• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Norma Subjektif terhadap Intensi Membeli Pakaian Bekas

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

3. Peran Norma Subjektif terhadap Intensi Membeli Pakaian Bekas

Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa norma subjektif berperan positif secara signifikan terhadap intensi membeli pakaian bekas yang ditunjukkan oleh nilai p = 0.000 (< 0.05) sehingga hipotesis alternatif diterima. Berdasarkan koefisien variabel norma subjektif memiliki nilai r sebesar 0.233 sehingga r2=0.054 yang berarti norma subjektif berperan sebesar 5.4% terhadap intensi membeli pakaian bekas. Dengan demikian, jika norma subjektif konsumen mendukung maka intensi konsumen unuk membeli pakaian bekas juga akan semakin tinggi.

Norma subjektif merupakan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku (Ajzen, 2005). Tekanan sosial tersebut didapatkan dari significant others, yaitu orang tua, keluarga, pasangan, teman, rekan kerja, dokter, serta orang lain yang dianggap penting oleh individu. Norma subjektif merupakan dinamika dari persepsi individu akan harapan orang lain yang mendorongnya untuk berperilaku tertentu, serta motivasi individu untuk mengikuti harapan orang tersebut. Individu yang menganggap bahwa ia didorong oleh significant others untuk berperilaku tertentu dan ia memiliki motivasi yang tinggi untuk mematuhi apa yang diharapkan significant others tersebut, maka akan besarlah intensi individu untuk menampilkan perilaku.

Pada penelitian ini, skala norma subjektif mengacu pada beberapa faktor yang bisa saja menjadi pendukung atau malah menjadi penghambat responden untuk membeli pakaian bekas. Faktor ini didapat dari hasil elisitasi salint belief

yang berupa orang tua, keluarga, saudara, suami atau istri, dan teman dekat. Respon subjek juga berbeda terhadap faktor tersebut didasarkan pada background faktor-nya (jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan penghasilan. Untuk menggambarkan secara jelas mengenai norma subjektif yang dimiliki responden untuk membeli pakaian bekas, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa responden untuk mengetahui gambaran norma subjektif konsumen terhadap intensi membeli pakaian bekas sebagai berikut.

“Aku ya fat, kepingin coba-coba beli pakaian bekas itu. Tapi orang tua, kakak aku gak ada yang pernah kasih aku beli pakaian bekas bahkan mereka melarang aku untuk beli pakaian bekas fat. Ayah aku lah yang paling melarang aku dibilang kayak orang gak punya duit aja beli monza. Padahal aku pingen sekali-sekali beli, apa lagi banyak kawan yang beli dan bilang kalau pakaian yang dijual di monza itu gak semuanya bekas ada yang baru dan katanya barangnya banyak barang yang branded. Kan pas kali itu kan fat untuk kantong orang yang

kuliah sambil kerja ini fat”

(Komunikasi Personal, Desember 2015)

“Aku pernah sih dengar kata teman-teman beli baju, tas, celana di monza itu bagus-bagus. Malah mereka kasih saran ke aku supaya beli baju disana biar gak boros kali beli baju di mall

hehe..”

(Komunikasi Personal, Desember 2015)

Dari hasil wawancara di atas bahwa responden mendapatkan dukungan dan ada juga responden yang tidak mendapatkan dukungan untuk memunculkan perilaku membeli pakaian bekas. Meskipun kontribusi yang diberikan norma subjektif tidak terlalu besar untuk membentuk intensi membeli pakaian bekas,

78

namun norma subjektif secara signifikan berperan terhadap intensi membeli pakaian bekas. Dengan kata lain, semakin besar kendali yang dimiliki responden untuk membeli pakaian bekas, maka semakin kuat intensi responden untuk membeli pakaian bekas.

4. Peran Perceived Behavioral Control terhadap Intensi Membeli Pakaian

Pada penelitian ini didapatkan hasil perceived behavioral control berperan positif terhadap intensi membeli pakaian bekas yang ditunjukkan oleh nilai p=0.000 (<0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternative diterima.

Perceived behavioral control memiliki nilai r=0.529 sehingga r2=0.279 yang menunjukkan bahwa perceived behavioral control berperan sebesar 27.9% terhadap intensi membeli pakaian bekas. Hal ini berarti bahwa perceived behavioral control yang dimiliki subjek memiliki nilai positif dalam mempengaruhi intensi subjek membeli pakaian bekas atau subjek memilki kendali yang mudah dilakukan untuk membeli pakaian bekas.

Perceived behavioral control merujuk pada suatu derajat ketika individu merasa bahwa perilaku akan muncul atau tidak muncul tergantung pada kendali yang ada pada dirinya (Ajzen, 2005). Ketika individu mulai membentuk intensi terhadap suatu perilaku, ia mulai memperkirakan seberapa besar kontrol yang dimilikinya untuk mewujudkan perilaku tersebut (Sarwono, 1997). Individu tidak akan memiliki intensi yang kuat untuk menampilkan perilaku jika ia percaya

bahwa ia tidak memiliki sumber dan kesempatan untuk menampilkannya, walaupun ia memiliki sikap yang positif dan dukungan dari significant others.

Dalam penelitian ini, skala perceived behavioral control mengacu pada beberapa faktor yang bisa saja menjadi pendukung atau malah menjadi penghambat subjek untuk membeli pakaian bekas. Faktor ini didapatkan dari hasil elisitasi salient belief yang berupa waktu, penghasilan, informasi, dan lokasi tempat penjualan pakaian bekas. Respon subjek juga berbeda terhadap faktor tersebut didasarkan pada background factor-nya (gender, usia, pekerjaan, dan penghasilan). Guna mendapatkan penjelasan lebih lanjut, peneliti melakukan komunikasi personal kepada subjek.

“Kok aku gak masalah mau beli baju, celana, tas atau apalah

itu di monza asal dicuci bersih. Kepengen sih kakak kesana dek, tapi ya itu lah masalahnya waktu ini dek, tau la perkerjaan kak dikantor udalah padat pergi pagi pulang malam mana la sempat siang-siang pilih-pilih baju di monza itu karena katanya kita mesti teliti pas mau beli. Repot juga la menurut kakak dengan lokasi, waktu, dengan perkerjaan kakak kayak gini ya dek” (Komunikasi Personal, Desember 2015)

“Tante belum pernah ya Fatimah ke monza itu. Tapi dengar- dengar cerita kawan-kawan tante kayak mana monza itu kayak tante gak bakalan kesana untuk beli pakaian ya nak. Yang pertama tante gak ada waktu dan tante kan punya penghasilan yang lumayan besar ya jadi tante bagusan beli barang baru di mall atau pas tante keluar negeri masih bisa beli barang

branded dengan model baru ya nak.”

(Komunikasi Personal, Desember 2015)

Dari hasil wawancara di atas subjek memiliki kemauan dan ada juga subjek yang tidak ingin membeli pakaian bekas. Meskipun kontribusi yang diberikan perceived behavioral control tidak terlalu besar untuk membentuk intensi membeli pakiaan bekas, namun perceived behavioral control secara

80

signifikan berperan terhadap intensi membeli pakaian bekas. Dengan kata lain, semakin besar kendali yang dimiliki subjek untuk membeli pakaian bekas maka semakin kuat intensi subjek untuk membeli pakaian bekas.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan hasil mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian

A.KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control bersama-sama berperan secara signifikan terhadap intensi membeli pakaian bekas. Semakin positif sikap, semakin banyak dukungan dari orang terdekat, dan semakin besar kendali yang dimiliki responden maka semakin kuat pula intensi responden untuk membeli pakaian bekas.

2. Sikap tidak berperan secara signifikan terhadap intensi membeli pakaian bekas. Hasil analisis menunjukkan bahwa skor sikap berada pada skor netral. Hasil skala sikap berada pada kategori netral terhadap intensi membeli pakaian bekas, sehingga sikap dapat diabaikan.

3. Norma subjektif berperan secara signifikan terhadap intensi membeli pakaian bekas. Dengan demikian semakin banyak dukungan dari orang terdekat yang dimiliki responden terhadap perilaku membeli pakaian bekas maka semakin kuat intensi responden untuk membeli pakaian bekas.

82

4. Perceived behavioral control berperan secara signifikan terhadap intensi membeli pakaian bekas. Semakin banyak kendali yang dimiliki responden untuk membeli pakaian bekas, maka semakin kuat intensi membeli pakaian bekas.

5. Perceived behavioral control merupakan variabel yang paling berperan dalam pembentukan intensi membeli pakaian bekas.

B.SARAN

1. SARAN METODOLOGIS

Penelitian ini masih menggunakan teknik incidental sampling. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya menggunakan teknik purposive sampling untuk hasil penelitian yang lebih optimal dan dapat memperjelaskan lagi karakteristik yang lebih mendalam. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat membuktikan bahwa sikap dapat mempengaruhi intensi membeli pakaian bekas.

2. SARAN PRAKTIS

a. Saran untuk masyarakat

Bagi para konsumen dan calon konsumen yang akan membeli pakaian bekas bisa mempertimbangkan sikap yang negatif pakaian pakaian bekas yang dijual. Para calon konsumen bisa mencari informasi mengenai pakaian bekas yang dijual di kota Medan. Karena informasi yang dimiliki bagi para calon konsumen bisa mempengaruhi sikap, norma subjektif, dan perceived

behavioral control yang dimiliki oleh calon konsumen. Jika calon konsumen tidak memiliki informasi yang cukup maka calon konsumen tidak memiliki sikap yang positif terhadap pakaian bekas.

b. Saran untuk penjual pakaian bekas

Pada penelitian ini dari ketiga variabel yang tidak memiliki peran secara siginifikan adalah variabel sikap karena masih banyak sikap konsumen yang negatif pada pakaian bekas tersebut. Disarankan bagi para penjual pakaian bekas untuk menjaga kebersihan pakaian bekas dengan cara dilaundry, diperbaiki barang rusak, dan dikemas dengan semenarik mungkin. Serta para penjual juga harus memiliki strategi penjualan seperti menjual pakaian bekas secara online, dipajang seperti di toko supaya tidak kelihatan kumuh pakaian bekas yang dijual. Dengan adanya perhatian dari penjual terhadap kebersihan akan membuat sikap konsumen menjadi positif terhadap pakaian bekas, maka intensi membeli pada konsumen akan semakin meningkat.

13

BAB II

TUJUAN PUSTAKA

A. INTENSI

1. Definisi Intensi

Schiffman dan Kanuk (2007) menyatakan bahwa intensi adalah hal yang berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau berperilaku tertentu. Chaplin (1999) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Intensi menurut Corsini (2002) adalah keputusan bertindak dengan cara tertentu, atau dorongan untuk melakukan suatu tindakan, baik itu secara sadar atau tidak sadar. Menurut Sudarsono (1993) menyatakan intensi adalah niat, tujuan, keinginan untuk melakukan sesuatu, mempunyai tujuan.

Horton (1984) mengatakan bahwa intensi terkait dalam 2 hal yang saling berhubungan yaitu, kecenderungan untuk membeli dan rencana dari keputusan membeli. Jadi intensi berhubungan dengan perilaku. Individu melakukan perilaku tersebut, apabila ia benar-benar ingin melakukannya untuk membentuk intensi.

Ajzen (2005), menyatakan bahwa intensi adalah indikasi seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang akan digunakan untuk melakukan perilaku. Menurut Theory of Planned Behavioral, intensi untuk melakukan suatu perilaku merupakan prediktor paling kuat bagi munculnya perilaku tersebut. Menurut Ajzen (1991) yang menjadi

faktor utama dalam theory of planned behavior ini adalah intensi seseorang untuk memunculkan suatu perilaku. Berdasarkan theory of planned behavior, intensi adalah fungsi dari tiga penentu utama, pertama adalah faktor personal dari individu tersebut, kedua bagaimana pengaruh sosial, dan ketiga berkaitan dengan kontrol yang dimiliki individu (Ajzen, 2005).

Berdasarkan uraian diatas, maka intensi adalah suatu keputusan atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu baik secara sadar atau tidak.

2. Aspek-aspek Intensi

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) intensi memiliki empat aspek, yaitu:

1. Sasaran (Target): yaitu sasaran yang ingin dicapai jika menampilkan suatu perilaku.

2. Action: merupakan suatu tindakan yang mengiringi munculnya perilaku.

3. Context:mengacu pada situasi yang akan memunculkan perilaku. 4. Time (waktu): yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu

15

3. Faktor- faktor Intensi

Ajzen (2005) mengemukakan intensi merupakan fungsi dari tiga faktor, yaitu:

1. Faktor Personal merupakan sikap individu terhadap perilaku berupa evaluasi positif atau negatif terhadap perilaku yang akan ditampilkan. 2. Faktor sosial diistilahkan dengan kata norma subjektif yang meliputi

persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku.

3. Faktor kendali yang disebut perceived behavioral control yang merupakan perasaan individu akan mudah atau sulitnya menampilkan perilaku tertentu.

Menurut Ajzen (2005) ketiga faktor yaitu sikap, norma subjektif, dan

perceived behavioral control dapat memprediksi intensi individu dalam melakukan perilaku tertentu. Hubungan antara intensi dan ketiga faktor yang mempengaruhinya dapat dilihat dalam gambar 1.

Gambar 1.Teori Planned Behavior

Umumnya seseorang menunjukkan intensi terhadap suatu perilaku jika mereka telah mengevaluasinya secara positif, mengalami tekanan sosial untuk melakukannya, dan ketika mereka percaya bahwa mereka memiliki kesempatan dan mampu untuk melakukannya. Sehingga dengan menguatnya intensi seseorang terhadap perilaku tersebut, maka kemungkinan individu untuk menampilkan perilaku juga semakin besar (Ajzen, 2005). Apabila ketika control diri mereka lebih besar dalam memiliki kesempatan dan mampu untuk melakukannya akan langsung mempengaruhi ke perilaku mereka.

B. Sikap

1. Definisi Sikap

Menurut Allport sikap merupakan suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang yang didalamnya terdapat pengalaman individu yang akan mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi ( Sarwono, 2009). Sikap merupakan penyataan atau pertimbangan evaluatif mengenai objek, orang, atau peristiwa (Robin, Amaliah 2008). Del & David (2007) sikap merupakan cara seseorang unuk berfikir, merasakan, dan tindakan untuk berperilaku dengan cara yang tetap menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu objek tertentu. Petty & Cacippo mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat oleh manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu tersebut (Azwar, 2007).

Menurut Ajzen (2005) sikap merupakan suatu evaluasi untuk merespon secara positif ataupun negatif. Secara umum, semakin seseorang tersebut memiliki

17 evaluasi bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi positif maka seseorang akan cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut, sebaliknya semakin seseorang yang memiliki evaluasi negatif maka seseorang akan cenderung bersikap unfavorble terhadap perilaku tertentu (Ajzen, 2005).

Ajzen (2005) sikap merupakan evaluasi individu baik positif maupun negatif terhadap objek sikap berupa benda institusi, orang, kejadian, perilaku, maupun minat tertentu. Sikap ditentukan dari evaluasi seseorang mengenai konsekuensi suatu perilaku yang diasosiasikan dengan suatu perilaku, dengan melihat kuatnya hubungan antara konsekuensi tersebut dengan suatu perilaku. Maka dapat disimpulkan bahwa jika seseorang memiliki belief yang kuat bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi yang positif, maka sikap terhadap perilaku tersebut akan positif. Akan tetapi jika belief terhadap perilaku tersebut negatif, maka sikap yang terbentuk terhadap suatu perilaku tersebut akan negatif.

Berdasarkan uraian diatas, maka sikap adalah evaluasi konsumen terhadap suatu keyakinan yang secara positif atau negatif terhadap suatu objek.

2. Aspek Sikap

Ajzen (2005) sikap terhadap perilaku diartikan sebagai derajat penilaian positif atau negatif individu terhadap perilaku. Berdasarkan theory of planned behavior, sikap seseorang terhadap perilaku diperoleh dari beberapa aspek, yaitu:

1. Behavioralbelief

Behavioral belief merupakan belief individu akan konsekuensi yang dihasilkan apabila seseorang menampilkan suatu perilaku tertentu.

2. Outcomeevaluation

Outcome evaluation merupakan evaluasi individu terhadap konsekuensi atau hasil dari perilaku yang ditampilkan. Individu yang yakin bahwa dengan menampilkan suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi yang positif, akan memiliki kecenderungan yang besar untuk melakukan perilaku tersebut.

Hubungan kedua aspek diatas dapat digambarkan dalam persamaan berikut ini :

Persamaan diatas menjelaskan bahwa merupakan sikap terhadap suatu perilaku yang merupakan hasil kali dari sebagai behavioral belief dan sebagai evaluation of outcome. Jadi, individu yang percaya bahwa sebuah perilaku dapat menghasilkan outcome yang positif maka individu tersebut akan memiliki sikap yang positif terhadap sebuah perilaku, begitu juga sebaliknya.

C. Norma Subjektif

1. Definisi Norma Subjektif

Norma merupakan harapan bersama tentang bagaimana seseorang harus berperilaku dalam kelompok (Burn, 2004). Baron & Byrne (2002) menyatakan bahwa norma subjektif adalah persepsi individu tentang apakah orang lain akan menerima, mendukung atau mewujudkan tindakan tersebut. Norma subjektif

19 didefinisikan merupakan pengaruh orang lain yang penting. Hal ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang dipikirkan orang lain yang penting (important person) yang harus dilakukan orang tersebut dengan perilaku tertentu (Engel, Blackwell, dan Miniard, 1995).

Ajzen (2005) mengatakan norma subjektif sebagai persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk menampilakan atau tidak menampilkan suatu perilaku. Norma subjektif diartikan sebagai persepsi individu tentang tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005). Norma subjektif merupakan fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut

normative belief, yaitu belief mengenai setuju dan tidak setuju yang berasal dari

referent atau orang dan kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasang, teman dekat, rekan kerja atau lainnya terhadap suatu perilaku (Ajzen, 2005). Ketika seseorang ingin menampilkan perilaku, maka ia akan menyesuaikan perilaku tersebut dengan norma kelompoknya sehingga kecenderungan untuk menampilkan perilaku akan semakin besar jika kelompok bisa menerima perilaku tersebut. Kelompok ini bisa saja berupa orangtua, saudara, teman dekat, dan orang yang berkaitan dengan perilaku tersebut.

2. Aspek Norma Subjektif

Norma Subjektif diartikan sebagai dukungan orang-orang terdekat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005). Norma subjektif ditentukan oleh dua aspek yaitu:

1. Normative belief (keyakinan normatif)

Normative belief adalah keyakinan seseorang mengenai setuju atau tidak setuju yang berasal dari referent. Referent merupakan orang atau kelompok sosial yang sangat berpengaruh bagi seseorang baik itu orang tua, pasangan (istrri atau suami), teman dekat, rekan kerja dan lain-lain tergantung pada tingkah laku yang dimaksud. Keyakinan normatif (normative belief) berasal dari keyakinan seseorang mengenai orang-orang terdekatnya (significant others) yang mendukung atau menolak pada tampilan perilaku tersebut. Keyakinan normatif didapat dari significant others tentang apakah individu perlu, harus, atau dilarang melakukan perilaku tertentu dan dari seseorang yang berhubungan langsung dengan perilaku tersebut.

2. Motivation to comply (keinginan untuk mengikuti)

Motivation to comply adalah motivasi individu untuk menampilkan atau mematuhi perilaku yang diharapkan significant others. Individu yang percaya bahwa significant others menyetujui suatu perilaku, maka ini akan menjadi tekanan sosial bagi individu untuk melakukan perilaku tersebut dan begitu sebaliknya.

Hubungan antara dua aspek norma subjektif diatas dapat digambarkan pada persamaan berikut ini :

21 Berdasarkan rumus di atas norma subjektif (SN) didapat dari penjumlahan hasil kali dari normative belief dengan motivation to comply.

D. Perceived Behavioral Control

1. Definisi Perceived Behavioral control

Ajzen (2005) mengatakan perceived behavioral control atau kontrol perilaku sebagai keyakinan atau fungsi mengenai ada atau tidaknya faktor yang mendukung atau tidak mendukung untuk menampilkan perilaku tersebut. Keyakinan ini diperoleh dari pengalaman masa lalu akan tetapi biasanya dipengaruhi oleh informasi sekunder, seperti informasi yang diperoleh dari observasi seseorang dari pengalaman, teman, dan faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi intensitas berperilaku. Maka semakin banyak informasi dan kesempatan seseorang maka semakin kuat kontrol perilaku yang dimiliki. Jadi, kontrol perilaku merupakan persepsi mengenai mampu atau tidak mampu atau bisa atau tidak bisanya seseorang menampilkan perilaku tersebut.

Apabila individu merasa banyak faktor yang mendukung dan sedikit faktor yang menghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih besar kontrol yang mereka rasakan atas perilaku tersebut, dan begitu juga sebaliknya (Ajzen, 2005). Theory of planned behavior, perceived behavioral control (Ajzen, 2005) akan bersama-sama dengan intensi dapat digunakan secara langsung untuk memunculkan perilaku. Terdapat dua alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Yang pertama, intensi untuk memunculkan perilaku akan lebih berhasil jika disertai dengan adanya perceived behavioral control. Yang kedua, adanya

hubungan langsung antara perceived behavioral control dengan munculnya perilaku, dimana perceived behavioral control dapat digunakan untuk mengukur kontrol aktual.

2. Aspek Perceived Behavioral Control

Perceived behavioral control merupakan persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya perilaku tersebut dilakukan (Ajzen, 2005). Perceived behavioral control ditentukan oleh dua kombinasi, yaitu (Ajzen, 2005):

1. Control Belief

Control belief merupakan keyakinan individu mengenai apakah ia mampu atau tidak mampu untuk memunculkan suatu perilaku.

2. Power of Control belief

Power of control belief adalah kekuatan atau keyakinan individu untuk seberapa besar perasaan tersebut mempengaruhi keputusan seseorang untuk memunculkan perilaku tersebut.

Hubungan antara dua aspek perceived behavioral control di atas dapat digambarkan dalam persamaan berikut :

Persamaan diatas menunjukkan bahwa PBC dipengaruhi oleh gabungan dari yang merupakan control belief dan yang merupakan power of control

23

E. Pakaian Bekas

Pakaian merupakan barang yang dipakai oleh seseorang seperti baju, celana, dan sebagainya (Uswatun, 2014). Pakaian berfungsi untuk menjaga pemakainya merasa nyaman dari cuaca atau iklim yang panas dan dingin sebagai suatu pelindung tubuh. Pakaian juga sebagai salah satu alat komunikasi kepada masyarakat sebagai status sosial dan gaya hidup. Bekas merupakan benda atau barang yang sudah dipakai oleh orang lain. Menurut kamus Bahasa Indonesia pakaian bekas merupakan pakaian yang sudah pernah dipakai, dan tidak baru lagi (Uswatun, 2014).

Karimah (2014) menyatakan bahwa pakaian bekas adalah pakaian yang sudah pernah dipakai sebelumnya dan menjadi salah satu target masyarakat untuk mendapatkan gaya yang berbeda dengan yang lain, biasanya pakaian bekas berasal dari Singapura, Malaysia, Korea, dan Hongkong. Pakaian bekas adalah pakaian yang sudah dipakai sebelumnya oleh orang lain, barang cacat dari pabrik, atau barang yang sudah tidak laku lagi (Virano, Winarto, Andadari, 2008).

Dokumen terkait