh banyaknya pembentukan protein karbonil yang terbentuk dan ditemukan segera dalam hitungan menit setelah perdarahan (Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012).

Besi juga berperan pada proses inflamasi setelah perdarahan otak. Besi dihasilkan dari proses hemolisis eritrosit. Hemolisis dari eritrosit terjadi akibat keterlibatan kaskade komplemen. Hemolisis eritrosit ini menyebabkan pelepasan hemoglobin dan heme dimana keduanya akan diambil oleh mikroglia dan neuron. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah terjadi perdarahan otak. Selama terjadi perdarahan otak, heme dalam jumlah yang banyak dilepaskan dari darah yang mengalami ekstravasasi dan sel yang akan mengalami kematian. Besi dihasilkan dari pemecahan heme oleh enzim HO dimana enzim ini diekspresikan sangat tinggi pada daerah di sekitar perdarahan, terutama di mikroglia/makrofag dan sel endotel. Selain besi, enzim HO juga mengkatalisis degradasi heme menjadi biliverdin serta menghasilkan karbon monoksida. Biliverdin ini kemudian

dikonversi menjadi bilirubin oleh biliverdin reduktase. Bilirubin yang tidak terkonjugasi dapat dideteksi pada perdarahan dalam 8 – 12 jam. Perdarahan otak menyebabkan deposisi besi dan kadar besi yang berlebihan dalam otak dapat mengakibatkan peroksidasi lipid dan formasi radikal bebas sehingga merusak neuron. Proses hemolisis dan toksisitas yang dimediasi oleh heme atau besi terjadi 2 – 3 hari setelah perdarahan otak. Pemecahan hemoglobin, akumulasi besi dan peningkatan konsentrasi HO mengakibatkan kerusakan otak lebih lanjut, edema otak, infiltrasi neutrofil dan kematian neuronal sehingga memperburuk luaran klinis neurologis. Hal ini juga sering dikaitkan dengan volume perdarahan dan edema otak (Wang dan Doré, 2007; Ziai, 2013).

Dokumen terkait