• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.2. Peran teman Sebaya

Peran teman sebaya terkait dengan aspek sumber informasi dan kognitif, sumber emosional dan kebudayaan. Peran teman sebaya merupakan hal penting dalam kehidupan remaja, karena diterima oleh teman sebaya merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi remaja karena dengan teman sebaya remaja merasa menemukan jati dirinya. Peran teman sebaya dapat mempengaruhi sikap remaja.

1. Sumber informasi dan kognitif

Sumber informasi dan kognitif yang positif dari teman sebaya sangat

mempengaruhi sikap dan perilaku remaja. Remaja mampu berfikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak, kemampuan kognitif remaja berada pada tahap formal operation. Remaja harus mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan masalah dan mempertanggung jawabkanya. Berkaitan dengan sumber informasi dan kognitif, umumnya remaja menampilkan tingkah laku yang kritis dimana segala sesuatu harus rasional dan jelas, rasa ingin tahu yang kuat pada remaja merangsang adanya kebutuhan akan sesuatu yang harus diketahui dan ingin diketahui, pada umumnya sumber informasi dan kognitif yang paling sering

didapatkan bersumber dari teman sebaya.

Berdasarkan hasil penelitian tentang peran teman sebaya dari segi sumber informasi dan kognitif menunjukan sebagian besar responden sebanyak 83 responden (72,8%) Teman pernah mengajak melihat gambar/ video berbau pornografi, sebanyak 79 responden (69,3%) Teman mengatakan melakukan ciuman saat pacaran adalah hal yang biasa, sebanyak 99 responden (86,8%) Teman tidak pernah mengatakan

melakukan aborsi tidak berbahaya bagi kesehatan dan tidak menimbulkan gangguan untuk organ reproduksi , sebanyak 87 responden (76,3%) pernah mendapat informasi dari teman bahwasanya pacaran anak remaja sekarang, ciuman dan melakukan

hubungan seksual sudah banyak terjadi, sebanyak 82 responden (71,9%) teman tidak pernah mengatakan seksual pranikah tidak menimbulkan kehamilan apabila hanya sekali saja, sebanyak 85 responden (76,6%) teman tidak pernah mengatakan resiko aborsi tidak berbahaya bagi kesehatan dan tidak menimbulkan gangguan untuk organ reproduksi , sebanyak 93 responden (81,6%) Teman selalu mengingatkan saya untuk menjauhi tindakan yang menjurus kepada tindakan seksual, sebanyak 78 responden (68,4%) pernah mendengar dari teman kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial dan bukan semata – mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya, sebanyak 96 responden (84,2%) pernah

mendengar dari teman ciri – ciri remaja mulai akhil baligh adalah terjadinya

menstruasi atau haid pada remaja putris, sebanyak 90 responden (78,9%) pernah mendengar dari teman mimpi basah merupakan tanda lain pada remaja putra bahwa remaja tersebut mulai akhil baligh atau pubertas, sebanyak 91 responden (79,8%) pernah mendengar dari teman pada remaja pubertas akan terjadi perubahan –

perubahan dalam tubuh dan perubahan ini dipengaruhi oleh hormonal dalam tubuh , sebanyak 67 responden (58,8%) pernah mendengar dari teman hormon yang

dihasilkan oleh alat reproduksi laki – laki adalah testosteron dan androgen , sebanyak 63 responden (55,3%) pernah mendengar dari teman keinginan yang menggebu untuk memperoleh perasaan yang menyenangkan dengan tujuan hubungan seksual adalah masturbasi atau onani, sebanyak 87 responden (76,3%) pernah mendengar dari teman faktor hormonal mempunyai peranan penting untuk proses pertumbuhan dan

perkembangan tubuh.

Dilihat dari kategori umur diatas, mayoritas remaja adalah yang berumur 15-16 tahun sebanyak 84 responden (73,7%) memiliki sumber informasi dan kognitif yang positif dibanding umur > 16 tahun. Sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh tentang sumber kognitif, sejalan dengan penelitian sumiati (2009) bahwa remaja yang memiliki umur lebih tua, lebih memahami dalam mengolah informasi dan

pengetahuan lebih baik disadari maupun tidak disadari.

Seorang remaja yang cerdas, menurut Ausubel dalam thornburg (1982) ditandai dengan kemampuanya untuk memproses informasi yang menggunakan

simbol-simbol kompleks dan abstraks, sehingga dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang abstrak maupunyang konkrit dalam hidupnya.

2. Sumber Emosional

Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan betapa besarnya dampak jenis pertemanan antar sebaya di kalangan anak dan remaja itu bagi kehidupan masa dewasanya di kemudian hari. Isolasi sosial dan kehidupan masa kanak-kanak tanpa teman sering dikaitkan dengan berbagai permasalahan dalam masaremaja dan dewasa dan kebalikannya, keberhasilan hubungan pertemanan antar sebaya pada masa kanak-kanak dan remaja sering dikaitkan dengan masa dewasa yang lebih berhasil.

Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik untuk memperoleh rasa senang maupun untuk beradaptasi terhadap stress.

Berbagai studi menunjukkan bahwa remaja belajar dengan memperhatikan dan meniru perilaku teman-teman sebayanya. Perilaku prososial maupun agresif anak diperoleh dengan memperhatikan teman-teman sebayanya melakukan respon

semacam itu, begitu juga dengan perilaku spesifik laki-laki atau perempuan, standar untuk penguatan diri (self-reinforcement) dan perilaku yang menunjukkan sifat pemberani (Bandura,dalam Nelson Jones, 1995; Ladd & Asher, 1985)

Hartup (1992) mengemukakan bahwa sebagai sumber emosi, pertemanan bagi remaja memberi rasa aman untuk memasuki wilayah baru, bertemu dengan orang baru atau hal-hal baru, dan mengatasi persoalan-persoalan baru. Di samping itu, dengan teman sebaya, remaja saling memberikan dukungan dalam mengatasi stress dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Pada gilirannya, keadaan ini dapat memberikan “basis yang aman” untuk melakukan social learning lebih lanjut dan membuat temuan-temuan baru.

Hasil pengukuran sumber emosional sebanyak 89 responden (78,1%)

mengatakan tidak untuk apa saja yang sudah dilakukan sahabat kepada kekasihnya, saya juga ingin melakukanya kepada kekasih saya, sebanyak 79 responden (69,3%) mengatakan saya dan teman – teman saya menganggap tidak wajar jika remaja seusia saya berciuman dengan pacar, sebanyak 73 responden (64,0%) mengatakan saya dan teman – teman saya beranggapan remaja seusia saya harus menggunakan kondom saat berhubungan seksual, sebanyak 68 responden (59,6%) saya dan teman – teman saya menganggap wajar jika remaja seusia saya melakukan masturbasi /onani, sebanyak 102 responden (89,5%) mengatakan menurut saya seks bebas sangat beresiko karena dapat menyebabkan penyakit menular seksual, sebanyak 108 responden (94,7%) mengatakan menurut saya melakukan hubungan seksual diusia remaja sangat beresiko terhadap kesehatan reproduksi, sebanyak 87 responden

(76,3%) mengatakan saya sangat tertarik apabila ada teman yang bercerita tentang hal – hal yang berhubungan dengan pornografi, sebanyak 67 responden (58,8%)

mengatakan Saya benci dan marah jika ada teman saya membahas tentang hal – hal yang berhubungan dengan seksual karena bagi saya itu sangat tabu untuk dibahas, sebanyak 69 responden (60,5%) mengatakan saya pernah membayangkan berciuman dan melakukan hubungan badan dengan pasangan (orang yang disukai), sebanyak 96 responden (84,2%) mengatakan saya tidak pernah berkeinginan melakukan hubungan seksual dengan pasangan (orang yang disukai) karena saya tahu itu sangat berbahaya dan akan berdampak buruk terhadap kesehatan saya.

Remaja diharapkan dapat memperoleh sumber emosional yang positif dari teman sebayanya karena sumber emosional yang positif dapat membantu remaja

berfikir rasional karena emosi memberikan informasi penting mengenai pemahaman terhadap dunia sekitar. Hurlock (1980) mengemukakan, remaja memiliki karakteristik pemunculan emosi yang berbeda bila dibandingkan dengan masa kanak-kanak maupun dengan orang dewasa. Emosi remaja seringkali meluap-luap (tinggi), dan emosi negatif lebih mudah muncul. Keadaan ini lebih banyak muncul disebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka, dan lingkungan yang menghalangi terpuaskannya kepuasan tersebut..

3. Kebudayaan

Berkomunikasi dengan orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda membuat sebuah komunkasi menjadi kurang efektif. Sesuai dengan salah satu prinsip komunikasi, bahwa semakin mirip latar belakang sosial budaya semakin efektiflah komunikasi. Prinsip tersebut tentu semakin menjelaskan bahwa perbedaan budaya dalam masyarakat membuat komunikasi menjadi kurang efektif. Sebagai individu komunikasi merupakan hal penting agar dapat menunjukan eksistensinya dan untuk itu individu-individu cenderung memiliki rasa kebersamaan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama atau mirip. Perbedaan budaya antar

individu menyebabkan sebuah hubungan menjadi kurang efektif karena melalui cara pandang individu yang berbeda itu dapat menumbuhkan berbagai persepsi positif maupun sebaliknya. Cara pandang berbeda itu muncul dari berbagai perbedaan kondisi sosial seseorang dan budaya di sekitar mereka. Hal ini tentu mempengaruhi proses komunikasi yang terjadi diantara dua individu atau lebih yang memiliki budaya yang berbeda.

Berdasarkan hasil pengukuran kebudayaan sebagian besar responden sebanyak 100 responden (87,7%) mengatakan dalam berteman tidak pernah melihat seseorang dari status sosial dan ekonomi keluarganya, sebanyak 85 responden ( 74,6%)

mengatakan lebih suka berteman dengan orang yang cerdas dan pintar, sebanyak 98 responden (86,0%) mengatakan dalam berteman selalu memilih teman yang dari segi ekonominya sama atau lebih tinggi dari saya, sebanyak 86 responden (75,4%)

mengatakan hanya mau berteman dengan seseorang yang populer disekolah, sebanyak 96 responden (84,2%) mengatakan tidak mau mengikuti semua tingkah laku teman yang tidak baik walaupun dia populer disekolah.

Memperhatikan pentingnya peran teman sebaya, pengembangan lingkungan teman sebaya yang positif merupakan cara efektif yang dapat ditempuh untuk mendukung perkembangan remaja. Dalam kaitannya dengan keuntungan remaja memiliki kelompok teman sebaya yang positif, Laursen (2005) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang positif memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan pandangan-pandangan baru. Lebih lanjut Laursen menegaskan bahwa kelompok teman sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk membantu orang lain, dan mendorong remaja untuk mengembangkan jaringan kerja untuk saling memberikan dorongan positif.

Interaksi di antara teman sebaya dapat digunakan untuk membentuk makna dan persepsi serta solusi-solusi baru. Budaya teman sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk menguji keefektivan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan nilai-nilai yang mereka miliki. Budaya teman sebaya yang positif sangat membantu remaja untuk memahami bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi berbagai tantangan. Budaya teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk

membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja (Laursen, 2005 ). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun budaya teman sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan konseling teman sebaya dalam komunitas remaja.

Dokumen terkait